Kasih Sayang yang Mengalah: Cerita Cinta, Ego, dan Memaafkan dalam Keluarga

Posted on

Jadi gini, kadang hidup itu kayak nggak ada ujungnya deh, penuh banget sama perasaan yang campur aduk. Ada ego, ada cinta, ada yang harus dikorbanin, dan nggak jarang kita harus belajar buat memaafkan.

Cerita ini bakal bawa kamu ke dalam dunia yang penuh dengan kebingungan, tapi juga penuh kasih sayang yang kadang nggak keliatan. Penasaran gimana caranya cinta bisa nyelametin segalanya? Langsung aja baca ceritanya, let’s go!!

 

Kasih Sayang yang Mengalah

Benang yang Terkoyak

Angin sore bertiup pelan di Desa Sulenggara, mengirimkan aroma tanah basah yang baru saja disiram gerimis. Di tepi sawah, Zeral berdiri dengan tangan mengepal, tatapan matanya lurus ke arah Aysha yang berdiri di hadapannya. Langit di atas mereka berwarna jingga, seolah mencerminkan suasana hati keduanya yang mendung oleh amarah.

“Kamu tuh nggak pernah mau dengerin, Aysha!” suara Zeral pecah, menusuk ketenangan sore. Ia menggertakkan giginya, mencoba meredam emosi yang sudah menggelegak.

Aysha balas menatap dengan dagu terangkat. “Aku nggak mau dengerin? Aku? Kamu lupa ya, Kak, siapa yang selalu merasa paling benar di rumah ini?” Nada suaranya tajam, mengiris udara di antara mereka.

Zeral melangkah maju, mendekatkan dirinya ke arah Aysha. “Dengar, Aysha. Kalau kamu nggak pergi ke kota itu dan ngotot ngelakuin apa yang kamu mau, Ayah nggak bakal pergi!”

Aysha terdiam sesaat. Napasnya tersengal, seolah mencari kekuatan untuk membalas. “Jadi sekarang aku penyebabnya, gitu? Ayah pergi karena aku?” Ia tertawa kecil, getir, namun suaranya penuh luka. “Nggak pernah terpikir di otak kamu kalau mungkin Ayah pergi karena capek sama kita berdua?”

Zeral menolehkan wajahnya, menghindari tatapan Aysha yang menuduh. Hatinya mencelos mendengar kata-kata itu, tapi ia tak ingin mengakuinya. Ego menahannya seperti tali yang terlalu kuat untuk dilepaskan.

“Kamu tahu, Aysha,” katanya dengan nada yang lebih rendah, tapi tetap dingin, “aku cuma nggak mau kamu bikin keputusan bodoh yang bisa ngerusak semuanya.”

Aysha melangkah mundur, matanya membulat. “Keputusan bodoh? Aku cuma mau jadi diri aku sendiri! Kamu nggak pernah ngerti itu, kan? Aku benci selalu dianggap salah, Kak. Aku benci dianggap nggak bisa!” Suaranya pecah, dan air mata yang sudah ditahannya sejak tadi mulai mengalir.

Zeral terdiam. Kata-kata Aysha terasa seperti pukulan langsung ke dadanya, tapi ia tetap berdiri tegak. Ia tahu, ada bagian dari dirinya yang terlalu kaku, terlalu keras, dan mungkin… terlalu takut kehilangan kontrol.

“Dengerin aku, Aysha,” Zeral akhirnya berkata, suaranya mulai melembut. “Aku cuma pengen kamu tahu kalau nggak semua hal di dunia ini harus kamu kejar tanpa mikirin orang lain. Kadang, kamu harus mundur sedikit buat lihat semuanya lebih jelas.”

Aysha menunduk. Isakannya pelan tapi terdengar di antara suara gemerisik padi yang diterpa angin. “Aku nggak mau mundur, Kak. Aku cuma mau didengerin. Aku cuma mau kamu percaya sama aku.”

Mata Zeral melunak, tapi mulutnya tetap terkatup rapat. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ego di dadanya berperang dengan rasa sayangnya yang selama ini ia kubur di bawah lapisan sikap tegasnya.

Di rumah, Nyai Salma duduk di teras, memandangi dua anaknya dari kejauhan. Tangannya terus merajut, namun pikirannya melayang pada suaminya yang belum pulang. Hatinya perih melihat bagaimana Zeral dan Aysha, yang dulu tak terpisahkan, kini saling melukai dengan kata-kata.

“Zeral, Aysha, kalian itu dua sisi dari benang yang sama,” gumam Nyai Salma lirih. “Tapi kenapa kalian malah mencoba menariknya ke arah berlawanan?”

Aysha masuk ke dalam rumah dengan mata bengkak. Ia duduk di lantai dekat kaki ibunya, tak berkata apa-apa. Nyai Salma menyentuh kepala Aysha dengan lembut, menyelipkan helaian rambut yang berantakan ke belakang telinganya.

“Kenapa kamu menangis, Nak?” tanyanya dengan nada lembut, meski ia sudah tahu jawabannya.

Aysha menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang baru. “Kak Zeral… dia nggak pernah ngerti aku, Bu. Dia selalu mikir kalau aku nggak bisa ngapa-ngapain. Selalu salah di matanya.”

Nyai Salma tersenyum kecil, matanya menatap jauh ke arah senja yang mulai memudar. “Kamu tahu, Aysha, kasih sayang itu bukan soal siapa yang lebih benar atau lebih salah. Kadang, kasih sayang justru terlihat ketika kita memilih untuk mengalah, bukan untuk menyerang.”

“Tapi aku capek, Bu,” bisik Aysha. “Aku capek jadi yang terus disalahkan.”

Nyai Salma berhenti merajut. Tangannya menggenggam jemari Aysha dengan lembut. “Aysha, setiap benang yang kusut butuh waktu untuk diluruskan. Kamu dan Zeral adalah benang itu. Kalau kamu tarik terlalu kencang, dia akan putus. Tapi kalau kamu terlalu longgar, simpulnya nggak akan pernah rapi.”

Aysha menatap ibunya, mencoba memahami maksud dari kata-kata itu. Hatinya masih berat, tapi ia tahu, ibunya benar. Ia hanya tak tahu bagaimana caranya memulai.

Malam itu, Zeral duduk di kamarnya. Jendela terbuka, angin malam masuk, membawa suara jangkrik dari luar. Ia memandangi bulan di langit, yang bersinar samar di balik awan.

“Mungkin aku terlalu keras,” pikirnya. Tapi bagian lain dari dirinya tetap berbisik, “Kalau aku nggak tegas, Aysha bakal makin kehilangan arah.”

Ego dan rasa kasihnya bertarung di dalam hatinya, sama seperti sore tadi di tepi sawah. Tapi satu hal yang ia tahu, ia tak ingin melihat Aysha menangis lagi.

Malam itu, Desa Sulenggara terdiam. Hanya suara angin dan gemerisik dedaunan yang menemani dua hati yang sama-sama luka, mencoba mencari jalan untuk bertemu di tengah.

 

Jejak di Tengah Gelap

Keesokan paginya, udara di Desa Sulenggara terasa dingin, meskipun matahari sudah naik perlahan di atas bukit. Aysha bangun lebih awal dari biasanya. Langkah kakinya pelan saat melewati ruang tengah, tempat Nyai Salma duduk di kursi goyangnya, seperti biasa, dengan rajutan yang hampir selesai di tangannya.

“Bu, aku mau pergi sebentar,” katanya, tanpa banyak basa-basi.

Nyai Salma mengangkat alis. “Kemana, Aysha?”

Aysha tidak langsung menjawab. Ia memasukkan selembar roti ke dalam tas kecilnya, bersama botol minum. “Nyari Ayah.”

Nyai Salma tertegun. Jemarinya berhenti merajut. “Kamu yakin, Nak? Ayahmu udah pergi lebih dari seminggu. Kita bahkan nggak tahu dia ada di mana.”

Aysha menunduk, tapi tekad di matanya tak pudar. “Aku harus coba, Bu. Kalau nggak, aku nggak akan pernah tenang.”

Nyai Salma memandang putrinya dengan campuran kekhawatiran dan rasa bangga. “Kalau begitu, hati-hati. Jangan sampai tersesat, dan jangan terlalu keras kepala untuk pulang kalau kamu nggak menemukan apa-apa.”

Aysha mengangguk. Ia melangkah keluar rumah, merasa beban berat menggantung di pundaknya. Ayah, di mana kamu? pikirnya sambil berjalan menyusuri jalanan desa yang berkerikil.

Sementara itu, Zeral sudah lebih dulu pergi. Ia meninggalkan rumah bahkan sebelum fajar, dengan sebuah tas berisi perbekalan sederhana. Ia berjalan ke arah utara, menuju hutan kecil yang biasanya menjadi tempat favorit Ayahnya menghabiskan waktu sendirian.

Langkahnya cepat, hampir tergesa-gesa. Tapi di balik sikap tegasnya, ada rasa bersalah yang terus menghantui pikirannya sejak malam tadi. Ayah pergi setelah pertengkarannya dengan Aysha, dan Zeral tak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa ia juga memiliki andil dalam kepergian itu.

“Aku harus nemuin Ayah duluan,” pikir Zeral. Baginya, ini bukan sekadar pencarian, tapi juga kesempatan untuk menebus kesalahannya.

Siang hari, Aysha tiba di pinggir desa. Di sana, jalan mulai menanjak, menuju perbukitan yang jarang dilewati orang. Ia berhenti sejenak untuk minum dan menghapus keringat di dahinya. Pandangannya menyapu sekeliling, mencari tanda-tanda keberadaan Ayah.

“Kalau aku jadi Ayah, ke mana aku akan pergi?” gumamnya pelan. Ia mencoba mengingat kebiasaan Ayahnya, tempat-tempat yang sering ia datangi. Pikiran itu membawanya ke satu kemungkinan: gubuk tua di tengah hutan, tempat Ayah biasa berteduh saat cuaca buruk.

Dengan keyakinan baru, Aysha melanjutkan perjalanan.

Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara geraman pelan di semak-semak. Tubuhnya membeku. Ia menoleh, hanya untuk mendapati seekor anjing liar berdiri beberapa meter darinya, gigi-giginya terlihat tajam.

“Jangan panik, Aysha,” bisiknya pada diri sendiri. Tapi tubuhnya gemetar. Ia mundur perlahan, berharap anjing itu akan pergi. Namun, gerakan kecilnya justru memancing anjing itu mendekat.

“Pergi!” Aysha mencoba mengusirnya dengan suara keras, tapi anjing itu tetap mendekat. Saat ia merasa anjing itu akan menyerang, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki cepat dari arah lain.

“Aysha!”

Zeral muncul dari balik semak-semak dengan sebuah tongkat di tangannya. Ia mengayunkan tongkat itu ke arah anjing liar, membuatnya mundur beberapa langkah sebelum akhirnya lari menjauh.

Aysha menatap Zeral dengan mata lebar. “Kak… kamu ngikutin aku?”

Zeral melempar tongkatnya ke tanah, napasnya masih terengah-engah. “Aku nggak ngikutin kamu. Aku juga nyari Ayah.”

Aysha mendengus, merasa terganggu oleh kehadiran kakaknya. “Kenapa kamu selalu ngerasa harus ikut campur, sih?”

“Karena kamu nggak bisa jaga diri sendiri!” Zeral balas membentak. Tapi ada kekhawatiran dalam suaranya yang tak bisa ia sembunyikan.

Aysha mengalihkan pandangannya. “Aku nggak perlu kamu jagain. Aku bisa sendiri.”

Zeral menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Aysha, ini bukan soal bisa atau nggak. Kalau terjadi sesuatu sama kamu, aku nggak bakal bisa maafin diri aku.”

Kata-kata itu membuat Aysha terdiam. Ia tak pernah mendengar Zeral berbicara seperti itu sebelumnya. Selalu ada jarak di antara mereka, seolah kasih sayang kakaknya hanya bisa ia rasakan dalam bentuk larangan dan teguran. Tapi kali ini, nada suaranya berbeda.

“Kalau kamu bener-bener peduli, kenapa kamu nggak pernah tunjukin?” bisik Aysha pelan, hampir tak terdengar.

Zeral menatapnya, tapi tak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah dan melangkah melewati Aysha. “Ayo. Kita jalan bareng. Gubuk itu masih jauh.”

Aysha tertegun, tapi ia tak punya tenaga untuk berdebat lagi. Ia mengikuti langkah kakaknya dalam diam, menyadari bahwa untuk pertama kalinya, mereka menuju tujuan yang sama, meskipun dengan cara yang berbeda.

Di dalam hutan, perjalanan mereka dipenuhi keheningan. Kadang-kadang, Zeral akan berhenti untuk memastikan jalan yang mereka lewati aman. Aysha, meskipun masih kesal, tak bisa menyangkal rasa aman yang ia rasakan di dekat kakaknya.

Saat matahari mulai tenggelam, mereka akhirnya tiba di gubuk tua. Pintu gubuk terbuka sedikit, dan di dalamnya terlihat jejak kaki yang masih baru.

“Kayaknya Ayah pernah di sini,” bisik Zeral.

Aysha melangkah masuk, hatinya penuh harapan. Tapi gubuk itu kosong. Tak ada Ayah, hanya beberapa barang yang terlihat seperti milik seorang pengembara: sepasang sandal rusak, botol air setengah penuh, dan secarik kain yang robek.

“Kita terlambat,” kata Aysha dengan nada kecewa.

Zeral mengangguk pelan. “Tapi jejaknya belum jauh. Besok pagi, kita bisa lanjut nyari.”

Mereka memutuskan untuk bermalam di gubuk itu. Aysha duduk di sudut, memeluk lututnya, sementara Zeral menyalakan api kecil untuk menghangatkan ruangan.

Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka berbagi keheningan yang tak lagi penuh kebencian.

 

Langkah yang Terlambat

Malam di tengah hutan terasa lebih kelam dari biasanya. Aysha duduk di sudut gubuk, menatap nyala api yang bergoyang tertiup angin. Zeral duduk di dekat pintu, mengasah pisau kecil yang selalu ia bawa di perjalanan. Keheningan di antara mereka hampir terasa mencekam, tetapi tak ada yang berani memecahnya.

Aysha akhirnya membuka suara. “Kak, kamu beneran nggak marah sama Ayah?”

Zeral berhenti mengasah pisau, menatap adiknya sejenak sebelum kembali fokus ke benda di tangannya. “Marah. Tapi marah itu nggak berarti aku pengen dia pergi. Ayah adalah Ayah.”

Aysha menggigit bibirnya, tak yakin harus berkata apa. Kata-kata Zeral selalu terasa sederhana, tapi berat.

“Aku cuma nggak ngerti kenapa Ayah pergi gitu aja. Kayaknya dia nggak peduli sama kita…” suaranya mulai bergetar.

Zeral menghela napas panjang. Ia meletakkan pisaunya dan menatap Aysha dengan serius. “Aysha, kamu pikir Ayah nggak peduli? Kalau nggak peduli, dia nggak akan pernah ngajarin kita cara bertahan. Dia nggak akan repot-repot bikin kita ngerti dunia ini.”

“Tapi kenapa dia ninggalin kita, Kak?” Aysha menatap kakaknya dengan mata basah. “Apa salah aku?”

Zeral merasakan hatinya berdenyut nyeri. Ia ingin marah, ingin mengingatkan Aysha bahwa ini bukan soal salah siapa, tapi ia tahu adiknya membutuhkan jawaban, bukan kemarahan.

“Ayah pergi bukan karena kamu salah,” katanya pelan. “Mungkin dia cuma… butuh waktu.”

Aysha terdiam. Ia tahu kakaknya mencoba menghiburnya, tapi kata-kata itu tak bisa menghapus rasa sakit yang terus menghantui hatinya.

Pagi tiba dengan suara burung yang bersahutan di antara pepohonan. Zeral sudah bangun lebih awal, menyiapkan sisa perbekalan mereka. Ia memastikan Aysha makan secukupnya sebelum mereka melanjutkan perjalanan.

“Hari ini kita ikutin jejak ke arah barat,” kata Zeral sambil memeriksa bekas langkah kaki di tanah. “Ayah kayaknya nggak jauh dari sini.”

Aysha mengangguk, meski tubuhnya terasa lelah. Semangatnya untuk menemukan Ayah masih mengalahkan segalanya.

Mereka berjalan dalam diam, sesekali berhenti untuk memeriksa jejak atau mendengar suara dari kejauhan. Tapi saat matahari mulai naik, mereka tiba di sebuah sungai yang arusnya deras. Jejak yang mereka ikuti berhenti di tepi air.

“Kak, apa Ayah nyebrang sungai ini?” tanya Aysha ragu.

Zeral menatap arus deras di depan mereka, mencoba mencari tanda-tanda. “Mungkin aja. Tapi kita harus hati-hati.”

Ia menoleh ke arah Aysha, lalu menarik napas dalam. “Aku duluan. Kalau aman, kamu nyusul.”

Aysha ingin membantah, tapi ia tahu Zeral tak akan mengubah keputusannya. Dengan hati-hati, ia memperhatikan kakaknya melangkah ke batu-batu licin yang menonjol di tengah arus. Zeral bergerak perlahan, memastikan pijakannya kuat sebelum melangkah lagi.

Namun, saat ia hampir sampai di seberang, sebuah batu yang ia injak tergelincir. Zeral terjatuh ke dalam air, tubuhnya terseret arus sebelum ia berhasil meraih akar pohon yang mencuat di tepi sungai.

“Kak!” Aysha berteriak, panik. Ia berlari di sepanjang tepi sungai, mencoba mendekati kakaknya.

Zeral mengangkat tangan, memintanya tetap di tempat. “Aku nggak apa-apa! Jangan lompat!” teriaknya.

Dengan susah payah, Zeral menarik dirinya keluar dari air. Pakaiannya basah kuyup, dan ia terlihat kelelahan, tapi masih mampu berdiri.

Aysha segera mendekatinya. “Kamu nggak apa-apa?”

Zeral mengangguk sambil mengatur napas. “Aku baik-baik aja. Tapi sepertinya kita nggak bisa nyebrang lewat sini.”

Mereka akhirnya memutuskan untuk berjalan menyusuri sungai, mencari tempat yang lebih aman untuk menyeberang.

Saat hari mulai sore, mereka menemukan sebuah pondok kecil di tepi sungai. Pondok itu tampak seperti milik seorang petani atau nelayan, dengan alat-alat sederhana bersandar di dindingnya.

“Aysha, coba lihat ini,” panggil Zeral dari dalam pondok.

Aysha masuk dan menemukan Zeral memegang sebuah topi jerami yang biasa dipakai Ayah mereka. Topi itu sedikit kotor, tetapi tidak rusak.

“Itu… punya Ayah,” bisik Aysha, hampir tak percaya.

“Berarti Ayah pernah di sini,” kata Zeral sambil menatap sekeliling. “Tapi kenapa dia ninggalin ini?”

Mereka memeriksa pondok itu dengan cermat, tetapi tak menemukan tanda-tanda lain. Seolah-olah Ayah hanya singgah sebentar sebelum melanjutkan perjalanannya.

“Kenapa Ayah selalu ninggalin jejak setengah-setengah?” Aysha mengeluh, frustrasi.

Zeral menatap adiknya dengan sabar. “Mungkin Ayah mau kita nyari dia. Atau mungkin dia sendiri nggak tahu apa yang dia cari.”

Malam itu, mereka memutuskan untuk bermalam di pondok. Tapi saat Aysha duduk sendiri di luar, menatap bintang-bintang, pikirannya terus dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.

Sementara itu, di kejauhan, seorang pria duduk di bawah pohon besar, memandang ke arah langit yang sama. Topi jerami lain bertengger di lututnya, dan di wajahnya tergambar kelelahan yang mendalam.

“Aku tahu kalian nyari aku,” gumamnya, hampir seperti berbicara pada angin. “Tapi… aku belum siap pulang.”

Malam semakin larut, tetapi jejak mereka masih belum selesai.

 

Kembali ke Rumah

Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Aysha dan Zeral telah kembali melanjutkan perjalanan mereka setelah tidur semalam di pondok kecil. Meski Zeral terlihat kelelahan, semangatnya tetap menyala, seolah setiap langkah adalah sebuah harapan. Namun, Aysha bisa merasakan adanya ketegangan yang tak terucapkan antara mereka berdua.

“Aku nggak bisa terus kayak gini, Kak,” kata Aysha setelah berjalan beberapa saat dalam diam. “Aku butuh jawaban. Aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang Ayah yang nggak jelas.”

Zeral berhenti dan menoleh ke adiknya. Untuk pertama kalinya, Aysha melihat wajah kakaknya yang penuh keraguan. Biasanya Zeral selalu tampak kuat, tak pernah terlihat goyah, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih manusiawi, lebih rapuh.

“Kamu…,” Zeral mulai, suaranya rendah. “Kamu benar. Kita nggak bisa terus begini. Tapi, Aysha, kita harus paham satu hal. Kita nggak akan pernah bisa sepenuhnya mengerti kenapa Ayah bertindak seperti itu. Dia… dia punya alasan, meski kita nggak tahu apa itu.”

Aysha menunduk, perasaan yang campur aduk kembali merasuki hatinya. “Aku cuma capek, Kak. Capek nyari dan merasa seolah-olah dia nggak peduli sama kita.”

Zeral menghela napas panjang. Ia tahu adiknya sudah cukup banyak menanggung beban yang berat. “Aysha, aku juga capek. Tapi aku nggak bisa biarkan kamu terus berpikir kalau Ayah nggak sayang sama kita. Dia cuma punya cara yang beda untuk menunjukkan itu.”

Aysha mengangkat wajahnya. Matanya yang biasanya penuh keraguan kini mulai menyala dengan sedikit harapan. “Kamu yakin?”

Zeral mengangguk. “Aku yakin. Walaupun kadang-kadang kita merasa tersisih, kasih sayang itu nggak selalu harus terlihat dengan cara yang kita mau. Itu bisa datang dengan cara yang kita nggak harapkan. Tapi itu tetap ada.”

Mereka melanjutkan perjalanan, kali ini dengan langkah yang lebih tenang. Mereka berjalan lebih cepat, lebih fokus, seakan-akan mereka bisa merasakan bahwa jawaban mereka semakin dekat. Setelah beberapa jam, mereka akhirnya sampai di sebuah lembah yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Di ujung lembah, sebuah rumah kecil tampak berdiri kokoh. Rumah itu sederhana, dengan jendela-jendela kecil yang terbuat dari kayu, namun terasa hangat dari kejauhan.

Aysha menatap rumah itu, merasakan getaran yang kuat di dadanya. “Kak, itu…”

Zeral melihat ke arah yang ditunjuk adiknya. Matanya terfokus pada rumah itu, dan tiba-tiba ada rasa familiar yang mendorong langkahnya maju. “Itu rumah Ayah,” katanya pelan, hampir tak percaya.

Aysha merasa hatinya berdebar. “Kita akhirnya sampai.”

Mereka berjalan mendekati rumah itu, dan saat Zeral mengetuk pintu, Aysha bisa merasakan kekuatan yang luar biasa dalam keteguhan kakaknya. Tidak ada keraguan, tidak ada kebimbangan.

Pintu terbuka perlahan, dan di baliknya berdiri seorang pria dengan wajah yang sangat familiar—wajah Ayah mereka. Wajah itu terlihat lebih tua, lebih lelah, dan ada jejak waktu yang mengukir kisahnya. Namun, tatapan matanya tetap tajam, penuh tekad.

“Ayah…” suara Aysha bergetar saat ia memanggilnya.

Pria itu memandang mereka, ada keheningan sejenak sebelum ia berbicara. “Ayah tahu kalian akan datang.”

Zeral melangkah maju, tak ingin ragu lagi. “Kenapa kamu pergi, Ayah? Kenapa Ayah ninggalin kami?”

Ayah mereka menatap Zeral dengan tatapan yang dalam. “Ayah nggak pergi, Zeral. Ayah cuma… harus mencari jalan yang benar.”

Aysha dan Zeral bertukar pandang, kebingungannya semakin besar. “Jalan yang benar?” tanya Aysha. “Apa maksudm, Ayah?”

Ayah mereka menghela napas, lalu mengajak mereka masuk ke dalam rumah. Setelah duduk, pria itu memulai ceritanya.

“Ayah tahu Ayah membuat kalian bingung,” katanya dengan suara pelan, “Tapi Ayah harus pergi mencari jawaban untuk diri Ayah sendiri. Ayah merasa jika Ayah tetap tinggal, aku nggak akan bisa menjadi Ayah yang kamu harapkan. Ayah terlalu banyak bawa beban, terlalu banyak hal yang belum selesai. Ayah nggak mau kalian jadi korban dari kesalahan yang Ayah buat.”

Aysha menatap Ayah mereka dengan mata berkaca-kaca. “Jadi, Ayah pergi karena itu?”

Ayah mereka mengangguk. “Ayah pergi karena aku harus menyelesaikan diriku dulu. Ayah tahu itu egois, tapi itu satu-satunya cara yang Ayah tahu untuk bisa kembali lebih baik.”

Zeral diam sejenak, kemudian ia berbicara dengan suara yang lebih lembut. “Kami nggak pernah meminta Ayah untuk berubah. Kami cuma… ingin Ayah ada di sini.”

Ayah mereka menundukkan kepala. “Ayahtahu. Dan aku minta maaf. Kalau saja Ayah bisa kembali lebih cepat, mungkin semuanya nggak akan seperti ini.”

Aysha meraih tangan Ayahnya dengan lembut, merasakan adanya kehangatan yang selama ini hilang. “Ayah kembali saja. Itu sudah cukup.”

Zeral menambahkan dengan penuh kasih sayang, “Kami tetap akan ada untuk Ayah. Apapun yang terjadi.”

Ayah mereka menatap kedua anaknya dengan air mata yang hampir menetes. “Terima kasih. Ayah nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tapi Ayah janji, Ayah nggak akan meninggalkan kalian lagi.”

Malam itu, di rumah kecil yang sederhana itu, mereka duduk bersama. Tanpa kata-kata yang lebih besar, hanya ada kehadiran yang saling mengisi. Sebuah keluarga yang akhirnya saling menemukan satu sama lain, meskipun mereka tahu jalan yang telah mereka lalui penuh dengan tantangan dan kesalahpahaman. Namun yang terpenting adalah mereka kini mengerti bahwa kasih sayang tak selalu datang dengan cara yang sempurna, tapi dengan ketulusan dan pengertian yang tulus.

Dan di tengah api yang menyala, mereka akhirnya belajar bahwa dalam perjalanan hidup, ada momen-momen di mana kita harus memaafkan dan mengalah demi cinta yang lebih besar.

 

Jadi, terkadang kita harus melalui jalan yang berliku, penuh ego dan perasaan yang tersakiti, sebelum akhirnya kita bisa menemukan makna sejati dari kasih sayang.

Kadang, hal terbaik yang bisa kita lakukan bukanlah mencari kesempurnaan, tapi belajar memaafkan dan menerima satu sama lain. Mungkin perjalanan nggak selalu mudah, tapi selama kita ada untuk satu sama lain, semuanya bisa jadi lebih berarti.

Leave a Reply