Daftar Isi
Bayangin deh, kalau kamu tiba-tiba terjebak dalam kabut misterius yang nggak bisa dilihat orang lain, dan kamu harus memilih antara menyelamatkan dunia atau terus hidup biasa-biasa aja.
Itulah yang dihadapi Selvara, gadis dengan kekuatan Mata Antariksa yang bisa melihat rahasia dunia tersembunyi. Perjalanan seru dan penuh pilihan berat dimulai, dan siap-siap deh, ceritanya bakal bikin kamu nahan napas!
Mata Antariksa
Mantra di Balik Halaman Kosong
Kabut pagi menyelimuti Argaseta seperti nafas lembut yang berhembus dari tanah. Pohon-pohon tua berdiri diam, seakan menjaga rahasia yang tak pernah terucap. Di pondok kecil di tepi desa, Selvara Yatindra menatap buku yang terbuka di pangkuannya. “Mantra Embun”, buku peninggalan ibunya, selalu menyimpan daya tarik misterius yang tak pernah usang.
Di bawah nyala lentera kecil, jari-jarinya menyentuh halaman-halaman kosong itu dengan hati-hati, seolah menyentuh sesuatu yang hidup. Ia tahu, buku itu bukan sekadar benda mati. Ada saat-saat tertentu, ketika malam mencapai sunyinya yang paling dalam, aksara-aksara akan muncul. Tapi sekarang, hanya sepi yang menyapanya.
“Kenapa lagi kamu diam?” gumam Selvara sambil menghela napas. Ia menutup buku itu perlahan, lalu memandang keluar jendela. Kabut begitu tebal pagi ini, hampir seperti tirai yang enggan disibak.
Ketukan kecil di pintu memecah lamunannya. Selvara melangkah ke pintu, dan begitu ia membukanya, wajah seorang anak kecil muncul, separuh tersembunyi di balik keranjang bambu.
“Selvara, ini buat kamu,” kata anak itu, menyerahkan sekumpulan bunga liar yang terikat benang kasar.
“Terima kasih, Tira. Kenapa pagi-pagi sudah repot-repot?” Selvara tersenyum kecil, menerima bunga itu dan meletakkannya di meja dekat lentera.
“Kata ibu, kamu suka bunga ini. Oh, sama… ibu juga bilang kamu mungkin mau datang ke perayaan di desa nanti malam.”
Selvara terdiam sejenak. Perayaan? Ia hampir lupa kalau malam ini adalah malam penuh bulan. Biasanya, desa akan menggelar pesta kecil dengan lentera-lentera berwarna dan musik. Tapi ia tahu, kehadirannya sering membuat suasana canggung.
“Aku pikir dulu, ya,” jawab Selvara akhirnya.
Tira mengangguk cepat, lalu berlari pergi, meninggalkan jejak langkah kecil di tanah lembap. Selvara menutup pintu perlahan, kembali duduk, dan memandangi buku itu lagi. Kali ini, ia membukanya dengan rasa tak sabar.
Saat itulah aksara pertama muncul, samar tapi jelas. Huruf-huruf itu terukir seolah-olah dari cahaya:
“Di bawah kabut yang abadi, embun menyimpan jalan.”
Jantungnya berdegup kencang. Kata-kata itu seperti bisikan dari dunia lain, menggelitik rasa ingin tahu yang selama ini ia pendam.
Malam itu, ia memutuskan untuk pergi ke perayaan. Kabut mulai mereda saat bulan penuh menggantung di langit, cahayanya menembus lembah. Di tengah desa, lentera warna-warni tergantung di sepanjang pohon dan tenda-tenda kecil berjejer dengan makanan serta kerajinan tangan.
Namun, kehadiran Selvara selalu menjadi tanda tanya bagi penduduk. Ia bisa merasakan tatapan mereka, bisik-bisik yang mengikutinya dari sudut-sudut tenda. Tak ada yang menyapanya, kecuali satu orang: Rendra, seorang pemuda pembuat alat musik yang dikenal karena suaranya yang riang.
“Selvara!” panggil Rendra, melambai dari sudut dekat pohon besar.
Selvara menoleh, sedikit ragu sebelum mendekat. “Kamu kenapa di sini sendirian?” tanya Rendra.
“Aku hanya ingin melihat perayaan. Tidak ada yang mengundangku,” jawab Selvara, suaranya hampir tenggelam dalam keramaian.
Rendra tertawa kecil. “Kamu nggak perlu diundang. Semua orang juga tahu, kamu sebenarnya bagian dari desa ini.”
Selvara tersenyum tipis. Bagian dari desa ini? Sulit rasanya mempercayai itu ketika selama bertahun-tahun ia dianggap berbeda. Namun, sebelum ia sempat membalas, Rendra menunjuk ke lentera terbesar di tengah lapangan.
“Kabarnya, tahun ini lentera itu dibuat dari kain sutra yang langka. Katanya, kain itu pernah dipakai untuk upacara leluhur.”
Selvara memandangi lentera itu dengan saksama. Warnanya keemasan, hampir seperti sinar matahari yang terperangkap di dalamnya. Tiba-tiba, cahaya itu mengingatkannya pada aksara yang muncul di buku tadi.
“Rendra, apa kamu pernah dengar tentang kabut dan embun yang… menyimpan jalan?” tanyanya pelan.
Rendra mengerutkan dahi, lalu menggeleng. “Aku nggak yakin. Tapi, kalau kamu tanya soal kabut, semua orang di desa tahu kalau kabut ini nggak pernah hilang. Ada yang bilang, kabut ini adalah pelindung.”
“Pelindung?” Selvara memiringkan kepala.
“Iya. Pelindung dari sesuatu yang lebih buruk,” kata Rendra sambil menatap langit. “Tapi aku nggak tahu apa maksudnya.”
Obrolan mereka terhenti oleh suara gong besar yang menandakan dimulainya tarian tradisional. Rendra tersenyum padanya sebelum pergi ke tengah lapangan, meninggalkannya sendiri.
Namun, Selvara tidak lagi memikirkan lentera atau tarian. Kata-kata di buku itu terus berputar di benaknya. Di bawah kabut yang abadi, embun menyimpan jalan.
Ia tahu, ada sesuatu yang harus ia temukan.
Kabut dan Lingkaran Embun
Malam terus berjalan, membawa hawa dingin yang menggigit. Suara musik dan tawa dari perayaan desa memudar saat Selvara melangkah menjauh dari keramaian. Ia tak bisa mengusir rasa gelisah yang menjalari pikirannya sejak membaca pesan di buku tadi.
Buku itu seolah memanggilnya kembali. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata samar itu, sesuatu yang memintanya untuk bertindak. Ia kembali ke pondok dengan langkah cepat, membuka pintu dan langsung duduk di meja kayu kecil tempat buku itu masih terbuka. Lentera kecil di sebelahnya menebarkan cahaya keemasan, memperlihatkan halaman yang kini kembali kosong.
“Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu,” bisiknya, seperti berbicara kepada buku itu.
Namun, tak ada respons. Halaman-halaman tetap putih polos seperti kanvas yang menunggu sentuhan pertama kuas. Ia menekan jemarinya ke permukaan kertas, berharap ada keajaiban yang muncul lagi.
Saat itulah angin tiba-tiba berhembus dari jendela yang setengah terbuka, meniupkan aroma lembap khas kabut. Lentera bergoyang, nyalanya hampir padam, dan tiba-tiba buku itu terbuka dengan sendirinya. Selvara mundur selangkah, terkejut.
Halaman itu tidak lagi kosong. Kali ini, muncul gambaran lingkaran aneh yang terbuat dari embun, seperti cermin bundar yang melayang di atas tanah. Di sekeliling lingkaran itu, ada pohon-pohon yang ia kenali: pohon beringin besar di tengah desa.
“Lingkaran embun…” gumamnya.
Tanpa pikir panjang, ia mengambil mantel cokelatnya dan melangkah keluar ke malam yang dingin. Bulan purnama masih menggantung di langit, memberikan cukup cahaya untuk membimbing langkahnya. Ia berjalan ke arah pohon beringin tua, melewati jalan setapak yang dibatasi semak-semak dan bebatuan.
Semakin dekat ke pohon itu, kabut terasa semakin tebal, seperti menyelimuti tubuhnya dengan kelembapan yang dingin. Pohon beringin tua itu tampak megah di bawah sinar bulan, dengan akar-akarnya yang menggantung seperti tirai.
Selvara berdiri di bawah pohon itu, menatap tanah lembap di depannya. Ia merasa seperti orang bodoh, berdiri sendirian di malam hari tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Tapi saat ia menundukkan kepala, sesuatu yang aneh terjadi.
Embun mulai muncul, membentuk lingkaran sempurna di tanah. Cahaya bulan memantulkan kilauan lembut di setiap tetesnya. Lingkaran itu terlihat persis seperti yang ia lihat di dalam buku.
“Apa ini…?” Selvara berlutut, memerhatikan lingkaran itu lebih dekat. Tetesan embun mengalir perlahan, membentuk pola yang bergerak seolah hidup. Ia merasa tertarik untuk menyentuhnya.
Tanpa berpikir panjang, ia mengulurkan tangan. Begitu jemarinya menyentuh lingkaran itu, tubuhnya seperti ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Dunia di sekelilingnya berubah sekejap mata.
Selvara terbangun di tempat yang sama sekali asing. Tanah di bawah kakinya lembut seperti lumut basah, dan udara di sekitarnya penuh dengan aroma bunga yang manis. Ia berdiri di tengah hutan dengan pepohonan tinggi menjulang, daunnya bersinar seperti kristal. Langit di atasnya bukan biru seperti biasa, melainkan penuh dengan warna ungu dan emas, seperti lukisan yang hidup.
“Di mana aku?” bisiknya, mencoba memahami apa yang terjadi.
Suara langkah lembut terdengar dari arah belakang. Selvara berbalik, berjaga-jaga. Sosok seorang pria muncul dari balik pohon. Ia mengenakan jubah biru tua yang memantulkan cahaya samar, dan wajahnya terlihat begitu tenang, seolah ia adalah bagian dari tempat ini.
“Selvara Yatindra,” ucap pria itu dengan nada yang hangat namun tegas.
Selvara mundur selangkah. “Siapa kamu? Dan kenapa kamu tahu namaku?”
Pria itu tersenyum tipis. “Namaku Rajendra Kalantara. Aku sudah lama menunggumu.”
Selvara mengerutkan dahi. “Menungguku? Apa maksudmu? Dan tempat apa ini?”
Rajendra melangkah mendekat, tangannya terangkat seolah ingin menenangkan. “Ini adalah batas antara dunia yang kau kenal dan sesuatu yang lebih besar. Aku adalah penjaga keseimbangan, dan aku di sini untuk menunjukkan apa yang harus kau ketahui.”
Selvara menatapnya penuh curiga. “Apa maksud semua ini? Aku hanya membaca buku, mengikuti lingkaran embun, dan tiba-tiba aku ada di sini. Apa hubungannya denganku?”
Rajendra menatapnya dengan serius. “Kabut di desamu bukan kabut biasa. Itu adalah penjara, perisai yang melindungi dunia ini dari sesuatu yang sangat berbahaya.”
Selvara menelan ludah. “Perisai? Melindungi dari apa?”
Rajendra menghela napas panjang. “Dari Karsa Bayangan, kekuatan gelap yang bisa menghancurkan keseimbangan dunia ini. Selama bertahun-tahun, kabut itu menahannya. Dan kau, dengan kemampuan Mata Antariksa-mu, adalah satu-satunya yang bisa membuka pintu atau menutupnya selamanya.”
Selvara terdiam, mencoba mencerna semua yang baru saja ia dengar. Kata-kata Rajendra bergema di kepalanya, menciptakan ribuan pertanyaan.
“Apa maksudmu aku bisa membuka atau menutupnya? Aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan,” katanya akhirnya.
Rajendra menatapnya dengan lembut. “Semua akan terjawab pada waktunya. Tapi untuk sekarang, kau harus memilih: tetap melangkah maju, atau kembali ke desamu tanpa pernah tahu kebenarannya.”
Selvara menatap pria itu dengan tatapan penuh kebimbangan. Ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah.
Rahasia di Langit Berbintang
Langit ungu di atas kepala Selvara berubah perlahan, seolah menyusun pola-pola aneh dari bintang yang tak ia kenali. Rajendra berdiri diam, matanya memandang jauh, seperti membaca sesuatu yang tak terlihat.
“Kenapa aku harus memilih? Kenapa bukan orang lain?” Selvara akhirnya membuka suara. Suaranya terdengar seperti bisikan di tengah keheningan hutan aneh itu.
Rajendra mengalihkan pandangannya padanya. “Karena kamu adalah Mata Antariksa, pewaris kemampuan yang langka. Dunia ini tidak memilih sembarang orang untuk menjaga keseimbangan. Kamu dipilih karena darahmu, sejarahmu, dan takdir yang kau bawa.”
“Takdir?” Selvara mendengus pelan. “Aku tidak pernah meminta semua ini. Aku bahkan tidak tahu apa itu Mata Antariksa sampai sekarang.”
Rajendra melangkah mendekat, melingkari Selvara dengan tatapan penuh arti. “Mata Antariksa bukan sekadar kemampuan untuk melihat hal-hal yang tersembunyi. Itu adalah kemampuan untuk memahami dunia di antara dunia—melihat batas, membaca rahasia, dan membuka pintu yang terkunci oleh waktu. Mata Antariksa adalah alat, tapi kamu, Selvara, adalah kunci.”
Selvara menghela napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa takut yang perlahan menggerogotinya. “Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang? Membuka pintu itu? Atau menutupnya selamanya?”
Rajendra mengangguk pelan. “Itulah pilihan yang harus kamu buat. Tapi sebelum kamu memutuskan, ada sesuatu yang harus kamu lihat.”
Rajendra melambaikan tangannya, dan udara di sekitar mereka berubah. Seolah-olah tabir yang tidak kasatmata tersingkap, memperlihatkan sesuatu yang sebelumnya tersembunyi. Selvara terperangah saat melihat dunia di sekelilingnya.
Di kejauhan, ia melihat sebuah lembah yang diliputi kegelapan. Kabut pekat berputar-putar di atasnya seperti pusaran air, memancarkan cahaya ungu gelap yang terasa menakutkan. Di tengah lembah itu berdiri sosok besar yang menyerupai bayangan manusia, tapi tubuhnya terbuat dari asap pekat. Matanya memancarkan cahaya merah yang menyala.
“Itu… apa?” Selvara bergumam, suaranya hampir lenyap.
“Itulah Karsa Bayangan,” jawab Rajendra dengan nada datar. “Kekuatan yang telah terkurung selama ratusan tahun di bawah kabut desa Argaseta. Jika kabut itu menghilang, ia akan bebas, dan kehancuran akan menyebar ke seluruh dunia.”
Selvara merinding. Bayangan itu terasa seperti kegelapan yang hidup, mengancam untuk menelan segalanya. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya meskipun rasa takut menghantam jantungnya.
“Dan bagaimana aku bisa menghentikannya?” tanyanya akhirnya, suaranya hampir patah.
“Kabut itu adalah penghalangnya,” jawab Rajendra. “Sebagai Mata Antariksa, kamu bisa memperkuat kabut itu sehingga tidak ada yang bisa menembusnya. Tapi itu berarti kamu harus tinggal di sana, menjadi penjaga selamanya. Tidak akan ada jalan keluar untukmu.”
Selvara terdiam. Ia merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya, lebih menusuk daripada udara lembah yang penuh kabut.
“Dan jika aku memilih membuka pintunya?”
“Jika pintu itu terbuka, maka kabut akan lenyap. Dunia di luar Argaseta akan tahu tentang Karsa Bayangan, tapi konsekuensinya… mungkin lebih besar dari yang bisa kamu bayangkan.”
Selvara memeluk dirinya sendiri. Pilihan itu terasa seperti jerat, menekan dari segala arah. Ia tidak tahu apa yang lebih mengerikan: terkurung dalam kabut selamanya, atau membiarkan dunia menghadapi kegelapan itu.
Mereka melanjutkan perjalanan ke sebuah bukit yang terletak di tepian hutan. Di puncaknya, Rajendra berhenti dan menunjuk ke langit. “Lihatlah,” katanya.
Selvara mendongak. Bintang-bintang di atasnya membentuk pola aneh, seperti peta yang saling terhubung oleh garis-garis cahaya. Di tengah pola itu, ia melihat sebuah simbol yang dikenalnya—lingkaran embun seperti yang ada di buku “Mantra Embun”.
“Itu adalah peta,” kata Rajendra. “Lingkaran embun yang kamu temukan tadi malam hanyalah awal. Ada lima lingkaran lagi yang harus kamu temukan, masing-masing menyimpan kekuatan untuk mengunci kabut atau membukanya selamanya.”
Selvara menatap peta itu dengan perasaan campur aduk. “Lima lingkaran lagi? Bagaimana aku tahu di mana mencarinya?”
Rajendra tersenyum tipis. “Buku itu akan membimbingmu. Tapi ingat, setiap lingkaran memiliki penjaganya. Mereka tidak akan menyerah begitu saja. Kamu harus bersiap menghadapi apa pun.”
Selvara terdiam, pikirannya dipenuhi oleh ribuan pertanyaan. Tapi ada satu yang terus menghantuinya.
“Kenapa aku harus memutuskan segalanya sendirian? Kenapa tidak ada orang lain yang bisa membantu?”
Rajendra menatapnya dengan mata yang penuh kebijaksanaan. “Karena ini adalah perjalananmu. Hanya kamu yang memiliki Mata Antariksa, hanya kamu yang bisa melihat apa yang tersembunyi. Dunia ini bergantung padamu, Selvara. Tapi pada akhirnya, pilihan tetap di tanganmu.”
Angin berhembus pelan, membawa aroma bunga dari hutan di bawah mereka. Selvara menatap langit lagi, melihat peta bintang itu seolah mencari jawaban.
Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Tapi ia juga tahu, jalannya akan penuh bahaya dan keputusan yang sulit.
Pilihan Sang Penjaga Kabut
Pagi itu, kabut di desa Argaseta terasa lebih berat dari biasanya. Selvara berdiri di depan pintu pondoknya, memandang ke luar dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Setiap langkah yang ia ambil kini membawa beban yang semakin besar. Keputusan yang ia buat tidak hanya akan menentukan nasibnya, tetapi juga nasib dunia di luar kabut yang selama ini menutupinya.
Malam sebelumnya, saat Rajendra menghilang dalam bayang-bayang hutan, Selvara berjanji untuk mencari lima lingkaran embun lainnya. Setiap lingkaran membawa jawaban, kunci dari pilihan yang harus ia buat. Namun, semakin ia memikirkan perjalanan itu, semakin ia merasa semakin jauh dari rumah. Rumah yang kini terasa seperti tempat asing, penuh dengan bayang-bayang pertanyaan.
Akhirnya, ia mengambil keputusan. Ia harus melanjutkan perjalanan itu. Menemukan lingkaran- lingkaran itu, bertemu dengan penjaga mereka, dan menghadapi Karsa Bayangan. Tidak ada lagi jalan mundur. Tidak ada lagi waktu untuk ragu. Dunia yang ia kenal akan bergantung pada apa yang ia pilih.
Tiba-tiba, ketukan pelan di pintu memecah kesunyian. Selvara membuka pintu, dan di ambang pintu berdiri Tira, dengan wajah yang penuh kebingungan.
“Selvara… Ibu berkata, ada sesuatu yang salah. Kabut itu… semakin tebal.”
Selvara menatap Tira, lalu melihat ke luar. Kabut yang menyelimuti desa memang lebih tebal daripada hari-hari sebelumnya, menutupi jalan setapak dan menutupi wajah desa yang biasanya dikenal dengan kehangatannya. Perasaan aneh muncul di dadanya.
“Tira, kamu… kamu harus tetap di dalam. Jangan keluar sampai kabut ini hilang.” Suara Selvara terdengar lebih berat dari biasanya.
“Apa yang akan kamu lakukan?” Tira bertanya dengan mata yang penuh harap. “Kamu akan pergi, bukan?”
Selvara terdiam. Matanya berkelana pada wajah Tira yang polos, wajah seorang anak yang tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ia ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi itu bukanlah kenyataan. Dunia mereka sedang berdiri di ambang perubahan yang tak bisa lagi dihindari.
“Ya, aku harus pergi,” jawab Selvara pelan, “Tira, jaga desamu. Jangan biarkan apapun menghalangi langkahmu.”
Tira menatapnya lama, seperti mencoba memahami. Akhirnya, dia mengangguk dan berbalik, meninggalkan Selvara sendirian dengan perasaannya yang semakin berat.
Selvara berjalan menyusuri jalan setapak yang dibatasi pepohonan, dengan kabut yang semakin menebal di sekelilingnya. Setiap langkahnya terasa semakin jauh dari rumah, semakin jauh dari kehidupan yang pernah ia kenal. Dunia baru ini terasa asing dan menakutkan. Tetapi di balik ketakutan itu, ada dorongan kuat untuk terus maju.
Di tengah perjalanan, sebuah suara lembut memanggil namanya dari kejauhan.
“Selvara…”
Ia berbalik dan melihat sosok yang sudah ia kenal. Rajendra, kini berdiri di tengah kabut, dengan cahaya biru yang memancar dari jubahnya.
“Rajendra,” serunya, merasa sedikit lega melihat wajah yang familiar di tengah kebingungannya.
Rajendra melangkah mendekat, wajahnya serius namun penuh kehangatan. “Kamu sudah siap?”
Selvara mengangguk. “Aku tak bisa mundur sekarang. Aku harus melanjutkan perjalanan ini.”
Rajendra menatapnya dengan tatapan yang seolah menilai, sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Kau akan menghadapi banyak hal dalam perjalanan ini. Setiap lingkaran embun yang kamu temui akan menguji keberanianmu, bukan hanya fisikmu, tetapi juga hati dan pikiranmu.”
“Apakah aku akan menemui penjaganya?” tanya Selvara.
“Ya,” jawab Rajendra. “Mereka adalah pelindung. Setiap lingkaran embun memiliki penjaganya. Mereka akan mengujimu untuk menentukan apakah kamu benar-benar layak membuka atau menutup pintu itu selamanya.”
Selvara menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari petunjuk dalam kata-kata Rajendra. “Tapi apa yang akan terjadi jika aku gagal? Jika aku tidak bisa menutup atau membuka pintu itu dengan benar?”
Rajendra diam sejenak, kemudian berbicara dengan suara yang lebih dalam, penuh peringatan. “Karsa Bayangan akan bebas, dan semuanya akan hancur. Kabut yang menyelimuti Argaseta adalah segel yang melindungi dunia kita dari kehancuran. Kalau kamu memilih membuka pintu itu, dunia ini akan mengalami penderitaan yang tak terbayangkan.”
Selvara menelan ludah, hatinya mulai dipenuhi oleh kekhawatiran. Tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Terlalu banyak yang bergantung pada pilihannya.
Rajendra mendekat, menepuk bahunya dengan lembut. “Ingat, kamu bukan hanya seorang penjaga. Kamu adalah pengubah takdir. Dunia ini memilihmu, Selvara. Percayalah pada dirimu sendiri.”
Selvara melangkah pergi dengan langkah pasti, meninggalkan Rajendra di belakang. Kabut mulai mengelilinginya lagi, tetapi kali ini, ia merasa lebih kuat. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, dan ia harus menghadapi setiap tantangan dengan keberanian.
Di dalam dadanya, ada api kecil yang terus menyala. Api yang akan membimbingnya melewati kegelapan, melewati ketakutan, dan melewati pilihan yang tak terhindarkan.
Langkah demi langkah, ia menuju ke tempat pertama yang harus ia temui—lingkaran embun pertama yang akan membuka jalannya menuju takdirnya yang lebih besar. Dan dengan setiap langkah itu, ia merasa semakin dekat dengan kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik kabut.
Tiba-tiba, sebuah suara angin terdengar, melengking tinggi di telinganya. Ia berhenti dan menoleh. Di depannya, kabut mulai terpecah, membentuk pola aneh yang mengarah ke sebuah jalan sempit, hanya bisa dilalui oleh satu orang. Di ujung jalan itu, sebuah cahaya mulai tampak.
Selvara tahu, itu adalah jalannya. Jalannya menuju takdir yang tak bisa dihindari.
Dengan satu tarikan napas panjang, ia melangkah maju, tidak menoleh lagi. Dunia ini menunggu, dan ia harus siap untuk menghadapi semuanya.
Jadi, gimana menurutmu? Kalau kamu jadi Selvara, pilihannya apa? Terus bertahan dalam kabut atau menghadapi bahaya di luar sana? Yang pasti, perjalanan Selvara nggak berhenti di sini.
Masih banyak rahasia yang belum terungkap, dan mungkin, dunia kita sendiri juga bergantung pada langkah selanjutnya. Siapa tahu, takdir kita nggak jauh beda, kan?