Cerpen Pekerja Keras yang Bertahan Demi Keluarga: Kisah Sedih dan Penuh Pengorbanan

Posted on

Kamu pernah nggak sih ngerasa kalau hidup itu kayak terus-terusan nunggu giliran buat jatuh? Tapi, ya, kita nggak bisa berhenti, kan? Sama kayak Rinaldo, si pekerja keras yang nggak pernah berhenti buat ngelakuin apapun demi keluarganya.

Tapi, ya, masalahnya kadang hidup itu nggak sejalan sama apa yang kita harapin. Kadang, pilihan-pilihan yang kita buat malah bawa kita ke tempat yang nggak pernah kita bayangin sebelumnya. Cerita ini bakal bikin kamu mikir, apakah semua pengorbanan itu sebanding dengan apa yang kita dapatkan?

 

Kisah Sedih dan Penuh Pengorbanan

Langit Kelabu di Pagi Hari

Pagi itu, langit memeluk kota dengan warna kelabu yang dingin. Udara sejuk menusuk kulit dan membuat setiap orang yang keluar rumah menarik jaket lebih rapat. Rinaldo berjalan cepat, langkahnya mantap namun terburu-buru, seolah setiap detik berarti lebih dari sebelumnya. Suara sepatu botnya yang beradu dengan trotoar berkerikil menjadi satu-satunya musik di pagi yang sunyi. Tidak ada percakapan, hanya desah nafas dan bayang-bayang yang bergeser pelan.

Beberapa orang lewat di sekitarnya, sebagian dengan wajah yang terburu-buru, sebagian lagi hanya berjalan santai seperti tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi bagi Rinaldo, hidup selalu dipenuhi dengan rasa terburu-buru. Setiap langkahnya seakan mewakili beban yang harus dipikul, bukan hanya tubuhnya yang capek, tetapi juga hatinya yang sudah letih dengan rutinitas.

Matahari belum muncul sepenuhnya, hanya ada sinar lemah yang merembes di antara celah-celah gedung tinggi. Rinaldo tidak terlalu peduli. Ia tahu, untuk mendapatkan hidup yang lebih baik, ia harus berjuang keras. Tapi rasanya tidak pernah mudah. Seperti hari ini, misalnya. Ada ketegangan di antara rekan-rekannya di proyek pembangunan yang sedang mereka kerjakan. Semua orang merasakan hal yang sama—ada sesuatu yang sedang berjalan tidak sesuai rencana.

Dia berhenti sejenak di halte bus, menatap ponselnya yang sudah mulai bergetar. Sebuah pesan masuk, dari Adella. Istrinya yang sedang terbaring lemah di rumah.

“Sayang, tolong hati-hati ya di sana. Jangan terlalu keras bekerja, aku tidak ingin kamu sakit juga.”

Rinaldo membaca pesan itu dengan hati yang sedikit hancur. Adella selalu khawatir dengan dirinya, meskipun dia sendiri sedang bergelut dengan kesehatannya. Istrinya yang sudah lama menderita sakit ringan itu seakan tidak pernah mengeluh, tetapi Rinaldo tahu betul bagaimana perasaan Adella setiap kali ia berangkat bekerja. Namun, apa yang bisa ia lakukan selain terus bekerja?

Segera setelah bus tiba, Rinaldo naik dan duduk di kursi yang kosong. Ia menatap luar jendela, melihat pemandangan kota yang semakin berubah. Semua orang sepertinya tahu bahwa dunia terus berputar, namun bagi Rinaldo, putaran itu terlalu cepat untuk ia kejar.

Setelah beberapa menit, bus berhenti, dan Rinaldo melangkah keluar dengan langkah cepat, menghindari kerumunan orang yang juga berjalan dengan tujuan yang sama. Sebuah gedung bertingkat tinggi muncul di hadapannya, tempat ia bekerja selama beberapa tahun terakhir. Suasana di sekitar proyek itu selalu riuh dengan suara mesin dan pekerja yang sibuk, seolah tidak ada waktu untuk beristirahat.

“Rinaldo!” Teriak Kemas, rekan kerjanya yang sudah lama mengenalnya. “Ayo, kita mulai sekarang juga. Kalau nggak, nanti kita nggak selesai tepat waktu.”

Rinaldo mengangguk pelan dan berjalan ke arah tempatnya bekerja. Di bawah sengatan matahari yang semakin panas, ia merasa seolah beban di punggungnya semakin berat. Proyek bangunan yang sedang dikerjakan sedang mengalami banyak masalah. Keterlambatan jadwal, bahan yang tidak sesuai, dan tekanan dari atas yang semakin kuat membuat semuanya terasa seperti ledakan yang siap meledak kapan saja.

Namun, tidak ada kata menyerah bagi Rinaldo. Ia tahu, jika berhenti, keluarganya yang akan merasakan dampaknya. Adella, anak-anaknya, mereka semua bergantung padanya. Tidak ada pilihan lain.

Seperti biasa, ia bekerja keras sepanjang hari, mengangkat bahan-bahan bangunan, menurunkan semen ke lantai bawah, dan melakukan semua pekerjaan kasar lainnya. Tangan dan tubuhnya terasa sakit, tetapi ia menahannya. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia pikirkan.

Di sela-sela pekerjaan, beberapa rekan kerjanya berbicara tentang kesulitan yang mereka hadapi, tentang gaji yang dipotong, tentang janji-janji yang tidak ditepati. Rinaldo hanya mendengarkan, tidak ikut berbicara banyak. Ia tahu, keluh kesah tidak akan mengubah apapun. Yang bisa ia lakukan hanyalah bertahan, dan berharap semua ini akan berakhir baik-baik saja.

Hari mulai menjelang sore, dan tubuh Rinaldo sudah kelelahan. Namun, ia tidak berhenti. Ia terus bekerja, meskipun otot-ototnya terasa pegal dan wajahnya sudah semakin memucat. Ketegangan semakin terasa di antara para pekerja, dan Rinaldo bisa merasakannya. Mereka semua ingin menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin, tetapi kenyataan tak pernah semudah itu. Semua orang merasa tertekan, dan Rinaldo lebih dari siapa pun merasakan tekanan itu.

Saat jam kerja hampir selesai, Rinaldo memutuskan untuk pergi lebih awal. Ia tahu ada sesuatu yang harus ia selesaikan di rumah. Setelah menyapa beberapa rekan kerjanya, ia berjalan keluar dari lokasi proyek dan menuju halte bus yang sudah biasa ia naiki. Jalanan terasa lebih sepi, dan langit yang semula kelabu kini mulai menggelap. Udara sore terasa lebih lembab, dan Rinaldo menarik napas panjang.

Ia membuka ponselnya sekali lagi. Ada pesan dari Adella.

“Sayang, aku tidak ingin kamu terbebani. Kalau bisa, hari ini pulang cepat. Aku rasa aku perlu kamu di sini.”

Pesan itu membuat hatinya semakin tertekan. Ia tahu Adella tidak ingin mengganggunya, tetapi ada sesuatu yang membuat Rinaldo merasa tidak bisa bernafas. Jika ia pulang terlalu cepat, bagaimana dengan pekerjaannya? Bagaimana jika ia kehilangan pekerjaan ini dan tidak bisa lagi menafkahi keluarganya?

Sesampainya di rumah, suasana sepi menyambutnya. Adella sudah tertidur, dan kedua anaknya juga terlihat kelelahan setelah seharian bermain. Rinaldo duduk di samping tempat tidur Adella, memandang istrinya yang tampak begitu rapuh.

“Aku sudah pulang, De,” bisiknya pelan.

Adella membuka matanya, sedikit terkejut, tapi senyumnya langsung terbit, meski lemah. “Kamu pasti lelah sekali, sayang. Jangan terlalu memaksakan diri.”

Rinaldo hanya bisa tersenyum, meskipun senyum itu tidak sepenuhnya sampai di matanya. Ia tahu, untuk saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah terus bertahan.

 

Peluh yang Tak Terlihat

Malam merayap pelan, membawa keheningan yang penuh tekanan. Di rumah kecil itu, suasana terasa lebih berat daripada sebelumnya. Di tengah-tengah lampu yang temaram, Rinaldo duduk di kursi kayu, menatap kosong ke arah lantai. Badan yang lelah rasanya tak cukup untuk membuatnya terlelap. Pikiran dan perasaan seolah saling berebut di kepalanya.

Adella tidur di kamar sebelah, wajahnya yang pucat terbaring di bawah selimut tipis, tak jauh dari tempat tidur anak-anak mereka yang tertidur pulas, terlelap dalam dunia mereka yang jauh dari segala beban hidup. Rinaldo tersenyum pahit, merasa seolah dia satu-satunya yang benar-benar bangun, memikul seluruh dunia di pundaknya.

Pagi datang lebih cepat dari yang ia duga. Jam belum menunjukkan pukul lima, tapi mata Rinaldo sudah terbuka. Tubuhnya terasa lelah, dan pikirannya sesak. Namun, dia tak punya pilihan selain bangkit dan melanjutkan hari yang baru. Rutinitas yang tak pernah berhenti menuntutnya.

Ia berdiri dari tempat tidur dengan langkah pelan, berusaha tidak membangunkan Adella. Pagi itu, langit kembali kelabu, seolah mengingatkan Rinaldo bahwa harinya akan kembali penuh tekanan. Kecemasan itu masih terbayang di wajah istrinya—sebuah kecemasan yang terpendam, yang semakin menambah beban di dadanya. Namun, ia tahu, ia tak bisa menundanya lebih lama lagi.

Setelah bersiap-siap dengan pakaian yang sama seperti kemarin, Rinaldo kembali keluar rumah, langkahnya sudah tidak secepat pagi sebelumnya. Kali ini, ia lebih sering menundukkan kepala, menatap tanah yang basah oleh hujan semalam. Langkahnya terdengar lebih berat. Keringat yang mengalir deras di bawah kemejanya, bukan karena cuaca, tetapi lebih karena tekanan yang ia rasakan setiap hari.

Di perjalanan menuju proyek, Rinaldo berpikir tentang segala hal yang terabaikan. Tentang anak-anaknya yang masih kecil dan butuh perhatian lebih, tentang Adella yang semakin rapuh, dan tentang dirinya yang mulai merasakan kepenatan. Namun, semuanya itu harus ditanggalkan saat ia tiba di tempat kerjanya. Di sana, ia harus menjadi seorang pekerja—buruh yang tak boleh menunjukkan kelemahan.

Tiba di lokasi, suasana seperti biasa—penuh dengan mesin, teriakan rekan kerja, dan debu yang berterbangan di udara. Namun, Rinaldo merasa ada yang berbeda hari itu. Tension di antara rekan-rekannya semakin jelas terasa. Para pekerja yang biasanya berbicara santai dan bersenda gurau, kini lebih sering berbicara dengan nada yang tegang, saling menatap dengan mata penuh kecemasan.

“Rinaldo, ini hari terakhir kita kerja di sini. Proyek ini harus selesai, meskipun mereka belum bayar kita sepenuhnya,” ujar Kemas dengan nada serius, suara yang biasanya ceria kini terdengar lebih lelah.

Rinaldo hanya mengangguk. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada gunanya berdebat tentang gaji atau bagaimana proyek ini berjalan. Semua itu hanya akan membuat hari-hari yang sudah berat menjadi semakin sulit.

“Jangan khawatir, kita selesaikan ini sebaik-baiknya,” jawab Rinaldo, mencoba memberi semangat meskipun hatinya sendiri tidak sepenuhnya yakin.

Kerja keras kembali dimulai. Rinaldo terlibat dalam setiap detil pekerjaan, mengangkat besi, menata bata, menunggu instruksi dari mandor. Semua gerakannya cepat, penuh tekad, dan terkadang terburu-buru. Setiap kali ia melihat ke langit, terasa semakin sulit untuk mengingat alasan mengapa ia begitu gigih bertahan. Pikirannya melayang ke rumah, ke wajah Adella yang semakin memucat dan anak-anak yang masih membutuhkan banyak hal.

Waktu berlalu, dan akhirnya, sore pun tiba. Tetapi hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Pekerjaan yang seharusnya sudah hampir selesai ternyata masih jauh dari kata selesai. Para pekerja mulai mengeluh, terutama Kemas yang semakin tidak sabar. Beberapa orang mulai berhenti dan menyalahkan mandor atas keterlambatan. Rinaldo tidak bisa ikut terlibat dalam perdebatan itu. Sebagai pekerja biasa, ia tahu tempatnya.

Saat jam kerja hampir berakhir, Rinaldo merasa tubuhnya benar-benar kelelahan. Tak hanya fisiknya yang tergerus, tetapi juga mentalnya. Semua tekanan itu mulai menghimpit, memaksa dirinya untuk bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Sesaat ia berpikir untuk menyerah, untuk berhenti, tetapi begitu melihat wajah Kemas dan rekan-rekannya yang masih berjuang, ia kembali menahan diri. Baginya, menyerah bukanlah pilihan.

Akhirnya, saat hari mulai gelap, pekerjaan di lokasi selesai—untuk sementara. Rinaldo mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan berjalan pulang. Namun, kali ini langkahnya lebih berat. Ketegangan yang terakumulasi sepanjang hari terasa menghimpit setiap langkahnya. Dalam perjalanan pulang, langit yang kelabu seolah menyambutnya kembali, memberi ruang bagi setiap pikiran yang tak bisa ia keluarkan.

Sesampainya di rumah, anak-anak sudah tidur, dan Adella terlihat lebih lemah dari sebelumnya. Ia terbaring dengan mata tertutup, seolah mencoba menahan semua rasa sakit yang ia rasakan. Rinaldo duduk di sampingnya, menatap istrinya yang begitu rapuh. Ia ingin berbicara, tetapi kata-kata terasa tak cukup. Apa yang bisa ia katakan untuk meyakinkan Adella bahwa semuanya akan baik-baik saja?

“Aku pulang, De,” bisiknya lembut, meraih tangan Adella yang terbaring di sampingnya. “Aku akan berusaha, meskipun semuanya terasa sulit.”

Adella membuka matanya perlahan, senyumnya tetap ada meskipun teramat lemah. “Aku tahu kamu akan berusaha. Kamu selalu berusaha, Rinaldo.”

Rinaldo hanya bisa menunduk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Dalam diam, ia merasakan sebuah ketegangan yang luar biasa—bukan hanya pada tubuhnya, tetapi pada hatinya yang semakin tertekan. Ia tahu, meskipun apapun yang terjadi, ia harus terus bertahan. Untuk Adella, untuk anak-anaknya, dan untuk dirinya sendiri.

Dan di luar sana, malam semakin larut, namun beban yang ada di pundaknya tak kunjung hilang.

 

Harapan yang Terpendam

Pagi itu, Rinaldo kembali bangun sebelum fajar menyingsing, namun kali ini, perasaan lelahnya lebih dalam dari sebelumnya. Tubuhnya sudah terlalu lelah, namun pikirannya tak berhenti berputar. Beberapa hari terakhir, kondisi rumah semakin memprihatinkan. Uang yang semakin menipis, cicilan yang terus menanti, dan ketegangan yang meresap dalam setiap percakapan dengan Adella, membuat semuanya terasa semakin berat. Namun, Rinaldo tahu, ia tak bisa berhenti.

Adella masih terbaring di ranjang, wajahnya semakin pucat. Rinaldo mendekat, merapikan selimutnya yang mulai kusut. “Aku pergi dulu,” bisiknya pelan, mencoba agar suaranya tidak mengguncang kedamaian di dalam kamar itu.

Adella membuka matanya, sedikit memicingkan mata karena cahaya pagi yang menyentuh wajahnya. “Jaga diri kamu baik-baik,” kata Adella dengan suara serak, mencoba tersenyum meskipun jelas raut wajahnya dipenuhi rasa khawatir.

Rinaldo mengangguk, meskipun dalam hati ia tahu bahwa ini bukan lagi tentang dirinya. Ini tentang mereka. Tentang keluarga yang harus ia perjuangkan meskipun seluruh dunia terasa seolah menentangnya.

Langkah kaki Rinaldo terasa semakin berat saat ia keluar dari rumah. Udara pagi yang dingin hanya menambah rasa tak nyaman di hatinya. Setiap sudut kota yang dilaluinya seakan mengingatkannya pada kenyataan pahit yang harus dihadapi. Tetapi Rinaldo tahu, tidak ada pilihan lain. Setiap pagi adalah ujian, dan ia tak bisa lari dari itu.

Tiba di tempat kerja, suasana lebih tegang daripada sebelumnya. Para pekerja tampak kelelahan, wajah mereka lebih suram dari hari-hari sebelumnya. Ada yang lebih banyak diam, ada pula yang terlihat semakin cemas dengan proyek yang tak kunjung selesai. Mandor berdiri di tengah-tengah lapangan, wajahnya tampak lelah, namun tetap berusaha menunjukkan ketegasan.

“Rinaldo!” panggil mandor dari kejauhan, menyuruhnya mendekat. “Ada masalah baru. Gaji bulan ini mungkin akan ditunda lagi.”

Rinaldo menahan napas, mendengar kata-kata itu terasa seperti tamparan. Dia mencoba menahan amarah yang mulai mendidih di dada. Sudah terlalu banyak janji kosong yang ia dengar, janji dari orang-orang yang seharusnya membayar mereka, namun malah membawa masalah baru.

“Jadi gimana?” tanya Rinaldo dengan suara pelan, namun jelas terdengar kekecewaan yang mendalam. “Kita kerja lebih keras, dan mereka pikir kita tidak butuh gaji?”

Mandor menggelengkan kepala. “Aku tahu ini nggak adil. Tapi mereka bilang, proyek kita masih di bawah anggaran. Kalau gaji diturunin lagi, ya… kita harus kerja lebih banyak.”

Rinaldo menarik napas panjang, memaksakan diri untuk tetap tenang. Setiap detik yang berlalu hanya menambah rasa frustrasi di dalam dirinya. Ia menatap rekan-rekannya yang sedang bekerja keras, banyak di antaranya sudah terlihat kehilangan semangat. Semua itu terasa tak adil.

“Tapi kita sudah terlalu banyak bekerja untuk ini!” kata Kemas, salah satu rekan kerja Rinaldo, dengan nada frustrasi yang tak bisa disembunyikan. “Kita sudah memberi semuanya, dan ini yang kita dapatkan?”

Rinaldo menatap Kemas, merasa sakit hati melihat pria itu begitu terpuruk. Tapi, Rinaldo tahu, jika ia ikut terpuruk, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membalik keadaan. Ia harus tetap berjalan, untuk dirinya sendiri dan untuk keluarganya.

“Jangan bicarakan itu sekarang. Kita masih punya pekerjaan yang harus selesai,” jawab Rinaldo sambil berusaha menahan perasaan kecewanya. “Nanti, setelah selesai, baru kita cari solusi. Jangan biarkan masalah ini menghalangi pekerjaan kita.”

Kemas hanya mengangguk, meski jelas ia merasa putus asa. Mereka semua bekerja dalam diam, tangan-tangan kasar itu terus bergerak, namun jiwa mereka sudah lelah, sudah hampir habis. Namun, Rinaldo tahu, mereka masih punya satu hal yang bisa diandalkan—harapan. Bahkan jika harapan itu terasa semakin kabur, mereka tetap bertahan.

Waktu berlalu begitu lambat. Setiap gerakan terasa berat, setiap detik terasa semakin memekakkan telinga. Rinaldo merasakan kepenatan yang luar biasa di setiap sendi tubuhnya. Tapi ia berusaha menahan diri, meskipun beban yang ia pikul terasa semakin berat. Pikirannya terus berputar, terbayang wajah Adella yang lemah, dan anak-anak yang tak tahu apa-apa tentang kesulitan yang mereka alami.

Malam pun datang, dan proyek itu belum juga selesai. Waktu yang ditentukan telah habis, namun pekerjaan masih banyak yang tertunda. Mandor mengumpulkan semua pekerja, wajahnya semakin suram.

“Kalian semua tahu kondisi kita. Jika proyek ini tak selesai dalam dua hari ke depan, kita semua harus siap menerima konsekuensinya,” kata mandor dengan suara pelan, seperti sebuah ancaman yang tak bisa dihindari.

Rinaldo hanya bisa terdiam. Dua hari, itu berarti ia harus bekerja tanpa henti, bahkan jika tubuhnya sudah hampir tidak mampu lagi untuk bergerak. Ia tahu, kalau proyek ini gagal, semuanya akan semakin buruk. Gaji, cicilan rumah, bahkan kehidupan keluarga yang sudah sangat rapuh.

Di perjalanan pulang, langkahnya terasa semakin berat. Setiap detik berjalan terasa semakin sulit. Di luar, hujan turun dengan deras, seolah ikut merasakan penderitaan yang ia alami. Langit gelap, tetapi di dalam hatinya, masih ada secercah harapan yang tak bisa padam.

Sesampainya di rumah, Adella sedang duduk di meja makan, menatap selembar surat yang baru datang. Rinaldo tahu, itu pasti tagihan yang semakin menumpuk. Adella menoleh, melihat suaminya yang baru pulang dengan wajah lelah dan cemas.

“Ada apa?” tanya Rinaldo, mencoba tersenyum meskipun hatinya sudah hampir terkoyak.

Adella meletakkan surat itu di meja. “Ini… surat peringatan dari bank. Mereka bilang, kita harus bayar cicilan bulan ini atau rumah kita akan disita.”

Rinaldo menatap surat itu dengan perasaan hampa. Semua yang ia perjuangkan, semua yang ia lakukan, ternyata masih belum cukup. Ia merasa seolah dunia kembali menghimpitnya. Namun, di dalam dadanya, masih ada sebuah dorongan yang tak bisa ia abaikan. Untuk Adella. Untuk anak-anak mereka.

Dia tidak bisa berhenti. Tidak sekarang.

 

Sebuah Keputusan yang Tak Terhindarkan

Hujan terus mengguyur malam itu, namun di dalam rumah yang mulai terasa sepi, Rinaldo berdiri memandang jendela, matanya kosong menatap butir-butir air yang jatuh ke tanah. Ia tidak bisa tidur, pikirannya berputar lebih cepat daripada hujan yang turun. Setiap suara detak jam terasa semakin berat, mengingatkannya pada setiap detik yang semakin berharga, namun terasa semakin pendek.

Adella sudah tidur lebih awal, tubuhnya yang kurus tampak begitu rapuh di balik selimut. Seringkali Rinaldo merasa tak bisa melindungi wanita yang begitu ia cintai, dan anak-anak mereka yang masih harus dibesarkan. Semakin lama, semakin ia merasa tidak cukup. Tidak cukup kuat, tidak cukup kaya, tidak cukup cerdas untuk bisa memberikan apa yang mereka butuhkan.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Rinaldo memutuskan untuk pergi. Tak ada lagi waktu untuk menunda keputusan besar yang sudah lama dipikirkannya. Ia meraih jaketnya, memakai sepatu boots yang sudah usang, dan melangkah keluar, meninggalkan rumah dalam keheningan malam.

Di luar, hujan semakin deras. Langit gelap, seakan mencerminkan suasana hatinya. Namun, langkahnya mantap, tak ada ragu sedikit pun. Ia menuju ke tempat yang sudah beberapa kali ia pikirkan, tempat yang ia harap bisa memberi solusi.

Di ujung kota, ada sebuah gedung besar dengan lampu neon yang menyala terang. Gedung itu milik perusahaan besar yang memiliki banyak kontrak dengan proyek-proyek besar. Rinaldo sudah beberapa kali mendengar kabar tentang mereka, dan meskipun ia tahu itu berisiko, ia juga tahu bahwa ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluarganya.

Dengan langkah cepat, ia masuk ke dalam gedung. Suasana di dalam gedung itu terasa kaku dan penuh dengan aroma keangkuhan. Semua orang mengenakan pakaian rapi dan berbicara dengan suara pelan, seolah dunia luar tidak ada di sana. Rinaldo mendekati meja resepsionis, menyebutkan nama orang yang ia cari. Tak lama, seorang pria berbaju jas muncul di depannya.

“Rinaldo, bukan?” pria itu bertanya dengan nada datar.

Rinaldo mengangguk. “Saya ingin berbicara tentang pekerjaan. Ada sesuatu yang perlu saya bicarakan.”

Pria itu mengangguk, mengisyaratkan agar Rinaldo mengikutinya. Mereka berjalan menuju ruang kantor yang terletak di lantai atas. Rinaldo bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, namun ia menahan diri. Ini adalah keputusan terbesar dalam hidupnya, namun ia harus melakukannya. Ia tidak bisa terus terjebak dalam lingkaran ini, tidak bisa membiarkan keluarganya semakin terpuruk.

Begitu berada di dalam ruang kantor yang luas, pria itu mengundang Rinaldo untuk duduk di kursi di hadapannya. “Saya dengar Anda ingin bergabung dengan kami. Anda tahu, kami tidak menerima orang sembarangan.”

Rinaldo mengangkat wajahnya, matanya tajam menatap pria itu. “Saya tahu. Tapi saya butuh pekerjaan ini. Keluarga saya membutuhkan saya.”

Pria itu tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat, hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kami tidak hanya memberi pekerjaan. Kami memberi kesempatan, tapi kesempatan ini datang dengan harga.”

“Harga?” Rinaldo bertanya dengan heran. “Apa maksud Anda?”

“Menjadi bagian dari perusahaan kami berarti Anda harus berkompromi dengan banyak hal,” jawab pria itu pelan. “Bukan hanya pekerjaan, tetapi juga moral dan prinsip. Ada hal-hal yang harus Anda korbankan.”

Rinaldo merasakan ketegangan di dadanya. “Saya hanya butuh uang untuk keluarga saya. Saya tak peduli apa yang harus saya lakukan, selama itu untuk mereka.”

Pria itu tersenyum tipis. “Kalau begitu, Anda bisa mulai besok. Tapi ingat, ini bukan hanya soal uang. Ini tentang apa yang Anda pilih untuk lepaskan.”

Rinaldo mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. Semua prinsip yang selama ini ia pegang erat, perlahan mulai terkikis. Namun, ada satu hal yang lebih penting dari apapun—keluarganya. Ia harus bertahan. Ia harus membuat keputusan ini untuk mereka.

Dengan langkah yang sedikit lebih mantap, Rinaldo keluar dari gedung itu. Malam sudah semakin larut, dan hujan mulai reda. Tetapi perasaan yang menggerogoti hatinya masih sama—rasa bersalah yang datang begitu mendalam. Ia merasa seperti telah mengorbankan segala sesuatu yang ia percayai demi sebuah harapan yang tak pasti.

Sesampainya di rumah, Adella terbangun dari tidurnya. Melihat wajah suaminya yang tampak murung, ia mendekat dengan khawatir. “Kamu… ada apa? Kamu terlihat berbeda.”

Rinaldo menghela napas panjang. “Aku mendapatkan pekerjaan,” jawabnya, suara terdengar datar. “Tapi aku harus berkompromi. Aku harus memilih jalan yang lebih mudah, jalan yang aku benci.”

Adella terdiam, matanya memancarkan kebingungannya. “Kamu yakin ini yang terbaik?”

Rinaldo menatapnya, matanya berkilat, namun ada rasa tak pasti di dalamnya. “Aku tak tahu, Della. Aku hanya ingin kita bertahan. Untuk kita semua.”

Adella menggenggam tangan Rinaldo erat. “Aku hanya ingin kamu bahagia, Rinaldo. Apa pun keputusanmu, aku akan mendukungmu.”

Namun, meskipun Adella berkata demikian, Rinaldo tahu, ada bagian dalam dirinya yang hancur. Keputusan yang ia buat malam ini akan mengubah segala sesuatu—baik untuk keluarganya, maupun untuk dirinya sendiri. Apakah ini akan membawa kebahagiaan, ataukah hanya lebih banyak penyesalan? Hanya waktu yang akan memberi jawabannya.

 

Akhirnya, Rinaldo cuma bisa berharap, kalau setiap langkah yang dia ambil, meskipun terasa berat, bisa membawa sesuatu yang lebih baik buat keluarganya. Karena, pada akhirnya, hidup itu tentang pilihan—dan meskipun kadang pilihan itu nggak pernah gampang, yang penting kita masih punya harapan.

Tapi, entahlah, siapa yang bisa benar-benar tahu apa yang terbaik untuk kita? Yang bisa kita lakukan cuma terus berjuang, kan?

Leave a Reply