Terjebak di Dimensi Lain: Cerpen Plot Twist Penuh Penyesalan dan Keputusan Fatal

Posted on

Pernah nggak sih, ngerasa kalau segala pilihan yang kita buat kayaknya cuma nambah masalah? Kayak, udah salah ambil langkah, malah jadi terjebak di tempat yang nggak pernah kita bayangin sebelumnya. Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dunia yang nggak cuma bikin bingung, tapi juga penuh penyesalan.

Semua keputusan, bahkan yang paling sederhana sekalipun, ternyata bisa berubah jadi kesalahan fatal yang bakal ngehantui seumur hidup. Kalau kamu suka cerita yang penuh twist dan bikin mikir, siap-siap aja dibawa ke dimensi yang jauh dari kata biasa. Enjoy, ya!

 

Terjebak di Dimensi Lain

Lorong Tanpa Ujung

Semuanya terasa kabur. Ketika aku membuka mata, aku berharap ini hanya mimpi—mimpi buruk, mungkin. Tapi ketika pandanganku mulai terfokus, aku tahu itu bukan mimpi. Lorong panjang yang tak berujung ini, dengan kabut tipis menyelimuti setiap inci ruang, tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Aku berdiri, mencoba mengatur napas, meskipun dada terasa berat. Sepertinya aku baru saja terjatuh, atau… entahlah, aku bahkan tidak bisa mengingat bagaimana aku bisa berada di sini. Ini bukan tempat yang kukenal. Tidak ada suara apapun selain desahan napasku yang bergema di udara sepi. Bahkan langkah kakiku terasa aneh, seolah-olah aku berjalan di atas permukaan yang tak rata, meskipun mataku melihat semuanya datar.

“Apa ini?” gumamku, suara sendiri terasa asing di telingaku. Aku memiringkan kepala, mencoba mencari petunjuk apapun. Lorong ini… tak ada ujungnya. Semuanya sama, hanya kabut dan bayangan gelap yang membelai tepian. Aku bisa merasakan hawa dingin yang menggigit kulit, tapi tak ada angin yang menyapu. Hanya diam.

Aku mencoba melangkah. Hati ini berdebar-debar, seperti ada sesuatu yang terus menekanku. Ke mana aku harus pergi? Apa yang terjadi?

Tak ada jawaban. Hanya langkahku yang teredam dalam keheningan.

Setelah beberapa menit, aku berhenti. Di depanku, ada sebuah pintu besar yang muncul entah dari mana. Pintu itu tampak kuno, dengan ukiran-ukiran rumit di sekelilingnya. Entah kenapa, aku merasa tidak ingin membuka pintu itu, tetapi rasa penasaran lebih kuat dari rasa takut. Aku melangkah mendekat dan menggerakkan tangan untuk memegang gagangnya.

Pintu itu berat. Tapi ketika aku membukanya, ruangan yang terbuka di hadapanku tak seperti yang kubayangkan. Tidak ada kegelapan lagi, tidak ada kabut. Sebaliknya, ruangan ini terang benderang, dengan dinding kaca yang membatasi setiap sisi, seperti aku berada di dalam sebuah lab besar. Mesin-mesin dengan berbagai alat yang tidak aku kenal berdengung pelan. Semua terasa asing. Bahkan udara di sini berbeda—lebih kering, lebih steril.

Aku mengedarkan pandangan, mencari sesuatu yang bisa menjelaskan keadaan ini. Di sudut ruangan, ada meja panjang dengan tumpukan dokumen yang sepertinya tak pernah disentuh. Aku berjalan ke sana, harapan kecil muncul di dalam dada. Mungkin ada sesuatu yang bisa memberi penjelasan.

Aku meraih sebuah foto yang tergeletak di atas meja. Foto itu terlihat biasa saja, tetapi saat aku menatapnya lebih dekat, aku terkejut. Itu… itu adalah diriku. Aku melihat diriku sendiri dalam foto, tapi ada sesuatu yang tidak beres. Sosok di dalam foto itu lebih muda, lebih ceria—dan aku bisa melihat diriku yang lebih tua berdiri di sampingnya, dengan ekspresi kosong yang tidak aku kenal.

“Kenapa…” Suaraku tercekat. Foto itu tergelincir dari tanganku dan jatuh ke lantai. Aku menatapnya, bingung. Apa maksudnya ini?

Aku menundukkan kepala, merasakan kepalaku yang mulai berdenyut. Sesuatu tidak beres, aku tahu itu. Rasanya seperti ada yang memutar otakku, membuatku semakin pusing.

“Apa yang sedang terjadi?” Aku berbisik pada diriku sendiri, mencoba mencari kepingan logika yang mungkin hilang. “Kenapa aku bisa berada di sini? Dan apa hubungannya foto ini dengan aku?”

Suasana ruangan semakin mencekam. Bayangan hitam mulai berkelebat di luar kaca, bergerak perlahan tapi pasti. Aku merasa tubuhku semakin berat. Apa ini? Apa yang aku rasakan ini?

Panik mulai menggerogoti diriku. Aku berlari, tapi setiap langkahku hanya membawaku lebih dalam ke dalam labirin yang tidak berujung ini. Aku tidak tahu ke mana harus pergi, atau apa yang harus aku lakukan. Aku mencoba menenangkan diri, tetapi tidak ada yang bisa menenangkan kekacauan dalam pikiranku.

Kemudian, aku melihatnya. Bayangan itu. Sosok yang berdiri di ujung ruangan, menatapku. Aku menelan ludah, menatapnya dengan ragu. Itu—itu diriku sendiri. Tapi lebih muda. Aku mengenal wajah itu, meskipun perasaan yang ditimbulkannya sangat asing.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku tanpa sadar, berusaha berbicara dengan tenang, meskipun suara itu terdengar begitu rapuh.

Sosok itu tidak menjawab, hanya tersenyum, tapi senyuman itu tidak membawa kedamaian. Justru, ada sesuatu yang gelap di balik senyuman itu. “Kamu tahu kenapa kamu ada di sini, Darya,” suara itu akhirnya terdengar, datang dari mulutku sendiri.

Aku terdiam. “Kenapa aku ada di sini?” aku bertanya lagi, tidak mengerti.

Sosok itu hanya tersenyum lebih lebar, tapi tidak ada jawaban. Aku merasa hatiku semakin tertekan. Ketika aku mencoba melangkah mendekat, tubuhku terasa sangat berat. Seolah ada kekuatan yang menahanku. Langkahku menjadi pelan, bahkan untuk mendekati bayangan itu saja terasa seperti perjuangan besar.

“Darya…” suara itu kembali terdengar, lebih jelas. Tapi kali ini, bukan hanya sosok itu yang berbicara. Suara itu datang dari dalam kepalaku, membungkam segala pikiran rasional. “Kamu telah melakukan kesalahan besar.”

Aku tersentak. “Kesalahan?” Aku bergumam, kebingungan melanda. Apa maksudnya?

Sosok itu menatapku dengan tatapan yang sangat dalam, membuatku merasa seperti terperangkap dalam matanya. “Kesalahan fatal,” jawabnya dengan perlahan. “Dan kamu sekarang terperangkap di dalamnya.”

Aku mundur, terengah-engah. “Apa maksudmu? Apa yang terjadi dengan aku?”

Namun, bayangan itu hanya diam. Suara itu di dalam kepalaku semakin keras, dan aku bisa merasakannya—terperangkap. Terjebak. Apakah aku telah menghancurkan sesuatu yang tak bisa dikembalikan? Waktu? Kenangan? Atau sesuatu yang lebih besar?

Suaranya semakin bergaung, semakin memutar pikiranku. “Apa yang kamu lakukan… tidak bisa diubah.”

 

Pintu yang Tak Terlihat

Aku terengah-engah, kepalaku berputar, dan tubuhku terasa lemas. Suara itu terus bergema di dalam pikiranku, semakin mengguncang. Semua kata-kata itu menghujamku seperti batu yang dilemparkan ke wajahku. “Kesalahan fatal…” kata sosok itu. “Kamu terperangkap.” Apa yang aku lakukan sampai bisa terjebak di sini?

Aku merasakan panas yang memancar dari kulitku, meskipun ruangan ini terasa dingin. Rasanya seperti ada api yang membakar dari dalam. Aku ingin berteriak, melawan, tapi tidak ada suara yang keluar. Aku hanya bisa berlutut di lantai, cemas dan bingung.

Lama-kelamaan, rasa pusing itu mulai mereda. Aku menggenggam tengkukku, mencoba menenangkan diri. Setidaknya aku masih bisa berpikir—meskipun pemikiranku terasa terpecah belah. Sosok itu hilang, entah ke mana, dan ruang di sekelilingku terasa semakin sunyi. Hanya ada aku dan bayangan diriku yang menghilang begitu saja.

Pintu yang aku buka tadi sepertinya sudah tidak ada lagi. Itu menghilang, lenyap begitu saja dari pandanganku. Aku berdiri, dengan perasaan semakin terisolasi, bertanya-tanya di dalam hati apa yang sedang terjadi.

Tapi, ketika aku menoleh, aku melihat sebuah pintu kecil di ujung lorong—pintu yang sama sekali tidak terlihat sebelumnya. Awalnya aku ragu, namun rasa penasaran itu kembali membangkitkan hasrat untuk mencari jalan keluar. Apakah ini jawaban? Apakah ini pintu yang akan membawa aku keluar dari dimensi yang membingungkan ini?

Aku berjalan pelan, mataku terfokus pada pintu itu. Setiap langkahku terasa berat, seolah semakin banyak beban yang ditimpakan pada tubuhku. Namun, aku terus maju, tidak peduli betapa absurdnya semua ini. Begitu aku sampai di depan pintu, aku merasakan getaran aneh—seperti ada kekuatan yang menarikku masuk.

Pintu itu terbuka tanpa suara. Aku melangkah masuk, dan kali ini, suasana di balik pintu itu sangat berbeda. Ruangan ini… terasa seperti dunia lain. Semua benda di sekitarku tampak biasa, namun ada sesuatu yang tidak bisa kutangkap. Dinding-dindingnya, meskipun terlihat kokoh, tidak beraturan, seperti tidak memiliki arah yang pasti. Pijakan di lantainya terasa goyah, seperti bisa berubah kapan saja.

Mataku berkeliling mencari tanda-tanda familiar. Di depan, ada meja besar dengan beberapa buku yang terbuka, namun tidak ada orang. Sepertinya tempat ini tidak berpenghuni. Aku mendekati meja itu, mengamati halaman-halaman buku yang tergeletak di atasnya.

Tulisan-tulisan itu tampak seperti catatan ilmiah, namun bahasanya sangat rumit, sulit dimengerti. Aku memandangi satu halaman yang terbuka, mencoba menelaah maknanya, namun tiba-tiba aku merasa seperti dibebani oleh seratus pikiran sekaligus.

Lalu, sebuah suara terputus menggema di ruangan ini, mengganggu pikiranku yang tengah terfokus. “Kamu tidak akan mengerti.” Suara itu datang entah dari mana, tetapi sangat jelas. Seolah-olah kata-kata itu berasal dari dalam kepalaku sendiri. Aku berbalik, berusaha mencari sumber suara itu, namun tidak ada siapa pun.

“Apa yang kamu maksud?” tanyaku, lebih kepada diriku sendiri, meskipun aku merasa suara itu bukan hanya imajinasi. Ada sesuatu yang nyata, sesuatu yang mengawasi gerak-gerikku.

“Ini adalah waktumu,” suara itu kembali bergema. “Untuk mengakhiri semua ini, kamu harus membuat pilihan.”

Pilihan. Pilihan tentang apa? Apa yang harus aku pilih di sini, di tempat yang tak aku mengerti ini?

Aku merasa diriku semakin tenggelam dalam kebingungan. “Pilihan apa yang harus aku buat?” Suaraku serak, penuh kebingungan. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.

Tiba-tiba, sebuah gambar muncul di atas meja—gambar yang sangat familiar. Gambar itu adalah potret dari sosok yang terlihat lebih muda dariku, sama seperti foto yang kutemukan sebelumnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Di samping sosok itu, ada aku. Tetapi… ada ekspresi yang aneh di wajahku—sosok yang lebih muda itu tersenyum penuh harapan, sementara aku terlihat cemas, seolah-olah aku tahu sesuatu yang mengerikan.

Gambar itu terlepas dari meja dan melayang di udara, lalu perlahan jatuh ke lantai. Aku membungkuk dan memungutnya, menatap wajahku sendiri dengan penuh pertanyaan.

“Tidak bisa diubah,” suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras, menuntun pikiranku ke satu kesimpulan yang menakutkan. “Apa yang terjadi di masa lalu, sudah ditentukan.”

Aku ingin berteriak, namun bibirku terkunci rapat. Aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang menghalangi aku untuk bergerak lebih jauh, untuk memahami semuanya. Apa yang sudah terjadi? Kenapa aku terjebak di sini? Dan siapa yang mengendalikan ini?

Sekelilingku mulai berputar. Lorong-lorong gelap yang sebelumnya tidak tampak semakin mengelilingiku, seperti jebakan yang tidak bisa kuhindari. Aku ingin berlari, tapi langkahku hanya membawa aku lebih jauh ke dalam kegelapan.

Dan saat itulah, sebuah pintu muncul di hadapanku—tapi kali ini, pintu itu terlihat lebih gelap daripada yang pernah kulihat sebelumnya. Pintu itu seperti menawarkan jawaban, atau malah lebih tepatnya… sebuah jebakan.

Aku menatap pintu itu dengan cemas. “Apakah aku siap untuk melangkah ke dalamnya?” tanyaku pada diriku sendiri. Tapi jawabannya, entah kenapa, terasa sangat jelas. Aku tidak punya pilihan lain.

Aku melangkah maju, memasuki pintu yang seolah memanggilku, tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

 

Jejak Tak Terlihat

Pintu itu tertutup dengan keras setelah aku melangkah masuk, seolah mengunci jalan keluar yang baru saja kutinggalkan. Aku terdiam sejenak, berusaha menenangkan napasku yang tersengal. Ruangan yang kini mengelilingiku tidak jauh berbeda dengan tempat sebelumnya, namun ada sesuatu yang lebih… menyesakkan. Suasana terasa lebih berat, seperti ada beban yang menindih setiap langkahku.

Aku menggerakkan kaki, perlahan mencoba mencari tahu arah dan tujuan, namun setiap langkah terasa semakin sulit. Lantai yang kukinjak terasa rapuh, seolah bisa ambruk kapan saja. Di sekelilingku hanya ada kegelapan yang melingkupi, tak ada cahaya yang cukup untuk memanduku. Namun aku merasakan sesuatu—semacam getaran halus di udara yang membuatku semakin merasa terperangkap.

Ada suara langkah kaki di kejauhan. Aku berhenti sejenak, menunggu, berharap itu bukan suara khayalanku sendiri. Suara itu semakin mendekat, seiring dengan detakan jantungku yang makin tak terkendali. Siapa yang ada di sini? Aku tak melihat siapa pun, tapi entah kenapa aku merasa seperti ada yang mengamatiku, mengikuti setiap gerak-gerikku.

Dan akhirnya, dari balik kegelapan, muncul sosok itu. Seorang pria dengan wajah yang samar-samar, hampir tak terlihat oleh mata, berdiri di tengah lorong yang semakin sempit. Dia mengenakan jubah panjang yang berwarna hitam pekat, seolah menyatu dengan bayang-bayang yang mengelilinginya. Tatapan matanya tajam, meskipun aku tak bisa melihat dengan jelas. Sosok itu terlihat tidak bergerak, seolah menunggu sesuatu.

Aku mengatur napasku, mencoba menenangkan diri meskipun ada perasaan cemas yang semakin menggerogoti. “Siapa kamu?” tanyaku, suaraku terdengar lebih tegang dari yang kuinginkan.

Sosok itu tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, menatapku dengan pandangan kosong. Beberapa detik berlalu, dan kemudian dia mulai berbicara dengan suara yang begitu dalam dan berat. “Kamu sudah jauh terperangkap di sini, lebih dalam dari yang kamu bayangkan.”

Aku mengerutkan dahi. “Terperangkap? Apa maksudmu? Apa yang terjadi?” Mataku menatap sekeliling, mencari jawaban. Semua ini terasa sangat membingungkan, semakin sulit untuk dimengerti.

Dia melangkah maju sedikit, tidak cepat, tetapi cukup untuk membuatku merasa lebih terpojok. “Ini adalah tempat bagi mereka yang tidak bisa memilih. Yang terjebak dalam keputusan yang salah, di jalan yang tak seharusnya mereka pilih.” Ucapannya menembus kepalaku seperti aliran listrik yang menusuk.

“Apa maksudnya dengan jalan yang salah?” tanyaku, bibirku bergetar. “Aku hanya ingin keluar dari sini… aku hanya ingin kembali.”

Sosok itu mendekat, dan untuk pertama kalinya aku bisa melihat matanya. Matanya kosong, seperti dua kolam yang tak ada dasar. “Kamu memang ingin kembali. Tapi ada hal yang tidak kamu tahu, anak muda. Kamu tidak bisa keluar begitu saja. Tidak selagi kamu belum menebus kesalahanmu.”

“Kesalahan?” aku merasa terhimpit oleh kata-kata itu. “Kesalahan apa? Apa yang aku lakukan?”

Dia tidak menjawab langsung, hanya menyarankan satu hal dengan tatapan yang menggetarkan. “Cari tahu sendiri. Jangan berharap ada yang memberitahumu.”

Sosok itu mundur perlahan, lalu menghilang dalam kegelapan, meninggalkan aku dengan lebih banyak pertanyaan daripada sebelumnya. Aku berdiri di tempat, mencoba mengumpulkan pikiranku. Semua yang dia katakan hanya menambah kebingunganku. Kesalahan apa? Apa yang harus kuperbaiki? Kenapa aku masih di sini?

Aku mengusap wajahku, merasa seperti sedang terperangkap dalam labirin tanpa ujung. Setiap arah yang kutempuh seolah membawaku lebih jauh ke dalam kegelapan ini, ke dalam dunia yang tak kumengerti. Aku mencoba mengingat setiap detail, setiap langkah yang telah membawaku ke sini, tapi tidak ada yang membuatku merasa lebih baik.

Ketika aku melangkah lebih jauh, aku menyadari sesuatu yang lebih menakutkan lagi. Tiba-tiba aku merasa seolah ada jejak-jejak kaki lain yang mengikuti langkahku, seolah aku tidak sendirian. Aku menoleh ke belakang, tetapi hanya ada kegelapan. Aku kembali menatap ke depan, dan di sana, aku melihat sebuah pintu yang baru saja muncul, seperti dimunculkan oleh kekuatan tak terlihat.

Aku merasa terpaksa menuju pintu itu. Aku tidak tahu apa yang ada di baliknya, tapi aku sadar bahwa aku harus terus melangkah. Tidak ada pilihan lain. Setiap detik terasa semakin berat, semakin menguji batas kemampuanku untuk tetap tenang.

Ketika aku akhirnya membuka pintu itu, aku mendapati diriku di sebuah ruangan yang mirip dengan tempat yang pertama kali aku masuki. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda—di tengah ruangan, ada sebuah cermin besar yang memantulkan bayanganku sendiri. Aku mendekat, memandangi pantulan itu. Tetapi saat aku melihat lebih dekat, aku merasa terkejut.

Bayanganku sendiri bukanlah aku yang aku kenal. Wajahku terlihat pucat, mataku kosong, seolah-olah aku sudah kehilangan sesuatu yang sangat penting. Itu bukan aku. Itu bukan aku yang seharusnya ada di sini.

Aku terperangkap dalam cermin itu. Dan cermin itu mulai mengaburkan pandanganku, seolah menelan seluruh wujudku. Aku mencoba untuk melawan, namun cermin itu semakin mendekat, menarik aku ke dalam kegelapan.

“Ini bukan akhir, hanya awal,” kata sosok di belakangku, suara itu kembali menggema.

Aku terjatuh ke dalam kegelapan, menuju sesuatu yang tak bisa kujelaskan—dan entah kenapa, aku merasa ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar.

 

Keputusan yang Tak Kembali

Aku terbangun di suatu tempat yang asing, tubuhku terkulai lemah di lantai dingin yang terasa seperti batu. Cahaya redup menguar dari sudut-sudut ruangan yang kabur, seperti ada lapisan kabut tipis yang menyelimuti segala sesuatu. Rasanya aku baru saja terbangun dari mimpi yang tak pernah berakhir, dan setiap detik yang kulalui seolah dipenuhi oleh kenangan-kenangan yang tak jelas.

Aku berusaha mengangkat tubuhku, merasakan setiap otot yang terasa kaku, seolah terhimpit oleh kekuatan yang tak terlihat. Pandanganku berputar, berusaha menemukan pegangan untuk berdiri, namun aku hanya melihat dinding-dinding kosong yang menjulang tinggi di sekelilingku.

Akhirnya aku bisa berdiri, meskipun tubuhku terasa lelah dan tak berdaya. Namun, ada satu hal yang tak bisa kulupakan—suara itu, suara yang selalu mengikuti setiap langkahku, suara yang mengingatkanku tentang keputusan yang telah aku buat. Suara yang menuntut penebusan.

Aku menatap ke depan, mencoba mencari petunjuk di antara bayang-bayang yang samar. Di kejauhan, ada sebuah pintu. Pintu yang terlihat seperti jalan keluar, tapi aku tahu, keluar bukanlah hal yang mudah. Pintu itu bukan hanya sekadar pembuka, tetapi juga penutup—mungkin penutup dari segala yang sudah terjadi, atau justru pintu menuju kenyataan yang lebih gelap.

Aku melangkah mendekat, setiap langkah yang kuambil terasa semakin berat. Ada perasaan yang menggigit di dalam dada, seperti ada sesuatu yang akan terungkap—sesuatu yang selama ini aku coba hindari. Rasanya seperti ada beban yang ingin meledak, namun aku harus menanggungnya.

Pintu itu terbuka begitu saja saat aku mendekat, tidak ada suara kunci yang berputar, tidak ada mekanisme yang menghalangi. Hanya hening. Aku melangkah masuk, dan begitu aku melewati ambang pintu, segalanya berubah.

Aku tidak lagi berada di ruangan yang gelap dan sunyi. Di sekelilingku adalah pemandangan yang jauh lebih nyata—suara riuh orang-orang, kendaraan yang berlalu-lalang, bahkan bau makanan yang tercium di udara. Semua ini terasa sangat nyata, namun ada sesuatu yang janggal. Seperti aku berada di tengah dunia yang asing, meskipun semuanya tampak begitu familiar.

Aku berdiri di sebuah trotoar, melihat orang-orang berlalu di sekitar, tetapi mereka tidak melihatku. Mereka berjalan melewatiku seperti aku tak ada, seolah aku hanyalah bagian dari bayangan mereka. Aku mencoba untuk berbicara, mencoba menarik perhatian seseorang, namun suaraku hanya melayang di udara, tak ada yang mendengarku.

Aku meraba dadaku, merasakan detak jantung yang semakin tak terkendali. Apa yang terjadi padaku? Aku terperangkap di sini, di dunia yang tampak nyata, namun seolah tidak ada tempat untukku di sini. Aku bukan bagian dari dunia ini. Aku terperangkap lagi, dan kali ini mungkin untuk selamanya.

Lalu, di tengah keramaian, aku melihatnya—sosok yang aku kenal, yang selama ini menghantui setiap langkahku. Dia berdiri di sana, di antara kerumunan orang, matanya menatap lurus ke arahku. Aku ingin berlari menuju sosok itu, tetapi tubuhku tak bisa bergerak. Setiap langkah terasa begitu berat, seperti ada sesuatu yang menghalangiku.

“Satu keputusan bisa mengubah segalanya,” suara itu terdengar jelas, seperti angin yang berbisik di telingaku. Aku menoleh, tetapi tak ada siapa-siapa di sampingku. “Tapi kamu tahu, anak muda,” suara itu melanjutkan, “ada harga yang harus dibayar untuk setiap pilihan.”

Aku ingin berteriak, namun suara itu semakin jauh, dan aku tahu—aku tidak akan pernah bisa mengejar suara itu, karena suara itu bukanlah hal yang bisa kutangkap dengan indra. Suara itu adalah konsekuensi dari apa yang telah kutinggalkan di belakang.

Di sekelilingku, dunia terus berjalan. Orang-orang berbicara, tertawa, hidup mereka seolah tak terpengaruh oleh apapun. Aku ingin berteriak, ingin memanggil mereka, ingin memberi tahu mereka bahwa aku ada di sini, bahwa aku terperangkap dalam sesuatu yang tidak bisa dipahami. Tapi aku tahu itu sia-sia.

Keputusan yang telah kuambil di masa lalu terus menghantuiku. Mungkin itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Mungkin jika aku memilih dengan lebih hati-hati, aku tidak akan terperangkap seperti ini. Tapi kini, semuanya terlambat.

Aku menatap wajah orang-orang di sekitar, berharap menemukan seseorang yang bisa melihatku, yang bisa menyadari keberadaanku. Namun tak ada yang melihatku. Semua terus berjalan seperti tak ada yang berubah. Aku hanya sebuah bayangan di tengah dunia nyata, tidak bisa menyentuh apa pun, tidak bisa mengubah apa pun.

Aku berhenti di tengah kerumunan, merasakan dunia berputar di sekelilingku. Aku tahu jawabannya sekarang. Keputusan yang aku buat dulu telah mengubah segalanya. Tidak ada lagi jalan keluar. Tidak ada lagi penebusan. Aku telah kehilangan semuanya. Dan di sini, di dunia yang asing ini, aku hanya bisa merasakannya—penyesalan yang tak akan pernah bisa terhapuskan.

Tapi mungkin inilah yang pantas aku terima.

 

Jadi, gimana menurut kamu? Apakah semua keputusan itu benar-benar milik kita, atau justru kita cuma terjebak dalam pilihan yang nggak bisa diubah? Kadang, penyesalan datang terlambat, tapi ya, itu bagian dari hidup.

Yang pasti, setiap langkah punya konsekuensinya. Mungkin nggak ada yang bisa benerin semuanya, tapi yang pasti, kita selalu belajar dari setiap kesalahan. Jadi, kalau kamu merasa terjebak, ingat, ada selalu jalan keluar—meskipun itu mungkin nggak seperti yang kamu harapin.

Leave a Reply