Jejak Darah di Gudang: Cerpen Aksi Kekerasan yang Menghantui

Posted on

Kadang, hidup itu kayak film aksi yang nggak ada habisnya. Penuh pertarungan, pengkhianatan, dan jejak darah yang nggak bisa dilupain. Kalau kamu suka cerita yang penuh tensi, kekerasan, dan nggak ada yang tahu siapa yang bakal menang, kamu bakal suka banget sama cerita ini.

Ini tentang jalan gelap yang diambil seseorang, dan gimana dia harus bertahan meskipun dunia udah berusaha ngalahin dia. Jadi, siap-siap aja, karena ini bukan cerita yang bakal bikin kamu tidur nyenyak.

 

Jejak Darah di Gudang

Telepon yang Membawa Bahaya

Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Langit gelap, hanya diterangi oleh cahaya temaram dari lampu jalan yang nyaris tak mampu menembus kabut tebal. Vito berdiri di balik jendela kantor kecilnya, memandangi kota yang sibuk di bawah sana. Suasana yang tenang ini kontras dengan gejolak di dalam dirinya. Ini bukan pertama kalinya dia berada di ujung ketegangan seperti ini, namun entah kenapa, malam ini sepertinya lebih berat.

Suara telepon yang berdering di meja menyadarkannya dari lamunan. Vito menatap layar ponselnya, melihat nama yang muncul. Kayla. Perempuan itu selalu membuatnya merasa ada sesuatu yang lebih besar yang harus diperjuangkan. Tapi, juga ada sesuatu yang menakutkan tentangnya, yang selalu menarik Vito untuk terjun lebih dalam ke dunia yang kelam. Dunia yang tak bisa lepas dari darah, kejahatan, dan kekerasan.

Dengan gelisah, Vito mengangkat telepon, mendekatkan ponsel ke telinga.

“Vito,” suara Kayla terdengar tenang, bahkan lebih dingin dari biasanya. “Aku tahu ini akan berisiko, tapi kamu harus datang ke sini. Sekarang.”

Vito menarik napas panjang. “Kau tahu aku tidak suka hal seperti ini, Kayla. Aku bukan orang yang suka mencari masalah.”

“Bukan masalah biasa, Vito,” jawab Kayla dengan nada lebih rendah, hampir berbisik. “Ini akan membuat koranmu terkenal. Ini akan jadi berita besar. Tapi kamu harus datang sekarang juga.”

Vito mengerutkan kening. “Berita besar? Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya terjadi di sana?”

“Ada yang ingin membungkammu. Mereka tidak ingin kebenaran ini sampai ke publik. Dan kamu… kamu adalah orang yang bisa memberikannya.”

Setiap kata Kayla terasa penuh tekanan. Ada ketegangan yang terasa begitu nyata, menggantung di udara. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Kayla menambahkan, “Aku di tempat lama. Di gudang dekat dermaga. Jangan datang terlambat, Vito. Mereka akan tahu.”

“Kayla,” suara Vito berubah tegas, “ini gila. Kalau kau berada dalam bahaya, kenapa tidak melapor ke polisi?”

“Tidak ada yang bisa melaporkan ini, Vito. Aku sudah memilih jalan ini,” jawabnya pelan, lalu terdengar suara seperti ada seseorang yang mendekat. “Aku harus pergi. Jangan lupa—gudang dekat dermaga. Kalau kamu ingin tahu kebenarannya, kamu harus datang.”

Telepon itu terputus, meninggalkan kesunyian yang membekukan. Vito menatap layar ponselnya yang gelap, mengingat setiap kata Kayla dengan jelas. Sering kali, dia merasa seperti ada semacam benang merah yang tak bisa diputuskan antara mereka berdua. Kayla adalah informan, tapi lebih dari itu, dia adalah seseorang yang membuat Vito terjebak dalam dunia yang gelap dan penuh bahaya ini.

Vito menghela napas. Dia tahu dia tidak bisa mengabaikan hal ini. Keinginan untuk mengungkapkan kebenaran, meski dengan risiko yang mengintai, selalu lebih kuat daripada rasa takut.

Dengan langkah cepat, dia mengambil jaketnya dan keluar dari kantor. Malam ini, tak ada lagi ruang untuk ragu.

Setibanya di gudang yang ditunjuk Kayla, suasana semakin mencekam. Gudang itu terletak di area yang jarang dilewati orang. Seperti tempat yang sengaja disembunyikan dari dunia luar. Vito berjalan perlahan, merasakan setiap detik yang berlalu semakin berat. Langkah kakinya terdengar nyaring, memecah keheningan yang terlalu tebal.

Pintu gudang itu terbuka sedikit, seakan memberi isyarat agar Vito masuk. Di dalam, hanya ada satu lampu merah yang berpendar di sudut ruangan, menerangi sebagian kecil dari ruangan yang luas dan gelap. Vito melangkah lebih dekat, matanya mencari-cari keberadaan Kayla.

Tiba-tiba, dia mendengar suara langkah kaki dari belakangnya. Seorang pria besar, mengenakan jaket kulit hitam, muncul dari bayang-bayang. Wajahnya keras, penuh dengan bekas luka yang tampaknya sudah lama mengeras.

“Vito,” suara pria itu dalam, penuh ancaman. “Kau datang juga, ya. Aku sudah tahu kamu akan datang.”

Vito menatap pria itu tanpa ekspresi. “Siapa kamu?”

Pria itu tertawa pelan, sebuah tawa yang menyiratkan kepercayaan diri yang berlebihan. “Nama saya Eris,” jawabnya, masih tersenyum dingin. “Aku yang akan memastikan kamu tidak akan bisa menulis apa pun lagi. Tidak ada yang tahu tentang tempat ini, Vito. Tapi kamu sudah datang, dan itu artinya kamu sudah terjebak.”

Vito tidak menjawab, matanya terus mengawasi gerakan Eris. Dalam sekejap, Eris melangkah maju, mendekatkan dirinya dengan Vito yang mulai bersiap-siap. Pipa besi besar di tangan Eris berkilauan, seakan menantang Vito untuk bergerak.

“Bagaimana rasanya tahu kebenaran, Vito?” Eris bertanya dengan nada mengejek. “Apakah kamu benar-benar berpikir kebenaran itu akan membebaskanmu?”

Vito tidak memberikan jawaban, matanya tetap tajam memerhatikan setiap gerakan Eris. Dia tahu ini adalah ujian. Jika dia bertahan, dunia akan tahu apa yang terjadi di balik bayang-bayang kota ini.

Tiba-tiba, Eris melancarkan serangan pertama. Pipa besinya bergerak cepat, melesat ke arah tubuh Vito dengan kecepatan yang tak terduga. Vito melompat ke samping, menghindar dari pukulan pertama itu, dan segera berbalik untuk menyerang balik. Namun, Eris lebih cepat, mendekatkan dirinya dan mencoba menendang Vito.

Vito terhantam, namun dia tidak jatuh. Dengan cepat, dia bangkit, mengambil pisau kecil yang selalu ia bawa dan siap melawan.

“Ini belum selesai,” gumam Vito di dalam hati, mengetahui betul bahwa malam ini adalah awal dari pertarungan yang tidak bisa dia hindari.

 

Di Balik Bayang-Bayang

Pukulan kedua datang lebih cepat, kali ini Eris mencoba memukul Vito dengan pipa besi yang meluncur cepat ke arah lehernya. Namun, Vito sudah lebih siap. Dengan gesit, dia mengangkat tangan kanannya, menangkap ujung pipa itu dan memutarnya ke arah belakang. Eris mencoba menahan, tetapi Vito cukup kuat untuk memaksanya mundur beberapa langkah.

Pesta perkelahian baru saja dimulai, dan Vito tahu dia tak punya banyak waktu. Kayla berada di tempat yang tak jelas, mungkin sudah dalam bahaya, atau lebih buruk lagi, sudah ada sesuatu yang direncanakan untuknya. Tapi dia tak bisa membiarkan dirinya terjebak dalam permainan ini lebih lama.

Eris memandangnya dengan tatapan tajam. “Kau tidak akan bisa keluar dari sini, Vito. Ada lebih banyak orang yang menunggumu,” ucapnya dengan senyum dingin yang memperlihatkan deretan gigi kuning.

Vito tidak peduli. Wajahnya tetap datar, meskipun tubuhnya mulai terasa lelah karena serangan terus-menerus. Dia menghindari pukulan lagi, merunduk dengan gesit, kemudian meluncurkan tendangan keras yang mengenai perut Eris. Eris tersungkur sejenak, namun segera bangkit, wajahnya kini dipenuhi kemarahan.

“Berhenti bermain-main, Vito,” geramnya. “Ini bukan soal adu kekuatan. Ini soal siapa yang mengendalikan kota ini.”

Vito mendekatkan wajahnya ke wajah Eris, begitu dekat sehingga bisa merasakan aroma alkohol yang keluar dari mulutnya. “Dan kamu pikir itu kamu?” balas Vito dengan suara rendah dan penuh tantangan.

Tanpa memberikan kesempatan untuk balasan, Vito melepaskan pukulan keras dengan tinjunya, yang akhirnya mengenai dagu Eris. Sekilas, Eris terlihat terhuyung, tetapi dia cepat mengoreksi posisinya dan menyerang balik dengan cara yang lebih kejam.

“Jangan kira kamu tahu siapa aku,” Eris berkata, meremas pipa besinya lebih erat lagi. “Aku bukan orang yang bisa dihentikan hanya dengan sedikit kekerasan. Jika kamu ingin tahu kenapa aku tidak takut denganmu, kamu harus mengerti satu hal.”

Vito tetap diam, menunggu.

Eris tiba-tiba melangkah mundur, memberi sedikit ruang di antara mereka. “Aku ini bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang tidak bisa dihancurkan hanya dengan seorang wartawan jalanan seperti kamu. Kau pikir dengan menulis di koran, dunia akan berubah?”

Vito menatapnya dengan penuh waspada. “Aku tak peduli seberapa besar atau kuat kau,” jawabnya tegas. “Kebenaran itu kuat, lebih kuat dari sekadar ancaman. Kalau pun kau punya kekuasaan, itu tak akan selamanya ada.”

“Jangan terlalu yakin,” kata Eris dengan tawa mengejek, dan dalam sekejap, dia menggerakkan pipa ke arah Vito lagi. Kali ini, pukulan itu lebih keras, lebih terarah.

Vito mencoba menghindar, tetapi gerakan Eris begitu cepat. Pipa itu melayang tepat di sebelah tubuhnya, menggores sisi bajunya. Rasa sakit seketika menjalar ke tubuhnya, tetapi dia tidak punya waktu untuk terhuyung. Dengan refleks tajam, Vito meraih sebuah benda berat di dekatnya—sebuah tongkat besi—dan memukul Eris dari samping.

Eris terhuyung mundur, sesaat kehilangan keseimbangan. Vito tidak membuang kesempatan, langsung melangkah maju, memukul sekali lagi ke tubuh lawannya. Namun, kali ini Eris segera memblokirnya dengan pipa besinya, menciptakan benturan keras yang menggema di seluruh gudang.

Pesta ini sudah terlalu lama berlangsung, dan Vito tahu dia harus segera menyelesaikannya. Namun, tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari pintu belakang gudang. Tidak hanya satu, melainkan beberapa orang. Vito menoleh dengan cepat, merasa ada ancaman lebih besar yang datang.

“Ini tidak selesai di sini, Vito,” Eris berkata dengan tatapan penuh kebencian. “Kau pikir kau bisa keluar begitu saja setelah ini? Kebenaran yang kamu cari sudah jauh lebih dalam dari yang kau bayangkan. Mereka yang menunggumu di luar lebih kuat dari sekedar aku.”

Vito tidak punya waktu untuk bertanya lebih lanjut. Sesaat, pintu belakang gudang terbuka lebar, dan dari kegelapan muncul tiga pria besar, semua mengenakan masker hitam. Vito bisa merasakan ketegangan meningkat dalam sekejap. Mereka jelas bukan orang sembarangan.

Dengan cepat, Vito menghitung kemungkinan yang ada. Melawan satu orang seperti Eris sudah cukup berat, apalagi dengan tambahan tiga lawan. Tapi dia bukan orang yang mudah menyerah. Setiap detik yang berlalu mengingatkannya pada Kayla, dan pada taruhan yang lebih besar dari sekadar pertarungan fisik.

Eris tersenyum puas melihat Vito yang mulai mundur perlahan, matanya tetap fokus pada gerakan orang-orang di belakangnya. “Sudah terlambat, Vito. Mereka datang untukmu. Jangan harap bisa lari sekarang.”

Vito tidak menjawab. Dia hanya menatap ketiga pria itu dengan tajam, bersiap untuk apa pun yang akan datang. Inilah permainan yang lebih besar dari yang dia duga, dan dia tahu satu hal—hari ini, dia tidak akan menyerah begitu saja.

Tantangan baru sudah dimulai.

 

Jejak Darah di Jalan yang Terlupakan

Vito berdiri tegak, jantungnya berdebar keras. Tiga pria besar yang baru muncul dari kegelapan pintu belakang itu perlahan mendekat, masing-masing membawa senjata tajam yang berkilauan dalam cahaya redup gudang. Ada yang memegang pisau panjang, ada yang membawa sebuah palu besi besar, dan satu lagi hanya mengandalkan tangan kosong, meskipun tubuhnya tampak begitu besar dan kekar. Wajah mereka tersembunyi di balik masker hitam, tapi dari gerakan mereka, Vito bisa merasakan bahwa mereka sudah berpengalaman. Ini bukan sekedar perkelahian jalanan—ini adalah perang.

Eris, yang sebelumnya tampak terdesak, kini berdiri dengan senyum puas di bibirnya. “Kau lihat kan?” katanya dengan suara penuh kemenangan. “Mereka lebih dari sekadar kaki tanganku. Mereka akan membawa kamu ke jalan yang sangat berbeda dari yang kau kenal.”

Vito tidak mengalihkan pandangannya dari ketiga pria itu, meskipun rasa sakit mulai menjalar dari luka-luka kecil yang ia terima. Wajahnya tetap datar, tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun. “Jangan terlalu yakin,” gumamnya pelan. “Ini bukan akhir.”

Pahlawan dari bayangan itu, yang memegang palu besi, mengangkat senjatanya dan melangkah maju. “Kau tahu apa yang terjadi jika kau melawan kami?” suaranya rendah, namun penuh ancaman. “Kami tidak cuma main-main.”

Vito tidak menunggu lebih lama. Dengan gerakan cepat, dia menyundul tubuh pria itu dengan keras, membuatnya terhuyung mundur beberapa langkah. Tubuhnya bergerak lincah, lebih cepat dari yang mereka duga. Eris mengamati dengan sorot mata yang tak bisa dijelaskan. Seolah-olah dia sudah lama mengetahui siapa sebenarnya Vito, dan dia tahu pertarungan ini jauh dari selesai.

Laki-laki besar dengan pisau panjang itu, yang mengingatkan Vito pada serigala kelaparan, langsung meluncurkan serangan pertama. Pisau itu meluncur cepat, namun Vito berhasil menangkis dengan tongkat besi yang tadi dia ambil. Ketika pisau itu nyaris menembus kulitnya, Vito menggeser tongkat itu, membuat senjata lawan itu terpelanting. Tapi itu belum berakhir. Dengan cepat, pisau lainnya menyasar perutnya, namun Vito kembali menghindar, meskipun napasnya mulai sesak.

Lawan satu demi satu menyerang, tapi Vito tidak takut. Setiap pukulan dan serangan yang datang justru membuat adrenalin mengalir lebih kencang dalam dirinya. Serangan demi serangan, dia menangkis dan menyerang balik. Ada saat-saat di mana tubuhnya terasa lelah, tapi keteguhan hatinya tak pernah goyah.

Dan saat pria dengan tangan kosong itu bergerak maju, Vito merasakannya—sebuah ketegangan lebih besar lagi. Ini bukan sekedar pertarungan fisik. Ini adalah ujian untuk melihat seberapa jauh Vito sanggup bertahan. Tangan kosong itu memegang dirinya dengan cengkraman yang kuat, mencoba untuk menghancurkan tulang-tulangnya. Vito memutar tubuhnya, menggunakan berat tubuhnya untuk membalikkan serangan itu. Namun, sebelum dia bisa mendapatkan kendali, pria itu sudah mendorongnya kuat, membuat Vito jatuh ke tanah berdebu.

Eris menatap ke arah Vito yang terjatuh, wajahnya tanpa ekspresi. “Kau bisa bertarung. Tapi ini bukan hanya tentang bertarung, Vito. Ini soal siapa yang lebih pintar.” Eris melangkah mendekat, kini suaranya lebih serius, meskipun senyumannya tetap di wajahnya. “Dan aku rasa kau belum siap dengan kenyataan yang ada.”

Dengan kekuatan yang tersisa, Vito menarik diri dari cengkeraman pria besar itu. Tubuhnya terasa berat, namun matanya tetap penuh tekad. Saat dia bangkit, dua pria lainnya bergerak lebih cepat, dan kali ini, Vito tahu bahwa dia tak akan bisa bertahan lebih lama. Mereka sudah menguasai posisi, mengelilinginya. Inilah saatnya untuk bertindak.

Vito menarik napas dalam-dalam. Matanya melirik sekeliling, mencari sesuatu yang bisa digunakan. Saat itulah pandangannya tertuju pada sebuah kotak besar yang tergeletak di sudut gudang. Tanpa berpikir panjang, Vito berlari ke arah kotak tersebut, berusaha menjauhkan dirinya dari serangan-serangan yang datang. Dengan gerakan cepat, dia membuka kotak itu dan menarik keluar benda yang ia butuhkan: sebuah senapan kecil yang tergeletak di dalam kotak logam, bagian dari persenjataan yang diselundupkan ke dalam gudang ini.

Tanpa ragu, Vito mengarahkan senapan itu ke salah satu pria yang paling mendekat, pria yang membawa palu besi. Gerakannya begitu cepat dan tepat, peluru menghantam dada pria itu, membuatnya terjerembab ke lantai dalam sekejap.

Eris terlihat terkejut, dan ketiga pria lainnya berhenti sejenak, terperangah. Namun, ketegangan tak mereda. Satu pria lain yang memegang pisau menggerakkan senjatanya, mencoba menerjang ke arah Vito, sementara yang satunya lagi mencoba mendekat dengan tangan kosong. Mereka tahu, jika mereka tidak bertindak sekarang, mereka bisa kalah.

Vito tidak ragu. Dengan sisa kekuatan yang ada, dia menembak lagi, kali ini mengenai tangan pria yang memegang pisau, membuatnya terjatuh kesakitan. Eris mengamuk, tetapi Vito sudah siap.

“Kau bilang aku tidak siap,” katanya pelan, suara datar yang penuh ancaman. “Tapi yang kau lupa adalah, aku tahu cara keluar dari tempat seperti ini.”

Dan Vito tahu satu hal pasti—ini baru permulaan.

 

Jalan yang Tidak Kembali

Di tengah kekacauan yang melanda gudang itu, Vito berdiri tegak, napasnya berat. Tubuhnya masih terasa kaku, punggungnya perih akibat benturan dengan lantai beton, namun dia tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Sekilas, dia melihat ketiga pria itu yang terjatuh, satu dengan tangan tergores parah, yang lain terkapar tak bergerak. Sementara pria besar yang memegang palu besi masih tergeletak di lantai, darahnya mulai menggenang di sekitarnya.

Eris berdiri lebih jauh, matanya menyipit dengan penuh kebencian. Wajahnya yang biasanya tenang kini menunjukkan kekesalan yang mendalam. Terkadang, rasa marah itu justru lebih menakutkan dari segalanya. Dan Vito tahu, pertempuran ini belum benar-benar selesai.

“Aku tak menyangka kamu akan bertahan sampai tahap ini,” kata Eris dengan suara rendah, namun penuh kebencian. “Tapi jangan kira ini berakhir hanya karena kamu berhasil menjatuhkan beberapa orang.”

Vito mengalihkan pandangannya ke arah Eris, menatapnya dengan mata yang tajam. “Kalau kamu berpikir aku akan menyerah begitu saja, kamu salah.” Suara Vito penuh dengan keteguhan, tanpa sedikit pun ragu.

Eris menyeringai. “Kamu tidak tahu apa yang kau hadapi. Ini bukan cuma permainan kekuatan, Vito. Kau datang ke tempat yang sudah dipenuhi oleh rahasia dan kebohongan. Jika kamu terus berjalan di jalan ini, kau akan menemui ujung yang gelap. Dan aku jamin, kamu tak akan bisa keluar dari sana.”

Vito mengabaikan kata-kata Eris. Dia sudah cukup lama mengenal dunia yang penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan. Dunia yang ingin dihancurkan dengan cara apapun, meskipun itu berarti bertarung hingga titik darah penghabisan.

Dia melangkah maju, melemparkan senapan yang kini terasa berat di tangannya. Dia tidak ingin lagi bergantung pada senjata. Tidak saat ini. Ini adalah saat terakhir untuknya, untuk membuktikan bahwa apapun yang ada di depannya, dia bisa menghadapi dan menghancurkannya.

Eris tidak bergerak. Dia tahu betul bahwa meskipun Vito terlihat lelah, dia masih berbahaya. Eris menghela napas, langkahnya berat. “Kau terlalu keras kepala, Vito. Dan itu yang akan membawamu jatuh.”

Dia melangkah mundur, menyiapkan diri untuk langkah berikutnya. Namun, Vito mengawasi dengan ketat. Dia tahu, dengan atau tanpa Eris, masih ada banyak pihak yang menunggu untuk membungkamnya. Tapi saat itu, dia tidak bisa kembali mundur. Setiap langkahnya sudah terlalu jauh untuk diubah.

Vito mendekat, kali ini tanpa senjata. Hanya dirinya dan tangan kosong. Eris, dengan penuh keyakinan, mencoba menghentikan langkahnya dengan serangan mendalam—tendangan keras yang diluncurkannya ke arah dada Vito. Namun Vito menghindar, melompat ke samping dengan refleks yang masih tajam, dan dengan gerakan cepat, dia memukul wajah Eris.

Seketika, tubuh Eris terhuyung mundur, matanya merah karena darah yang mulai menetes. Wajahnya berubah menjadi masam. “Kau pikir kamu menang, Vito?” ujarnya penuh kebencian. “Kemenanganmu hari ini hanya sementara. Kau telah memasuki perang yang lebih besar daripada yang kau sangka.”

Vito merasakan kekosongan itu—keheningan setelah teriakan, setelah pertempuran. Untuk pertama kalinya, dia merasakan kelegaan dalam setiap langkahnya. Eris tak lagi berdiri tegak di depannya. Wajahnya kini menunduk, terluka, mungkin lebih banyak daripada yang dia tunjukkan pada dunia. Tapi Vito tahu, pertempuran ini belum selesai. Di luar sana, masih ada bayang-bayang yang menunggu untuk menghancurkannya.

“Ini bukan soal menang atau kalah,” kata Vito, sambil menatap tubuh Eris yang masih tergeletak di lantai, darahnya bercucuran. “Ini soal siapa yang bisa bertahan. Siapa yang bisa terus hidup meskipun semuanya berusaha merobeknya.”

Eris tidak menjawab, hanya mengerang pelan karena rasa sakitnya. Namun Vito tahu, kata-katanya sudah cukup untuk menyampaikan pesan. Dia mengarahkan pandangannya pada pintu keluar, menatap jalan yang terbuka lebar. Di luar sana, Kayla menunggu, atau mungkin bukan hanya dia, tetapi segalanya yang sudah dia pertaruhkan untuk sampai ke titik ini.

Dia berbalik, tak peduli lagi dengan segala ancaman dan kebencian. Dia tahu satu hal: dunia ini memang kejam, tapi dia lebih kejam. Vito melangkah keluar dari gudang itu, meninggalkan Eris dan para pengikutnya yang sudah terjatuh.

Di luar, malam sudah mulai gelap. Dan jalan yang dia pilih—meskipun penuh darah—adalah jalan yang tidak akan dia sesali. Di dunia ini, terkadang untuk bertahan, kita harus menjadi lebih dingin dari dunia itu sendiri.

Malam itu, Vito menyadari satu hal yang tidak pernah bisa dia lupakan—bahwa dia telah meninggalkan jejak darah yang tidak bisa dihapus. Dan jalan itu tak akan pernah kembali lagi.

 

Gimana, masih berani ngambil jalan yang sama kayak Vito? Karena hidup ini emang nggak pernah mudah, dan kadang, untuk tetap berdiri, kamu harus jadi lebih keras dari dunia itu sendiri. Tapi ingat, setiap pilihan ada harga yang harus dibayar.

So, jalan mana yang kamu pilih? Jalan yang penuh darah dan pengkhianatan, atau mundur sebelum semuanya terlambat? Di dunia ini, nggak ada yang benar-benar bisa kembali setelah melangkah jauh. Vito udah buktikan itu. Sekarang, giliran kamu.

Leave a Reply