Daftar Isi
Jadi gini, ceritanya tentang dua orang yang udah lelah banget, tapi nggak mau nyerah. Mereka udah jatuh, tersesat, dan merasa seakan-akan semuanya udah selesai.
Tapi, siapa sangka? Cinta itu bisa jadi kayak bola yang kadang terhempas, tapi tetep bisa melantun kembali. Kalau kamu pikir hubungan itu cuma soal bahagia, mungkin cerita ini bakal bikin kamu mikir dua kali.
Cinta yang Bangkit Kembali
Jejak Sepatu di Lorong Tua
Lorong apartemen itu gelap, lampu-lampunya hanya menyala separuh. Suara langkah sepatu bergema di sela keheningan. Maira berhenti di depan pintu nomor 308, napasnya tertahan. Ia merasakan dinginnya kunci logam yang ia genggam, tapi tangannya tidak bergerak mengetuk.
Pintu itu sudah familiar. Begitu familiar hingga setiap retakannya seperti membawa kembali kenangan yang ingin ia lupakan—atau justru ia rindukan.
“Apa aku harus mengetuk? Apa aku harus bilang sesuatu? Apa aku malah akan diusir?” pikirnya.
Namun, sebelum ia sempat memutuskan, pintu itu mendadak terbuka. Damar berdiri di sana, mengenakan kaos putih kusut dan celana tidur yang warnanya sudah pudar. Rambutnya acak-acakan, wajahnya terlihat lelah, tapi matanya… matanya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Maira?” Damar mengucapkan nama itu dengan nada datar, seolah-olah tidak percaya tapi juga tidak ingin memercayainya.
“Hai…” Maira mencoba tersenyum, tapi senyum itu lebih menyerupai garis tegang. “Kamu kelihatan… capek.”
Damar mengangkat satu alisnya. “Kalau aku kelihatan capek, kenapa kamu ke sini?”
“Aku cuma mau bicara. Itu saja.”
Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap. Lalu, Damar membuka pintu lebih lebar. “Masuk.”
Ruangan itu kecil, dengan dinding yang catnya mulai mengelupas di beberapa bagian. Sebuah sofa tua berwarna abu-abu mendominasi ruangan, dikelilingi oleh buku-buku yang berserakan di lantai. Di sudut, ada meja kerja kecil dengan kamera, lensa, dan laptop yang tertutup.
Maira duduk di sofa, menepuk-nepuk debu yang menempel pada kainnya. Damar mengambil posisi di lantai, menyandarkan punggungnya pada dinding.
“Jadi, kamu ke sini cuma mau bicara? Tentang apa?” tanya Damar. Tangannya terlipat di dada, tatapannya kosong.
“Dam, aku…” Maira mencoba memulai, tapi suaranya terputus. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Aku nggak jadi menikah.”
Damar mengangkat wajahnya sedikit. “Dan itu urusanku karena…?”
Maira menunduk, memainkan ujung jaketnya yang sudah kusut. “Aku nggak tahu harus ke mana lagi. Aku cuma… aku cuma pengen kamu tahu.”
Damar tertawa kecil, tapi tawa itu dingin. “Kamu nggak jadi menikah, terus kamu pikir aku bakal ngucapin selamat? Atau kamu pikir aku bakal ngerasa lebih baik gara-gara itu?”
“Dam, aku nggak datang ke sini buat minta apa-apa,” kata Maira, mencoba tetap tenang meski dadanya sesak. “Aku cuma—aku cuma pengen bilang kalau aku nyesel.”
Damar menggelengkan kepala, lalu berdiri. Ia berjalan menuju jendela dan membukanya, membiarkan angin malam masuk. “Nyesel? Kamu nyesel karena apa, Maira? Karena ninggalin aku waktu aku paling butuh kamu? Atau nyesel karena akhirnya kamu sadar, aku nggak bakal ada di sana lagi buat nyelametin kamu?”
“Dam, aku serius.” Suara Maira mulai terdengar gemetar.
“Serius? Kamu serius sekarang, Maira?” Damar menatapnya dengan tatapan yang menusuk. “Kamu datang ke sini, setelah dua tahun, dan bilang kamu nyesel. Apa yang kamu harap aku lakukan? Peluk kamu? Bilang aku juga kangen kamu?”
Ruangan itu terasa semakin sempit dengan setiap kata yang keluar dari mulut Damar. Tapi Maira tidak bergerak. Ia tahu ia pantas menerima semua itu.
“Aku nggak nyari simpati kamu, Dam. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku bikin kamu hancur.” Maira berdiri, mencoba mendekati Damar. “Tapi aku nggak tahu harus apa lagi. Aku cuma tahu satu hal: aku nggak bisa terus pura-pura hidupku baik-baik aja tanpa kamu.”
Damar menatapnya lama. Hening mengisi ruangan, hanya suara angin malam yang terdengar. Lalu, Damar berbalik, kembali duduk di lantai dengan tatapan letih.
“Kamu terlambat, Maira,” gumamnya.
Maira menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. “Aku tahu. Tapi kalau aku terlambat, aku nggak akan ada di sini sekarang.”
Damar tidak menjawab. Ia hanya menatap jam dinding, seolah-olah mencoba menghitung waktu yang hilang.
Maira mengambil langkah kecil mendekat, duduk di lantai di depannya. “Dam, aku nggak mau kamu maafin aku sekarang. Aku tahu itu nggak mungkin. Tapi aku cuma mau kamu tahu… aku nggak akan pergi lagi.”
Damar memejamkan matanya, menarik napas panjang. “Kita lihat aja, Maira. Kita lihat aja.”
Dan dengan itu, malam yang dingin itu berakhir tanpa jawaban yang jelas, hanya meninggalkan jejak pertanyaan yang mengambang di udara.
Langit Runtuh di Teras Malam
Maira berdiri di depan jendela kamar apartemen Damar, memandangi kota yang berkilau di bawah cahaya lampu jalan. Udara dingin menerpa wajahnya, tetapi tidak cukup untuk menenangkan kepalanya yang berisik. Damar sedang di dapur, membuat kopi. Suara gemerincing sendok beradu dengan gelas menjadi satu-satunya latar di antara hening mereka.
Maira memejamkan mata. Ia tidak pernah membayangkan akan kembali ke ruangan ini. Ruangan yang dulu sering ia kunjungi ketika Damar masih menjadi satu-satunya tempat aman baginya. Tapi malam ini terasa berbeda—dingin, tidak bersahabat, dan penuh dengan bayang-bayang kesalahan yang ia bawa.
“Gula?” suara Damar memecah lamunan. Ia muncul dengan dua cangkir kopi, menatap Maira dengan wajah yang masih datar.
Maira menggeleng. “Nggak, terima kasih.”
Damar meletakkan cangkir di meja kecil di dekat sofa, lalu duduk di lantai seperti tadi. “Jadi, apa rencana kamu sekarang?”
Maira menoleh, mengambil cangkir itu, dan menggenggamnya erat untuk mencari sedikit kehangatan. “Aku nggak tahu. Aku bahkan nggak tahu kenapa aku bisa sampai di sini.”
“Kalau kamu nggak tahu, kenapa kamu nggak pulang aja?”
Nada Damar tajam, tapi Maira tahu itu hanya benteng. Selalu seperti itu. Damar tidak pernah pandai menyembunyikan perasaannya, meski ia selalu mencoba terlihat kuat.
“Aku nggak punya tempat untuk pulang, Dam.”
Damar tertawa pendek. “Keluarga kamu kaya, Maira. Jangan bilang kamu nggak punya tempat untuk pulang.”
“Keluarga aku nggak peduli sama aku,” jawab Maira pelan. “Aku ini cuma beban buat mereka. Kalau aku nggak jadi menikah, aku nggak ada nilainya.”
Damar terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Maira yang membuatnya menahan komentar sinis berikutnya.
“Kamu tahu, Dam…” Maira meletakkan cangkirnya di lantai dan menatap Damar. “Aku selalu berpikir kamu akan ada di sana untuk aku, apa pun yang terjadi. Tapi waktu itu… waktu aku harus memilih, aku nggak berani. Aku takut, Dam. Aku takut kehilangan semuanya.”
“Kamu kehilangan aku, Maira,” kata Damar dingin.
“Aku tahu.”
Hening lagi. Hanya suara angin yang masuk dari jendela, membawa bau aspal basah dari jalanan di bawah sana.
“Kamu tahu apa yang paling sakit?” Damar akhirnya berbicara lagi, suaranya nyaris berbisik. “Aku bukan cuma kehilangan kamu. Aku kehilangan semua yang aku percaya. Aku pikir, kamu adalah satu-satunya orang yang nggak bakal ninggalin aku. Tapi ternyata, aku salah.”
Maira menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. “Aku juga kehilangan banyak, Dam. Aku kehilangan kamu. Aku kehilangan bagian dari diriku yang percaya kalau cinta itu cukup.”
“Cinta nggak pernah cukup,” gumam Damar, sambil memandang ke arah jendela. “Kalau cinta cukup, kamu nggak akan pergi waktu itu.”
Kata-kata itu menusuk Maira, tapi ia tahu Damar benar. Tidak ada pembelaan yang cukup kuat untuk kesalahannya.
“Dam, aku nggak minta kamu untuk maafin aku sekarang. Aku cuma minta satu hal.”
“Apa?”
“Jangan usir aku malam ini.”
Damar menghela napas panjang, lalu berdiri. Ia berjalan menuju pintu kamar tidur, berhenti di ambang pintu, dan menoleh ke arah Maira. “Sofa itu nggak nyaman, tapi lebih baik daripada lantai. Kamu bisa tidur di situ.”
Maira mengangguk pelan. “Terima kasih.”
Damar tidak menjawab, hanya menutup pintu kamar di belakangnya.
Maira terjaga sepanjang malam, matanya menatap langit-langit. Ia mendengar langkah kaki Damar di kamar sebelah, suara kasur yang berderit saat ia bergerak. Rasanya seperti dua dunia yang berbeda—dekat, tapi tidak terhubung.
Saat pagi menjelang, Maira akhirnya bangkit. Ia merapikan selimut yang diberikan Damar semalam dan berjalan pelan ke arah dapur. Di sana, ia menemukan secarik kertas kecil di atas meja makan.
“Aku keluar dulu. Kunci pintunya kalau mau pergi. Damar.”
Tidak ada pesan lain. Tidak ada kata-kata hangat atau janji untuk bicara lagi. Hanya sebuah pesan yang dingin dan fungsional.
Maira duduk di kursi dapur, memandangi tulisan tangan Damar. Ada sesuatu di dalam dirinya yang runtuh, tapi bersamaan dengan itu, muncul tekad baru. Ia tahu ini tidak akan mudah, tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Maira merasa ia harus berjuang—bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk seseorang yang sudah terlalu lama ia abaikan.
Dengan napas panjang, Maira melipat kertas itu dan menyimpannya di sakunya. Ia menatap apartemen kecil itu sekali lagi sebelum mengambil tasnya dan melangkah keluar.
Maira tahu ini bukan akhir, tapi awal dari sesuatu yang panjang, rumit, dan mungkin menyakitkan. Namun, untuk pertama kalinya, ia siap untuk menghadapi semuanya.
Pecahan di Balik Jendela
Langit di luar apartemen sudah cerah, tapi hati Maira masih gelap. Ia menutup pintu di belakangnya dan menarik napas panjang, seolah udara pagi bisa memberinya kekuatan. Jalanan di bawah sudah mulai ramai, orang-orang berlalu-lalang, sibuk dengan rutinitas mereka. Namun, di tengah keramaian itu, Maira merasa seperti bayangan yang tidak terlihat.
Langkahnya tidak tentu arah, hanya mengikuti insting. Ia ingin mencari Damar, tapi apa yang harus ia katakan? Bahkan, jika ia menemukan Damar, apakah pria itu mau mendengarkannya lagi?
Saat melewati taman kecil di sudut kota, Maira berhenti. Ada bangku kosong di bawah pohon besar, dikelilingi oleh dedaunan yang gugur. Ia duduk di sana, menggenggam tasnya erat, dan membiarkan pikirannya mengembara ke masa lalu.
Damar selalu menyukai taman ini. Dulu, saat mereka masih bersama, mereka sering duduk di sini, berbicara tentang mimpi-mimpi mereka. Maira ingat dengan jelas bagaimana Damar berbicara dengan penuh semangat tentang impiannya menjadi seorang fotografer profesional, seseorang yang akan mengabadikan dunia melalui lensa kameranya.
“Semua orang sibuk mengejar kesempurnaan,” kata Damar suatu hari, sambil memotret sepasang burung di dahan. “Tapi aku cuma mau menangkap yang nyata. Yang nggak dibuat-buat.”
Maira tersenyum mengingat itu. Ironisnya, ia lah yang akhirnya membuat semuanya terasa seperti kebohongan.
Lamunannya buyar ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari Damar.
“Tolong ambil kameraku di tempat servis, di toko depan stasiun. Aku sibuk.”
Maira menatap layar itu lama. Tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada basa-basi. Hanya instruksi singkat. Tapi, bagi Maira, pesan itu seperti secercah harapan.
Tanpa berpikir panjang, ia bangkit dan berjalan cepat menuju stasiun.
Toko itu kecil, terjepit di antara kedai kopi dan toko kelontong. Pemiliknya, seorang pria tua dengan kacamata tebal, tersenyum ramah ketika Maira masuk.
“Kamera siapa?” tanya pria itu.
“Kamera Damar.”
“Oh, yang Canon tua itu ya? Tunggu sebentar.”
Pria itu menghilang ke belakang, lalu kembali dengan sebuah kamera yang sudah terlihat usang tapi terawat. “Dia bilang ini warisan dari ayahnya. Kamera ini punya banyak cerita, ya?”
Maira mengangguk pelan, mencoba menahan rasa sesak di dadanya. Kamera itu memang berharga bagi Damar. Ia selalu memperlakukannya seperti bagian dari hidupnya.
Setelah membayar biaya servis, Maira membawa kamera itu keluar. Rasanya seperti memegang sesuatu yang jauh lebih berat dari sekadar alat fotografi.
Ia menunggu Damar di kafe dekat apartemen. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, dan Damar belum juga muncul. Kopinya sudah dingin, tapi ia tidak peduli.
Akhirnya, pintu kafe terbuka, dan Damar masuk. Ia mengenakan jaket hitam dan celana jeans robek yang selalu terlihat santai, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Maira ragu untuk menyapanya.
Damar langsung duduk di depannya, tanpa berkata apa-apa. Maira meletakkan kamera di atas meja.
“Ini kameranya,” kata Maira.
Damar menatap kamera itu, lalu mengangguk kecil. “Makasih.”
Untuk beberapa saat, mereka hanya duduk dalam keheningan. Lalu, Damar mengambil kamera itu dan membukanya, memeriksa lensanya dengan teliti.
“Masih bagus,” gumamnya.
Maira tidak tahu harus mengatakan apa. Tapi ia tahu ia tidak bisa terus diam.
“Dam, aku pengen kita bicara,” katanya akhirnya.
Damar menutup kamera dan menatapnya. “Bicara apa lagi, Maira? Kamu udah bilang kamu nyesel. Aku udah bilang kamu terlambat. Apa lagi yang mau dibahas?”
“Dam, aku nggak mau kamu pergi dari hidup aku. Aku nggak tahu harus gimana lagi kalau kamu nggak ada.”
Damar tertawa kecil, tapi tidak ada humor dalam tawa itu. “Kamu cuma nggak mau merasa sendirian, Maira. Dan itu masalah kamu, bukan masalah aku.”
Maira menatap Damar, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu aku egois. Aku tahu aku salah. Tapi aku mau perbaiki semuanya, Dam. Aku mau mulai lagi dari awal.”
“Dari awal?” Damar menggelengkan kepala. “Maira, kita nggak bisa balik ke awal. Yang ada cuma sekarang, dan sekarang aku udah bukan orang yang sama.”
“Tapi aku masih percaya sama kamu, Dam. Aku masih percaya kalau kita bisa…”
Damar memotongnya. “Kamu percaya? Lucu, karena aku nggak percaya sama kamu.”
Kata-kata itu menghantam Maira seperti pukulan. Tapi ia tidak menyerah.
“Dam, tolong… kasih aku satu kesempatan lagi. Aku nggak peduli seberapa sulit atau seberapa lama. Aku cuma mau kamu tahu, aku nggak akan pergi lagi.”
Damar menatapnya lama, seolah mencoba mencari sesuatu dalam matanya. Lalu ia berdiri, membawa kameranya.
“Aku nggak tahu, Maira. Aku cuma tahu satu hal. Kalau kamu benar-benar nggak akan pergi lagi, tunjukin. Tapi jangan harap aku bakal nunggu.”
Damar berjalan keluar tanpa menoleh lagi, meninggalkan Maira di sana dengan hati yang setengah hancur, setengah penuh harapan.
Saat Waktu Menyerah
Hari-hari berlalu begitu cepat, namun waktu seakan berhenti bagi Maira. Pagi-pagi ia bangun dengan harapan baru, tapi setiap malam kembali tenggelam dalam keraguan. Ia tahu ia tidak bisa terus begini, menunggu tanpa arah. Damar sudah memberi peringatan, bahkan lebih dari itu. Tapi Maira tidak bisa begitu saja melepaskan apa yang telah mereka bangun bersama, meski semuanya tampak hancur kini.
Sehari setelah pertemuan terakhir mereka, Maira memilih untuk tidak menghubungi Damar. Ia tahu ini waktunya untuk memberi ruang, bukan hanya untuk Damar, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Ia tidak bisa terus menyiksa dirinya dengan kenangan dan harapan yang tak pasti.
Namun, meski demikian, hari-hari Maira terasa sepi tanpa Damar. Ia masih mengenang tawa mereka di kafe itu, kebersamaan mereka yang sederhana, dan betapa Damar selalu mampu membuatnya merasa hidup dengan cara yang tidak pernah ia alami sebelumnya.
Hingga suatu pagi, ketika Maira sedang duduk di balkon apartemennya, seorang lelaki tiba-tiba berdiri di bawah, menatap ke atas. Maira mengenali Damar meski hanya dari siluet tubuhnya yang ramping.
Damar tidak berkata apa-apa, hanya berdiri di sana, menunggu. Maira merasa seluruh dunia berhenti berputar. Rasa yang sama kembali menguasai hatinya, membuatnya ragu apakah ia sudah siap menghadapi kenyataan yang baru.
Tanpa berpikir panjang, ia turun. Langkahnya berat, tapi semakin mendekat, semakin kuat hatinya. Damar masih menunggu di tempat yang sama, seperti seorang pria yang menunggu jawaban atas pertanyaan yang belum ia sampaikan.
“Dam,” kata Maira pelan, suaranya bergetar. “Kenapa kamu di sini?”
Damar menatapnya, matanya penuh dengan sesuatu yang sulit dibaca. “Aku nggak tahu. Mungkin karena aku butuh tahu kalau kamu masih ada.”
Maira terdiam. Kata-kata itu seakan menghantam dinding pertahanan yang ia bangun selama ini. Ia tidak tahu harus berkata apa.
“Kamu bilang kamu nggak akan pergi, Maira,” lanjut Damar. “Tapi, aku harus tahu, apakah kamu benar-benar bisa bertahan? Aku nggak ingin jadi alasan kenapa kamu nggak bisa jadi diri kamu sendiri.”
Maira menunduk, merasa berat di dadanya. Apa yang bisa ia jawab? Ia tahu, dia sudah merusak banyak hal, dan Damar berhak merasa seperti itu.
“Tapi aku ingin coba, Dam,” Maira mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan tatapan Damar yang dalam. “Aku nggak mau hidup tanpa kamu. Aku mungkin nggak tahu caranya, tapi aku janji, aku akan berusaha. Aku nggak akan lari lagi.”
Damar menunduk, tampak berpikir keras. Lalu, dengan langkah yang lambat, ia mendekatkan dirinya. “Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi setelah ini, Maira. Tapi aku… mau kamu tahu, aku nggak bisa janji apa-apa. Aku cuma bisa bilang, kita coba pelan-pelan.”
Maira merasa sebuah beban terangkat sedikit. Mungkin ini bukan akhir dari segalanya. Mungkin ini bukan solusi instan yang mereka harapkan. Tetapi, ini adalah langkah pertama.
Damar tersenyum kecil. “Kita mulai lagi dari sini, ya?”
Maira mengangguk pelan. “Dari sini.”
Kedua tangan mereka saling meraih. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Mereka tahu, mereka sudah lewat jauh dari kata “sekarang”, menuju sebuah perjalanan baru yang penuh dengan ketidakpastian, tetapi juga penuh dengan harapan yang tidak bisa mereka lepaskan.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Maira merasa dunia ini sedikit lebih ringan.
Mungkin cinta memang bukan soal tidak pernah jatuh. Tapi soal seberapa besar kita bisa bangkit setelah semua jatuh.
Dan hari itu, mereka mulai bangkit bersama.
Mungkin kita semua pernah berada di titik itu—titik dimana rasanya semuanya udah berantakan dan nggak ada harapan. Tapi, bukankah itu bagian dari perjalanan?
Kalau cinta bisa bikin kita jatuh, dia juga bisa ngajarin kita untuk bangkit lagi. Jadi, siapa tahu, kan? Mungkin jalan yang kita pikir udah buntu itu justru jalan menuju kebahagiaan yang baru. Semua yang rusak bisa diperbaiki, asal kita mau coba lagi.