Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih, ngerasa di tengah banyak orang yang beda-beda, tapi bisa bareng-bareng jadi satu? Cerpen ini bakal ngajak kamu ngerasain gimana rasanya hidup di desa yang penuh dengan perbedaan, tapi tetap bisa kerja sama demi sesuatu yang lebih besar.
Cerita ini bukan cuma soal tanah, sungai, atau proyek bendungan—tapi tentang gimana kita bisa menemukan titik temu meski pandangan kita nggak selalu sejalan. Siap baca cerita yang penuh makna dan perjuangan? Let’s go!!
Kebersamaan dalam Keberagaman
Nada-Nada di Lantana
Angin sore membawa aroma daun kering dari perbukitan yang memeluk desa Lantana. Suara alunan pianika dari arah sungai bergabung dengan kicau burung gereja. Arven duduk di bawah pohon beringin tua, jarinya lincah menekan tuts pianika bambu buatan ayahnya. Nada-nada itu mengalir lembut, seolah ingin merangkul setiap telinga yang mendengarnya.
Di jalan setapak dekat pohon, Nadira datang membawa sekeranjang rajutan kecil. Kain penutup kepala yang ia kenakan bergoyang lembut terkena angin. “Arven,” panggilnya pelan sambil berdiri beberapa langkah di depannya.
Arven menghentikan permainan pianikanya. “Ya? Ada apa, Nadira?” Ia meletakkan pianika di pangkuannya dan menatap gadis itu.
“Kamu nggak capek duduk di sini terus? Aku sering lihat kamu di bawah pohon ini. Lagi bikin lagu baru, ya?” Nadira berjalan mendekat.
Arven tersenyum tipis. “Bukan lagu baru, cuma main-main aja. Kalau aku capek, aku bakal berhenti sendiri kok.”
Nadira mendudukkan dirinya di akar beringin yang mencuat dari tanah. “Kamu kayak nggak pernah kehabisan tenaga, ya. Aku aja kadang bosan sama rajutan-rajutan ini.” Ia mengangkat keranjangnya yang penuh dengan benang warna-warni.
“Kenapa nggak berhenti sebentar?” tanya Arven.
Nadira terkekeh kecil. “Kalau aku berhenti, siapa yang bakal bikin sajadah buat masjid? Lagi pula, aku suka kok, cuma ya… kadang pengin nyoba hal lain.”
Arven mengangguk pelan. “Mungkin kamu butuh hiburan. Gimana kalau kamu belajar main pianika? Biar ada variasi kegiatan.”
Belum sempat Nadira menjawab, suara langkah cepat terdengar dari arah jalan setapak. Yovanka muncul dengan kemeja lusuhnya yang penuh debu. Di tangannya ada sebilah kayu yang belum selesai dipahat. “Hei, kalian di sini rupanya!” sapanya sambil mengusap keringat di dahinya.
“Ada apa, Yovanka? Kamu kelihatan capek banget,” tanya Nadira.
“Ada orang yang pesen pahatan buat gapura gereja, tapi aku bingung milih desainnya. Aku pikir mungkin kalian punya ide.” Yovanka menjatuhkan dirinya di atas akar beringin yang lain, napasnya terengah-engah.
Arven mengambil kayu itu dan memandangnya dengan saksama. “Gapura? Mungkin kamu bisa bikin ukiran daun dan bunga biar kelihatan alami. Desa kita kan penuh tumbuhan.”
Yovanka mengangguk sambil menggoyangkan kaki. “Aku juga kepikiran itu, tapi kadang aku pengin coba sesuatu yang beda. Kalau terlalu klasik, kayak nggak ada ciri khasnya.”
Percakapan mereka terputus ketika Luh Asta muncul dari arah sungai. Ia membawa nampan kecil berisi bunga dan dupa. “Kalian lagi ngobrol apa?” tanyanya dengan nada tenang.
“Biasa, ngomongin proyek masing-masing,” jawab Nadira sambil tersenyum.
“Aku habis selesai buat canang untuk upacara sore nanti. Kalau kalian nggak sibuk, mampir ya,” kata Luh Asta sambil duduk bersila.
“Kayaknya seru,” ujar Yovanka sambil mengusap dagunya. “Tapi aku masih ada pahatan yang harus selesai. Mungkin nanti malam aku sempat mampir.”
Arven tersenyum kecil melihat mereka. Meskipun setiap orang sibuk dengan urusannya, ada kehangatan yang terasa di antara mereka. “Kita ini lucu, ya. Masing-masing sibuk, tapi tetap cari waktu buat ketemu. Nggak ada habisnya obrolan kita.”
“Karena kita butuh ngobrol,” jawab Nadira sambil menatap ke arah bukit yang jauh. “Hidup ini nggak cuma soal kerja. Kadang, kita juga butuh waktu buat nginget apa yang penting.”
“Apa yang penting?” Yovanka mengerutkan kening.
“Kebersamaan,” jawab Nadira pelan.
Semua terdiam sejenak, hanya suara angin yang mengisi keheningan. Di tengah keheningan itu, Arven mengambil pianikanya dan mulai memainkan lagu yang ceria. Yovanka mengetukkan jari di kayunya mengikuti irama, Nadira tersenyum mendengar nada-nada itu, dan Luh Asta menutup matanya, menikmati harmoni sederhana yang menyatukan mereka.
Langit mulai berubah jingga saat mereka akhirnya beranjak pulang, membawa semangat baru untuk menghadapi hari berikutnya. Di Lantana, perbedaan bukanlah jarak, melainkan jembatan yang menghubungkan hati mereka.
Retakan di Tanah dan Hati
Hari itu, matahari terasa lebih terik dari biasanya. Langit biru terang tanpa awan, tanah mulai retak di beberapa sudut desa, dan sungai kecil yang biasanya jernih kini surut, menyisakan bebatuan licin. Penduduk Lantana mulai gelisah. Kekeringan tahun ini terasa lebih panjang dari sebelumnya.
Arven berjalan menyusuri jalan setapak menuju balai desa sambil membawa pianikanya. Di kejauhan, ia melihat Nadira dan beberapa warga tengah sibuk memindahkan kendi-kendi air dari sungai ke rumah mereka. Wajah Nadira tampak lelah, tapi ia tetap tersenyum saat melihat Arven mendekat.
“Kamu ke balai desa juga, Arven?” tanya Nadira sambil mengelap keringat di dahinya.
“Iya. Aku dengar ada rapat darurat soal air. Kamu nggak ikut?” Arven berhenti di dekatnya, menatap kendi-kendi yang hampir penuh.
“Aku mau nyusul setelah ini. Kamu duluan aja,” jawab Nadira sambil menepuk-nepuk tangannya yang berdebu.
Arven mengangguk dan melanjutkan langkahnya. Sesampainya di balai desa, suasana sudah ramai. Beberapa warga duduk berkelompok, sementara lainnya berdiri sambil berdebat. Di tengah ruangan, kepala desa, Pak Wira, mencoba menenangkan mereka.
“Kita harus cari solusi bersama,” kata Pak Wira dengan suara tegas. “Air ini milik kita semua. Kalau kita tidak saling membantu, semuanya akan kesulitan.”
“Tapi kebun cabai saya sudah hampir mati, Pak Wira! Kalau airnya dibagi rata, kebun itu nggak akan cukup dapat air!” protes Yovanka yang berdiri dengan tangan terlipat.
“Dengar, saya paham kebun kamu penting, Yovanka,” jawab Pak Wira, mencoba meredakan emosi. “Tapi keluarga Nadira juga butuh air buat menyelamatkan tanaman kacang mereka. Kita harus adil.”
“Apa itu adil kalau semua kebagian tapi nggak ada yang cukup?” balas Yovanka, suaranya semakin keras.
Arven berdiri di sudut ruangan, mengamati dengan dahi berkerut. Konflik kecil yang ia lihat mulai mengakar. Sementara itu, Nadira masuk ke balai desa, membawa tatapan penuh kekhawatiran.
“Yovanka, aku ngerti kamu butuh air buat kebun kamu,” kata Nadira, berjalan mendekat. “Tapi keluargaku juga butuh buat bertahan hidup. Kita nggak mungkin cuma mikirin diri sendiri, kan?”
Yovanka mendengus, melirik Nadira. “Mudah buat kamu ngomong, Nadira. Kalau cabai ini gagal panen, aku nggak tahu harus makan apa. Kamu masih punya keluarga besar yang bisa bantu.”
“Sudah, sudah,” potong Pak Wira, mengangkat tangannya. “Kita di sini untuk mencari solusi, bukan saling menyalahkan.”
Tiba-tiba, Luh Asta masuk ke ruangan membawa nampan kecil berisi bunga. Wajahnya tenang seperti biasa, tapi kali ini ada kesan cemas yang tidak biasa di matanya. “Aku dengar ribut-ribut soal air,” katanya.
“Asta, kalau kamu datang untuk membela Nadira, mending nggak usah ikut bicara,” ujar Yovanka dengan nada kesal.
Luh Asta tidak terprovokasi. Ia meletakkan nampannya di meja dan menatap mereka satu per satu. “Aku nggak di sini untuk membela siapa pun. Aku cuma ingin bilang, kalau kita terus begini, kekeringan ini nggak akan jadi masalah terbesar kita.”
Semua mata tertuju padanya. “Maksudmu apa?” tanya Pak Wira.
“Apa kita lupa kenapa desa ini bertahan selama ini? Kita bertahan karena kita saling membantu. Kalau sekarang kita mulai memikirkan diri sendiri, mungkin kekeringan ini cuma awal dari kehancuran kita,” jawab Luh Asta dengan nada serius.
Hening sejenak. Bahkan Yovanka tidak bisa membalas kata-kata itu.
Arven, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Ia membawa pianikanya dan berkata, “Aku tahu ini bukan waktu untuk main musik. Tapi mungkin kita perlu sesuatu yang mengingatkan kita bahwa kita ini satu desa, satu keluarga. Biar aku main sebentar.”
Pak Wira mengangguk pelan, memberi izin. Arven mulai memainkan nada sederhana, melodi yang ceria tapi penuh kehangatan. Perlahan, suasana tegang di ruangan itu mencair. Beberapa warga mulai tersenyum, meskipun tipis.
Setelah lagu selesai, Arven menurunkan pianikanya. “Aku tahu musik nggak bisa menyelesaikan masalah air. Tapi aku yakin, kalau kita mulai dengan hati yang damai, kita bisa nemuin solusinya bersama.”
Pak Wira tersenyum kecil. “Kamu benar, Arven. Baiklah, mari kita duduk lagi dan coba cari cara. Mulai sekarang, nggak ada yang boleh merasa lebih penting dari yang lain.”
Diskusi itu berlangsung hingga malam. Tidak ada yang pulang sebelum mereka sepakat untuk membuat giliran penggunaan air dan membangun tampungan air darurat. Kekeringan belum berakhir, tapi setidaknya, keretakan di hati mereka mulai tersambung kembali.
Di luar balai desa, Arven, Nadira, Yovanka, dan Luh Asta berdiri bersama. Langit gelap tanpa bintang, tapi mereka semua merasa ada harapan kecil yang mulai tumbuh.
Jembatan yang Mulai Retak
Hari mulai beranjak siang ketika suara palu dan gergaji menggema dari tepi sungai Lantana. Beberapa pemuda desa, termasuk Arven, sedang sibuk membangun tampungan air darurat. Tumpukan kayu dan bambu disusun dengan hati-hati, sementara air sungai yang tersisa dialirkan perlahan-lahan ke dalam wadah besar dari tanah liat.
“Arven, pegang bambunya lebih tegak,” kata Yovanka dari atas tumpukan kayu yang sedang ia paku. Tangan gadis itu cekatan, wajahnya berkilat oleh keringat, tapi matanya penuh tekad.
“Tenang aja, aku pegang kok,” jawab Arven sambil menopang bambu besar dengan pundaknya.
Di dekat mereka, Nadira sedang membantu Luh Asta mengikat jerami untuk memperkuat lapisan tampungan. Ia menarik simpul terakhir dengan kuat, lalu menghela napas panjang. “Asta, kalau ini berhasil, kamu beneran pahlawan desa,” katanya sambil tersenyum.
“Kalau berhasil,” jawab Luh Asta sambil menepuk debu dari tangannya. “Kita semua pahlawan, bukan cuma aku. Tanpa kerja bareng, ini nggak akan jadi apa-apa.”
Namun, suasana kerja sama itu mulai terusik saat Pak Wira datang bersama dua pria asing. Keduanya mengenakan kemeja rapi dan membawa lembaran kertas besar. Mereka melangkah mendekati kerumunan warga yang sibuk bekerja.
“Permisi,” salah satu pria itu membuka suara. “Saya Hendra, dan ini rekan saya, Pak Dedi. Kami dari perusahaan pengelolaan sumber daya air. Kami ingin menyampaikan kabar baik untuk desa ini.”
Pak Wira melangkah maju, mengangkat tangan untuk meminta perhatian. “Bapak-bapak ini membawa solusi yang mungkin bisa membantu kita semua.”
Yovanka menghentikan palunya, menatap pria-pria itu dengan curiga. “Solusi apa, Pak Wira?”
Pak Hendra tersenyum lebar. “Kami sedang merencanakan proyek bendungan di desa ini. Kalau proyek ini berjalan, desa Lantana akan punya pasokan air yang cukup untuk bertahun-tahun ke depan. Tidak hanya itu, kalian juga bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari kompensasi lahan yang dipakai untuk proyek ini.”
Bisik-bisik mulai terdengar di antara warga. Beberapa terlihat antusias, tapi yang lain, seperti Nadira, memasang ekspresi khawatir.
“Bendungan? Maksudnya apa? Lahan mana yang akan dipakai?” tanya Nadira dengan nada tegang.
Pak Dedi membuka gulungan kertas, menunjukkan peta desa. “Lahan di sekitar sungai akan kami manfaatkan. Beberapa rumah mungkin perlu dipindahkan, tapi kami akan memberikan ganti rugi yang layak.”
Luh Asta melangkah mendekat, menatap peta itu dengan alis berkerut. “Lahan itu adalah tempat tinggal sebagian besar warga. Kalau dipakai, mereka harus pindah ke mana?”
“Kami sudah siapkan rencana relokasi,” jawab Pak Dedi dengan nada tenang. “Kami pastikan prosesnya akan adil dan tidak memberatkan.”
“Adil?” Yovanka tertawa kecil, nada sinis terdengar jelas. “Bapak-bapak ini tahu nggak, kalau lahan itu bukan cuma rumah kami, tapi juga kebun dan sumber penghidupan? Apa ganti ruginya bakal cukup untuk semua itu?”
Arven ikut mendekat, pandangannya tajam. “Kami juga belum tahu apa bendungan ini benar-benar untuk kami, atau untuk orang lain.”
Pak Wira terlihat canggung, mencoba menengahi. “Kita semua harus tenang dulu. Ini masih rencana awal. Kita bisa bicarakan lebih lanjut dalam rapat desa nanti.”
Namun, suasana sudah mulai memanas. Beberapa warga yang mendukung proyek itu mulai berdebat dengan yang menolak. Suara mereka saling tumpang tindih, membuat suasana yang tadinya penuh kebersamaan berubah menjadi kekacauan kecil.
Arven melangkah mundur, memandang situasi itu dengan rasa tidak nyaman. Ia melihat Yovanka mengepalkan tangan, wajahnya memerah karena marah. Nadira memegang lengannya, mencoba menenangkan. Luh Asta berdiri di pinggir kerumunan, tatapannya kosong, seolah sedang merenungkan sesuatu yang lebih dalam.
Hari itu, jembatan kepercayaan yang mereka bangun bersama mulai retak. Tidak ada yang tahu bagaimana mereka akan melewati badai ini, tapi satu hal yang pasti: mereka harus memilih antara melindungi tanah mereka atau menerima perubahan yang bisa membawa risiko besar.
Titik Temu yang Tak Terduga
Pagi itu terasa sepi. Angin berhembus pelan, membawa debu halus dari ladang yang mulai mengering. Arven duduk di bawah pohon besar, memandangi desa yang terbentang di depannya. Beberapa rumah tampak lebih sepi dari biasanya, penduduknya entah sibuk bekerja atau tengah bergumul dengan pertanyaan besar tentang masa depan mereka.
Rapat desa yang digelar dua hari sebelumnya tidak menghasilkan keputusan yang memuaskan. Tentu saja, ada yang mendukung proyek bendungan itu, tetapi yang menentangnya tidak sedikit. Perdebatan tentang masa depan desa, tanah, dan air semakin memanas. Bukan hanya soal proyek itu, tetapi juga soal keberagaman pandangan yang muncul di tengah-tengah mereka.
Saat Arven menundukkan kepalanya, memandangi tumpukan batu di sekitarnya, langkah kaki terdengar mendekat. Ia mengangkat wajah, dan di sana, berdiri Nadira, wajahnya tampak lebih tenang dibandingkan hari-hari sebelumnya.
“Kamu kelihatan berbeda,” kata Arven, sedikit tersenyum.
Nadira duduk di sampingnya, menyandarkan tubuh pada batang pohon. “Aku cuma capek,” jawabnya dengan nada datar. “Dua hari ini rasanya dunia lagi terbalik.”
Arven mengangguk. Ia bisa merasakan beban yang sama. Beberapa hari terakhir, bayang-bayang ketegangan seakan menutupi kebersamaan yang selama ini mereka jaga. Semua orang punya pendapat, dan tak ada yang merasa bisa mengalah.
“Aku nggak tahu apa yang harus kita lakukan,” ujar Nadira, matanya menatap jauh ke depan. “Proyek itu bisa jadi membawa perubahan besar, tapi aku nggak yakin kita bisa melewatinya tanpa mengorbankan apa-apa.”
Arven terdiam. Ia merasa sama. Tanah mereka, sungai mereka, itu adalah bagian dari mereka. Mungkin mereka bukan pemilik sah dari bumi ini, tetapi mereka adalah penjaga yang terikat dengan tempat ini. Seperti benang merah yang menyatukan mereka dengan alam sekitar.
Namun, di sisi lain, apakah mereka bisa terus menahan diri jika ada kesempatan untuk bertahan hidup?
“Kadang aku mikir, apakah kita perlu mengorbankan sedikit demi kebaikan bersama?” kata Arven, suaranya pelan. “Tapi aku juga tahu, nggak ada yang bisa benar-benar menang tanpa ada yang kalah.”
Nadira menoleh, menatapnya dengan mata tajam. “Apakah itu berarti kamu lebih memilih proyek bendungan itu?”
Arven menggeleng, “Bukan itu. Aku cuma bingung, Nadira. Apa yang bisa kita lakukan kalau kita terus mempertahankan sesuatu yang udah nggak cukup buat semua orang?”
Suasana hening sejenak. Nadira menarik napas panjang. “Aku rasa kita nggak bisa terus seperti ini. Kita harus cari jalan tengah.”
Tepat pada saat itu, suara langkah kaki lain terdengar mendekat. Luh Asta muncul, dengan wajah penuh tekad, diikuti Yovanka yang tampak sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Mereka duduk di samping Arven dan Nadira tanpa berkata-kata. Ada sesuatu yang berbeda dari keduanya. Mungkin, mereka sudah mulai melihat jalan yang bisa diambil bersama.
“Kalau kita terus memikirkan diri sendiri, kita nggak akan pernah bisa maju,” kata Luh Asta, suara lembut namun penuh keyakinan. “Aku tahu, kita semua punya kepentingan yang berbeda. Tapi kita harus bisa menemukan jalan yang bisa menyatukan kita.”
Yovanka mengangguk pelan. “Aku nggak setuju dengan banyak hal yang terjadi selama ini, tapi aku nggak bisa terus menutup mata. Kalau kita terus berdebat, kita akan kehilangan lebih banyak dari yang sudah kita punya.”
Kata-kata mereka, meskipun sederhana, terdengar seperti sebuah titik terang yang lama dicari. Mungkin, dalam kebersamaan mereka, mereka bisa menemukan solusi yang lebih adil.
“Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Nadira, menatap mereka semua.
Arven menatap wajah-wajah yang ada di sekitarnya. Mereka memang berbeda, mereka memang punya pandangan yang tak selalu sama, tetapi ada satu hal yang menyatukan mereka: desa ini. Tanah ini. Mereka yang tinggal di sini. Mereka yang bertahan di bawah langit yang sama.
“Kita perlu bicara lebih banyak. Tentukan apa yang bisa kita kompromikan,” jawab Arven dengan tekad yang baru ditemukan. “Mungkin kita nggak bisa dapat semuanya, tapi kalau kita saling mendengarkan, kita bisa cari jalan tengah.”
Dan, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka semua sepakat. Tidak ada keputusan besar yang tiba-tiba datang, tidak ada solusi instan. Hanya sebuah kesepakatan: untuk tidak berhenti berusaha, untuk tidak menyerah pada perbedaan, dan untuk terus bekerja sama dalam menjaga desa mereka, meskipun dunia di luar sana terus berubah.
Mereka tahu, tantangan yang lebih besar masih menanti. Namun, setidaknya, untuk hari itu, mereka merasa sedikit lebih dekat. Sedikit lebih bersatu. Dan itu adalah langkah pertama yang paling penting.
Di dunia yang penuh dengan perbedaan ini, kadang kita lupa kalau kebersamaan itu lebih penting daripada ego masing-masing. Cerita ini ngasih pelajaran, kalau walau banyak hal yang nggak sesuai harapan, masih ada cara untuk saling mendengarkan dan bekerja bareng demi kebaikan bersama.
Semoga cerita ini bisa ngebuka perspektif kamu, kalau kebersamaan dalam keberagaman itu bukan cuma kata-kata kosong, tapi sesuatu yang bisa diwujudkan dalam tindakan nyata. Kita semua bagian dari perubahan itu, kan?