Dampak Kerusakan Hutan: Kisah Perjuangan Menyelamatkan Alam

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa kalau sesuatu yang kita anggap biasa ternyata punya dampak gede banget? Kayak hutan, misalnya. Mungkin selama ini kita nggak terlalu peduli, tapi siapa sangka kalau kerusakan hutan di Indonesia itu bisa jadi masalah besar banget buat kita semua.

Nah, cerita ini bakal ngasih tahu kamu gimana perjuangan Alif dan teman-temannya buat ngubah keadaan, meskipun nggak mudah. Tapi, siapa bilang hal besar itu dimulai dari langkah kecil, kan? Yuk, baca ceritanya, dan siapa tahu kamu juga jadi ikut mikirin hutan kita!

 

Dampak Kerusakan Hutan

Pohon yang Tumbang

Pagi itu, langit Kalimantan masih tampak berkabut. Hawa lembap dari hutan yang lebat menyelimuti desa yang terletak di tengah hutan tropis ini. Alif, seorang pemuda dengan tubuh tegap dan wajah yang tampak tak banyak berubah sejak bertahun-tahun yang lalu, berjalan tanpa arah tertentu. Sarung gendong di punggungnya berisi alat-alat untuk mencari ramuan tanaman. Seperti biasanya, ia hanya mengikuti jalur setapak yang sudah ia kenal, tidak pernah menanyakan keberadaan lain di luar dunia kecilnya. Ia merasa bahwa hidupnya sudah cukup dengan hutan dan kebiasaannya setiap hari.

Namun hari ini berbeda. Langkahnya terhenti seketika saat matanya menangkap pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah area yang dulu penuh dengan pepohonan besar, yang biasanya menjadi sumber bahan untuk ramuan dan obat-obatan, kini hanya menyisakan tanah yang tandus. Pohon-pohon besar yang dulu merunduk rendah kini hanya ada dalam kenangan. Apa yang tersisa hanya pohon-pohon yang telah tumbang dan terbakar. Di atasnya, asap masih berbelok-belok seperti tanda peringatan yang tak dihiraukan.

Alif menelan ludah, merasa ada yang tidak beres dengan apa yang ada di depannya. “Kenapa bisa begini?” bisiknya sendiri, meski tak ada yang mendengarnya. Tak ada hewan yang berlarian, tak ada daun yang bergerak. Semuanya terhenti dalam kehampaan.

Ia berjalan lebih jauh, hati yang tak pernah peduli kini diserang rasa bingung yang luar biasa. Dulu, hutan ini hidup. Di setiap sudut, ia bisa menemukan bahan yang dibutuhkan untuk ramuan. Sekarang, ia hanya menemukan kehancuran.

Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat seorang wanita tua yang tengah berjalan perlahan di antara tumpukan pohon yang tergeletak. Wanita itu mengenakan kain tradisional berwarna coklat kusam, dan di tangannya ada tongkat kayu yang tampak lebih tua dari usianya. Wajahnya penuh kerutan, namun matanya, meski tua, tetap memancarkan keteguhan.

“Bu Sumiati,” panggil Alif, suara beratnya pecah di tengah keheningan.

Wanita tua itu berhenti dan menoleh, mengenali suara Alif yang meskipun jarang terdengar, namun tetap terdengar jelas dalam sunyi. Senyum kecil muncul di wajahnya, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. Hanya ada kesedihan yang dalam.

“Ada apa, Alif?” tanya Bu Sumiati, suaranya lembut namun penuh arti.

Alif menghela napas, merasa canggung meski dengan orang yang sudah ia kenal bertahun-tahun. “Bu, apa yang terjadi di sini? Kenapa hutan ini jadi begini? Pohon-pohon… semua hilang. Apa yang salah dengan ini?”

Bu Sumiati menatapnya dalam diam. Ada secercah kelelahan di matanya. “Manusia sudah terlalu lama menganggap hutan ini sebagai miliknya. Mereka datang, menebang, membakar, tanpa peduli apa yang akan terjadi ke depannya. Hutan ini bukan hanya sekedar tempat untuk mencari makan, Alif. Hutan ini hidup. Dan hidup itu perlu dihargai.”

Alif merasakan kekosongan dalam kata-kata Bu Sumiati. Hutan ini hidup? Ia tertawa pelan, seakan itu sebuah guyonan yang terlalu rumit untuk ia pahami. “Maksud Bu Sumiati, hutan ini… punya perasaan?”

“Bukan perasaan, nak,” jawab Bu Sumiati dengan ketegasan yang membuat Alif terhenyak. “Tapi ada keseimbangan yang hilang. Yang harusnya bertumbuh kini terhenti. Yang harusnya memberikan kehidupan, justru merana.”

Alif menatap tanah yang dipenuhi puing-puing pohon tumbang. Ia merasa takjub, bukan karena kata-kata Bu Sumiati, tetapi karena ketulusan wanita itu yang sepertinya sudah lama menyaksikan segala kerusakan ini tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Alif, suaranya mulai berubah. Ada sedikit rasa takut yang mulai menyusup. Mungkin ini lebih besar dari yang ia kira.

Bu Sumiati menghela napas. “Yang bisa kita lakukan adalah mulai dari diri kita sendiri. Jangan biarkan hutan ini hanya jadi latar belakang hidup kita. Mulailah menghargai apa yang ada, dan pelan-pelan ajari orang lain untuk begitu juga.”

Alif merasa seperti ada beban berat yang mendesak dadanya. Ia terdiam, tak tahu harus berkata apa. Sejak kecil, ia tidak pernah diajarkan untuk melihat hutan lebih dari sekadar ladang ramuan. Hutan itu adalah tempat kerja, bukan tempat hidup. Tidak pernah terbersit dalam pikirannya bahwa kerusakan ini bisa mempengaruhi siapa pun, apalagi dirinya.

Tapi hari ini, saat matanya memandang ke seluruh area yang dulunya hidup, ia merasa bahwa sesuatu telah hilang. Sesuatu yang lebih penting dari sekedar daun atau akar.

“Kalau aku mulai sekarang,” kata Alif perlahan, “apakah itu masih bisa diperbaiki?”

Bu Sumiati menatapnya serius. “Kamu tidak bisa mengembalikan semuanya seperti semula. Tapi setidaknya, kalau kamu mulai peduli, mungkin ada harapan. Tidak ada yang bisa merubah semuanya dalam semalam. Tapi jika setiap orang mulai peduli, itu akan membuat perbedaan.”

Alif menatap Bu Sumiati, kemudian memandang hutan yang kini tampak tak bernyawa. Ia merasa ada rasa tanggung jawab yang muncul, meskipun tak tahu pasti bagaimana caranya untuk memulai. Tapi ia tahu satu hal: sesuatu harus dilakukan.

“Baiklah, Bu,” jawabnya, meski masih terdengar ragu. “Aku akan coba.”

Bu Sumiati mengangguk pelan. “Jangan hanya coba, nak. Lakukan.”

Sejak saat itu, meskipun langkah Alif terasa ragu, ia mulai melakukan hal-hal kecil. Mungkin belum banyak, dan terkadang terasa sia-sia, namun di hatinya ada satu keyakinan yang perlahan tumbuh. Jika tidak dimulai dari dirinya sendiri, siapa lagi yang akan peduli?

Langit di atas hutan mulai berubah. Seiring matahari yang semakin tinggi, Alif merasa bahwa langkah kecilnya ini adalah awal dari sesuatu yang tak bisa lagi ia abaikan.

 

Kehilangan yang Terlupakan

Sejak pertemuannya dengan Bu Sumiati, Alif merasa ada beban baru yang harus dipikul, namun juga sebuah harapan kecil yang tak terucapkan. Setiap kali ia melangkah keluar dari rumah menuju hutan, perasaan itu datang lagi—rasa bersalah yang menggelayuti dirinya. Ia mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Hal-hal yang dulu dianggap sepele, kini terasa begitu berarti. Setiap batang pohon yang ia temui, setiap akar yang mengakar dalam tanah, semuanya seperti berbicara padanya, mengingatkan bahwa mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang seharusnya ia lindungi.

Namun, perubahan itu tidak datang tanpa tantangan. Beberapa minggu setelah percakapan dengan Bu Sumiati, Alif merasa semakin terisolasi. Para penduduk desa, yang selama ini lebih suka menebang hutan untuk keuntungan pribadi, tidak menunjukkan tanda-tanda akan berubah. Beberapa dari mereka malah menganggap Alif sudah mulai “berpikir terlalu dalam,” seolah ia sedang bermain-main dengan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan mereka yang nyata.

“Bro, kamu nggak sadar apa? Hutan itu udah jadi tempat yang kaya. Kalau nggak dibersihin, bisa jadi lebih banyak yang makan dari situ,” kata seorang temannya, Darma, suatu pagi saat mereka bertemu di kedai kopi desa. Alif hanya menatapnya diam. Darma adalah salah satu dari sekian banyak orang yang tidak pernah peduli tentang kerusakan hutan. Baginya, itu semua soal uang, soal keuntungan yang bisa didapatkan dengan cepat.

“Kalau kamu terus gitu, nanti kita yang susah, Alif,” lanjut Darma dengan nada yang sedikit mengejek. “Apa jadinya desa kita kalau semua pohon dibiarkan hidup? Nggak ada lagi lahan buat bercocok tanam, nggak ada lagi kayu buat bangunan.”

Alif hanya terdiam, merasa semakin terjepit dengan pemikiran orang-orang sekitarnya yang sama sekali tidak peduli dengan alam. Ia ingin berbicara, menjelaskan apa yang telah ia pelajari dari Bu Sumiati, tetapi kata-kata itu terasa seperti batu besar yang tersangkut di tenggorokannya. Sementara itu, di dalam dirinya, rasa takut akan kehilangan yang lebih besar dari sekadar uang dan kenyamanan mulai tumbuh.

Ia memutuskan untuk kembali ke hutan. Meski tahu bahwa tidak ada yang benar-benar bisa mengerti perjuangannya, ia merasa harus melangkah. Lagi pula, untuk apa ia tinggal di desa yang hanya melihat hutan sebagai komoditas?

Ketika ia sampai di sebuah area yang dulu dipenuhi pohon rimba, ia melihat sesuatu yang lebih menyedihkan dari yang pernah ia bayangkan. Di tanah yang sekarang terbuka lebar, ada jejak-jejak traktor besar yang baru saja meninggalkan bekasnya, dengan pohon-pohon yang masih tertinggal dalam keadaan terpotong-potong. Tidak ada lagi suara burung atau langkah kecil hewan-hewan hutan. Hanya ada keheningan yang menusuk. Alif merasa seakan napasnya terhenti.

“Apakah ini semua sudah tidak bisa diperbaiki?” gumamnya.

Sambil berjongkok di tanah yang keras, ia merasa keputusasaannya semakin dalam. Hutan yang dulu menyediakan segalanya, kini tinggal kenangan. Kenangan yang perlahan terkikis oleh kerakusan dan ketidakpedulian. “Kenapa mereka tidak melihat apa yang sudah hilang?” pikirnya, meremas tanah yang terlepas dari akar pohon.

Tiba-tiba, sebuah suara dari belakangnya mengejutkan Alif. “Kamu datang lagi, ya?”

Alif menoleh dan melihat Bu Sumiati yang sudah berdiri di belakangnya, matanya memancarkan kekuatan yang tak tergoyahkan meski tubuhnya ringkih.

“Iya, Bu,” jawab Alif, mencoba menahan kesedihan dalam suaranya. “Aku nggak tahu lagi harus gimana. Semua yang aku lihat sekarang cuma kehancuran. Rasanya nggak ada lagi yang bisa dilakukan.”

Bu Sumiati mendekat, duduk di samping Alif, memandang pemandangan yang sama. “Kamu tahu, nak,” katanya pelan, “hutan ini tidak mati. Ia hanya butuh waktu untuk pulih. Tapi kita harus sabar. Kita harus merawatnya, meskipun kita tidak bisa mengembalikannya seperti semula. Yang penting, kamu sudah mulai peduli.”

Alif menatap wanita tua itu, merasa bingung dan tidak tahu harus berkata apa. “Tapi bagaimana dengan orang-orang di desa? Mereka tidak peduli, Bu. Mereka hanya ingin mendapatkan keuntungan dari hutan. Kalau aku mulai ngomong tentang ini, mereka akan anggap aku gila.”

Sumiati tersenyum tipis. “Kadang-kadang, orang tidak melihat apa yang ada di depan mata. Mereka hanya melihat apa yang bisa mereka ambil. Tapi jika kamu terus berjuang, meski sedikit demi sedikit, akan ada yang mendengar. Kalau tidak sekarang, nanti.”

Alif menghela napas, matanya berkeliling ke tanah yang tandus, namun ada sesuatu yang mulai muncul dalam pikirannya. Mungkin ia tidak bisa mengubah semuanya dalam semalam, tetapi satu hal yang ia tahu adalah bahwa ia tidak bisa terus diam. Selama ada ruang untuk mencoba, ia harus bergerak. Hutan ini tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

“Aku nggak tahu apakah aku bisa mengubah mereka, Bu,” kata Alif dengan suara yang lebih tenang. “Tapi aku janji, aku nggak akan berhenti mencoba.”

“Bagus,” jawab Bu Sumiati, mengangguk pelan. “Itu sudah cukup. Kamu sudah memulai sesuatu yang lebih besar dari yang kamu kira. Ingat, perubahan tidak selalu datang cepat. Tapi jika kita tidak mulai, kita tidak akan tahu apa yang bisa kita capai.”

Dengan perasaan yang campur aduk—antara ragu dan penuh tekad—Alif berdiri, menatap hutan yang kini terasa lebih hidup, meskipun penuh luka. Ia tahu perjalanan ini akan panjang dan sulit, tetapi ia sudah memutuskan untuk tidak menyerah. Jika ada harapan yang tersisa di antara pepohonan yang jatuh, ia akan menemukannya. Perlahan-lahan, ia melangkah kembali ke desa, membawa beban yang lebih berat, namun juga membawa sedikit cahaya di ujung jalan.

 

Langkah Kecil Menuju Perubahan

Hari-hari setelah percakapan dengan Bu Sumiati semakin membuat Alif merasa seperti seseorang yang terjebak di antara dua dunia yang bertolak belakang. Desa yang dulu ia kenal sebagai tempat yang nyaman kini terasa penuh kontradiksi. Di satu sisi, ia merasa semakin terisolasi dengan pandangannya yang semakin berbeda. Namun di sisi lain, ia mulai merasakan sesuatu yang menggerakkan hatinya—sesuatu yang mendorongnya untuk terus maju, meski banyak yang menertawakannya.

Minggu pagi itu, Alif memutuskan untuk mengunjungi salah satu titik di hutan yang telah gundul, tempat yang selama ini ia hindari. Hutan itu kini seperti lukisan yang pudar, warnanya hilang, dan garis-garisnya retak. Tidak ada lagi kicauan burung atau gemerisik daun yang menenangkan. Hanya ada sunyi yang menyelimuti. Ia berhenti sejenak di tengah-tengah padang rumput yang mulai tumbuh liar, berusaha mencerna semua yang ia lihat.

Seiring angin yang bertiup lembut, Alif merasakan kehadiran Bu Sumiati di pikirannya. “Jangan menyerah, nak. Setiap langkahmu, meski kecil, adalah bagian dari perubahan,” kata Bu Sumiati seperti berbisik dalam benaknya. Entah kenapa, kata-kata itu seperti mantra yang membuatnya semakin yakin. Mungkin inilah saatnya untuk berbuat lebih banyak.

Setelah berdiam beberapa saat, Alif mengeluarkan ponselnya. Ia membuka aplikasi yang ia temukan beberapa hari lalu—sebuah platform media sosial yang digunakan oleh para aktivis lingkungan. Di sana, banyak orang yang berjuang untuk menjaga hutan, menentang penebangan liar, dan memperjuangkan konservasi. Ia merasa tidak sendirian. Ia merasa ada harapan di sana. Dengan sedikit keraguan, ia mulai mengetik sebuah pesan di akun yang ia buat secara anonim: “Saya ingin memulai sesuatu di desa ini. Tidak banyak orang yang peduli, tapi saya rasa kita bisa membuat perbedaan. Hutan kita, tanah kita—semuanya membutuhkan kita.”

Ia menekan tombol kirim dan menunggu dengan cemas. Dalam beberapa menit, notifikasi mulai muncul satu per satu. Beberapa komentar memberikan dukungan, beberapa orang bertanya-tanya apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu. Alif merasa ada sesuatu yang hidup di dalam dirinya, sesuatu yang tidak ia rasakan sebelumnya—keyakinan bahwa ia tidak sendirian.

Pagi itu, saat ia sedang berjalan pulang ke rumah, ia bertemu dengan Darma lagi. Kali ini, Darma tidak lagi tampak seceria biasanya. Ada kekhawatiran di wajahnya, dan tanpa basa-basi, ia langsung membuka percakapan.

“Alif, kamu tahu kan, banyak yang mulai ngebicarain kamu,” kata Darma dengan nada yang lebih serius dari biasanya.

Alif berhenti sejenak, menatap Darma. “Ngebicarain apa?”

“Ya, tentang postinganmu itu. Tentang hutan,” jawab Darma, sedikit gelisah. “Sebagian orang mulai khawatir kalau kamu bakal bikin masalah di desa ini. Mereka takut kalau ide-ide kamu bakal bikin kita semua jadi miskin.”

Alif menatapnya. Ia tahu persis apa yang Darma maksud. Banyak orang di desa hanya melihat keuntungan sesaat, dan tidak peduli dengan apa yang akan terjadi dalam jangka panjang. Namun, meskipun ada rasa cemas, Alif tidak mundur.

“Aku nggak peduli, Darma. Kalau cuma karena aku ngomong tentang hutan, mereka mau anggap aku aneh atau bodoh, ya silakan,” jawab Alif, suara pelan namun penuh tekad. “Yang penting, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Kalau mereka nggak mau dengar, ya itu urusan mereka.”

Darma terdiam, memandangi Alif dengan ragu. “Kamu yakin? Ini bukan cuma masalah kamu. Ini masalah desa kita juga.”

“Aku tahu, dan aku bukan melawan mereka. Aku cuma pengen kita punya pilihan lain. Pilihan yang nggak cuma mikirin keuntungan jangka pendek,” jawab Alif, matanya menatap jauh ke depan, seolah melihat gambaran masa depan yang lebih baik, lebih hijau.

Darma masih terlihat ragu. “Kalau kamu serius, aku sih nggak bisa ikut. Tapi aku nggak bisa ngerasa santai juga kalau desa ini jadi terganggu gara-gara hutan.”

Setelah beberapa detik, Darma menepuk bahu Alif dan melangkah pergi tanpa kata-kata lagi. Alif berdiri sejenak, mencerna percakapan itu. Di satu sisi, ia merasa sedikit kesal. Di sisi lain, ia tahu bahwa perubahan tidak bisa datang dalam semalam. Semua butuh waktu.

Di malam harinya, Alif kembali membuka aplikasi yang sama. Postingan tentang hutan yang ia buat sudah mulai mendapatkan perhatian lebih banyak orang, tidak hanya dari desa, tapi juga dari kota-kota lain. Beberapa aktivis lingkungan mulai memberikan dukungan. Sebagian besar dari mereka mengajukan ide untuk mengorganisir acara yang bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga hutan. Ada rencana untuk mengadakan acara bersih-bersih hutan, menanam pohon, dan menyebarkan informasi tentang dampak kerusakan alam kepada anak-anak muda di desa.

Alif merasa ada energi baru mengalir dalam dirinya. Ia memutuskan untuk menghubungi beberapa orang yang sudah memberikan komentar positif dan membicarakan rencana mereka lebih lanjut. Meskipun tak mudah, ia mulai merasa yakin bahwa perjuangannya, meski dimulai dari langkah kecil, bisa memberi dampak besar—bahkan jika itu hanya menginspirasi satu orang untuk lebih peduli terhadap alam.

Namun, masalah utama yang masih harus dihadapi adalah bagaimana cara agar ide-ide tersebut diterima oleh mayoritas penduduk desa. Banyak dari mereka yang masih terjebak dalam pemikiran jangka pendek. Tidak jarang, Alif mendengar desas-desus bahwa pihak-pihak yang mendukung penebangan pohon sudah mulai mencium aroma ancaman dari upayanya. Dan seperti yang sudah ia duga, mereka akan melakukan segala cara untuk melawan.

Suatu sore, saat Alif sedang merencanakan langkah berikutnya, ia kembali mendapati Bu Sumiati duduk di bangku panjang yang ada di dekat hutan. Wajahnya yang penuh garis ketuaan tampak tenang, meskipun ia tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai.

“Bu,” Alif membuka percakapan, “apakah aku benar melakukan ini? Aku merasa semakin banyak yang menentang. Bahkan, mereka yang dulu dekat dengan aku mulai menjauh.”

Bu Sumiati hanya tersenyum tipis. “Itulah yang terjadi ketika kita memilih untuk berbeda, nak. Tapi ingat, kamu tidak sendirian. Ada lebih banyak orang yang peduli daripada yang kamu kira. Kadang-kadang, hanya butuh satu suara untuk mengubah segalanya.”

Alif menatapnya dengan penuh kebingungan, lalu menyunggingkan senyum tipis. “Terima kasih, Bu. Mungkin aku harus lebih sabar, ya?”

“Tidak hanya sabar, Alif. Kamu juga harus berani. Karena perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang diambil dengan keyakinan,” jawab Bu Sumiati, matanya memancarkan cahaya harapan yang tak pernah padam.

Alif mengangguk perlahan, merasa seakan-akan bebannya sedikit lebih ringan. Ia tahu, jalan ini tidak mudah, tetapi ia sudah siap untuk terus berjalan. Karena apa yang ia lakukan bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk masa depan hutan dan generasi yang akan datang.

 

Benih yang Tumbuh

Sudah hampir sebulan sejak Alif memulai perjuangannya untuk menyelamatkan hutan. Di pagi yang cerah itu, ia berdiri di depan lapangan desa, menatap sekelompok anak muda yang sedang berkumpul. Hari itu adalah hari pertama dari acara besar yang ia rencanakan bersama komunitas kecil yang terbentuk setelah postingannya viral. Alif merasa sedikit gugup, namun lebih dari itu, ia merasa ada semangat yang membara dalam dirinya.

Dari jauh, ia melihat Bu Sumiati datang dengan senyum khasnya, dan itu memberi Alif sedikit rasa tenang. Meski ia belum tahu apakah akan ada perubahan besar yang terjadi dalam satu hari, ia tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Mungkin hasilnya tidak bisa dirasakan langsung, tetapi benih yang mereka tanam hari ini akan tumbuh seiring waktu.

“Alif!” panggil Bu Sumiati sambil mendekat. “Kamu siap untuk memulai?”

Alif tersenyum, meski sedikit canggung. “Siap, Bu. Tapi… kalau ada yang nggak datang, kamu nggak kecewa kan?”

Bu Sumiati tertawa pelan. “Tidak ada yang sia-sia, nak. Yang penting adalah usaha kita. Tidak peduli seberapa banyak orang yang hadir, yang penting kita sudah mulai.”

Alif mengangguk, mencoba menenangkan diri. Ia tahu betul, ini bukan hanya tentang acara hari ini. Ini adalah tentang membuka mata orang-orang, tentang menggugah hati mereka agar lebih peduli pada hutan, pada lingkungan yang sudah mulai rusak.

Satu per satu, orang-orang mulai datang. Mereka yang awalnya ragu, yang hanya mengikuti karena penasaran, kini mulai tergerak untuk ikut serta. Bahkan, beberapa orang yang pernah menentang Alif di awal, terlihat mulai ikut bergabung. Ada satu hal yang mulai terasa di udara, sebuah energi baru yang menyebar di antara mereka—energi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Hanya bisa dirasakan.

Acara dimulai dengan sederhana. Beberapa anak muda mulai membersihkan sampah yang berserakan di sepanjang jalur hutan yang dulunya lebat. Ada yang menanam pohon, ada yang memasang poster edukasi tentang pentingnya hutan untuk kehidupan. Alif berjalan di antara mereka, memandang wajah-wajah penuh semangat yang mulai tergerak untuk merawat alam.

Di tengah acara, Darma tiba-tiba muncul, tampak berbeda dari biasanya. Wajahnya tidak lagi penuh kecemasan, dan ia membawa sekeranjang bibit pohon untuk ditanam.

“Alif,” katanya, sambil menyerahkan keranjang itu. “Aku datang bawa ini. Katanya, orang-orang yang ikut acara ini bakalan dapat bibit pohon untuk ditanam di rumah masing-masing.”

Alif menatap Darma dengan heran. “Kamu ikut, Darma?”

Darma hanya tersenyum. “Iya. Aku nggak bisa terus-terusan jadi orang yang cuma nonton. Aku juga harus ikut nyumbang sesuatu. Kalau kamu serius, ya aku juga harus serius.”

Alif merasa sesuatu menghangat di dadanya. Kecil, namun berarti. Itulah perubahan yang selama ini ia dambakan, bukan hanya dalam dirinya, tapi juga dalam masyarakatnya.

Hari itu berlalu dengan cepat. Mereka tidak hanya menanam pohon, tetapi juga berbagi pengetahuan. Banyak warga desa yang datang, tertarik untuk mendengar apa yang sebenarnya terjadi dengan hutan mereka. Beberapa dari mereka mulai mengungkapkan penyesalan karena tidak menyadari betapa pentingnya menjaga alam, dan beberapa dari mereka berjanji untuk tidak lagi melakukan penebangan liar.

Saat acara selesai, Bu Sumiati mendekati Alif. “Kamu lihat itu, nak? Perubahan itu bukan datang dalam semalam. Tapi dari sini, kamu bisa lihat benih yang kamu tanam mulai tumbuh.”

Alif menatap para peserta yang mulai pulang, dengan senyum puas yang tidak bisa disembunyikan. Ada rasa bangga dalam hatinya, meskipun ia tahu ini baru permulaan. Ia masih harus menghadapi tantangan yang lebih besar—masih banyak yang harus diperjuangkan, masih banyak yang harus disadarkan.

Namun, Alif merasa berbeda. Ia merasa lebih kuat, lebih yakin. Tidak peduli seberapa sulitnya jalan yang harus ia tempuh, ia tahu satu hal: ia tidak sendirian. Ada banyak orang yang sekarang berbagi mimpi yang sama—mimpi untuk melihat hutan Indonesia tetap hijau, tetap hidup.

Dalam perjalanan pulang, Alif berhenti sejenak di tepi hutan yang dulu ia takutkan. Ia menatap pohon-pohon yang baru saja mereka tanam, dan untuk pertama kalinya, ia merasa optimis. Hutan ini mungkin tidak akan kembali seperti dulu, tetapi dengan setiap langkah yang diambil oleh orang-orang yang peduli, ada harapan bahwa masa depan bisa lebih baik.

Seperti kata Bu Sumiati, “Tidak ada yang sia-sia.” Alif tahu, perubahan itu tidak datang dengan cepat, tetapi satu hal yang pasti: benih yang mereka tanam hari ini, meski kecil, akan terus tumbuh. Dan itu cukup untuk membuatnya yakin bahwa perjuangannya, meski dimulai dengan langkah kecil, akan terus membawa dampak—meski tidak langsung terlihat.

“Terima kasih, Bu,” kata Alif dalam hati, melangkah pulang dengan langkah yang lebih pasti. “Terima kasih sudah mengajarkan aku bahwa perubahan dimulai dengan satu langkah kecil. Dan aku siap untuk melangkah lebih jauh.”

Dengan itu, Alif tahu, perjalanannya baru saja dimulai.

 

Jadi, gimana menurutmu? Mungkin kita nggak bisa langsung bikin perubahan besar dalam semalam, tapi kalau kita mulai dari langkah kecil, siapa tahu hasilnya jauh lebih besar dari yang kita bayangin.

Alif dan teman-temannya udah nunjukin kalau peduli itu bisa dimulai dari hal sederhana, seperti menanam satu pohon. Mungkin kamu juga bisa jadi bagian dari perubahan itu, mulai dari sekarang. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang bakal peduli sama hutan dan alam Indonesia, kan? Jadi, yuk mulai bergerak!

Leave a Reply