Sekolah Aternus: Terjebak di Penjara Tanpa Olahraga dan Pelajaran Aneh

Posted on

Kamu pernah nggak sih ngerasa kayak terjebak di tempat yang nggak kamu pahami? Kayak sekolah yang nggak ada olahraganya, pelajarannya aneh, dan semua orang di dalamnya punya rahasia yang nggak bisa kamu ungkapin? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia yang penuh kebingungannya.

Sekolah yang nyatanya cuma penjara, dan kamu nggak punya pilihan selain terus bertahan—atau nyari jalan keluar meski nggak tahu resikonya. Siap-siap deh ikut ngerasain gimana rasanya terjebak di tempat yang bikin kepala pusing, kayak di sekolah Aternus!

 

Sekolah Aternus

Lorong yang Tak Pernah Berakhir

Hari pertama di Sekolah Aternus. Nama yang terdengar asing, tapi sepertinya aku sudah menunggu cukup lama untuk bisa masuk ke sini. Sepanjang jalan, aku mencoba membayangkan seperti apa sekolah ini, namun yang aku temui hanyalah lorong panjang yang gelap, bangunan tua yang kusam, dan udara yang terasa sedikit berat. Aku merasa seolah-olah berada di tempat yang bukan milikku.

“Selamat datang,” suara seorang petugas menyapa saat aku melewati gerbang utama. Itu adalah suara lembut, namun seperti teredam, seakan terjebak di ruang yang tak berujung.

Aku hanya mengangguk dan melanjutkan langkahku. Papan nama yang terpampang besar di depan gerbang bertuliskan Sekolah Aternus dengan huruf yang hampir memudar, membuatku merasa seperti bukan berada di dunia yang seharusnya. Seharusnya ada semangat yang bisa ku rasakan saat pertama kali memasuki sekolah baru, tetapi tidak di sini. Ada sesuatu yang membuatku merasa tak nyaman.

Lorong-lorongnya berliku, tanpa ada petunjuk arah yang jelas. Jendela-jendela besar yang menghadap ke luar hanya menyisakan pemandangan halaman kosong yang luas, tetapi tidak ada suara. Semua terasa terlalu sunyi. Setiap langkah yang aku ambil hanya mengonfirmasi perasaan cemas yang mulai mencekam.

“Ini cuma perasaan saja,” gumamku, mencoba menenangkan diri.

Aku bertemu dengan seorang siswa yang sedang berjalan menuju ruang kelas. Seorang pria bertubuh tinggi, mengenakan seragam sekolah yang tampaknya sudah sedikit usang. Namanya Damaris, menurut nametag yang terpasang di jasnya.

“Hei, kamu baru ya?” tanyanya dengan nada datar, tanpa ekspresi.

“Iya, baru masuk. Kamu? Sudah lama di sini?” jawabku sambil ikut berjalan bersamanya.

Damaris hanya mengangguk pelan, wajahnya datar, tak menunjukkan kelelahan meski dia baru saja berjalan jauh. “Sudah cukup lama. Tapi di sini, semuanya berjalan lambat. Tapi tenang, kamu bakal terbiasa.”

Aku meliriknya, mencoba menangkap maksud dari ucapannya. “Tapi kenapa suasana di sini… aneh ya? Tidak seperti sekolah pada umumnya.”

Dia berhenti sejenak, memandang sekeliling seolah memastikan tidak ada orang yang mendengarkan. “Itu karena kita tidak punya olahraga di sini. Semua fokus pada teori, bukan fisik. Bukan seperti sekolah biasa.”

“Enggak ada olahraga?” aku terkejut. “Maksudnya, kelas olahraga yang biasa? Sepak bola, basket, atau apapun itu?”

Damaris hanya mengangkat bahu. “Di sini, fisik dianggap tidak perlu. Lagipula, ada banyak hal yang lebih penting untuk dipelajari.”

Aku mengerutkan kening, tidak tahu harus bagaimana menyikapi informasi ini. “Tapi olahraga itu penting, kan? Seharusnya ada… bukankah itu cara kita untuk bergerak, buat lepas dari pelajaran yang bikin pusing?”

Damaris hanya tersenyum tipis, seperti tahu sesuatu yang aku tidak pahami. “Kamu akan segera tahu sendiri. Hanya sabar.”

Kelas pertama dimulai di ruang yang agak gelap, dengan meja dan kursi kayu yang tampak sangat tua. Tidak ada gambar atau dekorasi di dinding, hanya papan tulis yang sudah mulai pudar. Guru yang mengajar, Pak Seraphius, tidak memperkenalkan diri lebih jauh. Hanya berdiri di depan kelas dan memulai pembelajaran dengan kalimat yang tidak aku duga.

“Selamat pagi, murid-murid. Kita akan membahas tentang teori jarak antar bintang dan bagaimana cara mengukurnya dengan rumus yang ada,” katanya dengan nada yang sangat tenang, hampir seperti bisikan.

Aku melirik sekeliling, mencari reaksi dari teman-teman sekelas. Mereka hanya duduk diam, tanpa ekspresi. Seolah mereka sudah terbiasa dengan pembelajaran semacam ini. “Teori jarak antar bintang?” pikirku dalam hati, “Apakah ini matematika atau semacam perjalanan ke luar angkasa?”

Pak Seraphius menjelaskan dengan rinci tentang jarak antara planet-planet dan bagaimana itu bisa dihitung, tapi entah kenapa, semuanya terasa sangat tidak relevan. Tidak ada satu pun yang membahas angka-angka yang bisa aku hitung dengan akal sehat. Semua terasa kabur, seakan-akan dunia yang ada di luar sana tidak ada hubungannya dengan apa yang diajarkan di sini.

Pelajaran berlanjut hingga jam kedua, yang juga membahas konsep-konsep yang bahkan lebih absurd. Setiap pertanyaan yang aku ajukan dijawab dengan penjelasan yang semakin membuatku bingung. Satu-satunya hal yang aku tahu pasti adalah, sekolah ini tidak berjalan seperti yang aku bayangkan.

Setelah jam pelajaran berakhir, aku bergegas keluar dan menuju lorong, berharap menemukan tempat yang lebih tenang. Semua terasa terlalu banyak dan tidak masuk akal. Lorong-lorong ini seolah memaksaku berjalan lebih jauh, seolah tidak ada ujungnya.

Aku melangkah hingga tiba di sebuah pintu yang tak sengaja terbuka. Tanpa berpikir panjang, aku masuk. Di dalamnya, hanya ada beberapa meja dan kursi yang tampak seperti ruang olahraga kosong. Tapi ada sesuatu yang tidak beres. Tidak ada alat olahraga. Tidak ada bola, tidak ada raket, tidak ada papan untuk bermain basket. Hanya ruang kosong yang mengintimidasi.

Aku melangkah lebih jauh, memeriksa sudut ruangan. Tapi tiba-tiba, pintu belakang tertutup sendiri dengan keras. Suasana semakin terasa mencekam.

“Ada apa dengan tempat ini?” gumamku, mencoba menenangkan pikiran.

Aku merasa semakin terjebak, seperti ada sesuatu yang menghalangi aku untuk keluar. Lorong-lorong ini tidak memberikan petunjuk jalan. Semua pintu terkunci, dan yang lebih aneh lagi, tak ada seorang pun yang muncul untuk membantuku.

Akhirnya, aku kembali ke kelas dan bertemu dengan Damaris lagi. “Kenapa kamu tadi?” tanyanya, tampak tak terkejut meski aku tampak sedikit panik.

“Aku tidak tahu,” jawabku. “Semua tempat ini terasa seperti jebakan. Tidak ada olahraga, tidak ada penjelasan yang masuk akal. Ini seperti sekolah tanpa kehidupan.”

Damaris menatapku sejenak, lalu hanya tersenyum. “Semuanya akan semakin jelas seiring waktu. Tapi ingat, kamu sudah memilih untuk berada di sini.”

Aku hanya terdiam, perasaan cemas dan kebingunganku semakin mendalam. Apa yang sebenarnya terjadi di Sekolah Aternus ini?

 

Pelajaran Tanpa Logika

Hari-hari di Sekolah Aternus semakin terasa seperti perjalanan tanpa tujuan yang jelas. Setiap pagi, aku terbangun dengan rasa cemas yang mengendap, bertanya-tanya apa yang akan aku hadapi hari ini. Lorong-lorong yang sebelumnya terasa gelap, kini semakin terasa seperti terowongan tanpa ujung. Semua tampak familiar, namun ada nuansa asing yang selalu mengintai di setiap sudutnya.

Damaris masih di sana, seperti selalu, berdiri di sudut yang sama dan berbicara dengan nada yang tetap datar. “Jangan terlalu banyak berpikir, nanti malah jadi pusing. Kamu cuma harus mengikuti alur di sini. Semua ada sebabnya, meskipun kadang nggak masuk akal.”

Aku hanya mengangguk, walau rasa penasaranku terus membengkak. Aku ingin tahu lebih banyak tentang sekolah ini, tapi aku tahu, semakin aku bertanya, semakin aku akan terperangkap dalam labirin ketidakjelasan.

Pelajaran hari ini lebih aneh dari biasanya. Setelah kelas teori jarak antar bintang yang menguras otak, tiba saatnya untuk pelajaran “Pengaruh Gaya Magnet pada Kehidupan Sosial.” Jika aku tidak salah, itu adalah mata pelajaran baru yang tidak pernah ada di kurikulum sekolah manapun yang pernah aku dengar. Gaya magnet yang mengatur kehidupan sosial? Aku hampir tidak bisa membayangkan bagaimana itu bisa menjadi materi pelajaran.

Pak Seraphius masuk ke kelas dengan wajah serius, membawa selembar kertas besar yang dipenuhi diagram tak terbaca. “Hari ini kita akan belajar tentang hubungan antara gaya magnet dan interaksi sosial manusia,” katanya dengan tenang, seolah kalimat itu adalah hal yang paling biasa di dunia. “Magnetisme tidak hanya mempengaruhi benda mati. Manusia juga terpengaruh oleh magnetisme sosial.”

Aku melirik ke sekeliling, mencari ekspresi teman-teman sekelas, namun mereka semua hanya duduk diam, seperti tidak ada yang aneh dengan penjelasan itu. Mereka semua tampak acuh tak acuh, seperti sudah terbiasa.

“Jadi, apa hubungan magnet dengan kehidupan kita?” aku tak bisa menahan diri untuk bertanya, meskipun aku tahu pertanyaan ini pasti akan membuatku semakin bingung.

Pak Seraphius tersenyum tipis, seolah telah menunggu pertanyaan itu. “Kita semua memiliki medan magnet sosial yang mempengaruhi bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki medan magnet kuat akan menarik orang-orang di sekitarnya untuk bergabung dalam kelompoknya, sementara mereka yang memiliki medan magnet lemah akan kesulitan untuk membangun hubungan sosial yang sehat.”

Aku hampir terbatuk mendengar penjelasan itu. “Tunggu, Pak. Jadi kita semua punya… medan magnet? Itu artinya kita kayak magnet? Seperti kutub utara dan selatan?” tanyaku, merasa semakin cemas. Semua ini semakin terdengar seperti pelajaran yang tidak berhubungan dengan kenyataan.

Pak Seraphius tidak tampak kesal, malah ia melanjutkan penjelasannya dengan santai. “Tepat sekali. Jika medan magnet seseorang tidak seimbang, maka ia akan menarik atau menolak orang lain secara tidak sadar. Hal ini dapat memengaruhi dinamika sosial di sekitar mereka.”

Aku menatap layar di depan kelas, mencoba mencerna apa yang dikatakan Pak Seraphius. Aku bisa merasakan kepalaku mulai berputar. Semua terasa semakin absurd. Seperti sebuah eksperimen sosial yang tidak masuk akal, yang hanya ada di dunia ini, di tempat yang disebut Sekolah Aternus.

Setelah pelajaran itu, aku merasa seperti baru saja dibawa ke dunia lain yang penuh dengan konsep-konsep yang tidak dapat aku pahami. Namun, Damaris tampak tenang, seolah ini bukan hal yang luar biasa. “Aku bilang kan, semakin lama kamu di sini, semakin kamu akan terbiasa. Pelajaran seperti itu sudah biasa di sini,” katanya sambil melangkah menuju ruang perpustakaan yang tampak gelap dan sepi.

Aku mengikutinya dengan langkah ragu. Perpustakaan di Sekolah Aternus berbeda dari yang aku bayangkan. Di sana, buku-buku yang ada tidak terlihat seperti buku-buku biasa. Ada buku tebal yang terlihat sangat tua, beberapa di antaranya tampak hampir rusak, dengan sampul yang terkelupas. Namun, anehnya, semua buku itu tampak sangat menarik—seperti menyembunyikan sesuatu yang tak bisa aku temukan di tempat lain.

“Kenapa sekolah ini sepertinya penuh rahasia?” tanyaku, berbicara lebih kepada diriku sendiri daripada kepada Damaris.

Damaris berhenti sejenak, menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan. “Rahasia? Mungkin. Tapi, kalau kamu terus bertanya, kamu akan semakin terjebak dalam permainan yang tidak akan kamu mengerti. Di sini, lebih baik kamu diam dan terima saja.”

Perpustakaan itu terasa seperti ruang yang terperangkap dalam waktu. Ada sesuatu yang tidak tepat di sini. Setiap buku yang kubuka seakan menawarkan pengetahuan yang aneh dan tidak berguna—teori-teori yang hanya membuatku semakin bingung. Aku mulai bertanya-tanya, apakah aku benar-benar ingin tahu lebih banyak tentang tempat ini.

Hari-hari berlalu, dan aku semakin merasa seperti ikan dalam akuarium—terjebak dalam sesuatu yang tak bisa aku jelaskan. Aku merasa semakin jauh dari kenyataan, semakin terisolasi dari dunia luar.

Suatu hari, saat aku berjalan melewati aula utama, aku melihat beberapa siswa berdiri diam di tengah ruangan. Mereka terlihat tidak bergerak, seperti patung. Aku melangkah lebih dekat, penasaran, dan tiba-tiba, salah seorang dari mereka, seorang siswa bernama Selene, menoleh dan tersenyum. “Ada apa, baru saja melihat kita?” tanyanya dengan suara lembut, seolah kami baru saja berbicara.

Aku terkejut. “Kamu… kenapa diam saja di sini?”

Selene hanya tertawa pelan, “Di sini, kami belajar untuk menjadi satu dengan ruang ini. Kami tidak perlu bergerak untuk merasa hidup.”

Aku tidak mengerti. Semua ini semakin terasa asing dan menakutkan. Tapi aku mulai merasa ada benang merah yang menghubungkan setiap kejadian yang aku alami di sini. Sekolah ini, dengan segala keanehannya, mungkin bukan hanya sebuah tempat untuk belajar. Ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang tersembunyi di balik semua pelajaran dan aturan aneh ini.

Aku tidak tahu harus mencari jawaban dari mana, atau apakah ada jawaban yang bisa aku temukan. Yang aku tahu pasti adalah, semakin aku berusaha untuk mengerti, semakin aku terperangkap dalam dunia yang tak dapat kujelaskan.

 

Labirin Tanpa Pintu

Hari-hari di Sekolah Aternus semakin terasa seperti sebuah perjalanan yang tidak ada ujungnya. Meskipun aku mulai mengenal beberapa wajah, menyesuaikan diri dengan rutinitas yang semakin aneh, aku tetap merasa terjebak dalam sebuah lingkaran yang sulit dijelaskan. Setiap sudut sekolah ini, setiap lorong dan ruang kelas, rasanya seperti terhubung dalam labirin yang tidak pernah memberikan jalan keluar.

Aku duduk di ruang makan bersama Damaris, yang tampak lebih tenang dari biasanya. Wajahnya yang biasa datar kini terlihat seperti menyimpan sesuatu, seperti dia tahu lebih banyak daripada yang aku bisa pahami. Piring di depannya kosong, dan ia hanya menatap ke depan, seperti sedang memikirkan sesuatu yang jauh.

“Kamu nggak makan?” tanyaku, mencoba memecah keheningan yang semakin terasa berat.

Damaris menggeleng pelan, “Aku nggak butuh makan di sini. Kamu harus tahu, makanan di sekolah ini bukan hanya tentang makan. Ini tentang… menyesuaikan diri.”

Aku menatapnya bingung, “Menyesuaikan diri? Apa maksudmu?”

Dia tersenyum tipis, lalu berdiri dan mengajak aku pergi tanpa berkata-kata lagi. Kami melewati aula yang sama sekali tidak ramai, meskipun seharusnya sudah waktunya istirahat. Seperti biasa, aku merasa ada sesuatu yang ganjil tentang tempat ini. Tak ada suara riuh, tak ada langkah kaki yang terdengar selain kami berdua. Semua tampak kosong, seolah-olah hanya kami yang ada di sana.

Kami berjalan lebih jauh, dan aku merasa semakin tidak nyaman. Damaris berhenti di depan sebuah pintu yang tidak aku kenal. Pintu itu tampak sangat berbeda dari pintu-pintu lain yang ada di sekolah ini, seolah-olah dipasang dengan maksud tertentu.

“Kenapa berhenti di sini?” tanyaku, tidak mengerti.

Damaris menatap pintu itu, lalu kembali menatapku. “Di balik pintu ini, kamu akan tahu lebih banyak tentang sekolah ini. Tapi ingat, tidak ada jalan kembali.”

Aku merasa ada yang ganjil dengan ucapannya. Tidak ada jalan kembali? Bukankah kita selalu bisa kembali ke tempat kita berasal? Aku menelan ludah, cemas akan apa yang ada di balik pintu itu.

“Kenapa kamu bilang begitu?” aku mulai merasa ada sesuatu yang buruk akan terjadi.

Damaris hanya tersenyum, “Karena setiap orang yang masuk ke sini, tidak pernah sama setelahnya. Sekolah ini, tempat ini, bukan hanya tentang belajar. Ini tentang menemukan diri sendiri, tapi dengan harga yang tinggi.”

Aku merasa seperti ada sesuatu yang besar dan menakutkan sedang menunggu di depan mata. Tanpa sadar, aku melangkah maju, mengikuti Damaris, yang membuka pintu itu dengan hati-hati. Pintu itu berdecit pelan saat terbuka, mengungkapkan sebuah ruangan yang berbeda dari yang pernah aku lihat sebelumnya.

Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup yang datang dari sebuah lampu gantung besar yang menggantung di tengah. Di tengah ruangan ada meja panjang, dengan beberapa buku tergeletak acak. Namun, yang paling mengejutkan adalah papan tulis yang dipenuhi dengan tulisan-tulisan yang sepertinya tidak ada artinya.

“Ini ruangan untuk… eksperimen,” kata Damaris pelan, seolah tidak ingin suara mereka terdengar. “Di sini, kita belajar lebih dari sekadar teori. Kita belajar dengan cara yang berbeda.”

Aku melangkah lebih dekat ke meja itu, mencoba memahami apa yang ada di sana. Buku-buku itu tampak sangat aneh, seolah tidak berasal dari dunia ini. Beberapa halaman terlipat, dan ada tulisan yang sepertinya tidak bisa dibaca oleh siapa pun yang biasa mengenal alfabet.

Damaris mendekat dan meletakkan tangannya di bahuku. “Ini bukan sekolah biasa, Aster. Jika kamu ingin keluar, kamu harus benar-benar siap.”

“Aku siap, tapi aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa semua terasa sangat… salah?” Suara aku mulai serak, merasa terjebak dalam kebingungan yang semakin dalam.

Damaris menarik napas panjang. “Karena, Aster, kita tidak sedang berada di tempat yang kita kira. Sekolah ini adalah penjara—penjara yang tidak kita pilih, tapi yang memilih kita.”

Aku terdiam, kata-katanya menghantamku seperti petir. Penjara? Sekolah ini adalah penjara? Semua yang aku alami selama ini—pelajaran aneh, rutinitas yang tidak masuk akal, aturan yang tidak bisa dipahami—sekarang seperti sebuah jebakan yang dirancang dengan cermat.

“Tapi kenapa kita di sini? Apa yang diinginkan mereka?” tanyaku, merasa gelisah.

Damaris memandangku dengan mata yang penuh makna. “Mereka tidak menginginkan apa-apa selain melihat siapa yang bisa bertahan. Sekolah ini adalah tempat untuk menguji sejauh mana kita bisa melangkah tanpa kehilangan diri kita. Tapi tak ada yang bisa keluar tanpa membayar harganya.”

Aku merasa dinding di sekitarku mulai menekan. Semua yang aku pikir aku tahu tentang dunia ini mulai runtuh. Jika ini adalah penjara, lalu apa yang sebenarnya terjadi di luar sana? Apa yang terjadi dengan dunia yang aku tinggalkan di balik pintu masuk sekolah ini?

“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” aku bertanya, suara aku nyaris berbisik.

Damaris tersenyum lagi, tapi kali ini senyumnya lebih dalam, lebih gelap. “Kamu harus memilih. Terus bertanya, dan kamu akan semakin terjebak, atau terima semuanya dan kamu akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ingat, setiap pilihan ada konsekuensinya.”

Aku menatapnya, merasa semakin bingung. Di satu sisi, aku ingin tahu lebih banyak—mengenai siapa yang mengendalikan sekolah ini, dan mengapa aku di sini. Tapi di sisi lain, aku merasa seperti semakin terperangkap dalam sebuah dunia yang tidak bisa aku pahami.

Ketika aku melangkah mundur, untuk kembali keluar dari ruangan itu, aku merasakan sensasi yang aneh di punggungku—seolah ada sesuatu yang memantau setiap langkahku, seperti mata-mata yang mengamati setiap keputusan yang aku buat.

Damaris berdiri di depan pintu, menyarankan agar aku keluar. “Ayo, kita kembali. Masih ada banyak yang harus kamu pelajari, Aster.”

Aku menatap pintu itu satu terakhir kali, dan ketika aku berbalik untuk meninggalkan ruangan itu, aku merasakan udara yang lebih berat—seperti ada sesuatu yang tidak bisa aku lupakan, dan itu akan selalu mengikutiku.

Sekolah ini mungkin bukan hanya sebuah tempat untuk belajar, melainkan sebuah jebakan yang menunggu untuk memerangkap lebih banyak orang yang berpikir mereka tahu apa yang sedang terjadi.

 

Keputusan yang Terlambat

Aku terbangun di pagi hari dengan perasaan yang lebih berat dari sebelumnya. Di luar, kabut masih menyelimuti sekolah Aternus, seolah menguatkan perasaan bahwa aku sedang terjebak dalam dunia yang sama sekali tidak bisa aku pahami. Damaris, yang semalam memberikan peringatan yang mengerikan, tiba-tiba tidak ada di tempatnya. Tidak ada tanda-tanda kehadirannya di ruang makan, juga tidak di lorong yang biasa ia lewati. Semua seakan menghilang begitu saja, dan aku—aku hanya merasa semakin terasing.

Langkah-langkahku terasa lebih berat hari ini. Setiap suara yang terdengar di sekitar ruang kelas atau lorong terasa tidak nyata, seolah semuanya adalah ilusi yang diciptakan untuk menjebakku lebih dalam. Aku kembali melangkah menuju ruangan-ruangan yang selalu membuatku bertanya-tanya. Setiap pintu yang aku buka, setiap papan tulis yang aku lihat, selalu mengungkapkan sesuatu yang lebih gelap. Tidak ada penjelasan yang memadai, tidak ada guru yang bisa memberikan jawaban yang aku butuhkan.

Sekolah ini bukan sekadar tempat yang tidak biasa, sekolah ini adalah sebuah perangkap yang menunggu aku untuk jatuh lebih dalam ke dalam kegelapan yang tidak bisa aku hindari.

Aku berhenti di depan pintu besar yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Pintu yang tampaknya mengarah ke bagian sekolah yang lebih dalam, yang aku rasa adalah pusat dari semuanya. Aku tahu aku tidak bisa mundur. Tidak ada jalan mundur lagi. Aku sudah terlalu jauh terjebak dalam permainan ini. Seperti yang Damaris katakan, tak ada jalan kembali setelah kita memasuki dunia ini.

Dengan napas yang berat, aku memutar kenop pintu dan memasuki ruangan yang lebih sunyi dari sebelumnya. Ruangan ini lebih besar, lebih menakutkan, dan lebih terisolasi dari bagian sekolah lainnya. Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar dengan beberapa layar monitor yang tampaknya memantau semua gerak-gerikku.

Tiba-tiba, suara yang familiar muncul dari belakang, membuatku terkejut.

“Aster,” suara itu datang pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh dan melihat Damaris berdiri di ambang pintu, wajahnya serius. “Kamu datang juga akhirnya.”

Aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku saat itu. Wajahnya tampak lebih tenang, lebih pasti, seolah ia sudah tahu apa yang akan terjadi. “Kenapa kamu nggak bilang lebih awal kalau sekolah ini seperti ini?” tanyaku, suara aku nyaris pecah. “Kenapa kamu tidak bilang kalau kita sedang ada dalam jebakan besar?”

Damaris menggeleng pelan, “Aku tidak bisa memberitahumu lebih dulu, Aster. Itu akan merusak semua yang harus kamu pelajari sendiri.”

Aku merasa ada yang tidak beres. Aku merasa seperti boneka yang sedang dimainkan oleh orang-orang tak terlihat. “Lalu kenapa kamu di sini? Apa kamu salah satu yang mengatur semua ini?” tanyaku dengan penuh amarah.

Damaris berjalan mendekat, tatapannya tidak lagi penuh rahasia, tapi ada keheningan dalam matanya yang membuatku semakin takut. “Sekolah ini bukan hanya untuk mengujimu. Ini juga tentang pilihan. Kamu harus memutuskan apakah kamu ingin keluar dengan mengetahui kebenaran atau tetap berada di sini dengan nyaman dalam ketidaktahuan.”

Aku menatapnya tajam. “Kebenaran? Apa yang kamu maksud dengan itu? Apa yang harus aku ketahui?”

Dia menghela napas, sepertinya mengumpulkan kata-kata. “Kamu datang ke sini karena alasan tertentu, Aster. Sama seperti kami yang terjebak, kamu harus memilih—apakah kamu ingin keluar dari sini dengan segala risikonya atau kamu akan tetap berada dalam penjara ini tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di luar sana.”

Aku merasakan hatiku berdebar. Semua perasaan cemas yang aku tahan akhirnya meledak, bercampur dengan amarah yang tidak bisa aku bendung. “Kenapa semua ini terjadi? Kenapa kita harus ada di sini? Apa yang mereka inginkan dari kita?”

Damaris mengangguk pelan, lalu berkata dengan suara yang semakin dalam. “Mereka ingin menguji kita, Aster. Menguji sejauh mana kita bisa bertahan tanpa kehilangan diri kita. Menguji apakah kita bisa memilih antara kenyamanan dan kebenaran. Tapi yang terpenting, mereka ingin melihat siapa yang berani keluar dari penjara ini tanpa menyesal.”

Aku memandang ke seluruh ruangan yang kini terasa semakin sesak. Tiba-tiba, aku merasa ada dua pilihan yang terhampar di depanku: keluar dari sekolah ini dengan membawa semua kebenaran dan resikonya, atau tetap terjebak dalam kebohongan yang sudah membentuk kehidupanku selama ini.

“Aku ingin keluar,” aku berkata dengan tegas, meski hatiku berdebar sangat kencang. “Aku tidak peduli dengan risikonya. Aku tidak bisa terus berada di sini.”

Damaris tersenyum tipis, seolah ia sudah tahu jawabannya. “Kalau begitu, kamu siap untuk menghadapi konsekuensinya?”

Tanpa menunggu jawabanku, dia melangkah ke salah satu sisi ruangan dan menarik sebuah tirai besar yang menutupi bagian dinding. Di balik tirai itu, ada sebuah pintu yang terbuka, mengarah ke lorong yang gelap. “Ini adalah jalan keluar, Aster. Tapi ingat, setelah kamu melewatinya, tidak ada yang bisa mengembalikan kamu ke tempat ini lagi.”

Aku tidak ragu lagi. Aku melangkah ke pintu itu, merasakan beban yang hilang seiring langkahku menjauh dari dunia yang tak pernah benar-benar aku pahami. Semua yang ada di sekolah Aternus ini, setiap peraturan yang aneh, setiap pelajaran yang tidak bisa dimengerti, akhirnya menjadi bagian dari masa lalu.

Ketika aku melangkah keluar dari pintu itu, dunia luar yang sepi menyambutku. Tidak ada lagi dinding yang mengurung, tidak ada lagi aturan yang membelenggu. Hanya ada kebebasan, meskipun dengan harga yang tinggi.

Aku akhirnya bebas.

Tapi kebebasan itu—apakah itu yang sesungguhnya aku inginkan?

 

Jadi, gimana menurut kamu? Setelah ngelewatin semua itu, masih ada nggak sih jalan keluar yang bener-bener bebas? Kadang, kita terjebak di dunia yang nggak kita ngerti, dan pilihan kita cuma ada dua: terus bertahan dengan kebingungannya atau berani keluar meski nggak tahu apa yang bakal terjadi.

Kadang, kebebasan itu nggak semudah yang kita bayangin. Tapi, siapa tahu? Mungkin di luar sana ada jawaban yang nggak pernah kita duga.

Leave a Reply