Cerpen Pengembara yang Lapar: Perjalanan Hidup dan Pilihan yang Menentukan Takdir

Posted on

Kamu pernah ngerasa gak sih, kayak lagi terjebak di tengah perjalanan panjang yang gak jelas ujungnya? Kayak, kelaparan, lelah, dan bingung banget mau ke mana. Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu ikut jalanin kisah si Zaiyan, seorang pengembara yang gak cuma cari makan, tapi juga nyari jati diri dan jawabannya di dunia yang penuh misteri.

Gak ada yang gampang di perjalanan ini, cuma pilihan dan keputusan yang nentuin dia bakal lanjut atau berhenti. So, siap buat terjebak dalam perjalanan yang gak cuma soal fisik, tapi juga batin? Yuk, baca terus!

 

Cerpen Pengembara yang Lapar

Jejak di Padang Tandus

Hujan datang tiba-tiba, seperti tamu tak diundang di tengah padang tandus yang menganga. Zaiyan menarik tudung jubahnya, berusaha melindungi kepala dari siraman air yang dingin. Angin menerpa wajahnya, mencampur aroma tanah basah dengan rasa asin yang tak wajar. Langit kelabu tampak seperti bentangan kain lusuh, seakan Tuhan sendiri sedang melukis kemuraman hari itu.

Zaiyan melangkah pelan, membiarkan sepatu kulitnya yang sudah hampir hancur terbenam di lumpur yang terbentuk seketika. Perutnya berbunyi keras, tapi ia tak lagi peduli. Lapar sudah menjadi teman setia sejak tiga hari lalu, dan sekarang, hanya ada satu hal yang mengisi pikirannya: bertahan.

Dalam perjalanan tanpa akhir itu, ia menemukan seonggok pohon mati. Cabang-cabangnya menjulur ke segala arah, seperti tangan yang memohon sesuatu dari langit. Zaiyan berhenti sejenak di bawahnya, berharap bisa berlindung dari hujan. Tapi tak ada gunanya; cabang itu terlalu tipis untuk menghentikan air.

“Aku ini apa, hah? Pengembara atau korban nasib buruk?” Zaiyan menggerutu pada dirinya sendiri.

Ia duduk bersandar pada batang pohon yang licin, memeluk lututnya. Dari kejauhan, samar-samar terdengar raungan binatang liar. Zaiyan tahu, malam akan segera tiba, dan ia tak punya tempat untuk berlindung. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan kantung kulit yang sudah kosong sejak kemarin pagi. Bibirnya pecah-pecah, lidahnya kering. Ia hanya bisa menghela napas berat.

Ketika hujan mulai reda, Zaiyan kembali berdiri. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin, tapi karena lelah. Ia menoleh ke barat, di mana matahari yang tertutup awan mulai tenggelam. Ada harapan kecil di sana: sebuah gubuk reyot berdiri di kejauhan.

“Kalau ini jebakan, biarlah,” gumam Zaiyan. Ia menarik napas panjang dan melangkah, berharap gubuk itu membawa lebih dari sekadar dinding yang bisa ia sandari.

Saat Zaiyan tiba di depan gubuk, hari sudah gelap. Angin berdesir, membawa aroma kayu lapuk yang hampir hancur. Pintu gubuk itu menggantung miring, dan dindingnya penuh lubang. Ia ragu sejenak, tapi rasa lapar dan dingin memaksa tangannya mengetuk pintu tiga kali.

“Permisi,” katanya pelan. Tak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi, lebih keras. “Ada orang?”

Masih tak ada sahutan. Akhirnya, dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu itu pelan-pelan. Suara engsel berderit memenuhi ruangan kecil itu, tapi tidak ada siapa pun di dalam. Hanya meja kayu tua, kursi yang hampir patah, dan perapian kecil di sudut. Di atas perapian, sebuah panci hitam menggantung. Zaiyan menelan ludah, mencoba menahan harapan yang mulai tumbuh di dadanya.

Ia melangkah ke arah perapian dan membuka tutup panci. Matanya menyala sejenak, tapi langsung padam. Isinya hanya air mendidih. Tak ada daging, tak ada sayur, hanya uap yang mengejek rasa laparnya. Namun di bawah panci, ia melihat potongan roti keras.

“Lebih baik daripada mati,” katanya sambil mengambil roti itu.

Saat gigitan pertama hampir merobek gusinya, suara berat tiba-tiba terdengar dari sudut ruangan.

“Itu milikku.”

Zaiyan tersentak, hampir menjatuhkan roti. Seorang pria tua berdiri di sana, dengan jubah hitam panjang dan janggut lebat yang hampir menyentuh dadanya. Matanya tajam, meski tubuhnya terlihat lemah.

“Maaf… aku lapar,” kata Zaiyan, suaranya gemetar.

Pria itu menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela napas. “Makanlah. Tapi aku ingin tahu kenapa kamu sampai di sini.”

Zaiyan terdiam sejenak, merasa bersalah, tapi rasa laparnya terlalu besar untuk ditahan. Ia melanjutkan mengunyah roti itu, meski setiap gigitan terasa seperti memakan batu. Setelah selesai, ia membersihkan mulutnya dengan punggung tangan.

“Aku cuma pengembara, Pak Tua. Aku terusir dari desaku karena mereka menganggap aku pembawa sial. Sejak itu, aku berjalan tanpa tujuan, berharap menemukan tempat baru. Tapi yang kutemukan hanya rasa lapar.”

Pria tua itu mengangguk pelan, seperti sedang mencerna cerita Zaiyan. “Lapar, ya? Itu memang teman setia para pengembara.”

“Teman?” Zaiyan mengernyitkan dahi. “Kalau ini teman, aku lebih baik tidak punya teman.”

Pria itu tertawa kecil, tapi tidak berkata apa-apa. Ia berjalan mendekati perapian dan menambahkan beberapa kayu bakar. Api kecil menyala kembali, menghangatkan ruangan yang dingin.

“Kamu ingin tahu satu hal, anak muda?” katanya, menoleh.

“Apa?”

“Lapar itu bukan sekadar rasa. Ia adalah ujian. Jika kamu mampu melewatinya, kamu akan menemukan hal yang lebih besar daripada yang kamu bayangkan.”

Zaiyan hanya terdiam. Matanya menatap panci hitam yang kembali mengeluarkan uap tipis. Ia tak paham maksud pria tua itu, tapi ia tak punya kekuatan untuk bertanya lebih jauh.

Di luar, angin bertiup semakin kencang. Gubuk itu bergoyang sedikit, tapi pria tua itu tidak tampak terganggu.

“Kamu butuh istirahat,” katanya. “Besok perjalananmu akan lebih berat.”

Zaiyan ingin bertanya apa maksud ucapan itu, tapi tubuhnya terlalu lelah. Ia hanya mengangguk dan berbaring di lantai kayu yang dingin. Sebelum tidur, ia memandang pria tua itu sekali lagi. Ada sesuatu yang aneh pada sosoknya, tapi Zaiyan tak tahu apa itu.

Ketika matanya hampir tertutup, ia mendengar suara lirih dari pria itu. “Lapar memang teman setia, tapi juga bisa jadi musuh paling berbahaya. Bersiaplah, anak muda.”

Kata-kata itu menggema di kepalanya sebelum akhirnya ia tenggelam dalam tidur yang tak nyenyak, ditemani suara angin dan bayangan samar di sudut ruangan.

 

Roti Keras di Gubuk Reyot

Pagi datang dengan sunyi yang menggantung, seperti enggan mengusik malam yang belum selesai. Zaiyan membuka mata perlahan, merasakan dinginnya lantai kayu menembus tubuhnya. Bau asap kayu masih tercium di udara, tapi pria tua itu tak lagi terlihat.

Ia bangkit dengan rasa kantuk yang berat, menggosok matanya sambil menatap sekeliling. Perapian sudah padam, dan gubuk itu lebih sunyi daripada malam sebelumnya. Di atas meja kayu yang reyot, ada sebongkah kecil roti keras yang sama seperti semalam, diletakkan di atas kain kotor.

Zaiyan menatap roti itu ragu. Ia tahu rasanya seperti memakan batu, tapi lapar yang mendera membuat tangannya tergerak. Ketika ia menggenggam roti itu, ia melihat selembar kertas kecil terlipat rapi di bawahnya.

Datanglah ke arah utara. Lapar akan mengajarkan sesuatu.

Tulisan itu sederhana, tapi menggigit pikirannya. Zaiyan mengerutkan dahi, merasa janggal. Ia meremas kertas itu, menatap ke arah pintu gubuk yang masih menggantung miring.

“Utara, ya?” gumamnya pelan.

Ia melangkah keluar dengan rasa penasaran yang bercampur curiga. Udara pagi menusuk kulit, dan langit kelabu masih membentang tanpa ampun. Jejak langkah pria tua itu tak terlihat di tanah yang basah. Tapi Zaiyan tahu, ia tak punya pilihan lain. Pesan itu seperti panggilan, sesuatu yang tak bisa ia abaikan.

Perjalanan menuju utara tidak mudah. Padang tandus itu berubah menjadi medan berbatu, dengan semak-semak liar yang berduri. Matahari mulai muncul, tapi sinarnya terasa dingin, tidak memberikan kehangatan yang diharapkan.

Zaiyan menggigit roti keras itu perlahan, berusaha menahan rasa nyeri di gusinya. Meski sedikit demi sedikit, makanan itu memberi kekuatan pada langkahnya. Ia berjalan selama berjam-jam tanpa henti, hanya ditemani suara kakinya yang menginjak tanah berbatu.

Saat siang menjelang, Zaiyan melihat sesuatu di kejauhan: sebuah batu besar berwarna hijau mencuat di antara hamparan bebatuan kelabu. Batu itu terlihat aneh, seperti tidak seharusnya berada di sana. Ia mempercepat langkahnya, rasa penasaran mengalahkan rasa lelah.

Ketika ia sampai di depan batu itu, ia berhenti. Permukaannya halus, hampir seperti kaca, dan warna hijaunya memantulkan cahaya matahari dengan lembut. Di atas batu itu, ada ukiran simbol yang tidak ia kenali, melingkar seperti ular yang menggigit ekornya sendiri.

“Kamu yang menyuruhku ke sini?” Zaiyan bertanya pada dirinya sendiri, menatap batu itu dengan bingung.

Ia mengulurkan tangan, menyentuh permukaannya yang dingin. Tapi saat kulitnya bersentuhan dengan batu itu, sebuah sensasi aneh mengalir ke tubuhnya. Seperti aliran air dingin yang menyusup ke tulangnya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

Sebuah suara tiba-tiba terdengar di belakangnya.

“Kamu menyentuhnya.”

Zaiyan berbalik cepat, menemukan pria tua itu berdiri tak jauh darinya. Kali ini, mata pria itu tampak lebih tajam, seperti memandang langsung ke jiwanya.

“Apa ini?” Zaiyan menunjuk batu itu, suaranya bergetar.

“Batu itu adalah ujian,” kata pria tua itu sambil melangkah mendekat. “Setiap pengembara yang lapar pasti akan menemukannya. Dan setiap pengembara yang menemukannya harus membuat pilihan.”

“Pilihan apa?” Zaiyan bertanya, meski hatinya mulai merasa takut.

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri di depan Zaiyan, menatapnya dalam-dalam. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya: sebuah kantung kecil berwarna merah. Ia melemparkannya ke arah Zaiyan.

“Buka,” katanya singkat.

Zaiyan menangkap kantung itu dengan gugup. Ketika ia membukanya, ia menemukan isinya: tiga butir biji kecil berwarna hitam.

“Apa ini?” tanyanya.

“Benih lapar,” jawab pria itu. “Satu butir bisa memberimu kekuatan untuk bertahan sehari penuh tanpa makan. Tapi setiap biji yang kamu makan, akan membuat lapar yang berikutnya semakin menyakitkan.”

Zaiyan menelan ludah, mencoba memahami maksud pria itu.

“Dan kalau aku tidak memakannya?”

“Kamu akan menghadapi lapar seperti sekarang, tapi tanpa bantuan.” Pria itu tersenyum tipis, senyuman yang sulit ditebak artinya. “Pilihan ada di tanganmu.”

Zaiyan memandang benih-benih itu lama, lalu menatap pria tua itu. “Kenapa kamu memberiku ini?”

“Karena lapar adalah pelajaran. Dan pelajaran itu hanya bisa dipahami oleh mereka yang berani mengambil risiko.”

Pria itu berbalik, mulai berjalan menjauh.

“Tunggu!” Zaiyan memanggilnya. “Aku butuh lebih dari ini! Apa yang sebenarnya terjadi?”

Pria itu berhenti, menoleh sedikit. “Jawaban itu ada di perjalananmu, anak muda. Kalau kamu cukup kuat, kamu akan menemukannya.”

Kemudian pria itu menghilang di balik kabut tipis yang tiba-tiba turun, meninggalkan Zaiyan sendirian di depan batu hijau itu.

Ia menatap benih-benih di tangannya, pikirannya penuh dengan kebimbangan. Apakah ia akan memakannya? Atau melanjutkan perjalanan dengan kekuatan yang tersisa?

Di kejauhan, raungan binatang liar kembali terdengar, seperti memperingatkan bahwa malam akan segera tiba. Zaiyan tahu, apa pun pilihannya, ia tidak punya banyak waktu.

 

Menghitung Waktu dalam Sepi

Angin utara yang dingin menerpa wajah Zaiyan saat ia melangkah menjauh dari batu hijau itu. Hatinya masih dipenuhi kebingungan, namun sesuatu dalam dirinya menggerakkan kaki-kakinya untuk terus berjalan. Setiap langkah yang diambilnya terasa lebih berat, seolah dunia menekan dari segala arah.

Zaiyan menggenggam erat benih-benih hitam yang kini terbalut dalam tangan kirinya. Ada rasa cemas yang menyelimuti dadanya. Apakah ia sudah cukup kuat untuk menghadapi ujian ini? Tidak ada yang tahu pasti. Semua yang dilakukannya adalah tebak-tebakan, sebuah permainan hidup yang penuh dengan ketidakpastian.

Seiring berjalannya waktu, pemandangan di sekitarnya mulai berubah. Pepohonan tinggi yang semula rapat, kini semakin jarang. Di antara celah-celah pohon itu, Zaiyan bisa melihat langit yang mulai berubah warna, menandakan sore menjelang.

Perutnya mulai terasa perih, kelaparan yang semakin mencekik. Roti keras yang dimakannya pagi tadi sudah tidak cukup lagi. Itu hanya bertahan untuk beberapa jam. Kini, kelaparan yang sesungguhnya datang dengan keras. Zaiyan merasakan tubuhnya lemah, hampir kehilangan kekuatan. Namun, ia terus berjalan, seolah dunia menunggu sesuatu yang penting darinya.

Ia menatap benih-benih itu lagi.

“Kalau aku memakannya… aku akan merasa lebih baik, kan?” gumamnya kepada dirinya sendiri, suara sepi terdengar menyisakan keheningan yang semakin menekan. “Tapi, kalau aku makan semua ini… apa yang akan terjadi pada aku?”

Tiba-tiba, suara aneh menggema dari balik semak-semak. Sesuatu bergerak cepat, seolah hendak menghalangi jalannya. Zaiyan terhenti. Ia berhenti melangkah, merasakan sensasi cemas yang perlahan menjalar ke tubuhnya.

Tapi tidak ada suara lain. Hanya angin yang menyapu dedaunan kering, membuatnya semakin tidak pasti.

Setengah berlari, Zaiyan melanjutkan langkahnya dengan penuh kewaspadaan. Angin semakin kencang, seperti memberi isyarat bahwa ia harus segera memilih.

Tidak lama setelah itu, Zaiyan tiba di sebuah bukit kecil, dan di sana ia melihat sebuah pemandangan yang menggetarkan. Di bawahnya, sebuah desa kecil terlihat terlantar, dengan rumah-rumah yang sebagian besar sudah rubuh. Api yang perlahan menghanguskan sisa-sisa bangunan menciptakan bayangan menyeramkan di sepanjang jalan.

Desa itu terlihat seperti sebuah tempat yang telah ditinggalkan bertahun-tahun lamanya.

Zaiyan berdiri di atas bukit itu, terdiam memandang. Ada rasa yang muncul di dalam dirinya. Entah mengapa, ia merasa seperti ini adalah tujuan dari perjalanan panjangnya.

Hanya ada satu jalan menuju desa itu, melalui reruntuhan yang sangat terbuka. Zaiyan tahu, jika ia melangkah turun, ada banyak hal yang akan ia temui. Tetapi entah kenapa, ia tidak bisa berbalik lagi. Desir angin semakin berhembus keras, mendorongnya untuk turun.

“Siapa yang tinggal di sini?” tanya Zaiyan dalam hati, tetapi tak ada jawaban.

Dengan langkah mantap, Zaiyan menuruni bukit, melewati reruntuhan yang semakin rapuh. Suara kakinya menginjak tanah kering menjadi satu-satunya hal yang terdengar jelas di tengah kesunyian itu.

Saat ia memasuki desa yang sudah hampir hancur itu, sebuah suara samar terdengar, seperti desiran dari jauh.

“Ada yang datang…”

Zaiyan terhenti sejenak. Tiba-tiba, dari balik rumah yang hampir roboh, seorang wanita muncul. Ia mengenakan pakaian lusuh, rambutnya panjang dan acak-acakan, namun matanya bersinar dengan tajam.

Wanita itu menatap Zaiyan, seolah telah menunggunya sejak lama.

“Akhirnya kamu datang,” katanya, suaranya rendah namun jelas.

Zaiyan tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya berdiri diam, melihat wanita itu dengan rasa kebingungan.

“Aku sudah menunggu lama… Pengembara yang lapar,” tambah wanita itu dengan senyum misterius.

Zaiyan tidak bisa menghindar. Ia hanya menatap wanita itu, merasakan ketegangan yang semakin menebal di udara.

“Kau tahu siapa aku?” tanya Zaiyan akhirnya.

Wanita itu mengangguk. “Tentu saja. Kamu adalah yang ketiga. Aku tahu siapa saja yang sampai ke sini. Dan aku tahu juga apa yang kau bawa.”

Zaiyan terdiam. Ia tahu wanita ini berbicara tentang benih-benih itu.

Wanita itu berjalan mendekat, melihat tangan Zaiyan yang memegang benih itu. “Apakah kamu sudah memakannya?” tanyanya, dengan nada serius.

Zaiyan menggeleng. “Aku belum tahu apakah aku harus memakannya.”

Wanita itu tersenyum tipis. “Kamu harus memutuskan, Zaiyan. Waktu tidak menunggumu. Lapar yang kamu rasakan ini adalah ujian, tapi ujian yang sejati adalah saat kamu menghadapinya dengan pilihan yang tepat.”

Zaiyan menatap wanita itu dalam diam, mendalami makna yang tersembunyi di balik kata-katanya.

“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya, suaranya mulai terdengar lemah.

Wanita itu menatapnya dengan tajam. “Kamu harus memilih, dan hanya satu pilihan yang akan membawamu keluar dari sini. Kamu tidak akan bisa melanjutkan tanpa keputusan itu.”

Zaiyan menggenggam benih itu dengan lebih erat, merasakan beban pilihan yang semakin berat di hatinya.

Di depan matanya, desa yang terbengkalai itu tampak lebih nyata, lebih mengerikan, seolah meminta jawaban dari dirinya.

Apakah ia harus memakannya? Atau bertahan lebih lama tanpa itu?

Zaiyan tahu, apa pun yang dipilihnya, tak ada jalan kembali.

 

Keputusan Terakhir

Keheningan yang menyesakkan melingkupi Zaiyan saat wanita itu melangkah mundur, meninggalkan ruang bagi dirinya untuk berpikir lebih jernih. Angin malam membawa aroma tanah basah yang menambah kesan suram. Zaiyan tahu, ini adalah titik balik dalam perjalanannya.

Di tangannya, benih itu terasa semakin berat, seolah beban dunia berada di sana. Ia menatap wanita itu sekali lagi, namun kali ini matanya tak lagi penuh kebingungan, melainkan keputusan yang semakin bulat.

“Pilihan apa yang harus aku buat?” tanya Zaiyan pelan, suara tenggelam dalam desiran angin.

Wanita itu tak menjawab, hanya memandangnya dengan tatapan penuh makna. Setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, wanita itu mengangguk perlahan. “Pilihanmu ada pada hatimu, Zaiyan. Jangan ragu.”

Zaiyan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Kakinya terasa goyah, namun ia tahu, untuk melangkah lebih jauh, ia harus memilih. Apa pun yang terjadi setelah ini, ia harus menghadapi konsekuensinya.

Matahari mulai tenggelam, langit berubah menjadi merah dan ungu, menciptakan siluet yang mencekam di sekitar desa. Semuanya tampak sepi, mati rasa. Zaiyan menundukkan kepala, menyentuh benih itu dengan jari-jarinya, merasakan getaran halus yang memancar dari sana.

“Ini ujian hidupku,” gumamnya pada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa hidup adalah serangkaian pilihan, dan pilihan yang salah dapat menghancurkan segalanya.

Dengan satu gerakan mantap, Zaiyan meletakkan benih itu di tanah. Tangan yang menggenggamnya kini terasa lebih ringan, dan dalam ketenangan yang tiba-tiba muncul, ia bisa merasakan dunia di sekitarnya mulai berubah.

Wanita itu tidak berkata apa-apa, namun senyum tipis yang terukir di wajahnya mengisyaratkan bahwa keputusan Zaiyan sudah tepat.

“Sekarang, perjalananmu akan berlanjut,” kata wanita itu.

Zaiyan menatap ke sekelilingnya. Desa yang terbengkalai ini terasa semakin jauh, seolah ia mulai bergerak maju, meskipun fisiknya masih berada di tempat yang sama. Sesuatu dalam dirinya terbangun, seperti membebaskan dirinya dari belenggu yang selama ini menahannya.

Di kejauhan, awan gelap mulai bergulung, namun di atasnya, ada sedikit celah yang membiarkan cahaya bulan menyinari tanah. Zaiyan merasakan sebuah kehangatan yang datang dari dalam, seperti janji dari langit yang akan menuntunnya.

Langkahnya menjadi lebih ringan. Ia menatap wanita itu sekali lagi, mengangguk tanpa kata. Tidak ada lagi kebingungan dalam dirinya. Ia tahu apa yang harus dilakukan.

“Aku harus pergi,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri. “Tapi… aku tidak akan melupakan desa ini. Dan aku tidak akan melupakan perjalanan ini.”

Wanita itu hanya tersenyum, namun senyumannya kali ini tidaklah misterius. Itu adalah senyum penuh pengertian, seolah ia sudah mengetahui bahwa Zaiyan akan melangkah menuju takdirnya yang lebih besar.

Zaiyan berpaling dan mulai berjalan menjauh, kaki-kakinya yang sebelumnya terhuyung kini melangkah pasti. Matahari terbenam sepenuhnya, namun bulan kini bersinar dengan terang, menerangi jalan yang akan dihadapinya.

Dalam setiap langkahnya, Zaiyan merasakan kelaparan yang menggerogoti tubuhnya, namun hatinya tidak lagi merasa kosong. Setiap keputusan yang ia buat, meskipun sulit, telah memberinya kekuatan untuk melanjutkan perjalanan ini. Tak peduli berapa banyak tantangan yang akan ia hadapi, ia tahu bahwa hanya satu hal yang akan menentukan: keteguhan dalam hatinya untuk terus berjalan.

Ia melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan malam, siap menghadapi segala hal yang akan datang. Tak ada lagi keraguan. Tak ada lagi ketakutan. Di depan sana, ada masa depan yang menantinya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar kelaparan yang ia rasakan saat ini.

Zaiyan tahu, apapun yang ada di depannya, ia akan menghadapinya dengan sepenuh hati. Perjalanan ini, ujian ini, adalah miliknya. Dunia akan membuka jalannya, dan ia tidak akan pernah berhenti melangkah.

Itulah keputusan terakhir yang ia buat. Dan dengan itu, ia pergi—melangkah dalam keheningan malam, mencari cahaya yang tak lagi terhalang.

 

Jadi, perjalanan Zaiyan gak cuma soal kelaparan atau fisik yang terkuras, tapi lebih dari itu—tentang gimana dia akhirnya nemuin jawabannya lewat pilihan yang diambil. Kadang hidup emang bikin kita harus ambil langkah besar, meski takut atau ragu.

Tapi, yang jelas, setiap keputusan punya makna. Gimana menurut kamu? Punya pilihan besar yang harus dihadapi juga? Semoga kisah Zaiyan bisa bikin kamu mikir lebih dalam tentang perjalanan hidup kamu sendiri. Sampai ketemu di petualangan selanjutnya!

Leave a Reply