Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Cerpen ini membawa kita menyelami kisah Zia, seorang anak SMA yang ceria dan memiliki banyak teman. Di balik senyum dan kehidupannya yang terlihat bahagia, Zia menyimpan cerita penuh air mata dan pengorbanan.
Saat ibunya jatuh sakit, Zia menghadapi cobaan berat, tetapi tidak pernah menyerah. Ia rela melepas kenangan paling berharga demi menyelamatkan sang ibu. Dengan gaya penulisan yang menyentuh dan penuh emosi, cerpen ini mengajak pembaca untuk merasakan perjuangan Zia dan kekuatan cinta seorang anak kepada ibunya. Jangan lewatkan cerita yang mengharukan ini!
Kisah Perjuangan Zia, Remaja yang Tegar
Senyum Palsu di Balik Kemewahan Sekolah
Pagi itu, Zia berdiri di depan cermin kecil di kamarnya yang sempit. Wajahnya tampak letih, namun ia menarik napas dalam-dalam dan memaksa dirinya tersenyum. “Kamu harus kuat, Zia,” bisiknya kepada bayangan dirinya sendiri. Di luar kamar, terdengar suara gemericik air dari dapur. Ibunya sedang mencuci pakaian tetangga, pekerjaan yang selalu dilakukan setiap pagi sebelum Zia berangkat sekolah.
Zia melangkah keluar dengan seragam putih abu-abu yang sudah mulai kusam warnanya. Roknya sedikit lebih pendek dari standar karena sudah tidak cukup panjang untuk menutupi kakinya yang semakin tumbuh panjang. Namun, Zia tetap percaya diri. Di hadapan teman-temannya, dia adalah Zia yang ceria, gadis yang selalu membawa tawa dan kebahagiaan di setiap sudut sekolah.
“Bu, aku berangkat,” ujar Zia sambil mencium tangan ibunya yang kasar dan kering.
Ibunya tersenyum lemah. “Hati-hati di jalan, Nak. Jangan lupa sarapan meski hanya roti ini,” kata sang ibu sambil menyodorkan sepotong roti tawar yang sudah mulai mengeras. Zia menerimanya dengan senyum, meski di dalam hatinya, ia merasa pilu.
Di perjalanan menuju sekolah, Zia melihat teman-temannya yang datang dengan mobil-mobil mewah, seragam mereka rapi dan wangi. Ia menundukkan kepala, melangkah lebih cepat agar tak ada yang menyadari perbedaan mencolok di antara mereka. Di pintu gerbang, Zia bertemu dengan Dinda, sahabat karibnya sejak SMP. Dinda selalu membawa energi positif, dengan senyum dan tawa yang tulus.
“Zia! Kok datangnya cepat banget?” seru Dinda sambil memeluk Zia.
Zia tertawa kecil. “Biar nggak kena macet, Din.”
Dinda mengangguk. Mereka berdua berjalan menuju kelas, bercanda sepanjang perjalanan. Zia tampak menikmati momen-momen ini, saat dia bisa melupakan sejenak kenyataan pahit di rumahnya.
Di dalam kelas, suasana riuh.
“Eh, guys, nanti makan siang kita bareng di kafe baru, yuk!” ajak Nina, salah satu teman sekelas Zia yang selalu tampil modis.
Zia tersenyum tipis. “Aku nggak bisa ikut deh, Nina. Ada urusan keluarga,” kilahnya. Dia sudah terbiasa menolak ajakan seperti ini. Sebenarnya, dia sangat ingin ikut, ingin menikmati momen kebersamaan dengan teman-temannya. Namun, dia tahu, uang yang ada di dompetnya hanya cukup untuk ongkos pulang dan sedikit makan malam nanti.
Saat jam istirahat tiba, teman-teman Zia berbondong-bondong menuju kantin. Mereka tertawa, saling berbagi cerita tentang liburan mewah mereka, sementara Zia memilih duduk di sudut kelas, membuka buku pelajaran dan pura-pura membaca.
“Zia, kok kamu nggak ke kantin?” tanya Dinda yang kembali ke kelas, terlihat bingung melihat sahabatnya sendirian.
Zia menutup bukunya dan tersenyum. “Aku lagi nggak lapar, Din. Lagian mau belajar untuk ujian nanti.”
Dinda mengerutkan kening. “Kamu jarang banget makan bareng kita akhir-akhir ini. Kamu yakin nggak apa-apa?”
Zia mengangguk cepat. “Aku baik-baik saja, kok.”
Namun, dalam hati, Zia merasa perih. Dia tidak bisa berkata jujur pada Dinda. Bagaimana mungkin ia mengatakan bahwa dia bahkan tidak punya uang untuk membeli sebotol air di kantin? Zia merasa malu. Dia selalu berusaha tampil kuat, tetapi kenyataan terus menghantamnya, menyadarkannya bahwa hidupnya tidak seindah yang terlihat di luar.
Sore harinya, setelah pulang sekolah, Zia langsung menuju kedai kopi kecil di dekat rumahnya.
Dia bekerja sebagai pelayan di sana, mengambil shift malam agar bisa membantu ibunya mengumpulkan uang untuk membayar sewa rumah yang sudah menunggak. Kedai itu tidak besar, hanya ada beberapa meja dan kursi, namun selalu ramai oleh pelanggan.
“Selamat sore, Mbak Zia! Shift malam lagi ya?” sapa Ani, rekan kerjanya yang masih kuliah.
Zia tersenyum. “Iya, Ani. Nggak apa-apa, lebih ramai kan kalau malam?”
Ani mengangguk sambil menyerahkan celemek pada Zia. “Kamu hebat, Zia. Masih sekolah tapi semangat kerja. Aku nggak tahu kamu bisa membagi waktu seperti itu.”
Zia hanya tersenyum. Tidak ada yang tahu bahwa di balik semangatnya, ia menyimpan rasa letih yang tak terhingga. Setiap malam, saat tubuhnya beristirahat di kasur tipis di kamarnya, ia merasakan sakit di punggung dan kaki akibat berdiri terlalu lama. Namun, Zia tetap bertahan. Baginya, rasa sakit ini tidak sebanding dengan penderitaan yang harus dialami ibunya.
Malam semakin larut, kedai mulai sepi.
Zia duduk sejenak di kursi belakang, menghela napas panjang. Di luar jendela, hujan turun dengan derasnya. Pikiran Zia melayang pada ibunya yang mungkin sedang tidur dengan tubuh letih di rumah. Tiba-tiba, handphone Zia bergetar. Sebuah pesan dari Dinda muncul di layar.
“Zia, aku baru beli baju buat prom night! Kamu udah siapin gaun belum?”
Zia menatap layar itu lama, menahan air matanya agar tidak jatuh. Prom night adalah acara yang paling dinantikan oleh teman-teman sekelasnya. Semua gadis ingin tampil cantik dengan gaun indah. Namun, Zia tahu dia tidak bisa ikut. Membeli gaun saja sudah mustahil baginya.
Dengan tangan gemetar, Zia mengetik balasan, “Wah, pasti cantik banget, Din! Aku belum siapin sih, mungkin nggak bisa ikut kalau ada urusan keluarga.”
Dinda membalas cepat, “Sayang banget kalau kamu nggak ikut! Aku harap kamu bisa datang.”
Zia memaksakan senyum, meski tidak ada seorang pun yang melihatnya. Dia tahu, ini bukan urusan keluarga seperti yang dia katakan. Ini urusan uang, urusan bertahan hidup. Dia menutup pesan itu dan memasukkan ponselnya ke dalam saku, kembali bekerja dengan hati yang hampa.
Malam itu, setelah selesai bekerja, Zia berjalan pulang dalam hujan.
Seragamnya basah, sepatu kanvasnya penuh lumpur. Namun, dia tidak peduli. Hatinya terlalu penuh dengan perasaan yang tak terucapkan. Di dalam kegelapan malam, Zia akhirnya membiarkan air mata yang selama ini ditahannya jatuh bersama tetesan hujan. Dia menatap langit, berharap ada keajaiban yang bisa mengubah hidupnya dan ibunya.
“Ya Tuhan, beri aku kekuatan,” lirihnya, sebelum melanjutkan langkah berat menuju rumah.
Di dalam hatinya, Zia tahu bahwa ini baru awal dari perjuangannya.
Beratnya Beban di Rumah Sederhana
Hujan masih mengguyur ketika Zia tiba di depan rumahnya. Rumah kecil berwarna kusam itu berdiri di antara deretan rumah-rumah kumuh lainnya. Dari luar, terlihat seperti bangunan tua yang hampir roboh. Gentengnya bocor di beberapa tempat, dan dinding kayunya sudah mulai lapuk. Zia membuka pintu pelan-pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Ia tahu ibunya pasti sudah tertidur. Namun, harapannya pupus saat melihat ibunya duduk di lantai, bersandar pada dinding dengan mata yang tampak sayu.
“Nak, kamu baru pulang?” Suara ibunya terdengar lemah, seperti angin yang berhembus pelan.
Zia tersenyum tipis, meski hatinya merasa perih. Ia mendekat, meletakkan tas di sudut ruangan, lalu duduk di samping ibunya. “Iya, Bu. Tadi agak sibuk di kedai, banyak pelanggan.”
Ibunya mengangguk kecil. Wajahnya terlihat semakin kurus, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang menandakan kurang tidur. “Kamu sudah makan malam?” tanya ibunya sambil menatap Zia dengan yang penuh dengan kekhawatiran.
Zia menggeleng pelan, lalu berdiri menuju dapur kecil di pojok ruangan. Ia membuka lemari kayu yang sudah reyot, mengambil sebungkus mi instan terakhir yang ada. Zia menyalakan kompor, air mulai mendidih. Tangannya gemetar saat ia mengaduk mi itu. Hatinya bergejolak. Setiap suapan makanan yang ia makan malam ini terasa seperti beban, karena ia tahu, mereka tidak tahu kapan bisa membeli makanan lagi.
Setelah makan, Zia mengantarkan ibunya ke tempat tidur. Kasur tipis dengan kain yang sudah lusuh itu menjadi satu-satunya tempat mereka bisa beristirahat. Ibunya berbaring dengan wajah lelah, dan Zia duduk di sampingnya, mengusap rambut ibunya yang sudah memutih.
“Nak, maafkan Ibu, ya,” bisik ibunya tiba-tiba.
Zia tersentak, menatap wajah ibunya yang sudah dipenuhi kerutan. “Kenapa Ibu minta maaf? Ibu nggak salah apa-apa.”
“Ibu merasa gagal, Nak. Ibu nggak bisa kasih kamu kehidupan yang layak. Kamu harus bekerja keras padahal kamu masih sekolah. Ibu sedih melihat kamu seperti ini.”
Air mata mulai menggenang di sudut mata Zia. Ia berusaha menahan agar tidak jatuh. “Ibu, jangan bicara begitu. Aku nggak pernah merasa terbebani, kok. Aku cuma ingin Ibu sehat. Selama kita bersama, itu sudah cukup buat aku.”
Namun, Zia tahu, kata-katanya itu tidak sepenuhnya jujur. Ada rasa sakit yang selama ini dia pendam, rasa iri ketika melihat teman-temannya bisa hidup nyaman tanpa harus memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk makan besok. Tapi Zia tahu, mengungkapkan perasaan itu hanya akan membuat ibunya semakin terluka. Jadi, ia memilih untuk menyimpannya sendiri.
Keesokan harinya, matahari terbit dengan cerah. Namun, Zia merasa berat untuk bangun dari tempat tidur. Tubuhnya masih lelah setelah bekerja semalam. Tapi, ia harus bangkit. Pekerjaan mencuci dan membersihkan rumah sudah menantinya sebelum ia berangkat sekolah.
Saat Zia sedang mencuci pakaian di bak mandi, ia mendengar ibunya batuk keras dari dalam kamar. Bunyi batuk itu terdengar parah, seperti merobek dada. Zia segera berlari menghampiri, mendapati ibunya terbaring dengan wajah pucat dan napas tersengal-sengal.
“Ibu, batuk lagi? Minum air hangat dulu, ya,” Zia mencoba untuk menawarkan segelas air, namun tangan ibunya gemetar saat ia meraihnya.
“Nak, Ibu baik-baik saja. Kamu jangan khawatir,” ujar ibunya di antara batuk yang terputus-putus.
Namun, Zia tahu, ini bukan batuk biasa. Sudah beberapa bulan belakangan ini, ibunya sering sakit-sakitan, namun mereka tidak punya uang untuk memeriksakan diri ke dokter. Setiap kali Zia mengutarakan keinginannya untuk membawa ibunya ke klinik, ibunya selalu menolak.
“Kita nggak bisa buang-buang uang untuk itu, Nak. Ibu cuma kecapekan,” kata ibunya waktu itu.
Hari itu, di sekolah, pikiran Zia melayang. Dia duduk di bangku belakang, memandang papan tulis tanpa benar-benar melihat apa yang tertulis di sana. Dinda yang duduk di sampingnya menyadari hal itu.
“Zia, kamu kenapa? Dari tadi melamun terus,” tanya Dinda sambil menyentuh bahu Zia.
Zia tersentak, mencoba tersenyum. “Nggak apa-apa, Din. Aku cuma kepikiran ujian minggu depan.”
Dinda menatap Zia dengan tatapan tidak percaya. “Kamu yakin? Kamu bisa cerita kalau ada apa-apa. Aku selalu di sini buat kamu.”
Kata-kata Dinda membuat hati Zia terasa hangat, tapi sekaligus semakin berat. Dia ingin sekali bercerita, ingin melepaskan semua beban yang ia rasakan. Namun, ia tahu, bahkan jika ia bercerita, tidak akan ada yang bisa dilakukan Dinda. Masalah yang dihadapi Zia terlalu rumit, terlalu besar untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Malam harinya, setelah selesai bekerja, Zia duduk di meja makan bersama ibunya.
Hanya ada sepiring nasi dan sayur bening yang sudah mulai dingin. Ibunya menatap makanan itu dengan tatapan kosong.
“Maaf, Nak, Ibu hanya cuma bisa masak ini malam ini,” ucap ibunya pelan.
Zia tersenyum dan meraih tangan ibunya. “Ibu, makanan ini enak banget. Aku suka kok. Yang penting kita makan bersama.”
Namun, di dalam hatinya, Zia tahu, ini adalah kebohongan lain yang ia katakan untuk menghibur ibunya. Makanan yang ada di piringnya terasa hambar, bukan karena rasanya, tetapi karena rasa takut yang terus menghantui Zia. Takut akan masa depan, takut akan hari esok yang mungkin lebih sulit dari hari ini.
Malam itu, setelah makan, Zia mendapati ibunya tertidur lebih cepat dari biasanya. Napasnya terdengar berat dan berisik, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya. Zia duduk di samping tempat tidur, menatap wajah ibunya yang kini tampak damai dalam tidur. Namun, air mata Zia mengalir tanpa bisa ia hentikan.
“Kenapa hidup kita harus seperti ini, Bu?” bisiknya pelan, seakan berharap ada jawaban dari langit.
Dia tahu, dia tidak bisa berhenti berjuang. Dia harus tetap kuat, bukan untuk dirinya, tapi untuk ibunya. Zia mengepalkan tangannya, berjanji dalam hati bahwa ia akan melakukan apa pun yang bisa ia lakukan, meski harus mengorbankan seluruh kebahagiaan masa remajanya.
“Aku akan terus berjuang, Bu. Aku janji.”
Zia memeluk tubuh ibunya yang mulai dingin oleh udara malam. Di dalam keheningan malam yang penuh kesedihan, Zia memejamkan mata, berdoa agar esok hari membawa sedikit harapan baru untuk mereka berdua.
Pengorbanan Tanpa Batas
Pagi yang cerah terasa berbeda bagi Zia. Saat ia membuka mata, udara di dalam rumah terasa dingin, lebih dingin dari biasanya. Ia menatap ke arah tempat tidur ibunya, berharap melihat senyum lemah yang selalu menyambutnya setiap pagi. Namun, hari ini berbeda. Ibunya masih terbaring dengan mata terpejam, napasnya terdengar sangat pelan. Zia merasa ada yang tidak beres.
“Ibu?” Zia mendekat, mengguncang pelan tubuh ibunya. Tidak ada respons. Jantung Zia yang berdetak semakin cepat, sebuah perasaan panik kini mulai merayap. “Ibu, bangun. Ini sudah pagi.”
Zia menggenggam tangan ibunya yang terasa lebih dingin dari biasanya. Hatinya mencelos, rasa takut yang selama ini ia pendam mulai menyeruak ke permukaan. “Ibu, bangun, aku mohon…” Suaranya serak, hampir tak terdengar. Air mata mulai mengalir di pipinya.
Seolah tersentuh oleh panggilan Zia, ibunya perlahan membuka mata. “Zia, kamu sudah bangun, Nak?” suara ibunya terdengar lebih pelan, hampir seperti bisikan.
Zia mengangguk sambil tersenyum, meski air mata terus mengalir. “Ibu, kenapa Ibu terlihat begitu lemah? Kita harus ke dokter sekarang.”
Ibunya mencoba tersenyum, meski jelas terlihat rasa sakit yang ia sembunyikan. “Jangan khawatirkan Ibu, Nak. Ibu cuma butuh istirahat.”
“Tapi, Ibu…” Zia ingin membantah, namun ia tahu ini akan menjadi percuma. Ibunya tidak pernah mau pergi ke dokter, tidak pernah mau membebani Zia lebih dari ini. Namun, kali ini Zia tidak bisa tinggal diam. Ia harus melakukan sesuatu. Ibunya semakin lemah setiap hari, dan Zia tidak mau kehilangan satu-satunya orang yang ia cintai.
Di sekolah, Zia hanya duduk diam di bangkunya, mencoba fokus pada pelajaran. Namun pikirannya terus melayang kepada ibunya. Wajah pucat dan napas terengah-engah itu terus menghantui pikirannya. Saat bel istirahat berbunyi, Zia bergegas keluar kelas, menuju taman sekolah di mana Dinda, sahabatnya, sedang duduk.
“Dinda, aku butuh bantuan,” ucap Zia tanpa basa-basi. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, dan ada gurat kecemasan yang tak bisa disembunyikan.
Dinda mengangkat alis, melihat Zia dengan penuh kekhawatiran. “Zia, ada apa? Kamu terlihat kacau.”
“Ibuku… dia semakin parah, Din. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Aku ingin membawanya ke dokter, tapi kita nggak punya uang,” suara Zia bergetar. Ini adalah pertama kalinya ia menceritakan masalahnya dengan begitu terbuka.
Dinda terdiam sesaat, menatap Zia dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu betapa berat hidup Zia, betapa keras perjuangan yang harus dilalui temannya itu. “Zia, kamu jangan khawatir. Kita bisa cari cara. Mungkin kita bisa menggalang dana di sekolah. Aku bisa minta bantuan teman-teman kita.”
Zia menatap Dinda dengan rasa haru yang dalam. Ia tidak pernah meminta belas kasihan, dan mendengar tawaran ini membuat hatinya terasa hangat. Namun, ia juga merasa malu. “Din, aku nggak mau merepotkan kalian. Ini masalah keluargaku.”
Dinda menggenggam tangan Zia erat. “Zia, kamu nggak sendiri. Kami teman-temanmu, dan kami peduli. Kamu nggak perlu merasa malu. Ini bukan tentang belas kasihan, tapi tentang persahabatan.”
Keesokan harinya, sebuah pengumuman dipasang di papan sekolah. “Penggalangan Dana untuk Ibunda Zia.” Semua teman-teman Zia, bahkan mereka yang tidak terlalu dekat, ikut berpartisipasi. Mereka mengumpulkan uang dari saku mereka, menjual makanan di kantin, bahkan ada yang rela menjual barang-barang pribadi untuk membantu.
Zia melihat semua itu dengan hati yang tersentuh. Air mata menetes di pipinya setiap kali ia melihat amplop berisi uang yang diberikan teman-temannya. “Terima kasih, semuanya. Kalian nggak tahu betapa berartinya ini buat aku,” ucap Zia dengan suara parau.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat Zia pulang dengan amplop di tangannya, ia mendapati rumahnya kosong. Ibunya tidak ada di tempat tidur seperti yang biasanya. “Ibu?” panggil Zia, suaranya terdengar cemas. Ia mencari ke setiap sudut ruangan, sampai akhirnya ia mendengar suara batuk dari kamar mandi.
Zia berlari, menemukan ibunya yang sedang duduk di lantai kamar mandi, tubuhnya mulai gemetar, keringat dingin membasahi dahinya. “Ibu!” Zia sambil memeluk ibunya, sambil merasakan betapa lemah tubuh itu di pelukannya.
“Nak… Ibu nggak apa-apa,” ujar ibunya dengan napas yang tersengal.
“Tidak, Ibu. Kita harus ke dokter sekarang.” Zia tidak lagi bisa menahan tangisnya. Ia mengeluarkan amplop berisi uang yang telah dikumpulkan teman-temannya. “Lihat, Bu. Aku punya uang. Kita bisa ke dokter sekarang.”
Namun, ibunya hanya menggeleng lemah. “Jangan, Zia. Uang itu lebih baik kamu simpan. Kamu butuh untuk biaya sekolah.”
“Ibu, ini tentang hidup Ibu! Aku nggak peduli soal uang itu. Aku hanya ingin Ibu sehat,” tangis Zia semakin deras. Ia merasa tak berdaya, terjebak antara keinginannya untuk menolong dan rasa tidak berdaya yang menyiksanya.
Dengan penuh tekad, Zia membawa ibunya ke klinik terdekat. Dokter yang memeriksa tampak serius, memandang Zia dengan tatapan penuh simpati. “Ibu kamu butuh perawatan segera, Nak. Ini sudah terlambat kalau kita tunda lebih lama.”
Zia menggenggam tangan ibunya, mencoba menguatkan dirinya. “Dok, lakukan apa pun yang bisa menyelamatkan Ibu saya,” ujarnya tegas.
Hari itu terasa panjang bagi Zia. Ia menunggu di luar ruang periksa, menggigit bibirnya untuk menahan tangis. Ia melihat para pasien lain datang dan pergi, namun ia tetap di sana, berharap mendengar kabar baik.
Saat dokter keluar, Zia berlari menghampiri. “Bagaimana, Dok?”
Dokter itu menghela napas panjang. “Ibunda kamu butuh perawatan lebih lanjut. Dia terkena infeksi paru-paru yang cukup parah. Kami sudah memberikan obat, tapi kamu harus menjaga kesehatannya dengan baik.”
Zia menunduk, air matanya kembali menetes. Namun, ia mengusap wajahnya, berdiri tegak. “Aku akan melakukan apa saja, Dok. Asal Ibu bisa sembuh.”
Di rumah, Zia menghabiskan malam dengan menjaga ibunya. Setiap batuk, setiap keluhan, seperti pisau yang mengiris hatinya. Namun, ia terus tersenyum, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Ia tahu, tidak ada yang lebih berharga dari ibunya, dan tidak ada pengorbanan yang terlalu besar.
“Ibu, kita akan melewati ini bersama. Aku janji,” bisik Zia sambil mengusap rambut ibunya.
Malam itu, Zia tertidur di lantai samping tempat tidur ibunya, memegang tangan ibunya erat. Hatinya penuh dengan rasa takut, tapi juga tekad yang semakin kuat. Ia tahu, perjuangannya belum selesai. Jalan di depan mungkin penuh duri, tapi ia akan terus melangkah, selama ia masih memiliki harapan dan cinta untuk ibunya.
Zia memejamkan mata, berharap esok hari membawa sedikit keajaiban untuk mereka berdua.
Harapan di Ujung Penantian
Pagi datang dengan embun yang menempel di jendela kayu rumah Zia. Matahari menyusup masuk, menghangatkan ruangan kecil itu. Namun, hangatnya sinar matahari tidak mampu mengusir dinginnya rasa takut yang masih bersarang di hati Zia. Ia terbangun dengan leher yang kaku, tidur di lantai semalaman menjaga ibunya. Matanya sembab dan lelah, tapi tidak ada yang lebih penting dari memastikan ibunya baik-baik saja.
Zia menatap wajah ibunya yang masih terlelap. Ada guratan lelah yang tidak bisa disembunyikan meskipun sedang tidur. “Ibu, aku janji akan menyelamatkan Ibu,” gumam Zia pelan sambil menggenggam tangan ibunya. Sentuhan itu terasa begitu rapuh, seakan tubuh ibunya bisa pecah kapan saja.
Hari itu, Zia memutuskan untuk pergi mencari bantuan lebih lanjut. Ia tahu uang hasil penggalangan dana dari teman-temannya tidak akan cukup untuk biaya rumah sakit yang lebih besar. Ia tidak bisa terus mengandalkan teman-temannya. Ini saatnya ia mencari cara lain, meskipun itu berarti harus mengorbankan apa yang ia miliki.
Di perjalanan menuju sekolah, Zia melewati sebuah toko emas yang biasa ia lewati setiap hari. Ia berhenti sejenak, melihat pantulan dirinya di kaca toko. Di lehernya, tergantung sebuah kalung kecil, satu-satunya peninggalan almarhum ayahnya. Kalung itu selalu ia kenakan, menjadi pengingat bahwa ada cinta dan kenangan dari ayahnya yang selalu bersamanya.
Zia menarik napas dalam-dalam. “Ini saatnya,” bisiknya pada diri sendiri. Dengan langkah berat, ia masuk ke toko emas itu.
“Selamat pagi, Dek. Ada yang bisa dibantu?” tanya penjaga toko dengan ramah.
Zia menelan ludah, mengeluarkan kalung dari lehernya dengan tangan gemetar. “Saya ingin menjual ini,” katanya dengan suara serak.
Penjaga toko itu menatap kalung tersebut sejenak sebelum memeriksa harganya. “Kalung ini cukup tua, tapi masih memiliki nilai. Mungkin saya bisa memberikan sekitar satu juta rupiah,” ucapnya.
Satu juta rupiah. Itu mungkin terlihat besar bagi sebagian orang, tapi bagi Zia, itu hanyalah setetes air di tengah lautan biaya pengobatan ibunya. Meski begitu, ia tidak punya pilihan lain. “Saya terima,” jawab Zia sambil menganggukkan kepala.
Saat penjaga toko menyerahkan uangnya, Zia merasakan hatinya seakan diremas. Ini adalah kenangan terakhir dari ayahnya. Tapi, demi ibunya, ia rela melepaskan segalanya. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi ia buru-buru menghapusnya sebelum keluar dari toko.
Di sekolah, teman-teman Zia menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda. Dinda, yang paling mengenal Zia, menghampirinya dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Zia, kamu nggak pakai kalung yang biasa kamu pakai. Ada apa?” tanya Dinda.
Zia terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Aku jual kalung itu, Din. Uangnya untuk tambahan biaya pengobatan Ibu.”
Dinda terperangah, menatap Zia dengan rasa tidak percaya. “Tapi, Zia… itu kalung peninggalan ayahmu.”
“Aku tahu, Din. Tapi kalau aku harus memilih, aku lebih memilih Ibu daripada benda mati. Ayah pasti akan mengerti. Aku hanya ingin Ibu sehat,” jawab Zia sambil memaksakan senyumnya. Namun, matanya tidak bisa berbohong, air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan.
Dinda memeluk Zia erat. “Zia, kamu anak yang luar biasa. Kita semua bangga padamu. Aku akan terus bisa membantu kamu, apapun yang bakal terjadi.”
Beberapa hari berlalu, kondisi ibu Zia tidak kunjung membaik. Malam itu, Zia duduk di samping ibunya yang terbaring lemah. Ia menggenggam tangan ibunya, merasakan dinginnya jari-jari yang dulu selalu menghangatkan dirinya saat kecil.
“Ibu, aku mohon, bertahanlah,” bisik Zia. “Aku sudah bisa melakukan apa pun yang aku bisa. Tolong jangan tinggalkan aku. Aku belum siap.”
Ibunya membuka mata perlahan, memaksakan senyum meski jelas terlihat rasa sakit yang ia rasakan. “Zia, Ibu tahu kamu sudah berjuang keras. Kamu anak yang sangat kuat, lebih kuat dari yang Ibu bayangkan.”
“Tapi aku nggak bisa kehilangan Ibu,” tangis Zia pecah. Air matanya mengalir deras, membasahi tangan ibunya.
Ibunya mengusap pipi Zia dengan lembut, meski tangannya bergetar. “Nak, hidup ini kadang tidak adil. Tapi kamu harus percaya, bahwa setiap perjuangan pasti ada hasilnya. Ibu selalu bangga padamu.”
Kata-kata itu bagaikan pisau yang menusuk hati Zia. Ia menggenggam tangan ibunya lebih erat, seakan ingin mentransfer seluruh kekuatan dan cintanya melalui sentuhan itu. “Ibu, aku janji akan berusaha lebih keras. Aku akan mencari cara agar Ibu bisa sembuh.”
Keesokan harinya, Zia memutuskan untuk pergi ke sebuah yayasan amal yang sering memberikan bantuan kepada keluarga tidak mampu. Ia membawa semua dokumen yang bisa ia temukan tentang kondisi kesehatan ibunya, berharap ini bisa menjadi jalan keluar.
Namun, saat tiba di yayasan, ia diberitahu bahwa dana mereka sudah habis untuk bulan ini. Zia merasa seakan seluruh dunia menolak untuk membantunya. Air mata yang sudah ia tahan sepanjang hari akhirnya tumpah. “Tolong, Pak… Saya benar-benar membutuhkan bantuan ini. Saya mohon.”
Petugas yayasan hanya bisa menatapnya dengan penuh rasa iba. “Maaf, Nak. Kami tidak bisa membantu saat ini. Tapi kami akan mencatat permohonan kamu untuk bulan depan.”
Zia keluar dari kantor yayasan dengan langkah gontai. Harapan yang sempat ia bangun hancur begitu saja. Hujan mulai turun, dan Zia tidak peduli. Ia berjalan tanpa tujuan di bawah guyuran hujan, air mata bercampur dengan tetesan hujan yang membasahi wajahnya.
“Apakah ini akhirnya?” Zia berbisik pada dirinya sendiri. Ia jatuh berlutut di trotoar, menangis tanpa suara. Hatinya hancur, tapi ia tahu ia tidak bisa menyerah. Ia harus tetap berjuang, untuk ibunya, untuk satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Malam itu, Zia pulang dengan tubuh yang basah kuyup. Ia membuka pintu rumah pelan-pelan, takut mengganggu ibunya yang mungkin sedang tidur. Namun, saat ia melangkah masuk, ia melihat ibunya duduk di kursi tua, menatapnya dengan mata penuh cinta.
“Zia, kamu basah kuyup,” ucap ibunya dengan suara lemah.
Zia tersenyum getir, berlari memeluk ibunya erat. “Aku nggak akan berhenti, Bu. Aku akan terus berjuang. Demi Ibu, aku akan terus bisa melakukan apa saja.”
Ibunya mengusap rambut Zia, membisikkan doa-doa penuh harapan. Dalam dekapan itu, Zia merasakan cinta yang tidak pernah berkurang, bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun.
Malam itu, Zia tidur dengan kepala bersandar di pangkuan ibunya, merasa lebih tenang meski dunia seolah menentangnya. Ia tahu, selama masih ada harapan, selama ia masih memiliki cinta ibunya, ia akan terus berjuang. Sebab, bagi Zia, cinta seorang ibu adalah alasan untuk melawan segalanya.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerpen ini bukan hanya sekadar cerita biasa, tetapi potret nyata tentang cinta tanpa batas seorang anak kepada ibunya. Melalui perjuangan Zia, kita diajak merenungi arti dari pengorbanan, harapan, dan kekuatan cinta yang sesungguhnya. Cerita Zia mengajarkan bahwa di balik segala kesulitan, ada kekuatan luar biasa dalam cinta yang tulus. Semoga kisah ini bisa menginspirasi dan membuat kita lebih menghargai orang-orang yang kita cintai. Terima kasih sudah membaca, dan jangan lupa berbagi cerita ini kepada teman-temanmu agar mereka juga merasakan keharuan yang sama!