Ilmu Tak Terhingga: Menemukan Kedamaian dalam Ketidakpastian

Posted on

Kadang hidup itu nggak harus tahu jawabannya semua, kan? Kadang kita cuma butuh untuk merasain, ngelewatin, dan menerima kalau nggak semua hal bisa kita pahami. Tapi, justru dari situ kita bisa belajar banyak, terutama tentang diri sendiri dan dunia sekitar.

Cerpen ini bercerita tentang perjalanan Niko, seorang pemuda yang akhirnya sadar kalau ilmu itu gak terbatas. Penuh ketidakpastian, tapi justru di situlah keindahannya. Yuk, coba baca dan ikutin perjalanan Niko yang nggak cuma soal pengetahuan, tapi juga soal hidup dan kedamaian yang bisa kita temuin dalam kebingungannya.

 

Ilmu Tak Terhingga

Buku yang Tak Terlihat

Di bawah naungan pohon besar yang rindang, Niko duduk dengan punggung bersandar pada batang pohon yang kokoh. Cuaca siang itu terasa hangat, dengan angin yang berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang berguguran. Desa ini, terletak di kaki gunung yang selalu diselimuti kabut, memiliki udara yang segar, tapi Niko merasa sedikit asing di antara kebanyakan orang yang sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing.

Seperti biasa, ia tidak terlalu peduli dengan hiruk-pikuk desa. Niko lebih suka menyendiri, duduk di sana, berpikir. Memandang langit biru yang luas, bertanya-tanya tentang segala hal yang ada di dunia ini. Dunia yang seakan terbuka begitu besar, namun terasa jauh dari jangkauan tangannya.

“Apa yang kamu pikirkan, Niko?” suara yang lembut namun menggetarkan pemikiran Niko memecah kesunyian.

Niko menoleh, mendapati seorang pria tua berdiri di depannya. Pria itu tampak berbeda dari orang-orang desa. Rambutnya putih, hampir bersih seperti salju, dan matanya tajam memandang. Wajahnya penuh kerutan, menandakan usia yang panjang. Namun, ada sesuatu yang mengesankan di dalam pandangannya—sebuah ketenangan, seakan-akan ia tahu segala hal yang harus diketahui.

Niko sedikit terkejut, tapi ia tidak menunjukkan kegugupannya. “Saya sedang berpikir tentang ilmu, tentang pengetahuan,” jawabnya dengan santai, meskipun di dalam hatinya, ia merasa sedikit malu. Bukankah itu terdengar seperti kata-kata orang yang ingin tahu lebih banyak, tapi tak tahu harus mulai dari mana?

Pria tua itu tersenyum bijak. “Ilmu, ya? Kamu mencari jawaban, tapi kamu harus tahu bahwa ilmu itu bukan sesuatu yang datang begitu saja. Ia seperti sungai yang mengalir, tak pernah berhenti meskipun kita terus mempelajarinya.”

Niko menatap pria itu dengan rasa penasaran. “Maksudnya?” tanya Niko, berusaha untuk memahami lebih dalam.

Pria itu duduk di samping Niko, matanya berkilau seperti bintang yang sedang menyinari malam yang gelap. “Aku akan tunjukkan sesuatu padamu,” kata pria tua itu sambil merogoh tas kulitnya yang usang. Dari dalam tas itu, ia mengeluarkan sebuah buku. Buku itu tampak tua, sampulnya telah mengelupas, dan halaman-halamannya terlihat rapuh. Tapi, meskipun usianya yang jelas sangat tua, ada daya tarik yang tidak bisa dijelaskan dari buku tersebut.

“Buku ini,” pria itu melanjutkan, “mengandung pengetahuan yang tak terhingga. Segala sesuatu yang pernah ada dan yang akan ada tercatat di dalamnya. Namun, hanya mereka yang memiliki rasa ingin tahu yang mendalam yang bisa memahaminya.”

Niko tercengang, tidak yakin apa yang sedang terjadi. “Itu… terlalu banyak untuk saya pahami,” ujarnya pelan, tetapi rasa ingin tahunya mulai meronta.

Pria tua itu hanya tersenyum. “Kamu tidak perlu langsung memahami semuanya, Niko. Ini adalah perjalanan, bukan sebuah tujuan. Buku ini hanya akan terbuka bagi mereka yang siap melangkah lebih jauh. Dan jika kamu ingin tahu lebih banyak, kamu harus berani membuka halaman pertama.”

Tanpa banyak berpikir, Niko mengambil buku itu dari tangan pria tua itu. Buku itu terasa berat, seolah mengandung beban yang tidak hanya fisik, tetapi juga spiritual. Dia membuka halaman pertama dengan tangan yang sedikit gemetar, dan begitu matanya memindai kata-kata di sana, ada sesuatu yang terasa berubah. Seperti membuka sebuah pintu ke dunia yang sama sekali berbeda.

Halaman pertama berisi tentang dasar-dasar ilmu alam, tentang bagaimana segala sesuatu di dunia ini terhubung dengan cara yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Mata Niko terus bergerak di atas tulisan-tulisan yang tampak begitu rumit, namun ada sesuatu yang menenangkan dalam setiap kata yang ia baca. Rasanya seperti memasuki dunia yang lebih besar dari sekadar apa yang ada di depan matanya.

“Apakah ini… benar?” Niko bergumam, matanya terpaku pada tulisan yang semakin membuka banyak pintu di pikirannya.

Pria tua itu hanya mengangguk pelan. “Ilmu itu adalah perjalanan, Niko. Kamu akan menemukan banyak hal yang membuatmu tercengang, bahkan merasa seperti dunia ini lebih luas dari yang kamu bayangkan. Tapi ingat, pengetahuan bukanlah segalanya. Apa yang kita pelajari harus diterapkan untuk kehidupan kita sehari-hari.”

Niko menutup buku itu dengan hati yang penuh pertanyaan. “Saya akan mulai belajar, tapi apa yang harus saya lakukan dengan semua pengetahuan ini?”

Pria tua itu memandangnya dengan tajam. “Gunakan pengetahuan itu untuk membantu orang lain. Jadilah jembatan antara ilmu dan kebijaksanaan. Jangan hanya jadi seorang pengumpul pengetahuan. Ilmu yang tidak digunakan hanyalah beban.”

Niko mengangguk, meskipun ia belum sepenuhnya memahami. Tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang mendorongnya untuk terus melangkah, untuk menggali lebih dalam.

Pria tua itu berdiri perlahan, matanya masih tetap menatap Niko. “Ingatlah, ilmu itu tak terhingga. Tapi jangan lupakan bahwa ada kebijaksanaan yang jauh lebih berharga daripada pengetahuan semata.”

Dengan itu, pria tua itu pergi meninggalkan Niko, yang masih duduk di bawah pohon besar, dengan buku usang itu di tangannya. Niko tahu, ini baru permulaan. Ilmu itu terbentang luas, dan dia baru saja mulai menyelami sedikit saja dari samudera pengetahuan yang tak terhingga. Tapi perjalanan itu akan membawanya jauh lebih dalam, dan ia siap untuk menapaki langkah selanjutnya.

 

Pembelajaran Tanpa Batas

Seiring berjalannya waktu, Niko semakin tenggelam dalam dunia buku tua yang diberikan pria misterius itu. Setiap halaman yang ia baca menuntunnya pada pengetahuan baru, tentang fisika, matematika, dan sains yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bahkan filosofi kuno yang jauh dari jangkauan orang desa itu, kini terasa begitu dekat. Setiap malam, Niko menghabiskan berjam-jam membaca dan mencatat. Rasanya, dunia ini memiliki begitu banyak misteri yang ingin ia ungkap.

Namun, meskipun semakin banyak yang ia pelajari, ada satu hal yang tetap mengganggunya. Semakin ia mendalami pengetahuan, semakin ia merasa ada sesuatu yang hilang. Buku itu menjelaskan banyak hal tentang dunia fisik, tentang bagaimana segala sesuatu bekerja, namun tidak ada yang bisa menjelaskan perasaan yang muncul dalam dirinya.

“Kenapa ilmu selalu berakhir dengan pertanyaan lebih banyak?” gumam Niko, meletakkan buku itu di sampingnya dan menatap langit malam yang begitu luas. Ia merasa seakan ada ruang kosong yang belum terisi, meskipun pengetahuan tentang alam semesta semakin berkembang dalam dirinya.

Pagi itu, seperti biasa, Niko duduk di bawah pohon besar di luar rumahnya. Buku itu ada di tangannya, dan kali ini ia tak hanya membaca, tetapi mencoba untuk meresapi setiap kata yang tertulis. Hari itu, ia membaca tentang teori relativitas, tentang bagaimana ruang dan waktu bisa dipengaruhi oleh kecepatan dan gravitasi. Semua itu terasa sangat mengagumkan, tetapi ia merasa ada gap yang sulit dijembatani dalam dirinya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki menghentikan lamunannya. Niko menoleh, dan melihat seorang gadis yang sedang berjalan menuju tempatnya duduk. Gadis itu bernama Raya, teman sekelasnya yang sudah lama dikenal, namun tidak terlalu dekat. Raya selalu tampak penuh semangat dan suka berbicara, berbeda dengan Niko yang lebih pendiam.

“Hey, Niko! Apa yang kamu baca kali ini? Buku tebal lagi?” Raya tersenyum lebar, duduk di samping Niko tanpa diminta.

Niko mengangkat bahu, masih memegang buku itu. “Ya, ini tentang teori-teori ilmiah. Ada banyak hal yang belum aku pahami, tapi… kadang aku merasa semakin aku belajar, semakin aku bingung.”

Raya tertawa kecil. “Kamu ini aneh, tahu nggak? Semua orang pengen belajar, tapi kamu malah bingung. Tapi, kalau kamu suka gitu, kenapa nggak terus belajar aja? Mungkin kamu harus coba sesuatu yang lebih… praktis. Aku dengar ada proyek ilmiah yang bisa kamu ikut di sekolah. Bisa jadi kesempatan buat menerapkan apa yang kamu pelajari.”

Niko menatap buku itu sejenak, lalu melihat Raya. “Aku sudah banyak belajar, Raya. Tapi, aku merasa seolah ada yang kurang. Pengetahuan itu seperti labirin yang tak ada ujungnya. Aku ingin tahu apa yang membuat kita merasa, kenapa kita punya emosi, kenapa ada ketidakadilan dalam hidup. Buku ini hanya memberi penjelasan tentang dunia fisik, tapi tidak bisa menjawab apa yang aku rasakan.”

Raya terdiam sejenak. “Mungkin kamu benar,” katanya pelan. “Tapi bukankah ilmu itu tidak hanya tentang apa yang kita pelajari di buku? Ada banyak hal yang kita pelajari lewat pengalaman. Mungkin jawabannya ada di luar sana, di kehidupan nyata.”

Niko merasa kata-kata itu seperti petunjuk yang baru saja ia temukan. “Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus berhenti belajar tentang sains dan fokus pada hal-hal yang lebih… emosional?”

Raya menatapnya dengan serius. “Aku rasa kamu nggak perlu berhenti, kok. Ilmu itu tetap penting. Tapi coba pikirkan, ilmu itu bisa jadi alat. Alat untuk memahami dunia, termasuk hati manusia. Mungkin yang kamu cari selama ini adalah keseimbangan antara ilmu dan perasaan. Tidak ada yang salah dengan mencari jawaban dari keduanya.”

Pernyataan Raya membuat Niko terdiam. Memang, apa yang ia cari selama ini bukan hanya jawaban tentang bagaimana alam semesta bekerja, tapi juga bagaimana ia bisa memahami diri dan orang lain. Selama ini, ia hanya fokus pada pengetahuan yang terukur dan pasti. Mungkin, seperti yang dikatakan pria tua itu, ilmu bukan hanya soal mengumpulkan pengetahuan, tetapi tentang menerapkannya dalam kehidupan.

“Kamu tahu, Raya, aku merasa semakin dekat dengan sesuatu yang besar. Tapi aku juga merasa semakin jauh dari apa yang penting,” ujar Niko, matanya menatap horizon yang tampak tak terhingga.

Raya tersenyum. “Itulah perjalananmu, Niko. Setiap langkah itu berarti, bahkan yang terasa membingungkan sekalipun. Jangan takut untuk terus melangkah.”

Niko kembali membuka buku itu, tetapi kali ini dengan pikiran yang sedikit berbeda. Seiring waktu berjalan, ia menyadari bahwa pengetahuan dan perasaan tidak harus terpisah. Bahkan, keduanya bisa saling mengisi. Apa yang selama ini ia anggap sebagai kebingungannya, mungkin justru adalah jalan menuju pemahaman yang lebih dalam.

Hari-hari berlalu, dan setiap hari Niko melanjutkan pembelajarannya. Tidak hanya sains, tetapi juga mulai memperhatikan kehidupan sekitarnya—perasaan orang-orang, hubungan antara individu, dan bagaimana semuanya saling berhubungan. Ia mulai merasakan adanya keseimbangan antara ilmu yang ia pelajari dan kebijaksanaan yang harus ia capai.

Ilmu itu memang tak terhingga, dan Niko baru saja menemukan sebuah aspek baru—bahwa untuk memahami dunia, ia harus membuka hatinya seperti ia membuka buku itu. Pengetahuan tanpa pemahaman tidak akan memberikan jawaban yang sesungguhnya.

Dan saat itu, Niko tahu, perjalanannya baru saja dimulai.

 

Jejak yang Menghantar

Matahari terbenam dengan lembut, menciptakan langit berwarna oranye kemerahan yang indah di atas desa. Niko berdiri di depan jendela kamarnya, menatap ke luar. Ia sudah mulai terbiasa dengan perasaan yang selalu datang setelah berjam-jam membaca dan berpikir. Perasaan bahwa dunia ini tak hanya terlihat dari apa yang tampak di permukaan, tetapi juga ada banyak lapisan tersembunyi yang hanya bisa dipahami dengan hati yang terbuka.

Hari-hari yang berlalu membawa perubahan dalam dirinya. Ia mulai menemukan keseimbangan antara pengetahuan ilmiah dan pemahaman akan diri dan dunia. Namun, ada sesuatu yang masih mengusik pikirannya—sesuatu yang lebih besar dari yang dapat dijelaskan oleh buku atau teori. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, di mana antara logika dan perasaan, antara ilmu dan kehidupan, selalu ada ruang kosong yang tak terisi sepenuhnya.

Hari itu, setelah pulang dari sekolah, Niko memutuskan untuk pergi ke tempat yang baru ia temui beberapa hari sebelumnya, sebuah gua kecil yang terletak di pinggiran desa. Tempat itu sepi dan tenang, jauh dari keramaian. Mungkin, di tempat itu, ia bisa menemukan jawaban yang ia cari.

Sampai di gua, Niko duduk di atas batu besar, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Ia mengeluarkan buku tua itu, kali ini ingin membaca lebih dalam. Halaman-halaman yang telah ia jelajahi tak lagi terasa asing. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah kalimat muncul, hampir seperti menjawab pertanyaan yang selama ini menggantung.

“Ilmu itu bukan hanya tentang menjawab, tetapi tentang menerima ketidakpastian. Dalam ketidakpastian, ada ruang untuk pertumbuhan.”

Niko menutup buku itu dan menatap ke dalam kegelapan gua. Ketidakpastian. Itu adalah kata yang selalu ia hindari. Ia ingin semua hal memiliki jawaban yang pasti, sesuai dengan rumus atau hukum alam yang bisa dipahami. Tetapi, sepertinya buku itu ingin mengajarkan sesuatu yang lebih dalam. Ketidakpastian bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi malah menjadi bagian dari kehidupan yang harus diterima.

Saat ia duduk merenung, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Niko menoleh, dan kali ini, bukan Raya atau orang desa yang ia kenal. Seorang pria muda berdiri di depan pintu gua, mengenakan pakaian sederhana namun terlihat tegas. Ada sesuatu yang berbeda tentang pria ini. Mata pria itu tajam, namun tampak penuh dengan kebijaksanaan yang dalam. Sepertinya, ia bukan orang biasa.

“Apa yang kamu cari di sini?” suara pria itu menggetarkan kesunyian, namun tidak terkesan menakutkan.

Niko sedikit terkejut, tapi ia segera berdiri dan menjawab, “Aku… hanya mencoba memahami sesuatu.”

Pria itu tersenyum kecil, lalu berjalan mendekat. “Memahami?” tanyanya. “Lalu, apa yang kamu harapkan untuk dipahami? Dunia ini penuh dengan ketidakpastian. Apakah kamu yakin kamu bisa memahaminya dengan hanya membaca buku dan mencari jawaban?”

Niko terdiam, bingung. Apa yang sebenarnya dimaksud pria itu? “Aku kira… aku bisa menemukan jawaban dengan ilmu,” jawabnya perlahan.

Pria itu duduk di sebelah Niko, lalu menatap langit yang malam itu terlihat sangat terang dengan bintang-bintang. “Ilmu itu penting, tentu saja. Tetapi ilmu tidak dapat menjelaskan segalanya. Ada banyak hal dalam hidup ini yang tak bisa dijelaskan hanya dengan rumus atau teori. Perasaan, misalnya. Atau keberanian. Kedua hal itu bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan oleh pengetahuan.”

Niko merasa sebuah perasaan asing muncul di dalam dirinya. Mungkin pria ini benar. Ia telah terlalu lama fokus pada pemahaman yang rasional, pada hal-hal yang bisa dihitung dan dijelaskan. Namun, ada bagian dalam dirinya yang merasa bahwa pengetahuan semata tidak akan menjawab segala pertanyaan. Mungkin ada sesuatu yang lebih dari itu.

“Aku belajar banyak tentang dunia,” kata Niko, “tapi aku merasa ada yang hilang. Aku merasa tidak bisa menghubungkan semuanya—pengetahuan dan perasaan—dalam satu kesatuan.”

Pria itu mengangguk pelan. “Itulah masalah yang dihadapi oleh banyak orang. Mereka berpikir bahwa ilmu dan perasaan itu dua hal yang terpisah. Tetapi keduanya saling melengkapi. Kamu tidak akan bisa memahami dunia sepenuhnya jika hanya melihatnya dari satu sisi saja.”

Niko menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. “Lalu, bagaimana aku bisa menghubungkannya?”

Pria itu tersenyum, seolah sudah tahu pertanyaan itu akan muncul. “Dengan berani merasakan. Dengan membuka dirimu pada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Ilmu itu penting, tetapi tanpa keberanian untuk menghadapi ketidakpastian, pengetahuanmu akan selalu terbatas.”

Niko merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Ia mulai mengerti bahwa untuk memahami dunia ini, ia harus belajar menerima ketidakpastian, bahkan menghargai hal-hal yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Dunia ini lebih dari sekadar apa yang bisa dilihat dengan mata atau dipahami dengan akal.

“Kamu harus belajar untuk hidup dengan ketidakpastian,” lanjut pria itu. “Tidak semua hal harus memiliki jawaban. Terkadang, yang penting adalah pertanyaan itu sendiri.”

Niko terdiam, mencerna setiap kata yang diucapkan pria itu. Ada banyak hal yang selama ini ia abaikan, hal-hal yang tidak bisa dihitung atau dibuktikan. Perasaan, intuisi, dan bahkan kekosongan—semua itu memiliki tempat dalam hidupnya. Ia harus belajar untuk menerima dan menghargainya, bukan menghindarinya.

Pria itu berdiri perlahan, siap untuk pergi. “Ingatlah, ilmu itu tak terhingga, Niko. Tapi kamu tidak akan pernah menguasainya dengan sepenuhnya jika kamu tidak bisa menerima ketidakpastian sebagai bagian dari perjalanan.”

Dengan kata-kata itu, pria itu menghilang ke dalam kegelapan, seperti kabut yang menyelimuti malam. Niko duduk kembali di batu besar, menatap ke langit yang tak terhingga. Ia merasa seperti menemukan sebuah titik terang yang membimbingnya untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda.

Ilmu itu memang tak terhingga, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana ia menerima perjalanan itu, dengan segala ketidakpastian dan keindahannya.

 

Harmoni dalam Ketidakpastian

Niko terbangun pagi itu dengan perasaan yang berbeda. Selama beberapa hari terakhir, ia merasa dunia seakan berbicara dalam bahasa yang tak ia mengerti sepenuhnya. Tetapi sekarang, ada kedamaian dalam hatinya. Rasa itu mengalir begitu lembut, seperti aliran sungai yang tidak terburu-buru, namun tetap membawa segala sesuatu menuju tujuannya. Ia merasa terhubung, lebih dari sebelumnya, dengan dirinya sendiri dan dengan dunia di sekelilingnya.

Hari itu, saat matahari mulai naik tinggi, Niko memutuskan untuk kembali ke tempat yang telah mengubah banyak hal dalam dirinya—gua kecil di pinggiran desa. Tempat itu bukan hanya sebuah lokasi fisik, tetapi juga simbol perjalanan batinnya. Tempat itu mengajarkan dirinya untuk tidak takut menghadapi ketidakpastian, untuk menerima bahwa tidak semua hal memiliki jawaban yang pasti. Tidak ada lagi kekhawatiran tentang mencari solusi yang sempurna. Yang ada hanyalah perjalanan itu sendiri.

Saat ia berjalan menuju gua, perasaan tenang itu menguat, seolah alam mengerti. Angin pagi berhembus pelan, seolah menyambutnya kembali. Begitu sampai di gua, Niko duduk di tempat yang sama, di atas batu besar yang kini terasa lebih nyaman. Ia membuka buku tua itu lagi, tetapi kali ini ia tidak merasa terburu-buru untuk mencari jawaban. Buku itu hanya menjadi teman dalam perjalanan pikirannya, bukan sumber kebenaran mutlak.

Namun, yang berbeda kali ini adalah Niko mulai merasa bahwa jawaban yang ia cari tidak ada dalam kata-kata atau teori. Jawaban itu ada dalam dirinya, dalam cara ia melihat dunia, dalam cara ia menerima ketidakpastian dengan lapang dada. Ia tidak perlu memahami segalanya untuk merasakan kedalaman hidup ini.

Tiba-tiba, suara langkah kaki kembali terdengar di belakangnya. Ia menoleh dan melihat pria yang sama, pria yang telah mengubah cara pandangnya terhadap dunia, berdiri di sana dengan senyuman bijak di wajahnya.

“Kamu kembali,” kata pria itu, suara lembut namun penuh makna.

Niko mengangguk, merasa seolah tak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan perasaannya. “Aku merasa… aku sudah menemukan jawabannya.”

Pria itu duduk di sebelah Niko, sekali lagi menatap langit yang luas. “Apa yang kamu temukan?”

Niko menghela napas dalam-dalam, memikirkan kata-kata yang tepat. “Aku menemukan bahwa tidak ada jawaban yang benar-benar pasti. Dunia ini terlalu luas, terlalu kompleks untuk dipahami hanya dengan logika. Dan itu… itu membuatku merasa lebih hidup.”

Pria itu tersenyum penuh pengertian. “Kamu akhirnya mengerti bahwa ilmu itu tak terhingga, tetapi kita hanya dapat memahami sebagian kecil darinya. Itu bukan tentang mengetahui segalanya, melainkan tentang bagaimana kita hidup bersama ketidakpastian itu.”

Niko menatap pria itu, merasa berterima kasih. “Aku tidak tahu jika aku akan pernah menjadi orang yang sempurna dalam pengetahuan atau kehidupan. Tapi aku tahu, aku ingin terus belajar. Aku ingin terus merasakan dunia ini, dengan segala pertanyaan dan ketidakpastiannya.”

“Dan itu adalah awal yang baik,” kata pria itu dengan penuh keyakinan. “Karena dunia ini, Niko, bukanlah tempat untuk mencari jawaban yang pasti. Dunia ini adalah tempat untuk merasakan, untuk tumbuh, dan untuk menemukan kedamaian dalam ketidakpastian.”

Niko menundukkan kepala, memikirkan setiap kata yang baru saja diucapkan. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya baru saja dimulai. Tidak lagi terikat pada keharusan menemukan jawaban yang sempurna, ia sekarang merasa lebih bebas, lebih siap untuk menerima segala yang datang. Ia ingin menjelajah, belajar, dan merasakan—tanpa beban, tanpa ketakutan akan ketidakpastian.

Seiring dengan senja yang datang, Niko merasakan kedamaian yang dalam. Tidak ada lagi keresahan, tidak ada lagi keinginan untuk mengontrol segala sesuatu. Ia telah belajar untuk hidup dengan ilmu dan dengan ketidakpastian, menemukan harmoni di antara keduanya. Di dunia yang tak terhingga ini, ia tahu bahwa yang paling penting bukanlah seberapa banyak yang ia ketahui, tetapi seberapa besar ia bisa menerima kenyataan bahwa pengetahuan itu terus berkembang—tanpa akhir.

Pria itu berdiri perlahan, bersiap untuk pergi. “Ingatlah, Niko,” katanya, “setiap langkah yang kamu ambil, baik itu dengan pengetahuan atau tanpa pengetahuan, adalah bagian dari perjalanan yang tak terhingga ini. Nikmatilah prosesnya.”

Niko mengangguk, kali ini dengan penuh ketenangan dalam hatinya. “Terima kasih. Aku akan mengingatnya.”

Saat pria itu menghilang ke dalam senja, Niko merasa seolah dunia telah memberi izin padanya untuk hidup sepenuhnya, dengan segala ketidakpastian dan keindahannya. Ia kembali ke desa dengan perasaan yang baru, siap untuk melanjutkan perjalanan hidup yang lebih penuh makna. Karena kini, ia tahu bahwa ilmu itu tak terhingga, dan begitu pula hidup ini.

 

Jadi, kadang kita terlalu sibuk mencari jawaban, padahal yang lebih penting itu adalah bagaimana kita menjalani perjalanan itu. Ilmu memang tak terhingga, dan kadang yang kita butuhkan bukanlah pemahaman sempurna, tapi rasa damai dengan ketidakpastian itu sendiri.

Jadi, jangan takut untuk terus belajar, merasakan, dan tumbuh. Karena hidup, seperti ilmu, nggak pernah berhenti berkembang. Teruslah berjalan, dan nikmati setiap langkahnya.

Leave a Reply