Daftar Isi
Jadi, cerpen ini dimulai dari sesuatu yang mungkin nggak terduga banget. Kamu tahu nggak, kadang ada hal-hal di dunia ini yang nggak bisa kita jelasin pakai logika—kayak suara misterius yang bisa berubah nasib orang, atau bahkan buku yang nyatanya bukan cuma buku biasa. Kalau kamu suka cerita yang penuh dengan petualangan, takdir, dan suara-suara yang bisa ngebuka pintu dunia baru, kamu bakal suka deh sama cerita ini. Oh iya, ceritanya juga ada terjemahannya dalam bahasa Inggris, jadi nggak ada alasan buat nggak ikut menikmati dunia seru ini. Penasaran? Yuk, mulai baca!
(So, this short story starts with something totally unexpected. You know, sometimes there are things in this world that can’t be explained logically—like a mysterious voice that can change someone’s fate, or even a book that turns out to be more than just an ordinary book. If you love stories full of adventure, fate, and voices that can open doors to a new world, you’ll totally enjoy this one. Oh, and by the way, the story also has an English translation, so there’s no excuse not to dive into this exciting world. Curious? Let’s start reading!)
Cerpen Fantasi
(Fantasy Short Story)
Pintu yang Terbuka di Antara Dunia
(The Open Door Between Worlds)
Sekolah itu selalu terasa berbeda, bahkan sebelum aku mulai belajar di sana. Suasana yang tidak bisa dijelaskan, seolah-olah ada yang mengikat segala sesuatu di tempat itu, sesuatu yang tak tampak oleh mata biasa. Asteria, gadis itu, selalu muncul seperti sosok yang tak pernah terjebak dalam kebiasaan. Aku sering melihatnya duduk di pojok kelas, memegang buku tebal yang tak pernah aku mengerti apa isinya.
(The school always felt different, even before I started learning there. The atmosphere was indescribable, as if something was binding everything in that place, something invisible to the ordinary eye. Asteria, that girl, always appeared like a figure untouched by routine. I often saw her sitting in the corner of the class, holding a thick book I could never understand the contents of.)
Aku tidak pernah berbicara banyak dengan Asteria, meskipun kami satu kelas. Dia tipe yang lebih memilih diam daripada berbicara, dan aku pun tidak pernah tertarik untuk mendekatinya. Hingga suatu hari, ketika pelajaran baru saja dimulai, dia berdiri dengan tiba-tiba dan menghadap ke jendela. Semua orang di kelas terdiam, bahkan guru pun tidak bisa melanjutkan pelajaran.
(I never talked much with Asteria, even though we were in the same class. She was the type to prefer silence over conversation, and I was never particularly interested in approaching her. Until one day, when the lesson had just begun, she suddenly stood up and faced the window. Everyone in the class went silent, even the teacher couldn’t continue the lesson.)
“Sepertinya ada sesuatu di luar sana,” kata Asteria dengan suara yang sangat tenang. Namun, aku bisa mendengar kata-katanya jelas, seolah-olah mereka langsung masuk ke pikiranku. Aku menoleh, mencari apa yang sedang dia lihat, namun tidak ada apa-apa di luar jendela kecuali awan yang bergerak perlahan.
(“It seems there’s something out there,” Asteria said in a very calm voice. But I could hear her words clearly, as if they were directly entering my mind. I turned around, searching for what she was looking at, but there was nothing outside the window except clouds drifting slowly.)
“Apa yang kamu lihat, Asteria?” tanyaku tanpa berpikir panjang. Aku merasa aneh karena suaraku sendiri terdengar keras di antara keheningan.
(“What do you see, Asteria?” I asked without thinking. I felt strange because my own voice sounded loud in the silence.)
Dia menoleh ke arahku, mata birunya yang tajam menatap dalam seakan-akan dia melihat sesuatu yang jauh lebih dalam dari apa yang terlihat olehku. “Aku melihat kata-kata,” jawabnya pelan. “Kata-kata yang belum pernah diucapkan, tapi ada di setiap sudut dunia ini.”
(She turned to look at me, her sharp blue eyes gazing deep as if she saw something far beyond what I could perceive. “I see words,” she replied softly. “Words that have never been spoken, but are in every corner of this world.”)
Aku terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja dia katakan. “Kata-kata?” Ulangku dengan bingung. “Maksud kamu, kata-kata seperti apa?”
(I was silent, trying to understand what she had just said. “Words?” I repeated, confused. “What kind of words do you mean?”)
Asteria tersenyum tipis, seolah tahu bahwa aku tidak akan bisa mengerti dengan mudah. “Kadang, kata-kata tidak perlu diucapkan untuk bisa mendengar mereka. Dunia ini penuh dengan bahasa, lebih banyak daripada yang bisa kita pahami.”
(Asteria smiled faintly, as if she knew I wouldn’t be able to understand easily. “Sometimes, words don’t need to be spoken to be heard. This world is full of languages, more than we can comprehend.”)
“Lalu, kenapa kamu…?” aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Asteria sudah duduk kembali, dan seolah-olah dia tidak pernah mengatakan apa-apa. Semua kembali seperti biasa.
(“Then why do you…?” I couldn’t finish my sentence. Asteria had already sat back down, and it was as if she had never said anything. Everything returned to normal.)
Aku merasa ada sesuatu yang aneh, dan tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa kata-katanya itu lebih dari sekadar iseng. Saat pelajaran berlanjut, pikiranku melayang. Apa maksud Asteria sebenarnya? Apa yang dia coba katakan tentang kata-kata yang tidak pernah diucapkan?
(I felt something strange, and I couldn’t shake the feeling that her words were more than just a passing remark. As the lesson continued, my thoughts wandered. What was Asteria really trying to say about words that were never spoken?)
Setelah pelajaran selesai, aku berjalan ke luar kelas dan bertemu dengan Asteria di lorong. “Asteria,” panggilku, meskipun aku tahu dia tidak akan mudah diajak berbicara.
(After the lesson ended, I walked out of the classroom and met Asteria in the hallway. “Asteria,” I called, even though I knew she wouldn’t be easy to talk to.)
Dia berhenti dan menoleh. “Kamu ingin tahu tentang kata-kata itu, kan?” katanya, seperti sudah tahu apa yang ada dalam pikiranku.
(She stopped and turned around. “You want to know about those words, right?” she said, as if she already knew what was on my mind.)
Aku mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. “Iya, tapi bagaimana bisa kata-kata itu begitu penting?”
(I nodded, unsure of what to say. “Yes, but how can those words be so important?”)
Asteria hanya tersenyum dan melangkah lebih dekat, seolah-olah ingin memberitahuku sesuatu yang sangat berharga, tapi juga sulit dimengerti. “Buku-buku itu, mereka tidak hanya berisi tulisan. Mereka menyimpan kekuatan yang bisa mengubah apa yang kita tahu tentang dunia.”
(Asteria only smiled and stepped closer, as if she wanted to tell me something very valuable, yet hard to understand. “The books, they don’t just contain writing. They hold a power that can change what we know about the world.”)
“Buku?” Aku terkejut. “Maksudmu buku yang ada di ruang kelas itu?”
(“Books?” I was surprised. “You mean the ones in the classroom?”)
Asteria mengangguk, dan untuk pertama kalinya, aku merasa dia berbicara dengan penuh keyakinan. “Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari kata-kata, tapi tidak semua kata bisa ditemukan dalam buku biasa. Ada kata-kata yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang tahu bagaimana cara mendengarnya.”
(Asteria nodded, and for the first time, I felt she was speaking with conviction. “There are many things we can learn from words, but not all words can be found in ordinary books. There are words that can only be understood by those who know how to listen to them.”)
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi aku merasa seperti ada pintu yang baru saja terbuka, dan aku terperangkap di dalamnya. Kata-kata itu—apa yang sebenarnya dia coba katakan padaku?
(I didn’t know what was happening, but I felt like a door had just opened, and I was trapped inside it. Those words—what exactly was she trying to tell me?)
Jejak yang Tak Terlihat
(The Invisible Trail)
Hari-hari setelah pertemuan dengan Asteria itu berjalan seperti biasa, meskipun aku merasa ada yang berbeda. Setiap kali aku berjalan melewati ruang kelas tempat dia duduk, aku seolah merasakan ada sesuatu yang memanggil, meskipun aku tak bisa melihatnya. Buku-buku yang ada di sana, mereka seakan-akan menyimpan rahasia yang hanya bisa diungkap oleh seseorang yang mengerti caranya.
(The days after the meeting with Asteria passed as usual, although I felt something had changed. Every time I walked past the classroom where she sat, I felt as if something was calling, though I couldn’t see it. The books in there, they seemed to hold secrets that could only be uncovered by someone who knew how to listen.)
Aku mulai melirik buku-buku tebal yang sering Asteria bawa ke kelas. Penasaran, aku mencoba membuka beberapa buku di rak yang sama, berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut. Tetapi, buku-buku itu tampak biasa saja, hanya berisi tulisan yang tidak begitu menarik—seperti buku pelajaran yang pernah aku baca.
(I started glancing at the thick books that Asteria often brought to class. Curious, I tried opening a few books on the same shelf, hoping to find further clues. But, the books seemed ordinary, just filled with writing that wasn’t particularly interesting—like the textbooks I had read before.)
Namun, ada satu buku yang berbeda. Aku menemukannya tergeletak di sudut rak, hampir tersembunyi dari pandangan. Sampulnya terlihat usang, dengan warna yang memudar. Aku menariknya dan membuka halaman pertama. Tertulis dengan tangan, bukan mesin ketik, sebuah kata yang membuat dadaku berdebar: “Dunia yang Terlupakan.”
(However, there was one book that was different. I found it lying in the corner of the shelf, almost hidden from sight. Its cover looked worn, with faded colors. I pulled it out and opened the first page. Written by hand, not a typewriter, was a word that made my heart race: “The Forgotten World.”)
Aku membaca kalimat berikutnya dengan cepat, namun kata-katanya membingungkan. “Mereka yang mencari tahu tentang dunia yang lain, akan menemukan kunci yang mengubah waktu dan ruang.” Kalimat itu terasa begitu berat, seperti sebuah teka-teki yang sulit dipecahkan.
(I quickly read the next sentence, but the words were confusing. “Those who seek knowledge about another world will find the key that changes time and space.” The sentence felt so heavy, like a riddle that was hard to solve.)
Aku menoleh ke sekitar, memastikan tidak ada orang yang melihatku. Rasanya aku seperti mencuri sesuatu, meskipun sebenarnya aku hanya sedang mencari jawaban. Asteria pasti tahu lebih banyak tentang ini.
(I looked around, making sure no one was watching me. I felt like I was stealing something, even though I was just searching for answers. Asteria must know more about this.)
Tidak lama kemudian, aku mendengar langkah kaki mendekat. Aku buru-buru menutup buku itu dan menyembunyikannya di balik tas. Ternyata, itu adalah Asteria. Dia berjalan ke arahku dengan wajah yang tidak bisa aku baca.
(Soon after, I heard footsteps approaching. I quickly closed the book and hid it behind my bag. It was Asteria. She walked toward me with a face I couldn’t read.)
“Menemukan sesuatu yang menarik?” tanyanya, suaranya tenang namun ada sedikit kehangatan di dalamnya, seolah dia tahu apa yang aku lakukan.
(“Found something interesting?” she asked, her voice calm but with a hint of warmth, as if she knew what I had been doing.)
Aku terdiam sesaat, tak tahu harus berkata apa. “Aku… aku hanya membaca buku-buku ini,” jawabku akhirnya, berusaha terdengar biasa.
(I paused for a moment, not knowing what to say. “I… I was just reading these books,” I finally replied, trying to sound casual.)
Asteria tersenyum tipis, seolah sudah menunggu jawabanku. “Buku itu,” katanya sambil menunjuk ke buku yang baru saja aku sembunyikan, “adalah sebuah pintu, dan kamu baru saja membuka kunci pertama.”
(Asteria smiled faintly, as if she had been waiting for my answer. “That book,” she said, pointing to the book I had just hidden, “is a door, and you just unlocked the first key.”)
Kepalaku terasa pusing mendengar kata-katanya. “Pintu? Kunci?” tanyaku, mencoba memahami apa maksudnya.
(My head felt dizzy hearing her words. “A door? A key?” I asked, trying to understand what she meant.)
“Jangan khawatir, kamu tidak akan tahu semuanya sekaligus,” jawabnya dengan lembut. “Tapi kamu sudah memulai perjalanan yang tak akan mudah. Dunia ini memiliki banyak lapisan yang tak terlihat, dan hanya mereka yang berani melihat akan menemukan apa yang tersembunyi di dalamnya.”
(“Don’t worry, you won’t know everything at once,” she replied gently. “But you’ve already begun a journey that won’t be easy. This world has many unseen layers, and only those who dare to look will find what’s hidden within.”)
Aku merasa seolah-olah aku baru saja melangkah ke dalam dunia yang jauh lebih besar dari yang aku bayangkan. “Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?” tanyaku dengan suara yang lebih rendah.
(I felt as though I had just stepped into a world far bigger than I had imagined. “What should I do next?” I asked in a softer voice.)
Asteria memandangku sejenak, seolah menilai apakah aku benar-benar siap untuk apa yang akan datang. “Kamu harus mencari lebih banyak buku, lebih banyak kata-kata,” katanya. “Setiap kata yang kamu temukan adalah petunjuk untuk membuka lapisan-lapisan berikutnya. Tetapi ingat, ini bukan perjalanan yang bisa kamu lakukan sendirian.”
(Asteria looked at me for a moment, as if assessing whether I was truly ready for what was to come. “You need to find more books, more words,” she said. “Every word you find is a clue to unlock the next layers. But remember, this is not a journey you can do alone.”)
Aku hanya mengangguk, merasa terhanyut oleh setiap kata yang dia ucapkan. Tidak ada jalan kembali sekarang. Aku sudah terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari diriku.
(I just nodded, feeling swept away by every word she spoke. There was no turning back now. I was involved in something far bigger than myself.)
Pencarian Dimulai
(The Search Begins)
Hari-hari setelah percakapan dengan Asteria itu berjalan cepat, dan meskipun aku mencoba untuk tetap fokus pada tugas-tugas biasa di sekolah, pikiranku tak pernah lepas dari buku itu. Setiap kali aku menatap rak buku di perpustakaan, aku merasa seperti ada kekuatan yang menarikku untuk mencari lebih banyak, lebih dalam. Seperti ada sesuatu yang tak bisa aku hindari.
(The days after that conversation with Asteria passed quickly, and even though I tried to stay focused on the usual tasks at school, my mind never left that book. Every time I stared at the shelves in the library, I felt like there was a force pulling me to search deeper, to seek more. It was as if something was irresistible.)
Aku mulai mencari buku-buku lain yang bisa mengarah pada “lapisan berikutnya,” seperti yang Asteria katakan. Tapi tidak ada yang seperti buku yang aku temukan sebelumnya. Semuanya terlihat biasa saja, bahkan membosankan. Namun, aku tidak menyerah. Ada sesuatu dalam diriku yang membuatku yakin bahwa jika aku terus mencarinya, aku akan menemukan sesuatu yang lebih besar.
(I started searching for other books that might lead to the “next layer,” as Asteria had said. But nothing was like the book I had found before. Everything seemed ordinary, even boring. But I didn’t give up. There was something inside me that made me believe that if I kept searching, I would find something greater.)
Pada suatu siang, setelah pulang sekolah, aku kembali ke perpustakaan. Kali ini, aku datang lebih awal, berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut tanpa gangguan. Aku menjelajahi setiap sudut rak buku, dan setelah beberapa lama, mataku tertumbuk pada sebuah buku kecil yang tersembunyi di balik beberapa buku tebal. Aku menariknya keluar dan memeriksanya.
(One afternoon, after school, I returned to the library. This time, I came earlier, hoping to find further clues without distractions. I explored every corner of the bookshelves, and after some time, my eyes landed on a small book hidden behind several thick books. I pulled it out and examined it.)
Buku itu tampak biasa, tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian. Pada sampulnya, ada simbol yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Sebuah lingkaran dengan sebuah garis yang membelahnya. Aku membuka halaman pertama dan membaca kalimat pertama yang tertulis.
(The book looked ordinary, but there was something that caught my attention. On its cover, there was a symbol I had never seen before. A circle with a line splitting it in half. I opened the first page and read the first sentence that was written.)
“Untuk membuka gerbang yang tersembunyi, carilah suara yang tidak didengar oleh kebanyakan orang.”
(“To open the hidden gate, seek the sound that is unheard by most.”)
Aku mengernyit, tidak mengerti sepenuhnya apa maksudnya. Suara yang tidak didengar oleh kebanyakan orang? Apa ini semacam metafora atau ada arti yang lebih dalam?
(I frowned, not fully understanding what it meant. The sound that is unheard by most? Was this some kind of metaphor, or was there a deeper meaning?)
Di antara rasa penasaran dan kebingunganku, aku mendengar langkah kaki. Aku menoleh dan melihat Asteria berdiri di depan rak buku, menatapku dengan senyum tipis. “Kau menemukan sesuatu lagi, ya?” tanyanya, seolah tahu apa yang baru saja aku baca.
(Amidst my curiosity and confusion, I heard footsteps. I turned and saw Asteria standing in front of the bookshelf, staring at me with a faint smile. “You found something again, didn’t you?” she asked, as if she knew what I had just read.)
Aku terdiam sejenak, merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul. “Suara yang tidak didengar oleh kebanyakan orang… Apa maksudnya?” tanyaku, tak mampu menahan rasa ingin tahu yang membakar.
(I paused for a moment, feeling a sudden tension. “The sound that is unheard by most… what does it mean?” I asked, unable to hold back the curiosity burning inside me.)
Asteria mengangguk pelan. “Itu adalah kunci untuk membuka pintu berikutnya. Tapi bukan suara yang sebenarnya, melainkan sebuah rasa—sebuah sensasi yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang sudah siap. Kau harus belajar mendengarnya.”
(Asteria nodded slowly. “It’s the key to open the next door. But not an actual sound, rather a feeling—a sensation that can only be understood by those who are ready. You’ll need to learn how to hear it.”)
Aku bingung, merasa seperti berada di ujung jurang yang dalam, tak tahu apa yang akan aku temui di bawah. “Bagaimana caraku belajar mendengarnya?” tanyaku, mataku menatapnya penuh harap.
(I was confused, feeling like I was standing at the edge of a deep chasm, not knowing what I would find below. “How do I learn to hear it?” I asked, my eyes looking at her with hope.)
Asteria tersenyum lebih lebar sekarang. “Kamu sudah berada di jalur yang benar. Semua yang kau butuhkan ada di dalam dirimu sendiri, dan hanya dengan membuka pikiran dan hati, kamu akan dapat mendengarnya.”
(Asteria smiled wider now. “You’re already on the right path. Everything you need is within yourself, and only by opening your mind and heart will you be able to hear it.”)
Aku merasa seperti ada beban berat yang tiba-tiba hilang. Mungkin selama ini aku terlalu fokus mencari petunjuk eksternal, tanpa menyadari bahwa jawabannya ada di dalam diriku.
(I felt like a heavy weight had suddenly lifted. Maybe all this time I had been too focused on seeking external clues, without realizing that the answer was inside me.)
Asteria memandangku dengan serius. “Ingat, perjalanan ini bukan untuk orang yang lemah. Jika kamu ingin melanjutkan, kamu harus berani menghadapinya, meskipun itu berarti berhadapan dengan bagian dari dirimu yang selama ini kamu hindari.”
(Asteria looked at me seriously. “Remember, this journey is not for the faint-hearted. If you want to continue, you must be willing to face it, even if it means confronting parts of yourself you’ve been avoiding all this time.”)
Aku mengangguk, merasa semakin yakin dengan setiap kata yang dia ucapkan. Perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi aku sudah berada di dalamnya, dan aku tidak akan mundur.
(I nodded, feeling more certain with every word she spoke. This journey would not be easy, but I was already in it, and I wouldn’t back down.)
Gerbang yang Tersingkap
(The Gate Unveiled)
Aku kembali ke perpustakaan, kali ini dengan perasaan yang berbeda. Seolah setiap langkah menuju rak buku itu adalah langkah menuju hal yang lebih besar, lebih dari sekadar pengetahuan. Aku tahu, di balik kata-kata yang kutemukan di buku itu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar informasi—ada sebuah kebenaran yang menunggu untuk dibuka.
(I returned to the library, this time with a different feeling. As if every step towards that bookshelf was a step toward something greater, more than just knowledge. I knew, behind the words I had found in that book, there was something more than mere information—there was a truth waiting to be uncovered.)
Asteria sudah menungguku di sana. Wajahnya terlihat serius, namun ada semacam keyakinan yang tidak bisa disembunyikan. “Kamu sudah siap?” tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya, seakan membentuk keheningan yang menantang.
(Asteria was already waiting for me there. Her face was serious, but there was an unspoken confidence she couldn’t hide. “Are you ready?” she asked, her voice lower than usual, as if it formed a silence that challenged.)
Aku mengangguk. Aku merasa siap—meski aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Semua yang kutahu adalah bahwa jalan ini sudah menjadi takdirku, dan aku harus terus maju, apapun yang ada di hadapanku.
(I nodded. I felt ready—though I didn’t know what would happen. All I knew was that this path had become my destiny, and I had to keep going, no matter what lay ahead.)
Asteria menarik sebuah buku tebal dari rak yang paling atas, buku yang hampir tak terlihat oleh orang biasa. “Ini dia,” katanya, memegang buku itu dengan hati-hati, seolah takut buku itu akan hilang jika ia tidak cukup berhati-hati. “Buku ini bukan hanya berisi cerita, tetapi kunci untuk memahami suara yang kita cari.”
(Asteria pulled a thick book from the top shelf, a book almost invisible to the ordinary eye. “This is it,” she said, holding the book carefully, as if afraid it would disappear if she wasn’t cautious enough. “This book isn’t just filled with stories, but the key to understanding the sound we’re seeking.”)
Aku menatap buku itu, merasa terpesona dan sekaligus khawatir. “Kapan aku akan bisa mendengarnya?” tanyaku, suaraku hampir berbisik.
(I stared at the book, feeling both mesmerized and worried. “When will I be able to hear it?” I asked, my voice almost a whisper.)
Asteria tersenyum tipis. “Saat kau siap untuk mendengar, dan saat semua keraguanmu telah hilang. Buku ini akan menunjukkan jalan, tapi hanya jika hatimu benar-benar terbuka.”
(Asteria smiled faintly. “When you’re ready to listen, and when all your doubts have faded. This book will show the way, but only if your heart is truly open.”)
Aku merasa berat hati, seakan ada sesuatu yang menahan, tetapi aku tahu inilah saatnya. Dengan satu tarikan napas, aku membuka buku itu, dan kata-kata yang terukir di halaman pertama terasa menggetarkan, seperti aliran energi yang mengalir melalui tubuhku.
(I felt a heavy heart, as if something was holding me back, but I knew this was the moment. With one deep breath, I opened the book, and the words etched on the first page felt electrifying, like a current of energy flowing through my body.)
“Untuk mendengar suara yang tersembunyi, tidak cukup dengan telinga. Anda harus memurnikan hati Anda dari segala kebisingan yang menghalangi.”
(“To hear the hidden sound, it is not enough with your ears. You must purify your heart from all the noise that obstructs it.”)
Aku membaca kalimat itu berulang kali, mencoba memahaminya. Purifikasi hati. Apa yang harus aku lakukan untuk melakukannya?
(I read the sentence over and over, trying to understand it. Purification of the heart. What must I do to achieve it?)
Tiba-tiba, aku mendengar suara—suara yang lembut, tidak terucapkan oleh kata-kata, tetapi ada dalam setiap getaran di udara. Itu bukan suara dari dunia ini, tetapi suara yang berasal dari jauh, jauh sekali, seperti bisikan angin yang menembus waktu.
(Suddenly, I heard a sound—a soft sound, not spoken by words, but present in every vibration in the air. It wasn’t a sound from this world, but one from far, far away, like a whisper of the wind cutting through time.)
Suara itu mengalir dalam diriku, membawa serta perasaan damai yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku menutup mata, membiarkan suara itu memenuhi ruang dalam pikiranku, dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar terhubung dengan sesuatu yang lebih besar.
(The sound flowed through me, bringing a sense of peace I had never felt before. I closed my eyes, letting the sound fill the space in my mind, and for the first time, I felt truly connected to something greater.)
Asteria berdiri di sampingku, matanya terpejam, seperti dia juga mendengar suara yang sama. “Kamu sudah mendengarnya,” katanya dengan tenang. “Sekarang, perjalananmu telah dimulai.”
(Asteria stood beside me, her eyes closed, as if she too was hearing the same sound. “You’ve heard it,” she said calmly. “Now, your journey has begun.”)
Aku membuka mata dan menatapnya, merasa seperti ada sesuatu yang terungkap dalam diriku yang tak bisa aku jelaskan. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanyaku, mataku penuh dengan harapan dan kegelisahan.
(I opened my eyes and looked at her, feeling as if something had been revealed within me that I couldn’t explain. “What do I do now?” I asked, my eyes full of hope and anxiety.)
Asteria tersenyum, tetapi kali ini senyum itu lebih dalam, penuh dengan makna yang belum sepenuhnya aku pahami. “Sekarang, kamu akan mencari pintu yang akan membawamu ke tempat yang lebih jauh, tempat yang hanya bisa diakses oleh mereka yang sudah mendengarnya. Siapkan dirimu, karena dunia yang akan kau temui tidak seperti yang kamu bayangkan.”
(Asteria smiled, but this time, the smile was deeper, full of meaning I hadn’t fully understood. “Now, you will seek the door that will take you farther, a place only accessible to those who have heard it. Prepare yourself, because the world you’ll encounter isn’t like anything you can imagine.”)
Aku tidak tahu apa yang akan datang, tetapi aku tahu satu hal: aku telah memasuki dunia yang lebih besar dari sekadar buku-buku dan kata-kata. Aku telah membuka pintu yang mengarah pada takdirku, dan tidak ada jalan mundur lagi.
(I didn’t know what was to come, but I knew one thing: I had entered a world greater than just books and words. I had opened a door leading to my destiny, and there was no turning back.)
Begitu cerita ini berakhir, semoga kamu merasakan bagaimana sebuah perjalanan bisa mengubah takdir. Terima kasih sudah mengikuti, semoga kamu menemukan suara yang mengubah hidupmu. Sampai jumpa di cerita selanjutnya!
(As this story ends, I hope you feel how a journey can change fate. Thanks for following along, hope you find your “voice” that changes your life. See you in the next story!)