Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Kehidupan anak rantau sering kali penuh dengan tantangan, terutama bagi mereka yang jauh dari keluarga. Seperti yang dialami Azril, seorang siswa SMA yang sangat gaul dan aktif, namun harus menghadapi ujian besar dalam hidupnya: kerinduan yang mendalam terhadap orang tua dan perjuangan untuk bertahan di tanah perantauan.
Dalam cerpen ini, kita akan menyelami perjalanan emosional Azril, bagaimana dia menghadapinya, dan apa yang membuatnya tetap bertahan meskipun jarak dan waktu memisahkan. Baca selengkapnya untuk merasakan kisah penuh perjuangan, harapan, dan kekuatan hati yang tak terlihat!
Perjuangan Azril dalam Kesepian di Tanah Orang
Perpisahan yang Berat
Aku tidak pernah membayangkan perpisahan ini akan datang begitu cepat. Saat pertama kali orang tuaku menyebutkan bahwa aku harus melanjutkan sekolah di kota besar, rasanya seperti mimpi buruk yang datang tiba-tiba. Mereka bilang ini adalah kesempatan terbaik untuk masa depanku, untuk pendidikan yang lebih baik, dan untuk membuka peluang yang lebih besar. Tapi saat akhirnya aku harus benar-benar berangkat, semua kata-kata itu terasa begitu jauh dari kenyataan.
Pagi itu, aku duduk di ruang tamu, menatap koper besar yang sudah terisi pakaian dan beberapa barang penting. Kamar kecil yang selama ini kuanggap sebagai tempatku beristirahat kini terasa asing. Semua barang yang ada di sana tidak lagi memberi kenyamanan seperti dulu. Semua terasa berbeda. Aku masih bisa mendengar suara ibu yang sibuk di dapur, memasak sarapan seperti biasa, dan ayah yang sedang duduk di depan televisi, mencoba terlihat santai meskipun aku tahu, dia pasti sedang khawatir.
Ibu datang menghampiriku dengan tatapan yang tidak bisa aku baca. Wajahnya tampak lebih tua hari ini, seperti ada beban yang membuatnya lebih lelah dari biasanya. Ia duduk di sampingku, menggenggam tanganku.
“Nak, ini adalah keputusan yang terbaik untuk masa depan kamu,” katanya dengan suara yang lembut, tapi aku bisa mendengar ada getaran kesedihan di balik kata-katanya.
Aku mengangguk, meskipun di dalam hatiku ada suara yang berteriak menentang semuanya. Aku ingin tetap di sini, bersama mereka. Aku ingin tetap tinggal di rumah yang sudah menjadi bagian dari hidupku selama ini. Tapi, aku tahu aku tak punya pilihan. Semua orang berharap aku bisa berjuang, bisa mandiri, dan mencapai impian yang lebih besar.
“Azril, kamu pasti bisa. Kami bangga padamu,” lanjut ibu, sambil memelukku erat. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar. Air mata ibu selalu membuatku merasa lemah, karena aku tahu, dia berusaha keras untuk tidak menangis di depanku. Tapi aku tahu, betapa berat bagi ibu untuk melepas anaknya pergi jauh.
Ayah yang biasanya keras dan tegas, hari itu duduk di sudut ruang tamu dengan wajah yang cemas. Ia tak banyak bicara, hanya memandangi aku dan ibu. Aku tahu, hatinya juga berat, meskipun ia tak mengungkapkannya. Aku bisa melihat ketegaran ayah yang selama ini selalu menjadi pilar kekuatanku, kini sedikit goyah.
“Jaga dirimu baik-baik, Azril,” kata ayah akhirnya, dengan suara yang lebih dalam dari biasanya. “Jangan lupa pulang kalau ada waktu. Kami akan selalu mendukungmu.”
Aku hanya bisa tersenyum tipis. Kata-kata itu terdengar begitu berat. Aku tahu, ayah dan ibu menginginkan yang terbaik untukku, tapi aku juga tahu, mereka takut kehilangan aku. Aku bisa merasakan perasaan itu, bahkan jika mereka berusaha untuk tidak menunjukkannya.
Setelah mengucapkan salam perpisahan, aku melangkah keluar dari rumah, menuju taksi yang sudah menunggu. Aku menoleh ke belakang, melihat rumah yang sudah begitu akrab, yang selama ini jadi tempat aku bertumbuh. Semua kenangan, tawa, dan perjuangan keluarga ini terasa begitu jelas di benakku. Ibu berdiri di depan pintu, menatapku dengan tatapan penuh harap dan cemas. Ayah masih duduk di kursi, menatap ke arahku tanpa berkata apa-apa. Hati ini terasa begitu berat.
Di dalam taksi, aku mencoba menenangkan diriku, tapi suara ketikan ponsel dari teman-teman sekolah yang mengirim pesan untuk mengucapkan semangat, hanya semakin membuatku merasa jauh. Mereka tidak tahu betapa beratnya perasaanku saat itu. Mereka tidak tahu betapa aku ingin tetap di rumah, meskipun aku tahu ini adalah jalan yang harus kutempuh.
Aku meraih ponsel dan membalas pesan teman-teman, meskipun rasanya aku hanya berusaha mengalihkan perasaan yang mulai menguasai diri. Di luar jendela, pemandangan kota yang semakin menjauh membuat hatiku semakin sesak. Aku tahu, tak ada yang bisa membalikkan waktu. Aku harus berangkat, aku harus mengikuti keputusan ini.
Setelah beberapa jam perjalanan, aku akhirnya tiba di kota besar itu. Gedung-gedung tinggi, keramaian di sana-sini, dan suara kendaraan yang berlalu-lalang membuatku merasa semakin kecil. Aku merasa terasing di tempat yang begitu ramai ini. Semua hal yang baru, yang belum ku kenal, terasa seperti menekan dada. Aku ingin kembali ke rumah, ke tempat yang sudah memberikan rasa aman selama ini.
Hari-hari pertama di kota baru begitu melelahkan. Aku harus beradaptasi dengan lingkungan yang jauh berbeda, bertemu dengan teman-teman baru, dan menjalani hari-hari sekolah tanpa ada orang tua di sisiku. Meskipun aku terlihat santai di luar, di dalam hatiku, semuanya terasa berat. Aku merasa terisolasi, bahkan di tengah keramaian teman-teman baruku. Semua perasaan itu terkadang membuatku rindu rumah, rindu ibu, dan rindu ayah. Mereka yang selalu ada di sampingku, memberi kekuatan tanpa kata.
Saat malam datang, aku duduk di ujung tempat tidur di kamar kost yang baru aku tinggali. Aku menatap sekeliling kamar yang kosong, hanya ditemani beberapa barang yang kubawa dari rumah. Kamar ini tidak seperti rumah, tidak seperti tempat yang bisa membuatku merasa nyaman. Aku merasa jauh dari semuanya.
Aku menatap foto keluarga yang aku letakkan di meja samping tempat tidur. Itu adalah kenangan yang tidak bisa aku lepaskan begitu saja. Kenangan akan tawa ibu, suara ayah yang menegurku, dan momen-momen sederhana yang selalu membuatku merasa dicintai. Di sini, di kota ini, semuanya terasa asing. Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti, aku harus berjuang. Untuk mereka, untuk impian yang sudah mereka tanamkan, dan untuk diriku sendiri.
Saat itu, aku tahu satu hal: perpisahan ini hanya awal dari perjalanan panjang. Dan aku harus siap menghadapi segala tantangan yang ada di depan.
Kesepian di Tengah Keramaian
Minggu pertama di kota besar itu berjalan dengan lambat. Semua hal terasa baru, tapi aku tidak merasa seharusnya aku di sini. Setiap pagi aku bangun, rasanya seperti ada yang hilang, seolah ada sesuatu yang mengikatku dengan rumah dan keluarga yang jauh. Kegiatan sekolah berjalan seperti biasa mendengarkan guru, berkenalan dengan teman-teman baru, dan berusaha menyesuaikan diri dengan suasana yang begitu berbeda. Namun di balik keramaian, aku merasa seperti seorang asing.
Teman-teman baru yang aku kenal di sini memang menyambutku dengan hangat, mereka sepertinya benar-benar berusaha membuatku merasa diterima. Tapi meskipun aku sering tertawa dan ikut dalam obrolan mereka, hatiku tetap kosong. Rasa rindu pada ibu dan ayah terasa begitu menyakitkan. Malam-malam yang aku lewati begitu sepi. Ketika aku mencoba menutup mata, aku merasa terperangkap dalam kesunyian yang begitu asing. Suara-suara di luar kamar, kendaraan yang berlalu-lalang, dan hiruk pikuk kota ini tak mampu mengusir rasa kesepian yang mengendap di dalam hatiku.
Di tengah pergaulanku yang ramai, aku sering kali terjebak dalam pikiranku sendiri. Saat teman-temanku membicarakan liburan atau rencana-rencana mereka bersama keluarga, aku hanya bisa diam. Aku tak tahu harus berkata apa. Tidak ada liburan yang bisa aku rencanakan. Tidak ada percakapan ringan tentang masa kecil yang bisa aku bagikan. Aku tak tahu lagi bagaimana rasanya duduk bersama ayah di ruang tamu, mendengarkan ibu bercerita tentang hari-harinya. Aku hanya terjebak dalam perasaan asing yang sulit aku pahami.
Hari-hari berlalu, dan rutinitas itu mulai menekan. Setiap hari, aku harus berjuang melawan rasa rindu yang terus membelit, mencoba menyibukkan diri dengan tugas sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan pertemuan dengan teman-teman. Namun, semakin aku mencoba mengalihkan perhatian, semakin aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Kadang, ketika aku melihat orang tua mereka mengantarkan anak-anak ke sekolah, aku merasa iri. Rasa itu menggerogoti hatiku, menambah beban yang sudah cukup berat.
Suatu sore, setelah selesai mengikuti kegiatan klub fotografi di sekolah, aku berjalan pulang menuju kost dengan langkah yang lelah. Angin sore yang menerpa wajahku tidak cukup untuk menyegarkan pikiranku. Aku merogoh kantong celana dan mendapati ponselku. Tanpa sadar, aku membuka aplikasi pesan, berharap bisa membaca pesan dari ibu atau ayah. Tapi tak ada yang baru. Hanya pesan-pesan lama yang sudah aku baca berulang kali. Rasa rindu itu datang lagi, lebih kuat dari sebelumnya.
Aku melanjutkan langkahku menuju kost. Ketika aku sampai, aku langsung melemparkan tas ke kasur dan duduk di tepi tempat tidur. Tidak ada suara di kamar itu. Hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan. Aku meraih foto keluarga yang ada di meja samping tempat tidur, foto yang selalu kubawa kemanapun aku pergi. Wajah ibu dan ayah tersenyum dengan bangga, seakan mereka tahu aku akan menghadapi banyak tantangan di sini, di tempat yang asing ini.
“Tuhan, kenapa aku harus jauh dari mereka?” gumamku, menatap foto itu. Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Aku merasa tak cukup kuat. Setiap hari aku berusaha tersenyum dan berkata pada teman-teman bahwa semuanya baik-baik saja, tapi semakin lama, semakin sulit rasanya menahan semuanya. Aku rindu ibu yang selalu memberi nasihat, rindu ayah yang selalu memberiku semangat.
Hari demi hari berlalu, dan aku mulai menyadari sesuatu. Rasa kesepian ini bukan hanya datang karena aku jauh dari rumah, tapi juga karena aku belum bisa menerima kenyataan bahwa aku benar-benar harus hidup sendiri di sini. Aku merasa ada beban yang berat yang tak bisa aku bagikan kepada siapapun. Aku tidak ingin mereka merasa khawatir, terutama ibu. Aku tidak ingin dia tahu betapa terpuruknya aku. Aku tahu, ibu pasti lebih menderita dari aku. Tapi tetap saja, rasa kesepian ini terus menggerogoti.
Suatu malam, aku terbangun dari tidurku. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, namun tidurku terasa gelisah. Aku memutuskan untuk menghubungi ibu, berharap bisa mendengar suaranya. Aku membuka ponsel, menatap kontak ibu yang tertera di layar. Aku mengetik pesan, namun tangan aku terhenti. Apa yang harus aku katakan? “Aku kangen, Bu”? Itu terlalu klise. Aku tidak ingin ibu merasa aku tidak bisa mandiri.
Aku akhirnya mengirim pesan singkat, “Aku baik-baik saja, Bu. Jangan khawatir.” Setelah mengirim pesan itu, aku menatap layar ponsel dengan kosong. Sesaat kemudian, ponselku bergetar, ada balasan dari ibu. “Ibu tahu kamu pasti bisa, nak. Jaga dirimu baik-baik ya. Kami selalu mendukungmu.”
Aku tersenyum tipis membaca pesan itu. Meskipun ibu tidak bisa berada di sini untuk memelukku atau mengusap punggungku, aku tahu dia selalu ada di sana, mengirimkan doa dan cinta. Tapi meskipun begitu, aku merasa ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh pesan-pesan itu. Tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran fisik orang tua, pelukan hangat ibu, atau suara ayah yang menyemangati.
Esok paginya, aku kembali bangkit dengan semangat yang sepertinya sudah mulai memudar. Aku berusaha untuk lebih terbuka kepada teman-teman baru di sini, berusaha untuk tertawa, meskipun hati ini terasa hampa. Aku belajar untuk mengendalikan perasaan, untuk tidak terlalu larut dalam kesepian yang mulai menjadi bagian dari hidupku. Aku tahu aku harus kuat. Untuk ibu dan ayah, dan untuk diriku sendiri.
Tapi setiap kali senja datang, dan aku kembali ke kamar yang sepi, rasa itu selalu datang lagi. Rindu yang tak bisa diungkapkan, kesepian yang tak bisa dihindari. Aku bertanya pada diriku sendiri, sampai kapan aku bisa merasa seperti ini? Tapi, apa pilihan yang aku punya? Aku sudah jauh dari mereka, dan aku tahu, aku harus menjalani semuanya, tidak peduli seberapa beratnya.
Rindu yang Terpendam
Seminggu lagi ujian akhir semester dimulai. Waktu terasa semakin cepat berlalu, tapi setiap detiknya aku merasa semakin lelah. Setiap pagi aku bangun dengan perasaan yang berat, seakan dunia ini terlalu luas untuk aku jalani sendirian. Teman-teman sekelasku tampaknya tidak merasakan hal yang sama. Mereka tampak bahagia, menjalani hari-hari penuh tawa, sementara aku, di dalam hati, merasa kosong. Setiap kali mereka berbicara tentang keluarga mereka, tentang rencana pulang kampung atau acara-acara akhir tahun bersama orang tua, aku hanya bisa tersenyum lemah. Aku tahu, aku tak bisa ikut merasakan kebahagiaan mereka. Mereka tidak tahu seberapa dalam rasa rinduku pada ibu dan ayah.
Malam-malam semakin terasa panjang. Di kost yang sempit ini, aku hanya ditemani suara-suara dari luar kamar dan dengungan kipas angin yang berputar pelan. Aku duduk di meja, menatap tumpukan buku dan catatan yang harus aku pelajari. Tapi, tidak ada satu pun kata yang bisa masuk ke dalam pikiranku. Semua yang ada di kepala hanyalah ibu dan ayah. Wajah mereka terus membayangi, suara mereka terdengar jelas meskipun aku tidak mendengar mereka langsung. Kadang, aku merasa seperti kehilangan arah, seperti tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Di suatu malam yang penuh keheningan, aku meraih ponselku. Sudah beberapa hari aku tidak menghubungi ibu dan ayah, merasa malu karena selalu mengirim pesan yang sama. “Aku baik-baik saja, jangan khawatir.” Tapi hari itu, aku merasa ada sesuatu yang perlu kukatakan, sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata biasa.
Aku mengetik pesan untuk ibu. “Bu, aku kangen banget. Aku cuma pengen denger suara ibu.”
Tak lama setelah itu, ponselku bergetar. Ibu membalas pesan itu dengan cepat. “Ibu juga kangen, Nak. Jangan sedih ya. Kami selalu mendoakanmu, dan selalu ada di sini untukmu.”
Aku menatap balasan itu, namun air mata tiba-tiba menggenang di mataku. Ada sesuatu yang terlepas dari hatiku yang telah lama terpendam. Rindu ini, yang selama ini aku coba sembunyikan, akhirnya keluar juga. Aku ingin memeluk ibu, mendengar suaranya lebih lama, merasakan kehangatannya. Tetapi, aku hanya bisa menatap ponsel dan membaca pesan itu berulang kali.
“Bu, kenapa aku harus jauh dari rumah? Kenapa aku harus meninggalkan kalian?”
Pesan itu kukirim dengan perasaan yang penuh sesak. Aku menunggu, berharap bisa mendapatkan jawaban yang bisa menguatkanku. Tapi jawaban yang kuterima justru membuat hatiku semakin berat.
“Anakku, ibu tahu ini sulit. Tapi ibu dan ayah percaya kamu bisa. Kamu sedang berjuang untuk masa depan yang lebih baik. Kami tahu ini tidak mudah, tapi kamu harus terus maju. Kami selalu ada untukmu, meskipun tidak di sini.”
Aku membaca pesan itu dengan perlahan. Setiap kata-kata ibu terasa begitu dalam, seperti sebuah doa yang menguatkanku, meskipun pada saat yang sama membuat hatiku semakin rapuh. Aku tahu, ibu dan ayah selalu mendukungku. Tapi entah kenapa, aku merasa semakin jauh dari mereka.
Aku memejamkan mata dan mencoba mengingat suara ibu, tertawa di dapur saat memasak, suara ayah yang selalu penuh semangat ketika mengajakku berbicara tentang masa depan. Semua itu seakan jauh, semakin jauh. Keheningan di kamarku terasa semakin menyesakkan. Aku mulai berpikir, apakah aku bisa terus bertahan? Apakah aku bisa menjalani semua ini tanpa mereka di sisiku?
Pagi berikutnya, aku kembali ke sekolah dengan perasaan yang belum juga reda. Aku mencoba untuk tidak menunjukkan apa yang sedang kurasakan, berusaha untuk tetap tersenyum dan ikut dalam obrolan teman-temanku. Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam hatiku. Mereka tidak tahu betapa dalam rasa kesepian ini. Dan aku tidak ingin mereka tahu. Aku tidak ingin mereka merasa khawatir, karena aku tahu mereka menganggapku kuat, anak yang gaul, yang bisa bertahan di mana pun. Tapi di dalam hatiku, aku merasa begitu rapuh.
Setiap hari, aku mencoba lebih fokus pada pelajaran, berusaha untuk mengalihkan perasaan yang terus mengganggu. Ujian akhir semester semakin dekat, dan aku tahu ini saat yang penting untukku. Tetapi, bagaimana aku bisa fokus ketika hatiku terus merindukan mereka? Bagaimana aku bisa belajar ketika pikiran ini terus teralihkan oleh bayangan ibu dan ayah?
Suatu sore, setelah selesai sekolah, aku berjalan sendirian menuju kost. Langit mendung, seakan mencerminkan perasaanku. Hujan rintik mulai turun, dan aku berjalan perlahan, meresapi setiap tetes air yang jatuh di wajahku. Aku merasa seperti sedang berjalan di dunia yang berbeda, dunia yang jauh dari rumah, jauh dari keluarga yang selalu memberiku kekuatan.
Ketika aku sampai di kost, aku duduk di tepi tempat tidur, menatap foto keluarga yang selalu ada di meja. Aku ingin kembali ke rumah, kembali ke tempat di mana aku merasa aman dan dicintai. Tapi aku tahu, aku tidak bisa. Aku harus melanjutkan perjalanan ini, meskipun perasaan ini membuatku merasa hampir kehilangan arah.
Tak lama setelah itu, ponselku bergetar. Itu pesan dari ibu.
“Jaga dirimu baik-baik, ya. Jangan lupa makan, jangan terlalu capek. Kami selalu percaya padamu.”
Aku menatap pesan itu, dan air mata yang sempat tertahan akhirnya jatuh juga. Aku merasa begitu hampa, tapi juga begitu diberkati. Meskipun ibu dan ayah jauh, mereka selalu ada di sini, di hati ini. Aku memejamkan mata, meresapi doa mereka, dan mencoba menemukan kekuatan dalam rasa rindu ini.
Rindu ini memang berat, tapi aku tahu, ini adalah bagian dari perjuangan. Aku harus bertahan. Untuk ibu dan ayah, untuk diriku sendiri. Aku tidak bisa membiarkan rasa ini menghentikanku. Aku harus terus maju, apapun yang terjadi. Karena di balik setiap perjuangan, ada harapan yang lebih besar.
Melawan Kerinduan, Menemukan Kekuatan
Hari-hari berlalu dengan beban yang semakin terasa. Ujian akhir semester semakin dekat, dan aku merasa semakin terhimpit. Ada banyak yang harus aku pelajari, banyak yang harus aku kerjakan, namun hatiku terasa terlalu penuh dengan perasaan yang tak bisa aku ungkapkan. Rasanya seperti hidup ini begitu rumit, dan aku tak tahu harus bagaimana.
Setiap kali aku membuka buku atau catatan, aku merasa kosong. Aku bisa membaca kata-kata di halaman-halaman itu, tapi pikiranku selalu melayang ke ibu dan ayah, ke rumah yang sekarang terasa seperti mimpi yang jauh. Setiap kali aku melihat teman-teman yang masih bisa pulang ke rumah, berkumpul dengan keluarga mereka, aku merasa semakin kecil. Aku merasa seperti tidak ada yang bisa mengerti betapa beratnya semua ini.
Aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk tetap terlihat kuat, untuk tetap menjalani hidup seperti biasanya. Tapi di dalam hatiku, aku tahu. Aku tahu kalau aku sedang bertarung dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar ujian sekolah. Aku sedang berjuang dengan kesepian, dengan rindu yang tak pernah hilang, dan dengan perasaan kehilangan yang menggerogoti.
Aku masih ingat malam itu, malam sebelum ujian pertama dimulai. Aku duduk di meja belajar, mencoba untuk mengulang pelajaran yang belum aku kuasai. Tapi setiap kali aku membaca kalimat demi kalimat, pikiranku selalu terganggu. Hujan mulai turun di luar, rintiknya terdengar lembut, namun mengingatkanku pada malam-malam sepi di kost ini. Aku mencoba berkonsentrasi, tapi akhirnya aku menyerah dan meraih ponselku. Aku membuka pesan ibu, pesan yang sudah aku baca puluhan kali.
“Jaga diri kamu, ya. Ibu dan ayah selalu mendukungmu. Kami bangga padamu.”
Aku terdiam lama, menatap kata-kata itu. Kata-kata yang hangat, yang penuh dengan cinta. Tapi entah kenapa, semakin aku membaca, semakin aku merasa seolah-olah ada yang hilang. Aku merasa semakin kesepian, semakin jauh dari mereka. Aku ingin sekali bisa merasakan kehangatan itu lagi, mendengar ibu menyemangati langsung di telingaku, mendengar suara ayah yang selalu memberi nasihat. Tapi sekarang, semua itu hanya bisa aku rasakan lewat pesan teks. Rasanya tak cukup, rasanya tak ada.
Aku menekan ponselku ke dada, merasakan beratnya perasaan yang sulit aku kontrol. Air mata mulai mengalir, tidak bisa aku tahan lagi. Semua yang aku simpan dalam hati selama ini—rindu, kesepian, dan kebingunganku—akhirnya meledak. Aku ingin pulang, ingin berlari ke rumah dan merasakan pelukan ibu, mendengarkan cerita-cerita ayah. Tapi aku tahu, itu tidak mungkin. Aku sudah di sini, di tempat yang jauh, berusaha untuk mencari jalan hidupku sendiri. Dan itu berarti aku harus tetap bertahan, meski aku merasa hampir jatuh.
Suara ketukan di pintu kamar membuatku terkejut. Aku cepat-cepat menghapus air mata yang jatuh, berusaha untuk menyembunyikan perasaan yang baru saja keluar. Aku membuka pintu dan melihat teman sekamarku, Rafi. “Bro, ada yang ketinggalan di luar,” katanya, sambil menunjukkan kertas ujian yang akan kami kerjakan besok.
Aku mencoba tersenyum, meski rasanya sulit. “Makasih, Rafi,” jawabku pelan, mencoba menutupi kekosongan yang aku rasakan.
Rafi menatapku sebentar, seolah tahu bahwa ada yang tidak beres. “Lo baik-baik aja, Azril?” tanyanya dengan nada lebih lembut.
Aku mengangguk, berusaha tetap terlihat normal. “Iya, bro. Cuma capek aja, ujian gini. Lo ngerti kan?”
Rafi masih menatapku, seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dia hanya mengangguk dan pergi meninggalkan kamarku. Aku kembali duduk di meja, mencoba menenangkan diri. Kenapa rasanya begitu sulit untuk berbicara tentang ini? Kenapa aku tidak bisa menceritakan semuanya kepada teman-teman? Mereka pasti tidak akan mengerti. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya merindukan rumah, merindukan orang tua, sementara dunia ini seakan terus berjalan, tanpa memberi ruang untuk beristirahat.
Aku duduk diam selama beberapa menit, menatap langit yang gelap di luar jendela kamar. Hujan semakin deras, dan suara rintiknya seakan menambah kesedihan dalam hatiku. Aku teringat kata-kata ibu: “Kami bangga padamu.” Kata-kata itu selalu terngiang dalam pikiranku. Ibu dan ayah percaya padaku, mereka yakin aku bisa melalui semua ini. Tapi bagaimana jika aku sudah terlalu lelah untuk terus berjuang? Bagaimana jika aku merasa tidak bisa lagi?
Tapi, di tengah kekosongan itu, ada sesuatu yang mulai muncul dalam pikiranku. Ibu dan ayah tidak pernah menginginkan aku menyerah. Mereka selalu mengajarkanku untuk terus maju, untuk berjuang meski segala sesuatunya terasa sulit. Aku menyadari, mereka tidak bisa ada di sini untuk memegang tanganku, tetapi mereka telah memberi aku sesuatu yang lebih kuat kepercayaan dan cinta yang tidak akan pernah pudar. Aku tidak bisa mengecewakan mereka. Aku tidak bisa membiarkan sebuah perasaan ini untuk
bisa menghentikan langkahku.
Aku menarik napas panjang dan menghapus air mata yang masih tersisa di pipi. Besok adalah ujian pertama, dan aku harus siap. Aku harus melanjutkan perjuangan ini. Bukan hanya untuk ibu dan ayah, tetapi juga untuk diriku sendiri. Aku datang ke sini dengan tujuan, dan meskipun perjalanan ini penuh dengan tantangan, aku tidak bisa berhenti begitu saja.
Setelah beberapa lama, aku kembali membuka buku pelajaran. Kali ini, aku bisa sedikit lebih fokus. Pikiranku masih dipenuhi dengan perasaan rindu dan kesepian, tetapi aku tahu aku harus berusaha lebih keras. Untuk setiap halaman yang kubaca, aku mengingat kembali doa dan harapan ibu dan ayah. Mereka selalu ada untukku, meski hanya dalam bentuk doa yang menguatkan.
Ujian pertama dimulai keesokan harinya. Aku berjalan masuk ke ruang ujian dengan perasaan campur aduk. Ada rasa cemas, tetapi juga semangat yang menguatkan aku untuk terus maju. Meskipun hati ini terasa penuh dengan rindu, aku tahu aku tidak sendirian. Ibu dan ayah ada di sini, di dalam diriku. Dan dengan itu, aku merasa siap untuk menghadapi apapun yang ada di depan.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Azril mengajarkan kita bahwa meskipun hidup di rantau penuh dengan kesepian dan kerinduan, ada kekuatan dalam diri yang mampu menghadapi segala cobaan. Melalui perjuangan, Azril menunjukkan bahwa setiap langkah yang diambil, meskipun sulit, membawa kita lebih dekat ke tujuan dan impian yang kita perjuangkan. Semoga cerita ini menginspirasi kamu yang sedang berjuang di luar sana, untuk tidak pernah menyerah dan terus berusaha. Kalau kamu merasa terhubung dengan cerita Azril, bagikan pengalamanmu atau beri komentar di bawah siapa tahu, kisahmu bisa menjadi inspirasi bagi yang lain!