Daftar Isi
Jadi gini, kadang hidup itu kayak cerita yang nggak kita ngerti, tapi entah kenapa, ada aja yang bikin kita merasa terhubung sama orang lain, meski kadang kita nggak tahu kenapa atau gimana awalnya. Ini cerita tentang Dira dan Almar!
Dua orang yang sepertinya punya takdir yang nggak terungkap, tapi mereka nggak takut menghadapi apapun yang datang. Kalau kamu suka cerita yang manis, sedikit gelap, dan penuh makna, mungkin cerpen ini bisa bikin kamu mikir soal cinta yang nggak selalu mudah dimengerti.
Cinta Tak Terungkap
Kolom yang Tertunda
Setiap pagi, aku selalu melewati warung kopi kecil di dekat apartemen. Warung itu selalu ramai, meski hanya ada beberapa meja dan kursi. Itu tempat di mana aku biasa membeli koran, meski entah kenapa, aku tidak pernah benar-benar tertarik dengan berita yang ada di dalamnya. Mataku selalu tertuju pada kolom di halaman dua yang kecil dan terabaikan, seolah itu bagian yang tidak penting.
Namun, aku merasa selalu ada sesuatu yang berbeda di dalamnya.
Kolom itu tidak pernah memiliki nama yang jelas. Isinya hanya beberapa kalimat pendek yang berkisah tentang dua orang yang terpisah oleh waktu, takdir, dan keadaan. Setiap hari, kolom itu memperkenalkan kisah baru—tapi ada satu nama yang selalu muncul di setiap cerita: Fayza.
Aku selalu terpesona oleh kisah-kisah dalam kolom itu, seakan setiap kata yang tertulis memanggilku untuk ikut merasakan apa yang dirasakan tokoh dalam cerita. Mungkin karena aku merasa ada yang mirip antara kisah itu dan hidupku, meskipun aku tak pernah ingin mengakuinya.
Bukan cuma soal cinta yang sepertinya selalu ditunda, tapi lebih ke bagaimana takdir selalu datang dengan cara yang tak terduga. Kolom itu membuatku berpikir tentang Fayza, tentang cinta yang tidak pernah terucap, tentang perasaan yang selalu dibiarkan mengambang, dan aku tak tahu kenapa. Rasanya setiap cerita itu seakan menggambarkan sebagian dari diriku.
Hidupku biasa-biasa saja—aku seorang penulis lepas yang lebih banyak berkutat dengan kata-kata daripada berinteraksi dengan orang lain. Dunia sosial bagiku seperti labirin yang tidak pernah ingin aku masuki. Namun entah kenapa, setiap kali aku membaca kolom itu, aku merasa seperti ada yang hilang, seolah sebuah bagian dari diriku yang tak terjangkau. Dan setiap pagi, aku berharap menemukan jawaban di sana.
Suatu pagi, saat aku baru saja duduk di kafe sambil memesan secangkir kopi hitam, aku membuka koran seperti biasa. Aku merasa seperti sudah memegang kunci untuk sebuah cerita yang belum selesai. Dengan penuh harapan, aku mencari halaman dua, dan ada sesuatu yang aneh.
Nama Fayza muncul lagi, namun kali ini terasa berbeda. Cerita ini lebih personal, lebih nyata, seolah ada sesuatu yang langsung menyentuh hatiku. Fayza, yang dulunya hanya sebuah nama di antara baris-baris kata, kini terasa begitu hidup. Ada deskripsi tentang seorang wanita yang sudah bertahun-tahun menunggu seorang pria yang tak kunjung kembali. Semua kata-katanya seperti berbisik, meminta perhatian.
Aku menyentuh koran itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Apa ini? Kenapa rasanya seperti… pesan yang ditujukan padaku?”
Tiba-tiba suara berat memecah kesunyian di sekitarku, dan aku hampir menjatuhkan koranku. Tanpa menoleh, aku sudah bisa merasakan bahwa seseorang ada di dekatku, seolah memperhatikan gerak-gerikku.
“Apakah kamu selalu membaca kolom itu setiap pagi?”
Aku menoleh, dan hampir saja koran itu terjatuh dari tanganku. Itu dia—Almar. Seorang pria yang baru pertama kali aku lihat, tapi matanya seperti mata yang sudah lama aku kenal. Satu tatapan darinya dan aku sudah merasa seperti ada ikatan yang aneh di antara kami, meski aku tidak tahu kenapa.
Aku mendorong sedikit koranku, berusaha bersikap santai meski jantungku mulai berdegup kencang. “Kenapa? Kamu juga membaca koran ini?”
Almar tersenyum tipis, senyum yang tidak bisa aku tafsirkan. “Mungkin lebih dari itu. Aku merasa kita saling mengenal, bahkan meskipun aku tidak tahu siapa kamu.”
Aku mengerutkan kening. “Kita… saling mengenal? Tapi aku rasa aku tidak mengenalmu.”
Dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia menarik kursi di depanku, duduk dengan santai, seperti sudah tahu bahwa aku takkan menolaknya. “Aku di dalam cerita itu,” katanya pelan, “Aku adalah pria yang selalu terlambat. Aku adalah pria yang tak bisa selalu hadir tepat waktu, tapi tetap ada, meski dalam cara yang berbeda.”
Aku tercengang. Apa maksudnya? Aku menatap wajahnya dengan bingung, mencoba mencerna kata-katanya.
“Apa… kamu?” Aku hampir tidak percaya dengan apa yang aku dengar.
“Ya.” Almar mengangguk. “Aku adalah pria yang tak pernah bisa datang tepat waktu, tapi selalu berusaha untuk kembali—meski kadang tak bisa datang seperti yang kamu harapkan.”
Aku memandangnya lebih lama. Dia benar-benar serius. Wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda bercanda, dan tatapannya, entah kenapa, terasa sangat familiar. Seakan aku sudah mengenalnya bertahun-tahun. Seakan, entah kenapa, aku sudah menunggunya tanpa aku tahu.
“Aku tak mengerti,” aku mengatakannya dengan suara pelan, namun hatiku sudah tidak bisa diam. “Apa maksudmu dengan semua ini?”
“Begini,” jawabnya dengan tenang, “Aku tak ingin membebanimu dengan semua penjelasan. Tapi percayalah, ada alasan mengapa kita bertemu sekarang. Kita mungkin sudah terpisah lama, Dira, tapi aku yakin kita saling menunggu. Seperti yang terjadi dalam cerita itu—cerita tentang menunggu, tentang cinta yang ditunda. Aku tak ingin lagi membuatmu menunggu tanpa kepastian.”
Aku terdiam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seakan menyentuh bagian-bagian dalam diriku yang selama ini tersembunyi. Selama ini aku merasa sendirian, merasa hidupku berjalan seperti kisah dalam kolom itu—selalu tertunda, selalu menggantung. Tetapi di sini, di hadapanku, ada seorang pria yang tidak hanya membaca cerita itu, tetapi juga menjadi bagian dari cerita yang membuatku terjebak dalam perasaan ini.
“Jadi, kamu… benar-benar datang untuk menepati janji yang tak pernah terucapkan, ya?” tanyaku dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Almar tersenyum, kali ini lebih dalam. “Aku tidak bisa menjanjikan segalanya, Dira. Tapi aku ingin kamu tahu, aku sudah menunggumu. Bahkan sebelum kita bertemu hari ini.”
Nama yang Tidak Asing
Hari itu, setelah pertemuanku dengan Almar, aku merasa seperti ada sesuatu yang berubah dalam hidupku—sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rasanya seperti ada benang tak terlihat yang menghubungkan kami, meskipun aku baru pertama kali bertemu dengannya. Ada perasaan familiar yang mengalir, seakan-akan aku sudah lama mengenalnya, atau bahkan, lebih tepatnya, aku sudah lama menunggunya.
Aku melangkah menuju apartemenku, namun langkahku terasa lebih berat dari biasanya. Semua yang aku lihat dan dengar mengingatkanku pada pertemuan itu, dan setiap sudut seolah menyimpan jejak-jejak yang tak kuerti. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa aku merasa begitu terikat dengan pria yang baru beberapa menit aku kenal?
Di rumah, aku duduk dengan secangkir teh hangat di tangan, mataku menatap kosong ke arah jendela. Koran yang masih tergeletak di meja sudah mulai kusut, namun aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Almar.
“Aku sudah menunggumu.”
Aku merasa kalimat itu bergema dalam kepalaku, berulang-ulang, seolah memanggilku untuk mencari tahu lebih banyak. Aku ingin tahu siapa dia sebenarnya. Kenapa dia mengatakan hal itu? Kenapa dia begitu yakin tentang perasaan yang bahkan aku sendiri belum bisa mengerti sepenuhnya?
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk kembali ke kafe itu. Aku tak tahu mengapa, tapi aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang belum selesai. Seperti ada yang hilang jika aku tidak kembali ke sana, ke tempat di mana pertemuan itu terjadi. Bahkan, ketika aku melangkah masuk ke dalam kafe, aku bisa merasakan hawa yang berbeda—seperti menyambutku pulang.
Almar sudah ada di sana, duduk di meja yang sama, dengan secangkir kopi hitam yang tampaknya sudah dingin. Ketika matanya menangkap pandanganku, ada senyum tipis di wajahnya, senyum yang membuat jantungku kembali berdegup lebih cepat.
“Aku pikir kamu akan datang,” katanya, suaranya lembut namun penuh makna. “Akhirnya.”
Aku mengangguk pelan, meski ada sedikit kebingungan yang masih menggelayuti pikiranku. “Kenapa kamu bilang begitu? Apa maksudmu?”
Almar menarik napas panjang, menatapku sejenak dengan pandangan yang dalam. “Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertemuan ini, Dira. Aku rasa kita memang seharusnya bertemu sekarang. Entah kenapa, aku merasa seperti aku mengenalmu dari jauh, entah kapan.”
Aku duduk di hadapannya, mencoba mencerna kata-katanya. “Tapi… kita baru saja bertemu. Aku tak merasa seperti kita punya banyak waktu bersama, atau bahkan pernah bertemu sebelumnya.”
Dia tertawa pelan, suara tawa itu terasa menenangkan. “Tapi rasanya ada sesuatu yang tidak asing, bukan? Sesuatu yang membuat kita merasa seolah kita sudah pernah saling mengenal, meskipun kita tak tahu dari mana.”
Aku menatapnya lebih dalam, mencari petunjuk di balik matanya yang penuh dengan misteri. “Aku… aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang, Almar. Sesuatu yang seharusnya aku temukan, tapi belum bisa aku capai.”
“Karena kita saling menunggu,” jawabnya tegas, seakan sudah mengetahui segala sesuatunya lebih dulu. “Kamu tidak pernah benar-benar sendirian, Dira. Aku selalu ada, bahkan ketika aku tak tampak.”
Aku menggigit bibir, mencoba menahan gelombang perasaan yang datang begitu tiba-tiba. “Aku tak tahu harus bagaimana. Apa yang harus aku lakukan sekarang?”
Almar tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia meraih koran yang tergeletak di meja, dan membuka halaman dua, yang kini sudah sangat familiar bagiku. Dengan hati-hati, ia menunjuk pada kolom yang aku baca kemarin.
“Ini bukan hanya cerita, Dira. Ini bukan hanya tentang Fayza atau pria yang selalu terlambat. Ini tentang kita, tentang waktu yang telah memisahkan kita dan akhirnya mempertemukan kita di titik ini,” katanya dengan lembut, namun dengan ketegasan yang tak terbantahkan.
Aku menatap kolom itu, dan kali ini aku melihatnya dengan cara yang berbeda. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum kuperhatikan sebelumnya. Kolom itu bukan hanya tentang sebuah kisah cinta yang terlewatkan, tetapi tentang perasaan yang sudah ada sejak lama, yang terpendam, yang menunggu saat yang tepat untuk muncul ke permukaan.
“Tapi aku masih bingung,” kataku, suaraku mulai terdengar cemas. “Kenapa kamu yakin kalau kita… saling menunggu?”
Almar tersenyum dengan penuh pengertian. “Karena aku tahu, Dira. Aku tahu kamu pernah membaca kolom ini, dan aku tahu kamu merasakannya. Aku tahu bahwa dalam setiap kata, kamu merasa seolah itu ditujukan padamu. Begitu juga dengan aku.”
“Kenapa kamu begitu yakin?” tanyaku, mencoba mencari penjelasan yang lebih jelas, lebih logis.
“Karena aku juga membaca kolom itu,” jawabnya, suara Almar semakin rendah dan penuh dengan rasa. “Aku membaca tentang Fayza, dan aku merasa ada sesuatu yang menghubungkan kita. Ada semacam ikatan yang membuat kita tak bisa lepas, meskipun kita belum sepenuhnya paham.”
Aku diam, mencoba mencerna semua yang baru saja dia katakan. Ada banyak pertanyaan yang masih menggelitik di dalam pikiranku, namun satu hal yang aku tahu pasti—Almar bukan hanya seseorang yang aku temui begitu saja. Dia adalah bagian dari cerita yang selama ini aku baca, bagian yang selalu mengisi ruang kosong dalam hidupku.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku dengan suara lembut, meski hatiku penuh dengan kecemasan dan kebingungan.
Almar menatapku dengan tatapan penuh arti, seolah semua yang dia katakan sudah menunggu jawaban ini. “Kita lanjutkan cerita ini, Dira. Kita mulai menulis bagian selanjutnya—bersama-sama.”
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti—takdir, atau apapun itu, sepertinya sudah menuntun kami untuk berjalan bersama.
Dalam Bayangan yang Tak Terlihat
Kehidupan terasa semakin aneh sejak hari itu, sejak aku tahu bahwa Almar adalah bagian dari kisah yang tak pernah aku sangka. Setiap kali aku melihatnya, aku merasakan kehangatan yang tak bisa dijelaskan, seolah dunia di sekitarku mendadak menghilang, menyisakan hanya kami berdua, terhubung oleh benang tak kasat mata yang semakin kuat setiap harinya.
Namun, meskipun ada perasaan yang begitu mendalam, aku masih merasa seperti berjalan di atas jalan yang tidak tampak jelas ujungnya. Almar begitu yakin, tapi aku? Aku masih merasa terombang-ambing, bingung dengan segala hal yang terjadi begitu cepat.
Aku dan Almar sering bertemu di kafe itu. Kami tak pernah berbicara tentang hal yang terlalu rumit, tetapi ada hal-hal yang terkadang muncul begitu saja di tengah percakapan ringan, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama. Ada kekuatan dalam keheningan kami—bahkan saat kami hanya duduk bersama, berdua, dalam keheningan yang tidak canggung.
Hari ini, aku memutuskan untuk tidak hanya membiarkan perasaan ini berkembang begitu saja. Aku ingin tahu lebih banyak. Aku ingin mengerti tentang Almar, tentang siapa dia sebenarnya, dan apa yang membuatnya begitu yakin bahwa kami terhubung lebih dari sekadar kebetulan.
“Almar,” panggilku saat kami duduk bersama di meja favorit kami, secangkir kopi di depan kami, yang mulai dingin. “Aku merasa kita seperti… sudah ada di sini sebelumnya, dalam kehidupan lain mungkin, atau dalam cerita yang terlewatkan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kamu tahu tentang kita?”
Almar menatapku, dan untuk sejenak, matanya begitu dalam, seperti menyelami laut yang tak terhingga. “Kamu tahu, Dira,” jawabnya dengan lembut, “perasaan ini bukan hal baru. Kita sudah saling mencari sejak lama, bahkan jika kita tak tahu apa yang kita cari.”
Aku mencerna kata-katanya, mencoba menggali makna di balik setiap suku kata yang dia ucapkan. “Tapi bagaimana bisa? Kita bahkan baru bertemu beberapa hari yang lalu. Apa yang membuatmu begitu yakin?”
Dia mengangkat bahu perlahan, senyum kecil muncul di bibirnya. “Kadang, kita tidak perlu tahu semuanya untuk merasa yakin. Kadang, perasaan itu datang sebelum kita memahami apa yang terjadi.”
Aku diam, membiarkan kata-kata itu mengalir begitu saja, mencoba mencari celah untuk mengerti. Namun, semakin lama aku berada di dekat Almar, semakin aku merasa bahwa dia bukan hanya sekadar pria biasa. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sesuatu yang tak terjelaskan, namun begitu nyata.
Kami melanjutkan percakapan kami, dan seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan kenyamanan yang mendalam, lebih dari sekadar pertemuan fisik. Ada kesan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata—sebuah rasa yang menghubungkan kami lebih dari sekadar kata-kata yang kami ucapkan.
Namun, meskipun ada perasaan yang begitu kuat, ada satu hal yang mengganggu pikiranku: bayangan yang terus mengikuti kami, bayangan yang terasa seperti sesuatu yang lebih besar dari sekadar kami berdua.
Aku tidak tahu apakah Almar juga merasakannya, tetapi kadang-kadang aku merasa seperti ada hal lain yang mengawasi kami, sesuatu yang lebih tua dari waktu dan lebih dalam dari ruang. Ada sesuatu yang menunggu untuk terjadi, sesuatu yang lebih besar dari kisah cinta yang biasa.
“Apa yang kamu takutkan, Dira?” tanya Almar suatu malam, saat kami berjalan di sepanjang trotoar yang sunyi, cahaya lampu jalan menerangi wajahnya yang tampak begitu serius.
Aku berhenti sejenak, memandangnya. “Aku tidak tahu,” jawabku pelan. “Ada sesuatu di dalam diriku yang merasa cemas, sesuatu yang memberitahuku bahwa ini bukan hanya tentang kita berdua. Ada hal lain yang tak terlihat.”
Almar berhenti berjalan, memandangku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. “Kamu tidak salah, Dira. Kita memang tidak hanya berdua. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang sedang mempertemukan kita. Sesuatu yang selama ini menunggu.”
“Apa itu?” tanyaku, suara aku bergetar sedikit. Aku merasa semakin dalam terjerat dalam misteri yang tak aku pahami.
Almar menghela napas panjang, matanya tampak penuh beban, seperti ada yang ingin dia katakan, namun tak bisa. “Aku tidak tahu pasti, Dira. Tapi aku merasa itu datang—sesuatu yang akan mengubah segalanya. Dan kita tidak bisa menghindarinya.”
Aku merasakan jantungku berdegup kencang, seolah kalimat-kalimat Almar itu menyentuh bagian terdalam dari hatiku. “Apakah itu akan menghancurkan kita?” tanyaku, suara bergetar meski aku berusaha keras untuk tetap tenang.
Almar tidak menjawab langsung, hanya menatap langit malam yang penuh bintang. “Tidak, Dira. Itu tidak akan menghancurkan kita. Tapi kita harus siap untuk menghadapi apa pun yang datang.”
Aku merasa perasaan itu—rasa takut, rasa tak pasti—menyusup dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya. Tapi di sisi lain, aku juga merasakan kedamaian yang aneh. Aku tahu bahwa apapun yang terjadi, aku tidak sendirian. Almar ada di sini, dan entah apa yang akan datang, kami akan menghadapi itu bersama-sama.
Kami berjalan kembali, tangan kami tak bersentuhan, namun ada sesuatu yang lebih kuat dari itu—ikatan yang tak bisa dijelaskan oleh apapun. Sesuatu yang lebih kuat dari sekadar cinta yang biasa. Kami berdua tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, dan mungkin banyak hal yang harus kami hadapi bersama. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa siap menghadapi apapun itu—selama aku bersama Almar.
Di Ujung Jalan yang Tak Terlihat
Hari-hari berlalu, dan kehadiran Almar dalam hidupku semakin terasa seperti hal yang tak bisa dihindari. Seolah-olah seluruh dunia sedang mempersiapkan sesuatu untuk kami, sesuatu yang kami berdua tak sepenuhnya pahami. Aku masih merasa cemas, terkadang takut akan bayangan yang sepertinya mengawasi langkah kami. Namun, di sisi lain, aku mulai merasakan sesuatu yang lebih kuat—perasaan yang lebih besar dari rasa takut itu sendiri. Perasaan yang tumbuh dalam diam, dalam setiap tatapan, dalam setiap detik yang kami habiskan bersama.
Kini, sudah lebih dari sebulan sejak kami pertama kali bertemu di kafe itu. Kami lebih sering menghabiskan waktu bersama, berbicara lebih dalam tentang hal-hal yang tak pernah kami bicarakan sebelumnya. Ada kenyamanan di setiap percakapan, meskipun kadang aku merasa bahwa ada sesuatu yang lebih gelap dan misterius yang melatari semuanya. Namun, entah kenapa, aku merasa tak ingin tahu lebih banyak. Aku ingin menikmati waktu kami, menikmati setiap detik kebersamaan yang kami miliki, karena aku tahu bahwa di dunia ini, mungkin ada hal-hal yang lebih baik tak usah dicari tahu.
Pada suatu malam, kami duduk di atas atap sebuah gedung tua yang terlupakan, di mana hanya ada angin yang berbisik pelan, dan langit yang menyimpan jutaan rahasia. Kami saling berbicara, namun kali ini percakapan kami terasa berbeda. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih personal, yang mulai kami ungkapkan tanpa rasa takut. Almar menatapku dengan tatapan yang penuh makna.
“Apakah kamu pernah merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kita?” tanya Almar dengan suara pelan, namun tajam. “Bahwa kita ini hanya bagian dari sesuatu yang lebih luas?”
Aku terdiam sejenak. “Aku merasa itu,” jawabku dengan hati-hati. “Aku merasa seperti kita bukan hanya dua orang yang kebetulan bertemu. Ada sesuatu yang tak terlihat, yang menghubungkan kita.”
Almar tersenyum kecil, seolah dia sudah tahu jawabanku sebelum aku mengatakannya. “Kamu benar. Ada sesuatu yang lebih besar dari kita, Dira. Sesuatu yang sudah lama menunggu untuk terungkap.”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Tapi apa itu? Kenapa aku merasa semakin dekat denganmu, semakin banyak hal yang tak bisa aku jelaskan?”
Almar memandangku dengan tatapan yang dalam, penuh pengertian. “Karena kita memang sudah seharusnya bersama, Dira. Kita sudah lama ditakdirkan untuk saling menemukan, meskipun tak ada yang benar-benar tahu bagaimana atau kenapa.”
Aku merasa sedikit gemetar mendengar kata-katanya. “Kita… ditakdirkan?” tanyaku, suara aku terdengar hampir seperti bisikan.
“Ya,” jawabnya dengan mantap. “Kita ditakdirkan untuk saling menemukan dan menghadapi apa yang ada di depan kita. Semua yang terjadi, baik dan buruk, adalah bagian dari takdir yang lebih besar.”
Aku merasa jantungku berdebar kencang, seolah kata-kata Almar meresap ke dalam setiap sel tubuhku. Aku tahu bahwa apapun yang dia katakan, itu bukan hanya kata-kata kosong. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku percaya begitu saja.
“Kita tak tahu apa yang akan datang, Dira,” lanjutnya. “Tapi satu hal yang aku tahu, kita tak akan pernah berpisah. Kita sudah terikat, dan ikatan itu lebih kuat dari apapun.”
Perasaan itu—perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata—kembali merasukiku. Ini bukan hanya cinta. Ini lebih dari itu. Ini adalah sesuatu yang lebih kuat, lebih dalam. Seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti, meskipun terkadang terhalang batu-batu besar.
Aku menatap Almar dengan mata yang mulai berkilau, menyadari bahwa aku tak pernah merasakan sesuatu yang seperti ini sebelumnya. Aku sudah merasa terikat padanya, lebih dari sekadar kata-kata yang terucap, lebih dari janji yang diberikan. Kami adalah dua bagian dari sebuah cerita yang sudah lama tertulis, cerita yang tak bisa dipisahkan meskipun kami mencoba untuk berjalan sendiri.
“Tidak peduli apa yang terjadi, aku akan selalu ada di sini,” kataku dengan suara yang penuh keyakinan.
Almar menatapku, senyumnya penuh makna. “Aku tahu, Dira. Dan aku akan selalu ada untukmu. Tak peduli apa yang datang. Kita akan menghadapinya bersama.”
Kami diam sejenak, hanya saling menatap, memandang langit yang kini penuh dengan bintang. Semuanya terasa begitu damai, meskipun aku tahu ada hal besar yang menunggu di depan. Tetapi untuk saat ini, kami berdua hanya bisa menikmati momen ini, menikmati kenyataan bahwa tak ada yang bisa memisahkan kami.
Kami berjalan bersama ke tepi atap, berdiri di sana, memandang dunia yang terbentang di bawah kaki kami. Aku merasa seolah kami bisa terbang ke mana pun kami mau, seolah dunia ini adalah tempat yang penuh dengan kemungkinan. Tak ada yang bisa menghalangi kami, tak ada yang bisa memisahkan kami.
Malam itu, aku merasa seperti tak ada lagi yang harus aku takuti. Kami bersama, dan itu sudah cukup.
“Almar,” bisikku, “apa yang terjadi setelah ini?”
Dia tersenyum, matanya berkilau dengan semangat yang aku tak bisa ungkapkan. “Kita akan tahu ketika saatnya tiba, Dira. Semua akan terungkap pada waktunya.”
Aku mengangguk, menyadari bahwa aku tak perlu tahu segalanya. Apa yang kami miliki sekarang—cinta yang kami bagikan—itu sudah cukup. Di dunia yang penuh dengan ketidakpastian, hanya ada satu hal yang pasti: kami akan bersama, selamanya.
Dan dalam pelukan Almar, aku merasa bahwa apapun yang datang, kami akan menghadapinya bersama. Dalam bayangan yang tak terlihat, dalam takdir yang tak terungkapkan, kami akan berjalan bersama, selamanya.
Jadi, mungkin memang nggak semua hal perlu dijelaskan. Kadang, cinta itu nggak perlu kata-kata atau alasan yang panjang. Cinta bisa tumbuh dari tempat yang nggak kita duga, dari takdir yang udah lama ditulis tanpa kita tahu.
Dan Dira serta Almar, mereka membuktikan kalau apa yang udah terjalin, nggak bisa dipisahkan, bahkan oleh waktu atau apapun itu. Mungkin, mereka cuma dua orang yang berani percaya kalau cinta, meskipun gelap dan rumit, tetap punya jalan menuju terang. Gimana menurutmu? Cinta kamu sendiri, kayak apa?