Hafis: Kisah Sebatang Kara di Tengah Gemerlap Dunia Remaja

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada pernah nggak sih, merasa hidup ini terlalu berat, tapi di saat yang sama, kamu tahu nggak ada pilihan lain selain bertahan? Inilah kisah Hafis, seorang remaja SMA yang harus menghadapi kerasnya hidup setelah kehilangan kedua orang tuanya.

Di balik senyumnya yang ceria, ada perjuangan besar, air mata, dan tekad luar biasa untuk bangkit. Cerita ini bakal bikin kamu nangis, terinspirasi, dan mungkin berpikir ulang soal arti bersyukur. Penasaran? Yuk, ikuti perjalanan Hafis menemukan cahaya di tengah gelapnya kehidupan.

 

Kisah Sebatang Kara di Tengah Gemerlap Dunia Remaja

Di Balik Senyum Hafis

Hari itu, matahari baru saja merangkak naik, menyemburatkan cahaya keemasan yang menyelinap di celah tirai kamar. Aku bangun dengan rasa berat di dada. Alarm di ponselku berbunyi, mengingatkan bahwa ini hanyalah pagi biasa. Tidak ada hal spesial, tidak ada ucapan selamat pagi dari siapa pun, hanya sunyi yang setia menyapa.

“Yah, hidup harus terus berjalan,” gumamku, berusaha mengusir pikiran-pikiran kosong yang tiba-tiba hadir.

Aku melangkah menuju dapur. Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, meja makan kosong tanpa sisa makanan semalam, tanpa suara gaduh panci atau wajan. Sarapan? Itu urusan nanti. Aku lebih sering melewatkannya karena tidak ada yang mengingatkanku.

Sesampainya di sekolah, suasananya berubah total. Teman-temanku langsung menyambut dengan gaya khas mereka seolah aku adalah pusat gravitasi. Aku menyapa mereka dengan senyuman lebarku yang, jujur saja, sudah kulatih bertahun-tahun.

“Hafis, ada acara nanti sore. Jangan lupa ikut, ya!” ujar Ardi sambil menepuk pundakku.

“Siap, bos!” jawabku dengan penuh semangat pura-pura.

Senyumku tidak pernah gagal membuat mereka percaya bahwa aku baik-baik saja. Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya pulang ke rumah yang dingin dan kosong setiap hari.

Di kelas, aku memerhatikan guru menjelaskan pelajaran. Namun, pikiranku melayang entah ke mana. Aku teringat pada sosok Ibu yang selalu bisa menyuruhku belajar saat aku masih kecil. “Fis, kalau kamu mau jadi orang sukses, kamu harus belajar sungguh-sungguh. Mama nggak akan selamanya ada buat Hafis.” Kata-kata itu masih terngiang jelas di telingaku.

Ironisnya, ucapan Ibu menjadi kenyataan jauh lebih cepat daripada yang pernah kubayangkan.

Bel istirahat berbunyi. Aku segera bangkit dari kursi, bergabung dengan teman-temanku di kantin. Di sana, suasana selalu ramai dan penuh canda. Mereka memesan makanan favorit masing-masing, sedangkan aku hanya membeli segelas es teh.

“Hafis, kenapa nggak makan?” tanya Wira.

“Diet, bro!” Aku tertawa kecil, meski sebenarnya aku hanya ingin menghemat uang.

Aku menikmati setiap momen di sekolah. Di tempat ini, aku bisa melupakan fakta bahwa aku adalah anak yatim piatu yang hidup sendiri. Di sini, aku bisa menjadi Hafis yang semua orang kagumi remaja aktif, gaul, dan penuh semangat.

Namun, aku tahu itu semua hanya ilusi. Saat bel pulang berbunyi, aku kembali dihadapkan pada kenyataan.

Langit sore terlihat mendung ketika aku berjalan keluar gerbang sekolah. Teman-temanku sudah sibuk dengan rencana mereka masing-masing. Mereka menawariku untuk ikut, tapi aku menolak dengan alasan klasik.

“Ada tugas yang belum kelar,” kataku sambil tersenyum.

Aku berjalan sendirian menuju rumah. Jalanan sepi, hanya ada suara kendaraan yang berlalu lalang. Aku memasukkan tangan ke saku seragamku, mencari sesuatu yang bisa mengusir kesunyian. Tanganku menyentuh sebuah benda kecil, foto keluarga yang selalu kubawa ke mana-mana.

Foto itu sudah mulai memudar, tapi senyuman Ayah dan Ibu di sana masih terlihat jelas. Aku memandangnya sangat lama, sampai tiba di depan rumah.

Rumahku bukan rumah yang besar, tapi cukup untukku seorang diri. Aku membuka pintu dan langsung disambut udara dingin. Begitu masuk, aku meletakkan tas di sofa, lalu menyalakan televisi hanya untuk mengisi keheningan.

Malam itu, aku merasa kelelahan lebih dari biasanya. Aku duduk di meja belajar, mencoba mengerjakan tugas, tapi pikiranku terus melayang. Pandanganku tertuju pada kalender di meja tanggal merah minggu depan menandakan peringatan kematian Ayah dan Ibu.

Aku menunduk, menahan air mata yang sudah menggantung di sudut mata.

“Hafis, lo harus kuat,” aku berkata pada diriku sendiri.

Tapi, sekuat apa pun aku mencoba, rasa rindu itu selalu datang. Kadang, aku merasa seperti hidup hanya untuk mengisi waktu, tanpa tujuan yang jelas.

Aku mengambil napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dalam hati, aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Tapi malam itu, aku membiarkan diriku tenggelam dalam rasa kehilangan. Tidak apa-apa untuk menangis, meski hanya aku yang tahu.

Esok harinya, aku akan kembali menjadi Hafis yang semua orang kenal senyuman lebar, suara tawa, dan semangat yang terlihat tak pernah habis. Karena itu satu-satunya cara aku bisa bertahan.

 

Kenangan di Balik Foto Lusuh

Malam itu aku duduk di kamar, membiarkan udara dingin menyusup lewat jendela yang terbuka. Foto keluarga kecilku tergeletak di meja. Aku menatapnya lama, seperti mencari kehangatan yang dulu pernah kumiliki. Ayah, Ibu, dan aku tersenyum di depan taman rumah saat aku baru berusia delapan tahun. Itu adalah satu dari sedikit foto yang tersisa setelah tragedi itu.

Aku ingat hari itu seperti kemarin. Ayah mengajakku naik sepeda ke taman. “Hafis, kamu harus belajar naik sepeda sendiri. Kalau jatuh, nggak apa-apa, Ayah ada di sini,” katanya sambil memegang punggung sepedaku. Aku jatuh beberapa kali, lututku lecet, tapi Ayah terus menyemangati.

“Anak Ayah nggak boleh nyerah. Sekali lagi, pasti bisa!”

Dan akhirnya, aku bisa mengayuh sepeda tanpa terjatuh. Aku berteriak kegirangan, melihat Ayah tersenyum bangga. Sore itu, Ibu datang membawa kamera. “Ayo, kita abadikan momen ini!” katanya sambil tertawa.

Aku menggigit bibir, menahan air mata yang mulai jatuh. Kenangan itu selalu membuatku hangat sekaligus hancur.

Tapi kemudian, hari itu tiba. Hari di mana hidupku berubah selamanya.

Hari itu mendung, dan hujan mulai turun saat telepon rumah berdering. Aku sedang menggambar di ruang tamu ketika Ibu, yang biasanya ceria, berubah pucat setelah menerima telepon. “Hafis, duduk di sini, ya. Mama mau ke rumah sakit sebentar.”

“Ayah kenapa, Ma?” tanyaku polos.

Ibu hanya mengusap kepalaku tanpa menjawab. “Mama pergi sebentar saja. Hafis yang kuat, ya.”

Aku mengangguk, meski hatiku dipenuhi rasa cemas. Ibu pergi dengan tergesa-gesa, meninggalkanku sendirian.

Malam itu, aku tertidur di sofa sambil menunggu Ibu pulang. Tapi yang datang bukan Ibu, melainkan seorang tetangga. Wajahnya penuh iba, dan ia menggendongku tanpa bicara banyak. Aku dibawa ke rumah sakit, di mana kulihat Ibu duduk di kursi dengan mata sembab.

“Ayah mana, Ma?” tanyaku sambil menarik bajunya.

Ibu memelukku erat. “Ayah udah tenang di surga, Nak.”

Aku kecil tidak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tapi aku tahu sejak saat itu bahwa aku tidak akan pernah melihat Ayah lagi.

Kupikir, kehilangan Ayah adalah pukulan terberat dalam hidupku. Tapi takdir sepertinya punya rencana lain.

Lima bulan setelah kepergian Ayah, aku dan Ibu mulai kembali ke rutinitas kami. Ibu bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan kami, sering pulang larut malam. Aku tahu ia lelah, tapi ia selalu memastikan aku merasa dicintai.

Suatu sore, saat aku sedang menonton kartun favoritku, Ibu tiba-tiba jatuh pingsan di dapur. Aku panik, berlari mencari bantuan tetangga. Mereka membawanya ke rumah sakit, dan aku hanya bisa berdiri di sudut ruangan dengan tangan gemetar.

“Mama kenapa?” tanyaku dengan suara kecil.

Seorang dokter menatapku penuh iba. “Mama kamu sakit, Nak. Tapi kami akan berusaha yang terbaik.”

Namun, usaha terbaik mereka tidak cukup. Dalam waktu sebulan, penyakit kanker yang selama ini disembunyikan Ibu mengambilnya dariku. Aku bahkan tidak sempat untuk mengucapkan selamat tinggal.

Setelah pemakaman Ibu, aku benar-benar sendiri. Beberapa kerabat datang, menawarkan bantuan seadanya, tapi mereka semua punya kehidupan masing-masing. Pada akhirnya, aku kembali ke rumah kecil kami yang kini terasa begitu sunyi.

Aku mengingat malam pertama tanpa Ibu. Aku duduk di ruang tamu, memeluk foto keluarga kami sambil menangis hingga tertidur. Tidak ada lagi suara Ibu memanggilku makan malam, tidak ada lagi pelukan hangat sebelum tidur. Aku merasa seperti hanyut di lautan tanpa arah, tanpa pelampung untuk bertahan.

Kenyataan itu membuatku belajar cepat. Aku harus mengurus diriku sendiri, belajar memasak, mengelola uang, bahkan mencuci baju. Banyak teman sekolah yang tidak tahu apa yang terjadi. Aku sengaja tidak memberi tahu mereka, karena aku tidak ingin untuk dikasihani.

Tapi malam-malam seperti ini, di mana hanya ada aku dan foto lusuh itu, semuanya terasa begitu berat. Aku teringat betapa bahagianya dulu, betapa utuhnya keluarga kecil kami.

Aku tahu aku tidak bisa terus larut dalam kesedihan. Meski sulit, aku memutuskan untuk bertahan. Setiap pagi, aku berdiri di depan cermin, melatih senyuman yang akan kulihat di wajahku sepanjang hari.

Karena di dunia ini, aku hanya punya diriku sendiri. Dan aku harus membuat Ayah dan Ibu bangga, meski dari jauh.

 

Hujan di Makam Mawar Putih

Hujan deras membasahi kota sejak pagi. Aku duduk di sofa ruang tamu, sambil menatap kalender di meja. Tanggal merah yang melingkari hari ini terasa seperti luka lama yang kembali diiris. Ini adalah hari peringatan kepergian Ayah dan Ibu.

Aku menggenggam seikat mawar putih yang kubeli semalam. Bunga itu adalah kesukaan Ibu. Ayah selalu membawakannya di hari-hari istimewa, dan kini, bunga itu satu-satunya cara aku merasa tetap terhubung dengan mereka.

Saat hujan mulai mereda menjadi gerimis, aku memutuskan untuk berangkat. Dengan mantel tebal dan payung yang sedikit usang, aku melangkah menuju pemakaman. Jalanan licin, udara dingin menggigit, tapi aku terus berjalan. Sepanjang perjalanan, bayangan masa lalu kembali hadir, menyusup di sela-sela pikiranku.

Aku tiba di pemakaman saat langit kelabu masih menggantung. Tanah di sekitarnya becek, membuat sepatuku kotor. Tapi aku tidak peduli. Di ujung barisan nisan, aku melihat dua batu nisan yang berjajar rapi Ayah dan Ibu. Mereka beristirahat berdampingan, seperti harapan terakhir Ibu sebelum meninggal.

Aku mendekat, menunduk di depan mereka sambil meletakkan mawar putih di atas nisan Ibu dan Ayah. Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan.

“Ma, Pa…” suaraku bergetar. “Hari ini Hafis datang lagi. Hafis masih kangen banget.”

Aku duduk bersimpuh di depan nisan, membiarkan emosi yang selama ini kutahan tumpah begitu saja. Tidak ada orang lain di sini, hanya aku, hujan, dan kenangan yang menghangatkan sekaligus menyakitkan.

“Ma, Hafis capek pura-pura. Di depan teman-teman, Hafis kelihatan bahagia. Hafis ketawa, Hafis cerita-cerita, tapi hati Hafis kosong. Hafis rindu rumah yang dulu, Ma. Rindu pelukan Ibu. Rindu suara Ayah ngajarin Hafis naik sepeda.”

Aku menggigit bibir, menahan isak yang semakin kencang. Hujan gerimis semakin deras, membasahi mantelku, tapi aku tetap diam. Di sini, aku merasa dekat dengan mereka, meskipun hanya lewat batu nisan yang dingin.

“Kadang Hafis ngerasa kayak pengen nyerah. Tapi Hafis tahu, Ma, Pa, pasti nggak mau Hafis kayak gitu.” Aku terdiam, membiarkan kata-kataku mengalir. “Hafis janji, Ma, Pa. Hafis bakal terus berjuang. Hafis nggak tahu seberapa kuat Hafis bisa bertahan, tapi Hafis bakal coba.”

Aku merogoh kantong jaket, mengeluarkan foto kecil keluargaku yang selalu kubawa. Foto itu sudah usang, warnanya memudar, tapi tetap menjadi pengingat bahwa aku pernah punya tempat untuk pulang, tempat di mana cinta tidak pernah habis.

Aku meletakkan foto itu di atas nisan Ayah dan Ibu, meski hanya sebentar. “Lihat, Ma, Pa. Kita masih bersama di sini. Meski cuma di hati Hafis, kalian nggak akan pernah hilang.”

Setelah beberapa saat, aku bangkit dengan tubuh yang terasa lebih ringan, meski hatiku masih terasa kosong. Aku menatap langit yang mulai cerah, seolah mendapat semacam pesan bahwa aku harus terus berjalan, apa pun yang terjadi.

Di perjalanan pulang, aku memutuskan untuk melewati taman yang dulu sering kami kunjungi. Pohon-pohon besar di taman itu masih berdiri dengan kokoh, ayunan yang dulu kugunakan masih ada, meski sudah mulai berkarat. Aku duduk di bangku taman, membiarkan pikiranku melayang.

Di sana, aku memutuskan sesuatu.

Aku tidak ingin terus terpuruk dalam kenangan. Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkanku untuk menyerah, dan aku tahu mereka ingin aku melanjutkan hidup dengan semangat, seperti yang selalu mereka tanamkan padaku.

Sesampainya di rumah, aku menyalakan lilin kecil di meja, lalu menuliskan sebuah surat untuk Ayah dan Ibu di halaman diari.

“Ma, Pa, Hafis kangen banget. Tapi Hafis janji, Hafis akan terus melangkah. Hafis akan jadi anak yang kalian banggakan, meski dari atas sana. Hafis sayang banget sama Ma dan Pa, selamanya.”

Setelah menuliskan itu, aku menutup diari dan menghela napas panjang. Di malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa sedikit lega. Aku tahu perjalanan hidup ini tidak akan mudah, tapi aku punya janji yang harus kutepati.

Dan setiap kali aku merasa lelah, aku tahu di mana aku bisa menemukan mereka di dalam hati, di antara doa-doa yang selalu kupanjatkan.

 

Cahaya di Tengah Gelap

Pagi itu, sinar matahari masuk menembus jendela kamarku. Hari baru, tantangan baru, dan beban yang sama. Aku berdiri di depan cermin, melihat bayangan diriku yang sedikit lebih kuat daripada kemarin. Aku berjanji untuk tidak hanya bertahan, tapi juga mencoba membangun masa depan yang lebih baik.

Tiba-tiba, telepon berdering. Jarang sekali ponselku berbunyi selain untuk pemberitahuan grup sekolah. Aku mengangkatnya dengan rasa penasaran.

“Hafis?” suara berat di seberang sana terdengar sangat familiar.

“Iya, Pak Rendra?” jawabku. Beliau adalah guru bimbingan konseling di sekolah, yang sesekali menanyakan kabarku sejak kepergian Ibu.

“Kamu ada waktu untuk bisa datang ke ruang BK nanti? Ada sesuatu yang ingin Bapak bicarakan.”

Aku mengiyakan tanpa banyak berpikir, meskipun hati kecilku bertanya-tanya apa yang akan dibahas.

Di sekolah, suasana seperti biasa ramai dengan canda tawa teman-temanku. Aku ikut tertawa, berusaha terlihat seperti Hafis yang mereka kenal. Tapi pikiranku terus melayang pada panggilan Pak Rendra.

Setelah bel istirahat berbunyi, aku menuju ruang BK. Pak Rendra sudah menungguku di sana, dengan senyumnya yang khas.

“Hafis, duduk dulu,” katanya ramah.

Aku duduk, mencoba menenangkan diri dari rasa gugup yang entah kenapa muncul.

“Kamu tahu kenapa Bapak manggil kamu ke sini?” tanyanya.

Aku menggeleng.

Pak Rendra tersenyum kecil. “Bapak tahu, kamu anak yang tangguh. Bapak juga tahu apa yang sedang kamu alami selama ini tidak akan sangat mudah. Tapi ada sesuatu yang Bapak perhatikan kamu jarang meminta bantuan.”

Aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa.

“Kamu punya banyak potensi, Hafis. Bapak lihat kamu aktif, punya banyak teman, dan selalu terlihat ceria. Tapi Bapak juga tahu, di balik senyummu itu, ada beban yang mungkin kamu simpan sendiri.”

Aku mencoba tetap tenang, tapi kata-kata Pak Rendra seolah menembus benteng yang kubangun.

“Bapak mau bantu kamu,” lanjutnya. “Bapak dengar dari guru-guru lain, nilai-nilaimu sebenarnya cukup bagus. Kamu punya peluang besar untuk mendapatkan beasiswa. Itu bisa meringankan hidupmu ke depan.”

Beasiswa? Kata itu terasa asing dan jauh dari jangkauanku.

“Tapi, Pak… apa saya bisa?” tanyaku ragu.

“Kamu harus percaya sama dirimu sendiri, Hafis. Kamu punya kemampuan. Yang kamu butuhkan adalah kerja keras dan kemauan.”

Sore itu, aku pulang ke rumah dengan pikiran yang penuh. Pak Rendra memberiku dokumen tentang beberapa program beasiswa, beserta persyaratan yang harus kupenuhi. Aku menatap dokumen-dokumen itu lama, merasa seperti sedang berdiri di persimpangan besar dalam hidupku.

Aku teringat janji yang kutulis di diari beberapa hari lalu janji kepada Ayah dan Ibu bahwa aku akan membuat mereka bangga. Jika ini jalannya, aku harus mencoba.

Hari-hari berikutnya, aku mengubah rutinitasku. Aku tetap pergi ke sekolah seperti biasa, tapi setelah pulang, aku menghabiskan waktu berjam-jam di meja belajar. Aku membaca, mengerjakan latihan soal, dan menulis esai untuk memenuhi syarat beasiswa.

Tidak mudah. Ada banyak malam di mana aku merasa lelah dan ingin menyerah. Tapi setiap kali rasa itu datang, aku membuka foto keluarga kecil kami. “Hafis, kamu bisa,” bisikku kepada diriku sendiri.

Beberapa teman mulai memperhatikan perubahan itu.

“Hafis, kok nggak pernah nongkrong lagi sih?” tanya Wira suatu hari.

“Ada urusan, bro. Doain aja,” jawabku sambil tersenyum. Aku tidak ingin terlalu banyak menjelaskan.

Bulan demi bulan berlalu. Aku mengumpulkan semua dokumen yang diperlukan dan mengirimkan aplikasi beasiswa. Saat itu, aku merasa seperti berdiri di tepi jurang antara harapan dan ketidakpastian.

Menunggu hasilnya adalah bagian terberat. Setiap hari, aku membuka email dengan jantung berdebar, berharap ada kabar baik.

Hingga suatu pagi, sebuah pesan masuk ke inbox-ku.

“Selamat! Anda diterima sebagai penerima beasiswa penuh…”

Aku membacanya berkali-kali, tidak percaya pada apa yang kulihat. Tubuhku gemetar, dan air mata jatuh tanpa bisa kutahan. Aku berhasil. Aku benar-benar berhasil.

Hari itu, aku pergi ke makam Ayah dan Ibu dengan hati yang penuh syukur. Aku membawa mawar putih seperti biasa, dan kali ini aku juga membawa kabar baik.

“Ma, Pa, Hafis dapat beasiswa,” kataku sambil tersenyum lebar, meski air mataku masih mengalir. “Hafis bakal terus belajar dan berjuang. Ini baru awal, Ma, Pa. Hafis janji nggak akan menyerah.”

Hujan kembali turun saat aku berdiri di depan makam mereka. Tapi kali ini, aku tidak merasa sendirian. Aku tahu Ayah dan Ibu selalu bersamaku, di setiap langkah yang kuambil.

Di tengah hujan itu, aku melihat cahaya kecil di ujung perjalanan panjangku. Itu adalah harapan, dan aku berjanji untuk terus mengejarnya, apa pun yang terjadi.

Leave a Reply