Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya pernah nggak sih kepikiran kalau kenakalan di sekolah ternyata bisa jadi momen yang bikin haru? Nah, cerita Arkan dan gengnya ini bakal bikin kamu ketawa sekaligus terharu.
Dari rencana bikin kejutan kecil sampai menghadirkan hadiah spesial untuk para guru, semuanya dikemas dalam kisah penuh perjuangan dan emosi. Yuk, baca sampai habis, karena cerita ini nggak cuma seru, tapi juga mengingatkan kita untuk menghargai orang-orang yang berjasa dalam hidup kita!
Kenakalan Manis Arkan
Misi Rahasia Walkie-Talkie
Pagi itu, aku datang ke sekolah dengan ransel yang lebih berat dari biasanya. Di dalamnya, aku membawa sesuatu yang, menurutku, bakal bikin hari ini lebih seru: walkie-talkie bekas yang aku temukan di pasar loak minggu lalu. Saat aku pertama kali melihat benda itu, ide gila langsung muncul di kepalaku. Ini bukan sekadar alat komunikasi biasa; ini tiket menuju sebuah petualangan yang nggak pernah dicoba siapa pun di SMA Garuda Nusantara.
“Apa yang kamu bawa kali ini, Kan?” tanya Rizky, sahabatku yang setia tapi selalu skeptis dengan ide-ide gilaku. Ia duduk di bangku paling belakang kelas, tempat favorit kami untuk mengatur strategi.
Aku tersenyum penuh kemenangan sambil membuka ransel dan mengeluarkan walkie-talkie itu. “Ini, bro, adalah alat utama untuk ‘Misi Rahasia’ kita.”
Rizky mendekat, matanya memicing, menatap benda itu dengan penuh curiga. “Dan, misi apa sekarang yang ada di otak ajaibmu kali ini?”
Aku meletakkan walkie-talkie di meja, menarik napas, lalu menjelaskan rencana besarku. “Kita akan pasang satu walkie-talkie untuk di ruang guru. Dengan ini, kita bisa dengar apa yang mereka bicarakan. Bukan buat hal jahat, santai aja. Gue cuma pengen tahu rahasia kecil mereka. Misalnya, makanan favorit atau kebiasaan unik mereka. Siapa tahu, kita bisa pakai itu untuk bikin kejutan di Hari Guru.”
Rizky mengangkat alis, tampak setengah tertarik, setengah ragu. “Kamu yakin ini bakal berhasil? Guru-guru di sini bukan orang yang gampang dikerjain.”
“Itulah serunya, bro!” jawabku antusias. “Kalau gampang, namanya bukan Arkan yang ngerjain.”
Rizky akhirnya menyerah. “Oke, gue ikut. Tapi kalau ketahuan, jangan harap gue mau disalahin, ya!”
Dengan cepat, aku merekrut beberapa teman lain untuk ikut misi ini. Ada Iqbal, yang terkenal jago menyelinap tanpa ketahuan; Shania, si cewek pintar yang selalu punya ide brilian; dan Dimas, yang suka bikin suasana jadi lebih ramai dengan leluconnya. Kami semua berkumpul di belakang kelas saat jam istirahat untuk membahas detail misi.
“Jam kosong nanti, kita mulai operasi. Gue bakal pura-pura ke ruang guru buat naruh ini di bawah meja Bu Winda,” kataku sambil menunjuk walkie-talkie yang sudah kubungkus dengan kain hitam agar nggak mencolok.
“Kain hitam itu nggak akan bikin benda ini makin terlihat mencurigakan?” tanya Shania dengan nada setengah bercanda.
Aku tertawa. “Kalau gitu, lo aja yang nyamarkan, Sha. Gue percaya lo pasti punya cara.”
Dan benar saja, Shania punya ide cemerlang. Dia membungkus walkie-talkie itu dengan kertas putih dan menempelkannya di bagian bawah meja dengan selotip bening. Sekilas, benda itu terlihat seperti alat sekolah biasa.
Ketika jam kosong tiba, kami bergerak. Aku dan Rizky masuk ke ruang guru dengan alasan mengambil kertas tugas yang sengaja aku tinggal di meja Bu Winda pagi tadi. Shania dan Iqbal berjaga di lorong, memastikan tidak ada guru lain yang datang.
“Arkan, cepet, taruh di situ!” bisik Rizky, yang wajahnya sudah setengah panik.
Dengan gerakan cepat, aku menempelkan walkie-talkie itu di bawah meja, memastikan posisinya tersembunyi tapi tetap bisa menangkap suara. Selesai! Misinya sukses, dan kami berhasil keluar dari ruang guru tanpa ketahuan.
Di gudang olahraga, tempat persembunyian kami, aku menyalakan walkie-talkie yang satunya lagi. Suaranya jernih, meskipun ada sedikit statis. Awalnya, hanya terdengar suara berisik dari kertas dan langkah kaki. Tapi tak lama, suara Bu Winda terdengar jelas.
“Aduh, pengen banget makan es krim yang stroberi sekarang,” katanya dengan nada yang santai.
Aku langsung berseru pelan, “Gotcha! Es krim stroberi untuk Bu Winda. Kita mulai dengan itu!”
Semua temanku tertawa kecil, tapi ada juga rasa lega di wajah mereka. Ini baru langkah pertama, dan semuanya berjalan lancar. Namun, aku tahu ini baru permulaan. Tantangan yang lebih besar pasti menunggu.
Dalam hati, aku merasa puas. Mungkin bagi sebagian orang, ini cuma kenakalan kecil. Tapi bagiku, ini adalah cara untuk membuat sesuatu yang spesial di sekolah, menciptakan kenangan yang nggak akan kami lupakan. Dan, tentu saja, ini baru awal dari sebuah “Misi Rahasia” kami.
Operasi Penyusupan ke Ruang Guru
Ketika bel istirahat kedua berbunyi, kami semua berkumpul di belakang lapangan olahraga, tepat di pojok dekat gudang yang jarang dilewati orang. Udara terasa panas, tapi adrenalin di dalam tubuhku membuat semuanya terasa lebih dingin. Walkie-talkie pertama sudah terpasang dengan sempurna di ruang guru, dan sekarang kami hanya perlu memastikan rencana lanjutan berjalan mulus.
“Apa kita beneran nggak bakal ketahuan, Kan?” tanya Rizky sambil menggulung lengan bajunya. Keringat di dahinya menunjukkan bahwa dia lebih tegang daripada yang terlihat.
“Bro, tenang aja. Ini kan gue yang rancang,” jawabku santai sambil mengedipkan mata. Sebenarnya, jantungku juga berdetak lebih cepat dari biasanya, tapi aku nggak mau terlihat ragu di depan tim.
Shania menepuk bahu Rizky. “Santai, Ky. Gue yang jaga lorong, kok. Kalau ada guru yang mau masuk, gue langsung kasih sinyal.”
Dengan itu, kami semua mengambil posisi. Iqbal, yang punya reputasi sebagai “bayangan” karena kemampuannya menyelinap tanpa suara, mengambil tugas menyusup ke ruang guru sekali lagi untuk memastikan walkie-talkie tetap di tempatnya. Aku dan Rizky akan masuk dengan alasan mencari buku tugas, sama seperti sebelumnya.
Skenario berjalan lancar ketika kami mulai mendekati ruang guru. Shania berdiri di ujung lorong, pura-pura mengecek papan pengumuman, sementara Dimas duduk di tangga, memainkan bola pingpong seolah-olah dia tak peduli dunia. Semuanya tampak biasa.
Namun, begitu kami sampai di depan pintu ruang guru, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakang.
“Arkan, Rizky, lagi ngapain kalian di sini?”
Itu suara Pak Sandi. Guru fisika dengan tatapan tajam dan postur tinggi yang selalu bikin murid-murid ciut. Aku menoleh perlahan, mencoba tetap tenang.
“Oh, Pak Sandi! Kami cuma mau ambil buku tugas yang tadi saya tinggal di meja Bu Winda,” jawabku dengan senyum selebar mungkin.
Pak Sandi memandangi kami dengan alis yang terangkat. “Hmm. Kalau cuma itu, jangan lama-lama, ya. Saya mau rapat di sana sebentar lagi.”
“Siap, Pak!” sahut Rizky dengan suara yang terdengar lebih tinggi dari biasanya. Aku harus menahan diri agar tidak tertawa mendengar nada paniknya.
Kami segera masuk ke ruang guru. Begitu berada di dalam, aku langsung mencari-cari buku tugas yang sebenarnya sudah kubawa keluar tadi pagi. Sementara itu, Iqbal merangkak di bawah meja, memastikan walkie-talkie tetap terpasang rapi. Gerakannya cepat dan senyap, membuatku kagum seperti biasa.
Namun, ketegangan meningkat ketika aku mendengar langkah kaki mendekat. Aku melirik ke arah Rizky, yang tiba-tiba membeku.
“Cepet, Bal! Ada yang mau masuk!” bisikku sambil berpura-pura merapikan tumpukan kertas di atas meja.
Iqbal selesai tepat waktu. Dia menyelinap keluar dari ruang guru melalui pintu samping, sementara aku dan Rizky pura-pura sibuk mencari buku. Saat pintu utama terbuka, kami melihat Pak Sandi masuk.
“Kalian masih di sini?” tanyanya dengan nada curiga.
“Ini, Pak! Udah ketemu bukunya,” jawabku sambil mengangkat buku tugas dengan penuh semangat. “Kami pamit dulu, ya, Pak.”
Pak Sandi hanya mengangguk, tapi tatapannya mengikuti kami sampai keluar pintu. Begitu kami kembali ke tempat persembunyian, Shania langsung menyambut dengan tangan di pinggang.
“Kalian nggak tau betapa deg-degannya gue di sini! Pak Sandi nyaris nyergap kalian!” katanya dengan nada kesal.
“Tapi gue berhasil, kan?” balas Iqbal dengan senyum bangga. “Walkie-talkie-nya masih di tempat, aman.”
Aku mengangkat tangan untuk memberi high-five ke Iqbal. “Kerja bagus, bro! Tim ini emang nggak ada matinya.”
Malam itu, di rumah, aku memikirkan kembali semua yang telah kami lakukan. Perasaan senang bercampur bangga, tapi juga ada rasa gugup memikirkan apa yang mungkin terjadi kalau misi ini ketahuan. Tapi di balik itu semua, aku tahu bahwa ini bukan hanya soal kenakalan semata. Aku ingin membuat sesuatu yang berarti untuk guru-guru di sekolah ini, meskipun caranya sedikit di luar kebiasaan.
Perjuangan kami baru dimulai. Dan aku nggak sabar untuk melihat ke mana semua ini akan membawa kami.
Kisah Es Krim Stroberi yang Salah Sasaran
Hari berikutnya, aku dan tim memutuskan untuk melanjutkan misi kami: memberikan es krim stroberi sebagai kejutan kecil untuk Bu Winda. Setelah mendengar percakapannya lewat walkie-talkie, aku yakin ini bakal jadi cara yang manis untuk menunjukkan apresiasi kami, tanpa terkesan terlalu formal.
“Jadi, siapa yang bakal beli es krimnya?” tanya Rizky sambil melirikku.
“Lo aja, Ky. Lo kan yang paling deket sama kantin,” jawabku santai sambil menyengir.
Rizky mengerutkan dahi, tapi akhirnya setuju. Dia pergi ke kantin dengan uang patungan dari kami semua. Sementara itu, aku, Shania, Iqbal, dan Dimas kembali ke tempat persembunyian di belakang gudang olahraga untuk memastikan rencana kami berjalan mulus.
Beberapa menit kemudian, Rizky kembali dengan dua cup es krim stroberi. “Nih, aman,” katanya sambil menyerahkan sebuah es krim itu. “Tapi gue nggak ngerti, kenapa dua? Kan Bu Winda cuma satu orang.”
“Yang satu buat jaga-jaga kalau ada guru lain yang ngeliat. Kita nggak mau bikin mereka curiga,” jawab Shania sambil mengambil salah satu cup dan menempelkannya ke pipinya. “Dingin banget! Cepetan, Kan, rencana lo apaan?”
Aku menjelaskan dengan detail. “Kita taruh es krim ini di atas meja Bu Winda, dan kita kasih sebuah catatan kecil: ‘Dari pengagum rahasia.’ Simpel, tapi pasti bikin dia senyum.”
“Dan kalau sampe ketahuan, lo pikir siapa yang bakal dituduh yang jadi ‘pengagum rahasia’ itu?” tanya Dimas sambil menyilangkan tangannya di dada.
“Gue yakin nggak bakal ada yang nyangka kita,” balasku percaya diri. “Yang penting, kita lakuin ini cepat dan rapi.”
Ketika bel istirahat berbunyi, aku dan Rizky bergerak. Kali ini, kami memilih waktu yang lebih aman: saat guru-guru biasanya keluar untuk makan siang. Dengan hati-hati, kami menyelinap ke ruang guru, membawa es krim dan secarik kertas kecil yang sudah ditulis Shania tadi pagi.
Di meja Bu Winda, aku meletakkan cup es krim pertama, lengkap dengan catatan kecil. Sementara itu, Rizky menaruh cup kedua di meja sebelah, yang ternyata adalah meja Pak Sandi.
“Ky, lo ngapain? Itu kan meja.”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Rizky menarikku keluar dari ruang guru. “Santai aja, Kan. Dia pasti mikir itu buat orang lain,” katanya dengan nada meyakinkan.
Aku nggak yakin, tapi kami nggak punya waktu untuk kembali dan memperbaikinya. Jadi, kami kembali ke tempat persembunyian, berharap rencana ini berjalan sesuai ekspektasi.
Beberapa jam kemudian, berita soal “es krim misterius” mulai menyebar di kalangan guru. Dari walkie-talkie yang masih kami gunakan, kami mendengar suara Bu Winda.
“Siapa, ya, yang ngasih ini? Manis banget, sampai dikasih catatan segala. Tapi… siapa yang juga naruh es krim di meja Pak Sandi?”
Aku langsung menoleh ke arah Rizky, yang wajahnya berubah menjadi pucat. “Kan gue bilang, nggak bakal apa-apa,” gumamnya pelan.
Tak lama kemudian, suara Pak Sandi terdengar melalui walkie-talkie. “Es krim ini enak, tapi kenapa nggak bilang langsung kalau ini dari murid? Saya nggak suka kejutan begini.”
Semua orang di tempat persembunyian menahan tawa. Bayangan Pak Sandi yang biasanya serius sekarang sedang makan es krim stroberi membuat kami nyaris terbahak.
Namun, masalahnya datang lebih cepat dari yang kami duga. Setelah jam pelajaran terakhir, Pak Sandi memanggil Rizky ke ruang guru. Kami semua panik.
“Lo ketahuan, Ky?” tanya Dimas dengan wajah khawatir.
Rizky mengangkat bahu. “Gue nggak tahu. Tapi gue nggak bakal ngomong apa-apa soal kalian.”
Aku nggak tega membiarkan Rizky menghadapi masalah ini sendirian, jadi aku memutuskan untuk ikut ke ruang guru. Di depan pintu, aku mengetuk dan masuk bersama Rizky.
“Pak Sandi, maaf, kalau soal es krim itu…” aku berhenti sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Itu ide saya. Kami cuma ingin bikin kejutan kecil untuk Bu Winda, tapi malah jadi salah meja.”
Pak Sandi menatap kami dengan ekspresi datar, tapi kemudian senyumnya muncul perlahan. “Jadi kalian pelakunya? Kalian tahu, meskipun ini agak aneh, saya menghargai niat kalian.”
Aku dan Rizky saling bertukar pandang, setengah tak percaya.
“Tapi lain kali, kalau mau bikin sebuah kejutan, coba lebih terorganisir, ya. Jangan sampai salah target lagi,” lanjut Pak Sandi.
“Siap, Pak!” jawabku cepat.
Ketika kami keluar dari ruang guru, perasaan lega memenuhi dadaku. Rizky langsung memukul pundakku pelan. “Gue bilang juga, kan, tapi lo aja yang ngaku. Untung lo lakuin itu.”
Hari itu, aku belajar bahwa rencana sebaik apa pun bisa saja meleset. Tapi yang paling penting, kami tetap satu tim, dan perjuangan ini membuat kenakalan kami terasa lebih bermakna. Dan, meskipun kami sempat panik, pada akhirnya, es krim stroberi itu berhasil membawa senyum ke wajah Bu Winda dan, secara tak sengaja, ke Pak Sandi juga.