Perjuangan Zara: Di Balik Tawa Seorang Anak Gaul, Ada Derita yang Tersembunyi

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Kehidupan sebagai anak SMA memang penuh warna, tapi tidak semua orang menikmati kebahagiaan yang sama. Inilah kisah Zara, seorang gadis gaul yang dikenal aktif dan selalu ceria di sekolah, namun di balik senyum manisnya, ia menyimpan perjuangan hidup yang tak banyak orang tahu.

Dari masalah keuangan yang mencekik hingga konflik batin yang menghantui, Zara berusaha bertahan di tengah dunia yang penuh dengan standar sosial dan ekspektasi. Penasaran bagaimana kisah Zara berlanjut? Simak cerpen “Perjuangan Zara: Kisah Anak SMA Gaul yang Berjuang di Tengah Hidup Miskin” ini dan rasakan sendiri betapa kuatnya semangat seorang anak dalam menghadapi kerasnya kehidupan!

 

Di Balik Tawa Seorang Anak Gaul, Ada Derita yang Tersembunyi

Senyum Zara, Luka yang Tersembunyi

Mentari pagi menyinari SMA Harapan Bangsa dengan sinarnya yang cerah. Seperti biasa, Zara melangkah masuk ke gerbang sekolah dengan senyum manis yang seakan tak pernah pudar dari wajahnya. Mengenakan seragam putih abu-abu yang terlihat rapi, ia menyapa teman-temannya dengan riang. Bagi mereka, Zara adalah sosok yang ceria, gaul, dan selalu punya cerita menarik setiap harinya.

“Zara! Ayo sarapan di kantin!” panggil Andin, sahabatnya sejak SMP.

Zara hanya tertawa kecil dan menggeleng. “Kalian duluan aja, aku masih kenyang,” jawabnya, mencoba terdengar biasa. Padahal, perutnya keroncongan sejak pagi. Di rumah tadi, ia hanya sarapan dengan segelas air putih, karena tak ada makanan yang bisa ia makan. Ibunya sudah kehabisan beras, dan mereka baru akan mendapat uang dari hasil menjahit dua hari lagi.

Zara menatap teman-temannya yang sibuk memesan makanan di kantin. Roti cokelat, jus segar, dan nasi goreng mengepul tersaji di meja mereka. Zara menelan ludah, menahan rasa lapar yang menghujam. Tapi ia tahu, tak ada gunanya mengeluh. Sebagai anak yang gaul dan dikenal banyak teman, ia selalu berusaha menutupi kesulitan hidupnya dengan senyum. Ia tak ingin ada yang tahu betapa sulitnya hidup yang ia jalani.

“Eh, Zara, tadi kamu ngerjain tugas matematika nggak?” tanya Rina, teman satu kelasnya yang lain.

Zara tersenyum, mengangguk pelan. “Iya, udah kok. Kamu mau lihat?”

Rina langsung tersenyum lega. “Iya, boleh pinjam ya! Aku lupa ngerjain. Makasih banyak, Zara. Kamu emang paling baik!”

Zara memberikan buku catatannya. Ia tahu, meski hidupnya sulit, ia tak boleh berhenti berbuat baik pada orang lain. Setiap kali ada teman yang meminta bantuan, Zara selalu berusaha membantu. Bagi Zara, itu satu-satunya cara agar ia merasa berguna, meskipun ia sering kali merasa tidak mampu menghadapi kesulitan hidupnya sendiri.

Siang harinya, bel istirahat kedua berbunyi. Teman-teman Zara kembali mengajaknya makan bersama. Kali ini mereka hendak ke kafe dekat sekolah, tempat yang sering dijadikan tempat nongkrong anak-anak gaul. Zara, seperti biasa, menolak dengan alasan yang selalu sama.

“Maaf ya, aku nggak bisa ikut. Ada tugas yang belum selesai,” katanya sambil tersenyum.

“Aduh, Zara! Kamu sibuk banget sih, sekali-sekali santai dong,” goda Ayu, salah satu teman dekatnya.

Zara hanya tertawa kecil. Ia tahu, ia tak punya uang untuk ikut ke kafe. Uang saku hariannya hanya cukup untuk ongkos pulang-pergi naik angkot. Jadi, ia memilih duduk di bangku taman sekolah, menikmati pemandangan sambil menahan lapar yang semakin terasa. Ia membuka ponselnya yang sudah retak di beberapa bagian, lalu mengalihkan perhatiannya dengan scrolling media sosial. Di layar, ia melihat foto-foto teman-temannya yang sedang bersenang-senang di kafe, tertawa dengan makanan yang berlimpah di meja.

Zara menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Ia tak ingin menangis. Ia sudah terbiasa menahan perasaan seperti ini. Baginya, menangis hanya akan membuatnya terlihat lemah, dan ia tak ingin terlihat lemah di hadapan siapapun. Saat itulah, pesan dari ibunya masuk.

Mama: “Nak, maaf ya, hari ini nggak bisa kasih uang saku lebih. Mama masih belum dapat bayaran dari Bu Rani. Kamu kuat, kan?”

Zara membaca pesan itu berulang kali, menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Ia membalas dengan cepat, mencoba menenangkan ibunya.

Zara: “Aku baik-baik aja, Ma. Nggak usah khawatir.”

Padahal, dalam hati Zara, ia merasa sangat tertekan. Ia ingin sekali membelikan sesuatu yang enak untuk ibunya, memberikan hadiah kecil atau sekadar membuat ibunya tersenyum. Tapi apa daya, ia sendiri masih bergantung pada penghasilan ibunya yang bekerja keras menjahit baju dari rumah.

Saat pulang sekolah, Zara berjalan keluar gerbang dengan langkah pelan. Ia sengaja tak buru-buru karena ingin menikmati senja yang mulai menyapa. Langit sore itu berwarna jingga, menyemburatkan keindahan yang kontras dengan perasaan hati Zara yang kelabu. Di pinggir jalan, ia melihat pedagang kaki lima yang menjual gorengan. Baunya menggoda, membuat perut Zara semakin keroncongan. Tapi ia hanya tersenyum pahit dan berlalu.

Saat menaiki angkot, Zara duduk di pojok, menghadap jendela. Pikirannya melayang pada masa-masa ketika ayahnya masih hidup. Dulu, mereka tidak hidup mewah, tapi setidaknya mereka cukup. Ayahnya selalu memastikan bahwa ia dan ibunya tidak pernah kekurangan. Tapi sejak ayahnya meninggal dalam kecelakaan kerja, semuanya berubah. Ibunya harus bekerja ekstra keras, mengambil orderan jahitan sebanyak mungkin untuk bisa bertahan hidup.

Sesampainya di rumah, Zara menemukan ibunya sedang tertidur di atas mesin jahit. Kain-kain berantakan di sekelilingnya, dengan jarum yang masih menggantung di tangan. Wajah ibunya tampak sangat lelah. Zara menahan napas, mencoba menahan tangis yang sudah mendesak keluar. Ia berjalan pelan, mengambil selimut tipis dan menyelimutkan tubuh ibunya dengan hati-hati.

“Ma, maaf ya, aku belum bisa bikin Mama bahagia,” bisik Zara pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

Zara masuk ke kamarnya yang kecil. Di atas meja, hanya ada buku-buku sekolah yang sudah tua dan beberapa foto keluarganya sebelum ayahnya meninggal. Ia memandang foto itu lama, menelusuri senyum ayahnya yang hangat. Rasa rindu menghantamnya, membuatnya menangis untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

“Aku kangen, Yah. Kenapa Ayah pergi secepat ini?” bisiknya lirih, sambil memeluk foto itu erat.

Zara tahu, ia harus kuat. Ia harus bisa menjadi tumpuan bagi ibunya, seperti ayahnya dulu. Meski ia merasa lelah, tertekan, dan kadang ingin menyerah, ia tak bisa. Ia harus tetap tersenyum, tetap ceria, dan tetap menjadi Zara yang dikenal teman-temannya. Karena hanya dengan cara itu, ia bisa menyembunyikan luka yang sebenarnya sangat dalam.

 

Rahasia di Balik Pakaian Trendi

Keesokan harinya, Zara melangkah masuk ke sekolah dengan senyum yang sama, menyapa teman-temannya yang sudah menunggunya di depan kelas. Dari luar, Zara tampak seperti gadis remaja yang hidupnya sempurna. Hari itu, ia mengenakan cardigan biru muda yang tampak trendi, dipadukan dengan rok sekolah yang ia modifikasi sendiri agar terlihat lebih fashionable. Teman-temannya sering memuji selera fashion Zara yang selalu tampil modis.

“Zara, cardigan kamu lucu banget! Beli di mana?” tanya Rina sambil memegang lengan Zara dengan kagum.

Zara tersenyum kecil, menyembunyikan kenyataan di balik pakaian yang ia kenakan. “Oh, ini aku dapat dari online shop, diskon gitu,” jawabnya santai. Padahal, cardigan yang ia pakai adalah hasil jahitan ibunya dari kain perca sisa orderan. Ibunya menghabiskan waktu semalaman menjahitnya agar terlihat seperti baju baru. Zara tahu, ini adalah satu-satunya cara agar ia bisa tetap tampil seperti anak gaul lainnya, tanpa membuat orang curiga dengan kondisinya yang sebenarnya.

Zara masuk ke dalam kelas dengan kepala tegak, menutupi rasa minder yang sering kali menghantui hatinya. Ia tahu, dunia sekolah penuh dengan penilaian. Anak-anak yang gaul dan terlihat modis selalu lebih diterima dan dihormati. Dan Zara tidak ingin merasa diasingkan hanya karena kondisinya yang miskin. Ia sudah belajar cara beradaptasi dengan lingkungan ini, meski terkadang hatinya terasa perih saat mendengar obrolan teman-temannya tentang belanja di mal atau liburan ke luar kota, sesuatu yang belum pernah ia alami.

Jam pelajaran hari itu terasa panjang. Guru matematika memberikan tugas kelompok yang harus dikerjakan bersama. Zara terpilih satu kelompok dengan Andin, Ayu, dan Dinda. Mereka memutuskan untuk mengerjakan tugas di rumah Andin, yang dikenal sebagai salah satu siswa dari keluarga berada. Rumahnya besar, dengan kolam renang di halaman belakang.

Zara menelan ludah saat memasuki rumah Andin. Perabotan yang mewah, lantai marmer yang mengilap, dan pendingin ruangan membuat suasana begitu nyaman. Ia mencoba menyembunyikan rasa takjubnya, meskipun di dalam hati ia merasa iri. Rumahnya sendiri kecil dan sempit, dengan dinding yang mulai terkelupas dan atap bocor yang sering membuat mereka kebanjiran saat hujan.

“Kalian mau minum apa? Jus jeruk atau soda?” tanya Andin sambil tersenyum lebar.

“Jus jeruk aja,” jawab Zara sambil tersenyum, meskipun ia sebenarnya tak pernah merasakan jus jeruk semewah ini di rumahnya. Di rumah, jus jeruk hanyalah air gula dengan sedikit perasan jeruk, itupun kalau mereka beruntung bisa membeli jeruk.

Sambil mengerjakan tugas, Ayu tiba-tiba memuji pakaian Zara lagi. “Zara, aku masih penasaran. Gimana sih caramu selalu punya baju yang keren? Kayak selalu ada yang baru aja.”

Zara tersenyum tipis, merasakan dorongan sakit di dadanya. “Oh, aku sering lihat diskon online. Rajin cari-cari promo aja,” katanya, lagi-lagi menyembunyikan kenyataan.

Andin yang mendengar itu langsung tertawa kecil. “Pantes aja! Aku kira kamu selalu belanja di butik, soalnya bajumu bagus-bagus.”

Zara hanya tertawa, meskipun dalam hatinya ia ingin menangis. Ia merasa seperti sedang berbohong setiap kali ia harus menjelaskan asal pakaian yang ia kenakan. Ia ingin jujur, ingin mengatakan betapa keras perjuangan ibunya hanya untuk membuatnya terlihat seperti anak-anak lainnya. Tapi ia tak bisa. Ia tak ingin dikasihani.

Setelah tugas selesai, Zara berpamitan lebih dulu. Ia berjalan menuju halte bus, menunggu angkot dengan sabar. Angin sore itu cukup sejuk, namun tidak cukup untuk mengusir rasa panas yang mengganjal di hatinya. Ia tahu, ia tidak bisa terus bersembunyi di balik pakaian trendi hasil jahitan ibunya. Suatu saat, semuanya mungkin akan terbongkar, dan ia tak tahu apakah ia siap menghadapi kenyataan itu.

Sesampainya di rumah, Zara mendapati ibunya sedang menjahit lagi, meski mata ibunya tampak lelah dan bengkak. “Ma, udah istirahat aja. Mama nggak perlu kerja terus,” kata Zara sambil menaruh tasnya.

Ibunya tersenyum lembut, menyeka keringat di dahinya. “Ini pesanan terakhir, Nak. Mama janji setelah ini istirahat. Tapi lihat, Mama bikin rok baru buat kamu. Semoga kamu suka.”

Zara terdiam, menatap rok biru yang masih setengah jadi di mesin jahit. Ia tahu, ibunya menjahit ini khusus untuknya, agar ia bisa tampil modis di sekolah seperti teman-temannya. Air mata Zara hampir tumpah, tapi ia menahannya. Ia tak ingin membuat ibunya merasa sedih.

“Terima kasih, Ma. Ini bagus banget. Aku suka,” kata Zara, memeluk ibunya erat.

Ibunya membalas pelukan itu, mengusap punggung Zara dengan lembut. “Mama cuma ingin kamu bahagia, Nak. Meskipun kita miskin, Mama akan berusaha supaya kamu nggak merasa kekurangan.”

Zara akhirnya tak bisa menahan tangisnya. Ia menangis di pelukan ibunya, mengeluarkan semua kesedihan dan rasa tertekan yang selama ini ia pendam. “Ma, aku sayang Mama. Maaf aku selalu nyusahin Mama.”

Ibunya tersenyum, mencium kening Zara. “Kamu nggak pernah nyusahin Mama, Nak. Kamu adalah alasan Mama bertahan. Kamu adalah kekuatan Mama.”

Malam itu, Zara duduk di kamar kecilnya, memandang rok biru yang dijahit ibunya. Ia sadar, apa yang ia kenakan setiap hari bukanlah sekadar pakaian. Itu adalah simbol perjuangan ibunya, cinta yang tulus meski dalam keterbatasan. Ia mengusap air mata yang masih mengalir, memandang langit-langit kamar yang mulai retak.

“Besok, aku akan tetap tersenyum,” bisik Zara pada dirinya sendiri. “Aku akan jadi kuat, demi Mama.”

Ia tahu, hidup tak akan mudah. Tapi selama ibunya ada di sampingnya, ia akan terus berjuang. Senyumnya mungkin akan tetap terlihat ceria di sekolah, tapi hanya ia yang tahu luka yang tersembunyi di balik senyum itu.

 

Pengorbanan yang Tak Terlihat

Hari itu, Zara merasa lebih tenang. Setelah menangis di pelukan ibunya malam sebelumnya, ia merasakan kelegaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Seolah beban berat yang ia pikul selama ini sedikit terangkat. Namun, saat ia melangkah ke sekolah, ia tahu bahwa perjuangannya belum usai. Dunia luar masih penuh dengan penilaian, dan Zara harus tetap menjadi “Zara yang ceria dan modis” di mata teman-temannya.

Di kelas, Ayu menghampiri Zara dengan senyum cerah. “Zara! Kamu tahu nggak? Besok kita ada acara farewell di villa Dinda. Semua anak bakal ikut. Kamu datang, kan?” tanya Ayu penuh antusias.

Zara terdiam sesaat, senyumnya sedikit pudar. Ia tahu bahwa acara di villa pasti membutuhkan biaya, dan ia tak yakin apakah ia bisa ikut. Sebagai anak dari keluarga miskin, acara seperti itu selalu menjadi masalah besar baginya. Namun, ia juga tak ingin terlihat berbeda atau dicap tidak gaul oleh teman-temannya.

“Oh, tentu aku datang,” jawab Zara akhirnya, mencoba terdengar meyakinkan.

Ayu bertepuk tangan senang. “Asyik! Aku nggak sabar. Kamu pasti pakai outfit keren lagi ya, Zara!”

Zara hanya tersenyum samar. Di balik senyum itu, pikirannya mulai dipenuhi kecemasan. Bagaimana ia bisa mendapatkan uang untuk biaya transportasi dan makanan di villa nanti? Dan, pakaian apa yang akan ia kenakan kali ini? Rok baru yang dijahit ibunya belum selesai. Ia merasa panik, tapi ia berusaha menyembunyikannya.

Sepulang sekolah, Zara langsung menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan pesanan jahit di ruang tamu. Mata ibunya terlihat sayu, tampak kelelahan, namun senyumnya tetap menghiasi wajahnya saat melihat Zara pulang.

“Ma, besok aku ada acara farewell di villa. Semua anak akan datang. Kira-kira… aku bisa minta uang buat ikut, nggak?” tanya Zara pelan, takut-takut.

Ibunya terdiam sejenak, menunduk, tampak berpikir keras. Zara bisa melihat gurat kelelahan di wajah ibunya, tapi ia juga tahu bahwa ibunya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya, meski dalam keadaan sulit.

“Berapa yang kamu butuhkan, Nak?” tanya ibunya akhirnya, suaranya terdengar lembut namun penuh beban.

Zara menggigit bibirnya, merasa bersalah. “Mungkin sekitar dua ratus ribu, Ma. Buat transportasi dan makanan di sana.”

Ibunya mengangguk pelan, lalu berdiri dan berjalan ke dalam kamar. Zara menunggu dengan hati yang berdebar, merasa cemas dan tidak nyaman. Beberapa saat kemudian, ibunya kembali dengan amplop kecil yang tampak kusut. Ia menyerahkannya pada Zara dengan senyum yang dipaksakan.

“Nak, ini semua yang Mama punya sekarang. Mungkin nggak cukup, tapi Mama yakin kamu bisa atur,” kata ibunya sambil mengusap rambut Zara lembut.

Zara membuka amplop itu dan menghitung isinya. Hanya ada seratus ribu rupiah. Ia menelan ludah, berusaha menahan tangisnya. Uang ini mungkin adalah sisa dari pembayaran pesanan jahitan, atau bahkan uang untuk makan mereka minggu ini. Tapi ibunya tetap memberikannya, tanpa ragu.

“Ma, ini terlalu banyak. Aku nggak usah ikut aja, ya? Nggak apa-apa kok,” ujar Zara dengan suara serak, sambil mengembalikan amplop itu.

Namun, ibunya hanya menggeleng sambil tersenyum. “Kamu harus ikut, Nak. Mama nggak mau kamu merasa berbeda dari teman-temanmu. Mama akan cari cara lain untuk mencukupi kebutuhan kita nanti.”

Zara tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya memeluk ibunya erat, air matanya jatuh membasahi bahu ibunya. “Ma, terima kasih. Aku janji nggak akan sia-siakan semua yang Mama lakukan buat aku.”

Keesokan harinya, Zara berangkat ke acara farewell dengan hati yang campur aduk. Ia mengenakan rok biru yang akhirnya berhasil dijahit ibunya semalaman, meski ada beberapa jahitan yang belum rapi. Tapi bagi Zara, itu adalah rok terindah yang pernah ia kenakan. Ia tahu, setiap benang dan jahitan di rok itu adalah wujud cinta ibunya.

Saat tiba di villa, suasana riuh dengan canda tawa teman-temannya. Semua terlihat bahagia, mengenakan pakaian mewah dan berfoto di depan kolam renang. Zara mencoba ikut tertawa, meski ia merasa seperti orang asing di tengah kemewahan itu.

Dinda, yang menjadi tuan rumah, menghampiri Zara. “Wah, kamu akhirnya datang juga, Zara! Kamu keren banget, selalu tampil modis,” katanya sambil memuji.

Zara tersenyum. “Terima kasih, Dinda. Ini cuma baju lama kok,” jawabnya rendah hati, meski hatinya terasa perih.

Saat mereka duduk bersama di meja makan, Ayu mulai membicarakan rencana liburan keluarga ke luar negeri. “Aku dan keluargaku bakal liburan ke Jepang bulan depan. Kamu gimana, Zara? Ada rencana liburan juga?” tanya Ayu polos.

Pertanyaan itu membuat Zara terdiam sejenak. Ia memaksakan senyum dan berkata, “Aku mungkin cuma di rumah aja. Bantu-bantu Mama.”

“Wah, kamu anak yang berbakti banget,” ujar Ayu dengan nada kagum.

Zara hanya mengangguk, menahan rasa sedih di hatinya. Di saat teman-temannya membicarakan liburan ke luar negeri, ia tahu bahwa di rumahnya, ibunya mungkin sedang memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk makan minggu depan.

Acara farewell malam itu diakhiri dengan api unggun. Semua duduk melingkar, saling bercerita tentang harapan dan mimpi mereka. Saat tiba giliran Zara, ia merasa gugup. Ia tahu apa yang diharapkan teman-temannya — cerita tentang impian yang besar dan ambisius.

“Aku… hanya berharap bisa terus membuat ibuku bangga,” kata Zara pelan, matanya berkaca-kaca. “Dia adalah pahlawanku, dan aku ingin suatu hari bisa membalas semua yang telah ia korbankan untukku.”

Teman-temannya terdiam sejenak, mungkin tidak memahami sepenuhnya makna kata-kata Zara. Tapi Zara tahu, ia berbicara dari hati. Ia berbicara tentang perjuangan ibunya, yang tak pernah terlihat oleh orang lain. Tentang pengorbanan yang selalu disembunyikan di balik senyum lembut ibunya.

Malam itu, Zara menatap api unggun yang menyala, merasakan kehangatan yang meresap hingga ke dalam hatinya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, di bawah langit malam yang penuh bintang, bahwa ia akan terus berjuang. Bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk ibunya wanita yang telah memberikan segalanya, tanpa meminta apa-apa sebagai balasan.

Ia menutup matanya sejenak, berdoa dalam hati. “Tuhan, beri aku kekuatan. Aku ingin membahagiakan Mama suatu hari nanti.”

Di balik senyum Zara yang ceria, tersembunyi tangisan hati yang hanya ia dan ibunya yang tahu. Tapi tangisan itu bukanlah tanda kelemahan. Itu adalah tanda cinta yang begitu dalam, yang tak terukur oleh materi atau kata-kata.

Zara pulang dari villa dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, ia senang bisa berkumpul dengan teman-temannya, tapi di sisi lain, ia merasa semakin sadar betapa besar pengorbanan ibunya. Ia tahu, perjuangan mereka belum selesai, tapi ia siap menghadapi apapun yang akan datang.

Karena di dalam hatinya, ada sebuah janji yang akan ia pegang teguh: ia akan membuat ibunya bangga, apapun yang terjadi.

 

Jalan yang Penuh Derita

Setelah acara farewell itu, Zara merasa semakin lelah. Meskipun ia mencoba mengabaikan semua yang ada di luar dirinya, di hatinya, ia tidak bisa menutupi kenyataan yang semakin membebani pikirannya. Ia masih berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan peran “Zara yang ceria”, namun semakin hari semakin terasa berat. Setiap senyuman yang ia tunjukkan kepada teman-temannya seolah menjadi topeng yang menutupi luka yang semakin dalam.

Hari Senin pagi, ketika bel masuk sekolah berbunyi, Zara melangkah masuk ke kelas dengan langkah gontai. Ia merasa tubuhnya semakin lemah. Kelas penuh dengan suara riang teman-temannya yang menceritakan weekend mereka. Zara hanya bisa mendengarkan dari kejauhan, berusaha terlihat sibuk, sambil menatap layar ponselnya.

Satu pesan dari ibunya muncul di layar ponsel Zara, membuatnya terkejut.

“Nak, Mama butuh bantuanmu. Ada pemotongan gaji bulan ini. Mama akan usahakan cari pekerjaan sampingan, tapi tolong jangan bilang pada teman-temanmu. Mama tahu kamu pasti merasa malu.”

Pesan itu mengena langsung di hati Zara. Ia tahu betul betapa beratnya keadaan ibunya. Setiap kali gaji ibunya dipotong, itu artinya mereka harus memotong banyak kebutuhan sehari-hari. Mereka tak bisa makan enak, dan bahkan sering kali harus menunda pembayaran listrik atau air. Tetapi, Zara tidak ingin membebani ibunya lebih jauh.

Zara menatap papan tulis dengan kosong. Ia berusaha fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya melayang. Bagaimana mungkin ia bisa memberitahukan hal ini pada teman-temannya? Mereka tidak akan mengerti. Mereka tidak akan pernah tahu betapa sulitnya hidup yang ia jalani. Zara bisa melihat dengan jelas senyum ceria Ayu yang tak pernah terhalang oleh masalah uang, atau Dinda yang selalu membanggakan liburannya di luar negeri. Bagaimana mungkin mereka memahami perasaannya?

Di tengah keheningan kelas, tiba-tiba terdengar suara tawa teman-temannya. Zara tersentak, menyadari bahwa Ayu sedang melontarkan lelucon yang membuat seisi kelas tertawa. Zara memaksakan diri untuk ikut tertawa, meskipun hatinya terasa hancur. “Apa kabar, Zara?” tanya Ayu, mengajak berbicara sejenak.

Zara menatapnya, berusaha tampil percaya diri. “Baik, Ayu. Gimana liburannya?” tanyanya balik, berharap bisa mengalihkan perhatian.

Ayu menceritakan perjalanan liburannya ke Bali dengan penuh semangat, seolah dunia mereka memang berputar di sekitar liburan dan kesenangan. Zara hanya bisa tersenyum tipis, merasa semakin terasing dari dunia mereka.

Sesampainya di rumah, Zara langsung masuk ke kamar. Ia terjatuh di tempat tidur, merasakan seluruh tubuhnya seperti terikat. Hatinya penuh dengan kebingungan dan rasa bersalah. Bagaimana caranya memberitahukan ibunya bahwa ia tidak bisa membeli pakaian baru lagi untuk acara selanjutnya? Bagaimana ia bisa mengatakan kepada ibunya bahwa ia ingin ikut kegiatan sekolah lainnya yang membutuhkan biaya, tapi tidak ada uang?

Di luar kamar, terdengar suara ibu yang sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Zara mendekat dan mendengar dengan jelas percakapan itu.

“Iya, Bu. Kami akan menunggu kabar dari Anda. Terima kasih banyak,” kata ibu dengan suara pelan, namun penuh kecemasan.

Zara mengintip dari balik pintu dan melihat ibu duduk di meja makan, wajahnya tampak letih dan penuh beban. Ia tahu, ibunya berjuang keras untuk membuat segala sesuatu tetap berjalan, meskipun hidup mereka semakin sulit.

Tiba-tiba, ibunya melihat Zara berdiri di sana. Wajah ibunya yang lelah seolah melembut, dan ia menyuruh Zara untuk duduk. “Nak, Mama sudah coba mencari pekerjaan sampingan. Jangan khawatir. Kita akan baik-baik saja,” ujar ibunya, meskipun nada suaranya sedikit bergetar.

Zara merasa hatinya teriris mendengar kata-kata itu. Ia tahu, ibunya berusaha menutupi kekhawatirannya. Namun, Zara juga merasa tak mampu membantu. Ia ingin sekali memberi ibunya kebahagiaan, namun tidak tahu caranya.

“Aku… aku nggak tahu harus bagaimana, Ma. Teman-teman di sekolah terus nanya aku kenapa nggak ikut liburan, kenapa nggak bisa tampil seperti mereka. Aku nggak mau mereka tahu kalau kita nggak punya uang,” kata Zara, suaranya hampir tak terdengar, seperti tercekik di tenggorokan.

Ibunya mendekat, memeluk Zara erat. “Nak, kamu nggak perlu khawatir dengan apa yang mereka pikirkan. Yang penting kamu tahu, kita selalu punya cara untuk menghadapinya. Jangan biarkan mereka mengukur kebahagiaan kita dengan uang atau harta.”

Zara memejamkan mata, meresapi kata-kata ibunya. Terkadang ia merasa sangat kecil di hadapan dunia yang besar ini. Teman-temannya yang penuh dengan kemewahan membuatnya merasa kurang, membuatnya merasa seolah-olah dirinya tidak berarti.

Namun, di dalam pelukan ibunya, ia merasa sedikit lebih kuat. Ia tahu, meski dunia tak selalu adil, mereka akan selalu bertahan bersama. Mereka memiliki satu sama lain, dan itu lebih berarti daripada apapun.

Hari-hari berlalu dengan perasaan berat yang tak kunjung hilang. Zara berusaha keras untuk tetap tampil seperti biasa, tetapi hatinya terasa semakin terkikis. Setiap kali ada acara atau ajakan teman-teman untuk ikut kegiatan yang memerlukan uang, ia harus menahan diri untuk tidak merasa cemburu atau kecewa.

Namun, di balik perjuangan yang tampaknya sia-sia, ada satu hal yang membuat Zara bertahan: mimpi. Mimpi untuk suatu hari bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untuk ibunya. Mimpi untuk suatu hari bisa bangga melihat ibunya tersenyum tanpa ada beban.

Zara tahu bahwa jalannya masih panjang. Ia harus berjuang lebih keras, tak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk ibunya yang selalu berkorban tanpa keluhan. Ia ingin membuat ibunya bangga, walau di balik senyuman itu ada banyak air mata yang tertahan.

Malam itu, setelah berdoa bersama ibunya, Zara berjanji dalam hati. Ia tidak akan menyerah. Ia akan terus berjuang.

Tak peduli seberapa berat hidup ini, tak peduli betapa sulitnya keadaan mereka, ia akan tetap berusaha menjadi anak yang kuat. Karena di balik setiap tetes air mata, ada harapan yang tak akan pernah padam.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Zara mengajarkan kita bahwa tidak ada yang bisa mengukur kebahagiaan hanya dari penampilan luar atau seberapa banyak harta yang dimiliki. Meskipun menghadapi tantangan besar, Zara menunjukkan bahwa semangat juang dan cinta keluarga bisa mengatasi segalanya. Sebagai anak SMA yang dikenal gaul dan ceria, Zara tetap berjuang demi impian dan keluarganya, meski hidupnya penuh dengan kesulitan. Jika kamu merasa terinspirasi dengan perjuangan Zara, jangan ragu untuk berbagi cerita ini dan ingat, setiap perjuangan pasti ada jalan keluarnya!

Leave a Reply