Daftar Isi
Jadi gini, pernah nggak sih ngerasain kayak kamu harus milih antara ngerjain apa yang kamu pengen, atau ngejaga perasaan orang yang kamu sayang? Gimana rasanya kalau keputusan itu nggak cuma nyakitin diri sendiri, tapi juga orang lain yang nggak salah apa-apa?
Di cerita ini, ada Rajendra yang lagi dihadapkan sama dilema berat, dan dia harus milih antara dua jalan yang sama-sama nggak enak. Tapi, apakah pilihan itu bakal beneran bikin dia bahagia, atau justru malah hancurin semuanya? Yuk, simak ceritanya, siapa tahu ada yang bisa kamu ambil pelajaran dari sini.
Cerpen Pilihan Hidup
Tertulis dengan Tertawa
Rajendra duduk di bangku taman dengan sebuah buku catatan dan pulpen yang hampir habis tinta. Ia tampak fokus, matanya terpejam sesaat sebelum menulis sesuatu. Aku mengamatinya dari jauh, berusaha untuk tidak mengganggunya. Ia selalu seperti itu—terpaku pada apa yang ia lakukan, seolah dunia luar tidak pernah ada. Tentu saja, itu adalah salah satu alasan mengapa aku tidak bisa berhenti memikirkan dirinya. Rajendra, dengan segala keanehannya, selalu berhasil menarik perhatian tanpa berusaha sedikit pun.
Aku melangkah perlahan menuju tempatnya, mencoba agar langkah kaki tak terdengar. Aku tahu, kali ini dia sedang tidak bercanda. Tidak seperti biasanya, senyum tipis yang biasa ia tunjukkan sudah menghilang. Sekarang, wajahnya tampak serius, bahkan lebih serius dari biasanya. Setiap goresan pena di atas kertas sepertinya membawa sebuah beban berat.
“Rajendra,” aku menyapa, bersuara agak keras dari jarak yang tak terlalu jauh.
Rajendra tidak langsung mengangkat wajahnya. Ia hanya melanjutkan menulis, menggoreskan pensilnya dengan tenang, seakan-akan aku tidak ada di sana.
Aku mendekat dan duduk di bangku sebelahnya, sedikit memiringkan kepala. “Ada apa? Sepertinya kamu lagi mikirin sesuatu yang berat banget,” kataku, berbicara dengan cara yang aku tahu akan membuatnya sedikit membuka diri.
Dia akhirnya mengangkat kepala dan menatapku dengan mata yang penuh konsentrasi, tapi ada sesuatu yang berbeda di sana. Ada sejenis keheningan yang tidak biasa. “Kamu tahu kan, Salina,” katanya pelan, “enam lembar HVS itu, kadang-kadang, lebih berarti daripada selembar catatan panjang.”
Aku mengernyitkan dahi. “Enam lembar? Maksudmu, apa, lembar catatan biasa itu? Kamu lagi bikin aturan baru lagi ya?”
Rajendra hanya tersenyum tipis, senyum yang tidak bisa aku baca. “Iya, enam lembar. Cukup enam lembar untuk segala hal. Tapi hari ini… entah kenapa, aku merasa ada yang berbeda.” Ia berhenti sejenak, dan aku bisa melihat ekspresi serius itu mulai mereda sedikit.
Aku menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ia maksud. “Rajendra, kamu memang aneh, tahu gak? Suka banget bikin aturan sendiri, terus malah bingung sendiri kenapa aturan itu gak bisa diikutin. Kamu kan tahu, hidup ini bukan tentang aturan atau angka-angka gitu.”
Dia tertawa kecil, namun tidak terdengar seperti tawa yang biasa. “Mungkin kamu benar, Salina. Tapi kadang-kadang, ada sesuatu yang harus kamu ikuti, walaupun kamu nggak ngerti kenapa.”
Aku menghela napas, sedikit jengkel, tapi juga merasa penasaran. “Aduh, kamu ini kayak apa, sih. Kalau cuma enak-enakan nulis, kenapa mesti ribet gitu? Kita kan temenan, bisa dong cerita. Jangan cuma nulis tanpa ngomong apa-apa.”
Rajendra menyentuh dagunya, matanya menatap kosong ke depan. “Aku sedang menulis sesuatu yang lebih berat, Salina. Sesuatu yang… lebih dari sekadar enam lembar HVS.” Suaranya berat, dan aku bisa merasakan ada ketegangan dalam kata-katanya.
Aku diam. Rasanya seperti ada sesuatu yang aku lewatkan, entah itu sekadar perasaan atau mungkin sesuatu yang lebih dari sekadar permainan kata-kata. “Rajendra,” aku mencoba memecah keheningan, “apa yang sebenarnya kamu tulis di situ? Itu nggak biasa, kan?”
Dia menatapku sebentar, lalu kembali menulis, dengan cepat seolah ia tidak ingin aku tahu apa yang ada di kertas itu. “Ini bukan cerita yang bisa kamu baca, Salina,” jawabnya, nada suaranya datar.
“Tapi aku kan sahabat kamu. Jadi harusnya aku bisa tahu dong, apa yang ada di sana.” Aku tidak suka merasa diabaikan seperti ini. Rajendra biasanya tidak setertutup ini, apalagi untuk hal-hal yang cuma bisa dia tulis di lembaran kosong. Aku merasa ada yang aneh, tapi aku juga tahu, ini bukan saat yang tepat untuk memaksakan sesuatu.
Rajendra menghela napas panjang, lalu menutup bukunya. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. “Salina, kamu harus tahu bahwa kadang ada hal-hal yang tak bisa kita bagi. Ada keputusan yang sudah dipilih tanpa bisa ditarik kembali.”
Aku hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Rajendra terngiang-ngiang di telingaku. Keputusan yang sudah dipilih tanpa bisa ditarik kembali… Apa maksudnya?
Rajendra berdiri dari bangku taman dan mengemas barang-barangnya dengan cepat. “Aku harus pergi sekarang,” katanya tanpa menoleh ke belakang.
Aku berdiri dan menatapnya bingung. “Rajendra, kamu kemana?”
“Ke tempat yang aku rasa aku harus tuju,” jawabnya, kemudian melangkah pergi begitu saja, meninggalkan aku dengan pertanyaan yang semakin menumpuk di kepala. Aku tidak tahu harus apa, hanya bisa berdiri terpaku di tempat, menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Aku mencoba mengumpulkan pikiranku. Apa yang sedang terjadi? Kenapa Rajendra tiba-tiba saja berubah begitu? Mungkinkah ini ada hubungannya dengan tulisan yang ia buat? Aku tidak tahu jawabannya, tapi satu hal yang aku yakin, sesuatu akan berubah. Dan itu bukan hanya tentang enam lembar HVS.
Aku melangkah pulang dengan perasaan yang berat, seperti ada sebuah cerita yang belum selesai, dan aku harus menunggunya untuk menemukan jawabannya.
Enam Keputusan
Keesokan harinya, aku merasa ada yang aneh. Setiap kali aku mencoba menghubungi Rajendra, dia selalu menghindar. Pesan yang kukirim tidak dibalas, telepon yang kuangkat tidak dijawab. Padahal, kami selalu berbicara setiap hari, jadi aku tahu ada yang sedang tidak beres.
Aku melangkah masuk ke kampus dengan perasaan yang tidak nyaman. Entah kenapa, udara pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. Setiap orang yang aku temui seolah berlalu tanpa memberi aku sedikit perhatian. Tidak ada yang istimewa, tapi aku merasakan jarak yang aneh. Seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang aku tidak bisa jangkau.
Ketika aku sampai di taman—tempat di mana aku dan Rajendra sering duduk—aku melihatnya lagi. Rajendra duduk di bangku yang sama, tampak sibuk menulis di buku catatannya. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak sedang fokus seperti biasanya. Matanya terlihat kosong, seolah-olah ada hal besar yang mengganggu pikirannya.
Aku mendekat pelan-pelan, masih bingung harus bagaimana. “Rajendra,” panggilku, suara ini terasa lebih lembut dari biasanya, hampir takut-takut.
Dia menoleh dengan ekspresi yang lebih keras dari yang pernah kulihat. Sejenak, aku merasa dia tidak mengenali aku. “Kamu lagi apa?” tanyaku, cemas. Aku bisa melihat bahwa ada sesuatu yang menyakitkan di matanya, seperti sebuah beban yang sudah terlalu lama dipikul.
“Menulis,” jawabnya singkat, nada suaranya kaku. “Enam lembar.”
Aku terkesiap. “Lagi-lagi soal itu?” Aku tidak tahu kenapa, tetapi aku merasa seperti ada yang disembunyikan dariku. Rajendra memang terkenal dengan cara-cara anehnya, tapi aku tahu ini lebih dari sekadar kebiasaan menulisnya yang tidak biasa.
“Salina, aku… harus membuat keputusan,” Rajendra mengatakannya dengan suara yang hampir tidak terdengar, seolah ia takut aku akan menghakiminya. “Keputusan yang bisa mengubah segalanya.”
Aku duduk di sampingnya, mencoba menenangkan diri. “Rajendra, kamu lagi ngomong apa sih? Keputusan apa?”
Dia hanya terdiam, matanya kembali terfokus pada bukunya, tapi kali ini seolah-olah dia sedang menulis sesuatu yang lebih berat daripada sekadar kata-kata. Aku bisa merasakan tensi di udara, dan aku tahu, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.
“Enam lembar,” katanya lagi, suara datar dan penuh keraguan. “Aku harus memilih, Salina. Enam lembar itu, setiap keputusan yang aku tulis, akan menentukan segalanya. Aku harus memutuskan jalan mana yang harus aku ambil.”
Aku memegang tangan Rajendra, mencoba menenangkan pikirannya yang berantakan. “Rajendra, kamu gak sendirian. Kalau ada masalah, kita bisa selesaikan bareng-bareng. Kamu nggak harus menghadapinya sendirian, kok.”
Dia menatapku dengan tatapan kosong, seolah-olah mendengarkan kata-kataku, tapi tetap jauh. “Tapi Salina,” suara Rajendra sedikit bergetar. “Ada beberapa keputusan yang tidak bisa dibalik. Tidak ada jalan kembali setelah memilihnya.”
Aku merasa seperti terhanyut dalam suasana ini. Rajendra yang biasanya ceria, penuh canda, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang sangat berbeda—serius dan gelisah. “Kamu ngomong kayak hidup ini cuma soal memilih atau nggak memilih,” kataku pelan, berusaha memecahkan ketegangan. “Tapi hidup itu lebih dari sekadar keputusan, Rajendra. Kita juga punya waktu untuk berubah, untuk belajar. Kita gak selalu harus tahu jawabannya sekarang.”
Rajendra menunduk. “Aku tidak bisa,” jawabnya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Terkadang, aku merasa… aku tidak pantas lagi untuk berubah.”
Aku tidak mengerti apa yang dia maksud. Seperti ada kegelapan yang menyelubungi dirinya, sesuatu yang tidak bisa aku sentuh, meski aku ingin sekali. Aku ingin mengerti, aku ingin dia tahu bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan. Aku akan selalu ada di sini untuknya.
“Rajendra, kamu nggak sendiri. Aku di sini, oke?” Aku mencoba memberinya dukungan, meski aku sendiri belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.
Dia menatapku dengan mata yang penuh kebingungan, seolah ia bingung apakah harus mempercayai kata-kataku atau tidak. “Salina, kadang-kadang ada hal-hal yang tak bisa kita ubah, bahkan dengan niat terbaik sekalipun. Beberapa pilihan itu terlalu berat untuk diubah setelah kita memutuskan.”
Aku merasa hati ini semakin berat. Apa yang sebenarnya terjadi pada Rajendra? Apa yang dia maksud dengan kata-kata itu? Mungkinkah itu berhubungan dengan ‘enam lembar’ yang selalu dia bicarakan?
Aku menarik napas panjang. “Rajendra, dengar ya. Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi aku tahu satu hal: kamu masih punya waktu. Enam lembar itu bukan akhir dari semuanya. Kamu bisa memilih lagi, bahkan setelah itu.”
Rajendra hanya diam. Tidak ada jawaban, tidak ada penolakan, hanya keheningan yang meresap dalam-dalam. Aku menatapnya, mencoba membaca apa yang ada di balik matanya. Tapi seperti biasa, dia tetap menjadi sebuah teka-teki yang sulit dipecahkan.
Namun, aku tahu satu hal pasti—di balik enam lembar itu, ada sebuah keputusan yang sedang menunggu. Dan aku akan tetap di sini, menunggu, sampai Rajendra siap untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya.
Aku melangkah pergi, meninggalkan taman yang sepi, dengan perasaan yang tak tahu harus bagaimana. Apa yang akan terjadi pada Rajendra? Apa yang ia sembunyikan? Jawaban itu mungkin akan datang, tapi untuk saat ini, aku hanya bisa menunggu.
Rahasia yang Tersembunyi
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Rajendra semakin terperangkap dalam pikirannya sendiri. Aku bisa merasakannya, bahkan ketika dia mencoba mengalihkan perhatian dengan berbagai cara. Wajahnya yang biasanya penuh ekspresi, kini hanya tampak kosong. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti gema yang terperangkap, tidak bermakna, seolah-olah ia berbicara kepada dirinya sendiri.
Pagi itu, aku datang lebih awal ke kampus. Tanpa sengaja, aku melihat Rajendra sedang duduk di salah satu bangku taman, memandangi langit yang kelabu. Mungkin ini saatnya, aku berpikir. Mungkin, hari ini aku bisa mendapatkan jawabannya.
Aku mendekat dengan langkah pelan, berusaha tidak mengganggu lamunannya. “Rajendra,” panggilku pelan, namun tetap cukup jelas untuk menyadarkannya.
Dia menoleh, dan aku bisa melihat matanya yang merah, seperti baru saja menangis. Sesuatu dalam dirinya berubah, dan kali ini, aku merasa benar-benar khawatir. Apa yang sebenarnya dia sembunyikan? Apa yang telah terjadi padanya?
“Rajendra,” aku mencoba lagi, kali ini lebih tegas, “apa yang sebenarnya kamu takuti?”
Dia menghela napas panjang, kemudian meletakkan buku catatannya di pangkuannya. Matanya menatap kosong ke depan, seakan-akan tidak ingin melihatku. “Kamu ingin tahu?” katanya dengan suara datar, tidak ada semangat, hanya kelelahan.
“Rajendra, kamu tidak harus melakukannya sendirian. Kalau kamu butuh bantuan, aku ada di sini.” Aku duduk di sampingnya, mencoba mendekatkan diri.
Dia terdiam sejenak, kemudian menatapku dengan tatapan yang penuh rasa bersalah. “Salina, ada sesuatu yang aku sembunyikan. Sesuatu yang sudah terlalu lama aku pendam. Sesuatu yang jika aku ungkapkan, mungkin akan mengubah segalanya.”
Aku merasa jantungku berdegup lebih cepat. “Apa itu, Rajendra?”
Dia mengalihkan pandangannya ke samping, menatap tanah. “Ini tentang enam lembar itu. Satu keputusan yang aku buat, Salina. Keputusan yang melibatkan lebih dari sekadar aku.”
Aku bingung. “Enam lembar apa maksudmu?”
Rajendra menatapku dengan ragu-ragu, seolah dia tidak yakin apakah aku benar-benar siap mendengarnya. “Sebenarnya, enam lembar itu adalah daftar keputusan yang harus aku buat—bukan sekadar pilihan biasa. Setiap lembar mewakili satu peristiwa besar dalam hidupku. Semua keputusan itu… terkait dengan orang yang aku sayangi.”
Aku merasakan sesuatu yang berat menghangatkan dadaku. “Orang yang kamu sayangi? Maksud kamu siapa?”
Rajendra menatapku dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Kamu. Aku. Dan orang-orang yang aku cintai di sekitar kita.”
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Bagaimana bisa keputusan sekecil apa pun bisa melibatkan orang-orang yang aku sayangi? Mengapa ia merasa seperti ini?
“Kamu tahu kan, Salina,” lanjut Rajendra, suara di bibirnya perlahan, “tapi aku tak bisa memberi tahu kamu semuanya. Keputusan itu bukan hanya tentang memilih, itu juga tentang kehilangan.”
Aku merasa dadaku berdebar. “Rajendra, apa yang sebenarnya kamu pilih? Apa yang akan hilang?”
Dia menggeleng perlahan. “Aku takut jika aku memberitahumu, kamu akan pergi. Kamu akan meninggalkan aku, dan aku tidak tahu bagaimana menjalani hidup setelah itu.”
Aku merasa seolah-olah ada tembok besar yang menghalangi antara kami. Teman dekat yang telah bersama selama ini, kini rasanya seperti ada jarak yang sulit untuk dijembatani. Apa yang dia sembunyikan? Apa yang dia takuti? Aku bisa merasakan betapa beratnya beban yang sedang ia pikul, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengubahnya.
“Rajendra, kamu tidak akan kehilangan aku. Aku di sini untuk kamu. Apa pun yang terjadi, kita bisa lewati itu bareng-bareng,” kataku, mencoba memberi keyakinan padanya meskipun aku sendiri merasa cemas.
Rajendra mengangguk pelan, namun aku bisa melihat ketakutan di matanya. “Enam lembar itu, Salina. Jika aku tidak memilih dengan benar, aku bisa kehilangan semuanya—termasuk kamu.”
Aku merasa kepalaku semakin pusing. Bagaimana bisa keputusan ini berhubungan dengan aku? Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa dia merasa seperti ini? Seperti ada rahasia besar yang sedang dipendam dalam dirinya.
“Rajendra…” aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan agar dia bisa merasa lebih baik. Semua yang aku tahu adalah bahwa dia sedang terluka, dan aku ingin membantu.
Namun, Rajendra hanya tersenyum tipis, senyum yang penuh kesedihan. “Kadang-kadang, Salina, kita harus memilih jalan yang sulit. Jalan yang tidak akan pernah bisa kita sesali.”
Aku menggenggam tangannya, berharap dia bisa merasakan bahwa aku ada di sini untuknya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi aku yakin satu hal—apapun itu, aku akan tetap mendampinginya. Meskipun aku tidak tahu rahasia apa yang dia sembunyikan, aku akan berusaha menjadi bagian dari keputusan itu. Karena bagiku, tidak ada yang lebih penting daripada dia.
Pilihan Terakhir
Malam itu, langit tidak berbintang. Hanya kabut tebal yang menyelimuti kota, membawa rasa sunyi yang begitu mencekam. Rajendra masih belum memberi tahu aku tentang rahasia yang dia simpan. Setiap kali aku mencoba untuk mendekatinya, dia selalu menghindar dengan alasan yang lebih masuk akal, atau terkadang dengan alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Namun, aku bisa merasakan bahwa sesuatu akan segera terjadi. Sesuatu besar.
Aku duduk di ruang tamu apartemenku, menatap layar ponsel yang kosong. Pesan yang kukirimkan beberapa jam lalu kembali tak terjawab. Aku tahu, jika aku terus-menerus berdiam diri, aku tidak akan pernah mendapatkan jawaban. Tetapi, aku juga takut jika aku terlalu memaksanya, aku bisa kehilangan kesempatan untuk melihatnya yang dulu—Rajendra yang ceria, yang selalu tahu cara menghiburku, yang selalu ada ketika aku merasa sendiri.
Tiba-tiba, pintu apartemen terbuka, dan aku mendengar langkah kaki yang familiar. Tanpa menoleh, aku tahu siapa itu. Rajendra.
Aku menoleh pelan, melihat wajahnya yang tampak lebih murung dari sebelumnya. “Rajendra,” kataku, berusaha menenangkan. “Apa kamu sudah siap untuk bicara?”
Dia mengangguk perlahan, matanya yang kusam menatapku dengan ekspresi yang sulit dimengerti. “Aku… aku sudah memutuskan, Salina. Keputusan yang aku buat selama ini, enam lembar itu, aku akhirnya tahu apa yang harus aku pilih. Tapi ini bukan pilihan yang mudah.”
Aku merasa dadaku sesak. “Apa itu? Apa yang kamu pilih?”
Dia duduk di sebelahku, menarik napas panjang. “Aku memilih untuk melanjutkan hidup tanpa beban yang mengikatku. Aku tahu, aku harus melepaskan beberapa hal, dan itu termasuk beberapa orang yang aku sayangi.” Rajendra menunduk, seakan takut untuk melanjutkan kata-katanya.
Aku merasa sesuatu yang berat menghantam dadaku. “Rajendra, apa maksudmu? Kamu tidak bisa memilih untuk meninggalkan orang yang kamu sayangi begitu saja. Itu bukan keputusan yang benar.”
Dia menatapku dengan mata yang begitu serius, lebih dalam dari yang pernah aku lihat. “Kadang-kadang, Salina, kita harus memilih apa yang terbaik untuk kita, meski itu artinya harus melepaskan orang-orang yang kita cintai.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk dalam-dalam. Kenapa harus seperti ini? Kenapa harus ada pilihan yang harus mengorbankan perasaan orang lain? Aku ingin berteriak, ingin memprotes, tetapi aku tahu ini adalah keputusan yang sudah dia buat sejak lama, dan bukan karena aku. Itu adalah bagian dari dirinya, bagian yang harus dia hadapi sendiri.
“Rajendra, apakah kamu yakin?” tanyaku, suaraku hampir tidak terdengar. “Kamu yakin ini yang terbaik?”
Dia menatapku dalam-dalam, seakan mencari jawaban di mataku. “Aku yakin, Salina. Ini adalah pilihan yang harus aku buat. Kadang, kita harus memilih antara kebahagiaan kita sendiri dan kebahagiaan orang lain. Dan kali ini, aku memilih kebahagiaan diriku.”
Aku merasa seluruh tubuhku lemas, seolah-olah semua kekuatanku telah lenyap begitu saja. “Tapi… apa artinya kita kalau begitu? Apa aku tidak penting bagi kamu?”
Rajendra menggenggam tanganku, namun tidak ada kehangatan yang biasa aku rasakan dari genggamannya. “Kamu penting, Salina. Tapi keputusan ini bukan tentang kamu. Ini tentang aku dan jalan yang harus aku pilih untuk diriku sendiri. Aku tidak bisa terus hidup dengan beban ini.”
Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku hancur. Aku tahu, keputusan ini bukanlah untukku. Rajendra memilih untuk berjuang dengan dirinya sendiri, untuk mencari jalan yang terbaik meski itu berarti harus melepaskan semua yang ada di sekitarnya. Aku, yang selama ini ada di sampingnya, kini harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa terkadang cinta itu memang tidak cukup.
“Aku mengerti,” kataku pelan, meskipun sulit sekali untuk menerima kenyataan ini. “Aku akan selalu mendukungmu, Rajendra. Meskipun aku harus melepaskanmu.”
Dia hanya terdiam, seakan-akan kata-kataku sudah tidak berarti lagi. Mungkin, memang tak ada yang lebih bisa kita lakukan selain menerima kenyataan.
Beberapa lama kami duduk dalam diam, hanya mendengar detak jam yang terus berdetak. Semua terasa kosong. Hanya ada kita berdua, dan keputusan yang harus diambil. Tidak ada lagi kata-kata manis, tidak ada lagi janji-janji untuk saling bertahan.
Rajendra berdiri perlahan, memandangku sekali lagi dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Aku pergi, Salina. Tapi bukan berarti aku melupakanmu. Ini hanya bagian dari perjalanan hidupku.”
Aku hanya bisa menatapnya, merasakan perasaan yang begitu campur aduk. Haru, marah, kecewa—semuanya bercampur dalam satu perasaan yang sangat sulit dijelaskan. “Aku harap, suatu saat nanti kamu menemukan apa yang kamu cari, Rajendra. Dan kalau kamu butuh aku, kamu tahu di mana menemukanku.”
Rajendra berjalan perlahan keluar, meninggalkan apartemen ini, meninggalkan semua kenangan yang pernah kami buat bersama. Aku menatap pintu yang tertutup, merasa hampa. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat seseorang yang kita cintai memilih jalan mereka sendiri.
Aku duduk kembali di sofa, menatap kosong ke arah layar ponsel yang masih mati. Seperti hidup yang kini terasa mati, tanpa arah. Keputusan Rajendra sudah diambil, dan aku hanya bisa menunggu waktu untuk sembuh dari luka yang ditinggalkannya.
Namun, dalam hati kecilku, aku tahu satu hal. Mungkin, dalam kepergiannya, Rajendra juga membawa sebagian dari diriku. Dan entah kapan, mungkin aku akan belajar untuk hidup tanpa beban itu. Tanpa enam lembar yang harus aku pilih, tanpa harus memikirkan keputusan yang terlalu besar untuk diterima.
Tapi untuk sekarang, aku hanya ingin merasakan kesendirian ini—kesendirian yang mungkin akan mengajarkan aku lebih banyak tentang kehidupan dan tentang bagaimana kita bisa berdamai dengan kehilangan.
Dan di sana, di dalam hening malam yang kelabu ini, aku menunggu—entah apa, entah kapan—untuk menemukan lembaran baru dalam hidupku.
Jadi, kadang hidup emang nggak selalu memberi kita pilihan yang mudah, ya. Mau berjuang atau melepaskan, semua ada konsekuensinya. Dan mungkin, dalam perpisahan itu, kita justru belajar lebih banyak tentang diri kita sendiri—tentang apa yang sebenarnya kita butuhkan, dan siapa yang benar-benar ada buat kita.
Tapi, satu hal yang pasti, kita nggak bisa berhenti memilih, kan? Begitu juga dengan Rajendra, dan begitu juga dengan kita. Karena setiap lembaran hidup yang kita lewati, tetap punya cerita yang bakal dikenang.