Di Balik Senyum Zeina: Kisah Cemas Seorang Remaja Tentang Masa Depannya

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya Apakah kamu sering merasa cemas tentang masa depan? Kamu tidak sendiri! Cerita tentang Zeina, seorang gadis SMA yang penuh semangat namun diliputi kekhawatiran tentang langkah hidupnya, mungkin bisa membantu kamu menemukan sedikit ketenangan.

Dalam perjalanan emosional ini, Zeina belajar bahwa tidak ada yang salah dengan merasa ragu, asalkan kita tetap berani melangkah. Simak perjalanan Zeina dalam menemukan kedamaian dan keberanian untuk menghadapi masa depan dengan percaya diri.

 

Kisah Cemas Seorang Remaja Tentang Masa Depannya

Di Balik Senyum Ceria Zeina

Zeina selalu terlihat sempurna di mata teman-temannya. Rambut panjang yang selalu terurai rapi, senyuman cerah yang tak pernah lekang, dan penampilan fashionable yang selalu membuatnya menjadi pusat perhatian. Siapa yang tidak ingin jadi seperti Zeina? Namun, tak ada yang tahu bahwa di balik senyum cerianya, ada kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.

Hari itu, seperti biasa, Zeina datang ke sekolah dengan penuh semangat. Dia menyapa semua teman yang ada di koridor dengan gaya santainya. “Hei, siapa yang siap ujian hari ini?” serunya sambil mengedipkan mata pada teman-temannya, seolah-olah ujian itu hanyalah hal sepele. Teman-temannya tertawa, ikut terhanyut dalam kegembiraan palsu yang ia ciptakan.

Namun, begitu ia masuk ke kelas dan duduk di tempatnya, senyumnya mulai memudar. Zeina membuka buku catatannya dengan tangan yang gemetar. Tugas yang menumpuk, ujian yang semakin dekat, dan pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan yang tak henti-hentinya menghantui pikirannya, semuanya seperti bayangan gelap yang tak bisa dia hindari.

Zeina menatap kosong ke depan. Di sampingnya, Sari, sahabatnya sejak SMP, sedang sibuk menulis catatan, tampaknya begitu tenang dan terfokus. Sari selalu terlihat punya tujuan hidup yang jelas. Dia tahu apa yang ingin dilakukannya setelah lulus. Cita-citanya adalah menjadi seorang dokter, dan sejak lama dia sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk itu. Tidak ada keraguan di matanya.

“Zeina?” panggilan Sari menyadarkan Zeina dari lamunannya. “Kamu baik-baik aja?”

Zeina tersenyum, mencoba mengusir kecemasan yang menggelayut. “Iya, kok. Kenapa?”

Sari menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Kamu gak keliatan oke. Ada masalah?”

Zeina menghela napas pelan, menatap buku di depannya yang kosong. “Gak apa-apa. Cuma… aku nggak tahu mau jadi apa setelah lulus, Sari. Semua orang kayaknya udah tahu arah mereka, sementara aku…” suara Zeina sedikit tercekat, “Aku merasa seperti hilang, gak punya arah.”

Sari terdiam sejenak, kemudian menggenggam tangan Zeina dengan lembut. “Zeina, kita masih muda. Semua orang punya prosesnya masing-masing. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kamu pasti temuin jalanmu, kok.”

Tapi, kata-kata itu tak bisa menghapus kecemasan yang ada di hati Zeina. Bagaimana bisa ia merasa yakin jika jalan yang harus ia pilih masih terasa kabur? Setiap kali dia mencoba memikirkan masa depan, hatinya hanya dipenuhi oleh rasa takut yang menggelisahkan. Dia takut gagal, takut tidak memenuhi harapan orang tua, takut menjadi orang yang tidak berarti.

Zeina mencoba menyibukkan diri dengan membuka buku pelajaran, namun fokusnya terpecah. Kata-kata gurunya berputar-putar di kepalanya, tentang ujian yang semakin mendekat, tentang nilai yang harus terus meningkat agar bisa diterima di universitas impian. Namun, baginya itu bukan hanya soal nilai, tetapi lebih kepada pertanyaan besar yang menghantui: “Apa yang harus aku lakukan setelah ini?”

Teman-temannya mulai berbisik tentang ujian, tentang rencana kuliah, tentang cita-cita yang sudah mereka pilih. Zeina mendengarkan dengan seksama, berusaha menangkap secercah harapan dari percakapan mereka. Namun, setiap kali ia mencoba untuk membayangkan dirinya di dalamnya, dia merasa kosong. Tidak ada gambaran jelas tentang apa yang dia inginkan. Semua itu terasa asing, jauh dari jangkauannya.

Zeina merasa seolah-olah dirinya terperangkap dalam kerumunan, berusaha mengikuti langkah orang lain, namun tak pernah benar-benar menemukan tempatnya. Seolah-olah dia terus berlari mengejar sesuatu yang tak pernah bisa ia capai.

Saat bel istirahat berbunyi, Zeina keluar dari kelas, mencoba menjernihkan pikiran. Dia berjalan ke kebun sekolah, tempat favoritnya untuk berpikir. Di sana, di antara bunga-bunga yang mekar dan pepohonan rindang, dia sering kali merasa sedikit lebih tenang. Namun kali ini, meskipun angin sore menerpa wajahnya dan burung-burung berkicau riang, kecemasan itu masih ada. Tidak bisa ia hindari.

Zeina duduk di bangku kayu, memandangi pemandangan di depannya. Tiba-tiba, terlintas dalam pikirannya tentang masa kecilnya, tentang impian-impian yang dulu pernah ia miliki. Dulu, dia ingin menjadi seorang penulis, menggoreskan kisah-kisah indah ke dalam buku-buku. Namun, seiring berjalannya waktu, impian itu seakan terhapus oleh kenyataan hidup yang lebih menuntut. Kini, dia bahkan merasa ragu untuk mengakui bahwa menulis adalah sesuatu yang masih ingin ia coba.

“Kenapa aku merasa seperti ini?” bisiknya, menatap langit yang perlahan mulai berwarna oranye.

Zeina terdiam, merenung. Di balik senyumnya yang selalu terlihat ceria, ada banyak ketakutan yang belum pernah dia bagi dengan siapapun. Semua orang menganggapnya sempurna, tapi di dalam hatinya, dia merasa kosong. Dan malam ini, dia tahu satu hal: masa depan itu menakutkan, dan dia belum siap untuk menghadapinya.

 

Keterpurukan yang Tak Terlihat

Hari itu terasa sama seperti hari-hari lainnya sekolah yang penuh dengan hiruk-pikuk, tugas yang menumpuk, dan kehadiran teman-teman yang tampaknya sudah tahu persis apa yang mereka inginkan dalam hidup. Namun, bagi Zeina, hari itu berbeda. Ada sesuatu yang menggantung di dadanya, seperti beban yang semakin berat setiap kali dia berusaha bernapas.

Malam sebelumnya, Zeina tidak bisa tidur. Dia terjaga hingga larut, matanya terbuka lebar menatap langit-langit kamar yang gelap. Pikirannya berputar-putar, mempertanyakan setiap langkah yang telah dia ambil. Dia merasa seperti terjebak dalam ruang kosong, dan meskipun dia berusaha tersenyum di depan teman-temannya, di dalam dirinya, dia merasa seolah-olah sedang tenggelam perlahan. Kecewa, lelah, dan bingung dengan masa depannya.

Zeina tidak tahu apa yang dia inginkan. Semua orang di sekelilingnya seperti sudah memiliki peta jalan mereka sendiri. Sari, sahabatnya, selalu tahu kemana arah hidupnya, dan itu membuat Zeina semakin merasa asing dengan dirinya sendiri. Setiap kali dia mendengar rencana-rencana teman-temannya mau kuliah di luar negeri, mengambil jurusan favorit, atau mengejar karir impian Zeina merasa semakin jauh dari tujuan hidupnya.

Sekarang, di tengah kelas yang ramai dan penuh kegembiraan, Zeina kembali merasa terasing. Dia duduk di bangkunya, menatap kosong ke depan, mendengarkan guru yang sedang menjelaskan pelajaran tanpa benar-benar memahaminya. Tugas yang diberikan terasa berat, namun apa yang lebih berat dari itu adalah perasaan cemas yang terus menghantui pikirannya: “Apa yang harus aku lakukan setelah ini?”

Sari, yang duduk di sampingnya, mencoba mengajaknya bicara seperti biasa. “Zeina, kamu nggak dengerin pelajaran? Kok keliatannya jauh gitu?”

Zeina hanya mengangguk dan memberikan senyum tipis. “Iya, lagi banyak mikirin tugas yang lain. Gak apa-apa kok, Sari.”

Namun, Sari tidak mudah dibohongi. “Zeina, kamu pasti nggak baik-baik aja, kan?” Dia menatap Zeina dengan tatapan khawatir, matanya penuh perhatian.

Zeina menelan ludah, berusaha menahan air mata yang sudah mulai menggenang. “Aku cuma… bingung, Sari. Semua orang kayaknya udah tahu apa yang mereka mau, tapi aku… aku masih nggak tahu. Aku takut nggak bisa jadi apa-apa.”

Sari terdiam, kemudian meraih tangan Zeina. “Zeina, setiap orang punya waktu mereka sendiri untuk menemukan jalan. Nggak usah terlalu keras pada diri sendiri. Jangan terlalu membandingkan diri kamu sama orang lain.”

Namun kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Zeina. Ia merasa seperti ada beban besar yang menindih dada. Malam itu, dia kembali terjaga larut malam, menatap langit gelap yang tak menjawab segala keraguannya. Bahkan di dalam keheningan malam, kecemasan itu tidak hilang. Dia merasa semakin jauh dari apa yang seharusnya dicapai oleh anak seusianya.

Pada suatu hari, pelajaran terakhir hari itu adalah pelajaran olahraga. Zeina merasa agak lega karena bisa sedikit bergerak, meskipun hatinya masih terasa begitu berat. Di lapangan, teman-temannya tampak menikmati permainan bola basket, berlari dan bersorak dengan riang. Zeina duduk di pinggir lapangan, memandangi mereka dengan rasa iri yang sulit disembunyikan. Mengapa mereka bisa merasa begitu bebas, sementara dia terjebak dalam ketakutannya sendiri?

Lalu, seseorang duduk di sebelahnya. Itu adalah Arina, teman sekelas yang jarang berbicara dengannya, tetapi hari itu dia tampak ingin mengajak Zeina berbicara.

“Zeina, kamu kenapa? Dari tadi kok keliatannya nggak semangat?”

Zeina menatap Arina, lalu menghela napas panjang. “Aku cuma bingung, Arina. Aku takut nggak bisa mencapai apa yang mereka capai. Semua orang punya tujuan, sementara aku kayak gak punya arah.”

Arina tersenyum lembut dan menatap Zeina dengan bijak. “Zeina, kamu tahu nggak, banyak orang di luar sana yang nggak tahu apa yang mereka inginkan, bahkan setelah lulus dari sekolah. Yang penting adalah terus berusaha dan gak takut untuk mencoba banyak hal. Setiap orang punya waktunya masing-masing untuk menemukan apa yang mereka suka. Kalau kamu belum tahu sekarang, itu nggak apa-apa. Coba aja sesuatu yang baru, pelan-pelan, dan biarkan waktu yang menjawab.”

Zeina merasa sedikit terhibur dengan kata-kata Arina, namun rasa cemas itu masih menggerogoti hatinya. Benarkah begitu? Benarkah ia hanya perlu mencoba hal-hal baru untuk menemukan jawabannya? Tapi, apa yang harus ia coba? Dia tidak tahu.

Hari-hari berikutnya, kecemasan Zeina semakin menguasai dirinya. Setiap kali ada ujian, setiap kali ada tugas, setiap kali ada percakapan tentang masa depan, hatinya semakin berdebar. Rasa takut akan kegagalan semakin menggerogoti pikirannya. Di dalam benaknya, dia merasa seperti tidak mampu memenuhi harapan orang tuanya, guru-gurunya, bahkan teman-temannya.

Zeina kembali ke kebun sekolah, tempat di mana dia sering mencari ketenangan. Namun, kali ini kebun itu seakan tidak bisa memberikan rasa damai seperti dulu. Dia duduk di bangku yang sama, di bawah pohon yang rindang, namun hatinya tetap terasa kosong. Mungkinkah selama ini dia sudah terlalu lama berpura-pura bahagia? Mungkin, kebahagiaannya hanyalah topeng untuk menutupi rasa takut dan kegelisahan yang semakin menguasai hidupnya.

Zeina menatap langit senja yang mulai menguning, berusaha mencari ketenangan di tengah kekacauan dalam dirinya. “Aku harus bisa, kan?” gumamnya pelan. “Aku harus bisa menemukan jalan aku sendiri.”

Namun, di dalam hatinya, dia tahu satu hal yang pasti kecemasan ini belum akan pergi begitu saja.

 

Dalam Keheningan, Pencarian Dimulai

Zeina duduk sendiri di sudut ruang perpustakaan. Pemandangan luar jendela seolah menjadi latar belakang bagi pikirannya yang tak pernah berhenti berputar. Angin sore yang bertiup lembut membuat daun-daun pohon di luar bergoyang pelan, namun perasaan di dalam dirinya tetaplah hampa dan gelisah. Sesekali, dia menatap tumpukan buku di mejanya, merasa seperti ada beban besar yang menindih dirinya.

Sejak percakapan dengan Arina beberapa hari lalu, Zeina tidak bisa berhenti memikirkannya. “Coba sesuatu yang baru, pelan-pelan, dan biarkan waktu yang menjawab.” Kata-kata itu terus bergema dalam pikirannya, namun sejauh mana dia bisa mengikuti saran itu? Apa yang bisa dia coba, sementara setiap langkah yang dia ambil terasa seperti sebuah kesalahan? Dia merasa terjebak, terperangkap dalam kebingungannya sendiri.

Hari-hari berjalan tanpa perubahan yang berarti. Zeina masih datang ke sekolah, masih tersenyum di hadapan teman-temannya, tetapi hatinya kosong. Setiap kali dia melihat mereka berlari mengejar impian mereka, ada sebuah rasa iri yang begitu menyakitkan. Mungkinkah mereka benar-benar tahu apa yang mereka inginkan? Atau mereka hanya berpura-pura seperti dirinya?

Di tengah kekosongan itu, ada satu hal yang terus menarik perhatian Zeina—kebun sekolah. Itu adalah satu-satunya tempat di mana dia merasa sedikit lebih tenang, meski tetap dihantui rasa cemas yang tak kunjung hilang. Mungkin itu karena kebun itu adalah tempat yang penuh dengan kehidupan bunga-bunga yang mekar, pohon-pohon yang rindang, dan burung-burung yang terbang bebas. Di sana, dia merasa seolah bisa sedikit melupakan keraguannya tentang masa depan.

Zeina memutuskan untuk pergi ke kebun lagi sore itu, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian. Langkah kakinya terdengar nyaris tak terdengar di atas rumput yang lembut. Dia duduk di bangku kayu yang berada di bawah pohon yang rindang, tempat yang selama ini selalu memberinya rasa tenang meskipun tidak sepenuhnya menghilangkan kekhawatirannya.

Dia mengeluarkan buku catatannya dan mulai menulis, mencoba menyalurkan perasaannya dalam bentuk kata-kata. “Apa yang harus aku lakukan? Kenapa semuanya terasa begitu sulit? Apa aku akan pernah tahu arah hidupku?” tulisnya. Di sela-sela kata-kata itu, ada satu pertanyaan yang selalu menghantuinya, yang semakin jelas di benaknya: Apakah aku cukup baik untuk menggapai impianku?

Sambil menulis, Zeina teringat lagi pada kata-kata Arina. “Setiap orang punya waktunya masing-masing untuk menemukan jalan.” Mungkin Arina benar. Mungkin dia hanya perlu memberi dirinya waktu, untuk benar-benar mencoba sesuatu tanpa terlalu terbebani dengan hasilnya. Namun, apakah itu mudah? Tidak. Setiap hari terasa seperti perjuangan untuk menemukan kepastian, untuk mengetahui apakah semua ini akan berujung baik-baik saja.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mengalihkan perhatiannya. Zeina menoleh dan melihat Sari, sahabatnya, yang sedang berjalan menuju kebun dengan senyum lebar di wajahnya. Sari selalu terlihat penuh semangat, seolah tidak pernah ada masalah yang bisa membuatnya terpuruk. Namun, Zeina tahu bahwa di balik senyum itu, Sari juga memiliki perjuangannya sendiri. Mereka berdua hanya berbeda dalam cara menyembunyikan beban mereka.

“Eh, Zeina! Lagi apa kamu di sini?” sapa Sari sambil duduk di sebelahnya, memandangi buku catatan Zeina yang terbuka.

Zeina terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. “Aku cuma… lagi mikirin banyak hal,” jawabnya pelan.

Sari mengangguk, lalu menolehkan kepalanya sedikit. “Aku tahu kok, kamu pasti lagi banyak pikiran. Tapi, kamu tahu nggak? Setiap orang itu punya jalan masing-masing. Jangan terlalu dipaksain buat tahu semua sekarang. Gimana kalau kamu coba cari hal-hal yang bikin kamu senang dulu aja?”

Zeina menatap Sari, terkejut dengan kata-kata itu. “Maksud kamu, coba cari yang bikin senang dulu?”

“Iya, kenapa nggak? Coba aja sesuatu yang bikin kamu bahagia. Gak usah mikirin hasilnya dulu, cuma nikmati prosesnya. Kalau kamu terus-terusan mikirin masa depan, kamu bakal kehabisan waktu untuk menikmati hidup yang sekarang.”

Zeina terdiam, meresapi kata-kata Sari. Selama ini dia begitu fokus pada apa yang akan terjadi di masa depan hingga dia lupa untuk menikmati langkah-langkah kecil yang ada di depannya. Mungkin inilah saatnya untuk berhenti terjebak dalam kecemasan dan mulai mencoba menikmati setiap momen.

Pikirannya kembali melayang ke kebun yang kini terasa semakin hidup di matanya. Angin yang berhembus, daun-daun yang bergoyang, serta aroma tanah yang segar semua itu memberikan rasa tenang yang sangat dia butuhkan. Dengan perlahan, Zeina menutup buku catatannya dan menatap langit yang mulai berubah warna.

“Aku akan mencoba, Sari,” katanya, berbisik pelan pada dirinya sendiri. “Aku akan mencoba untuk berhenti khawatir dan mulai menikmati setiap langkahku.”

Sari tersenyum lebar mendengarnya. “Gitu dong! Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Kalau kamu bahagia, masa depan juga bakal ngikutin kok.”

Mereka duduk bersama, menikmati senja yang perlahan turun. Di tengah keheningan itu, Zeina merasa sedikit lebih ringan. Mungkin dia belum tahu arah hidupnya, tetapi untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, dia merasa bahwa tidak apa-apa untuk tidak tahu. Tidak apa-apa untuk berjuang dan mencari jalan dengan cara sendiri.

Malam itu, saat Zeina kembali ke rumah, ada sedikit rasa damai dalam hatinya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi dia tahu satu hal dia siap untuk menghadapi apa pun itu. Dan yang lebih penting, dia akan belajar untuk menikmati setiap prosesnya, tanpa terlalu terbebani oleh kecemasan tentang masa depan.

Mungkin, pada akhirnya, jalan itu akan datang dengan sendirinya.

 

Titik Balik yang Tak Terduga

Pagi itu, Zeina terbangun dengan perasaan yang agak berbeda. Meski awan kelabu menggantung rendah di langit, ada secercah harapan yang muncul dalam hatinya. Semalam, setelah berbicara dengan Sari, ia merasa sedikit lebih tenang. Rasanya seperti sebuah beban besar terangkat dari pundaknya, meskipun sedikit. Ia mulai berpikir, mungkin Sari benar mungkin untuk saat ini, ia hanya perlu mencoba menemukan kebahagiaannya terlebih dahulu, tanpa terbebani oleh masa depan yang masih jauh di depan sana.

Zeina duduk di tepi tempat tidurnya dan menatap cermin. “Hari ini, aku akan coba lebih santai,” gumamnya pada diri sendiri. Ia tersenyum kecil, mencoba menenangkan dirinya yang masih penuh cemas. Sejak beberapa minggu terakhir, ia merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak tahu harus memilih ke mana. Sekolah, ujian, teman-teman, semuanya terasa menumpuk. Rasanya seperti dunia ini terlalu besar untuk dipahami oleh seorang remaja seperti dirinya. Tapi kemarin, di kebun sekolah, ia merasa bahwa mungkin ada cara lain—cara untuk menikmati perjalanan hidupnya sedikit demi sedikit.

Zeina melangkah keluar rumah, menyadari betapa banyak hal yang masih ingin ia capai, tetapi ia juga tahu bahwa jika ia terus meresahkan setiap langkah yang akan diambil, ia akan kehilangan kesempatan untuk menikmati perjalanan itu sendiri.

Di sekolah, suasana terasa lebih hidup dari biasanya. Teman-temannya berbicara dengan penuh semangat, menyambut hari baru dengan penuh keceriaan. Zeina berjalan menuju kelas dengan langkah yang lebih ringan. Meski masih ada keraguan di dalam hatinya, ada rasa percaya diri yang perlahan tumbuh. Ia merasa seperti menemukan sedikit cahaya di tengah kegelapan hatinya.

Saat tiba di kelas, ia disambut dengan senyuman teman-temannya. Mereka mengobrol seperti biasa, dan Zeina merasa sedikit lebih lega. Meski hatinya masih dipenuhi kecemasan tentang masa depan, hari ini, ia memutuskan untuk sedikit berhenti memikirkannya. Ia ingin menikmati hari ini, dan itu sudah cukup baginya.

Pelajaran berlangsung seperti biasa, hingga bel masuk jam istirahat tiba. Saat itu, Zeina memutuskan untuk pergi ke kebun sekolah lagi, tempat yang semakin menjadi pelarian bagi pikirannya. Langkahnya terasa lebih mantap kali ini, meski hatinya tetap ada sedikit keraguan. Apakah ia benar-benar bisa menemukan apa yang ia cari? Apakah kebun itu akan memberikan jawaban yang selama ini ia harapkan?

Zeina duduk di bangku kayu yang sama, di bawah pohon yang sudah mulai menggugurkan daun-daunnya. Di sana, dia melihat sekelompok murid lain sedang bermain bola, tertawa, dan berbicara dengan riang. Semua terlihat begitu mudah, seperti mereka tahu apa yang mereka inginkan dan mereka bahagia dengan itu.

Namun, Zeina hanya bisa memandangi mereka dengan rasa asing. Seolah dunia itu bukan untuknya. Ia merasa seperti terasing, bahkan di tengah keramaian teman-temannya sendiri. Kadang, ia merasa kesepian meskipun dikelilingi oleh banyak orang. Perasaan itu semakin nyata saat melihat teman-temannya yang tampak begitu ceria dan tanpa beban.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang menghampiri. Zeina menoleh, dan melihat Sari berjalan mendekat. “Lagi mikir, ya?” tanya Sari sambil duduk di sampingnya.

Zeina hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Sari melihat ekspresinya yang cemas, lalu tersenyum dan berkata, “Zeina, aku ngerti kok, semua orang pasti pernah ngerasain itu. Kadang kita merasa kayak semua yang kita lakukan itu nggak cukup. Tapi, percayalah, nggak ada yang bisa tau masa depan dengan pasti. Jadi, kenapa nggak nikmatin aja yang ada sekarang? Coba pikirin apa yang bisa bikin kamu bahagia dulu, baru nanti semuanya akan ngebuka dengan sendirinya.”

Zeina menunduk, mencoba mencerna kata-kata Sari. “Aku takut, Sari,” akhirnya Zeina mengungkapkan, suara pelan namun penuh perasaan. “Aku takut kalau aku nggak akan pernah tahu jalan yang tepat buat aku. Kalau aku salah pilih, aku nggak tahu apa yang harus dilakukan.”

Sari menghela napas, lalu meletakkan tangan di bahu Zeina. “Aku ngerti banget perasaan itu. Tapi, inget ya, nggak ada yang namanya langkah yang salah. Semua itu proses. Kamu coba sesuatu, kalau nggak berhasil, coba lagi. Setiap kegagalan itu bagian dari perjalanan, dan itu nggak bikin kamu lebih buruk. Itu malah bikin kamu lebih kuat.”

Zeina menatap Sari, merasa sedikit lebih lega. Kata-kata itu, meskipun sederhana, terasa begitu menenangkan. “Tapi… bagaimana kalau aku nggak tahu harus mulai dari mana?” tanya Zeina, masih bingung.

Sari tertawa kecil, “Coba deh mulai dari hal-hal kecil. Coba bicara sama orang yang kamu anggap inspirasi buat kamu. Ikuti passion kamu. Nggak perlu muluk-muluk, yang penting coba dulu. Mulai dari yang kecil, dan nanti kamu akan menemukan arah.”

Zeina mengangguk pelan. Sepertinya Sari benar. Mungkin dia terlalu terbebani oleh gambaran besar masa depan yang kabur. Mungkin langkah pertama yang benar adalah menerima kenyataan bahwa ia belum tahu semuanya, dan itu tidak masalah. Setiap orang punya waktu dan cara masing-masing untuk menemukan jalan mereka.

Hari itu, Zeina pulang ke rumah dengan perasaan yang berbeda. Meskipun masih ada keraguan di dalam dirinya, dia merasa sedikit lebih tenang. Hari-harinya mungkin tidak akan mudah, dan mungkin perjalanan hidupnya tidak akan selalu mulus. Tetapi yang pasti, dia tahu satu hal ia tidak sendirian. Dan lebih penting lagi, ia punya kekuatan untuk menghadapi semuanya, sedikit demi sedikit, dengan cara yang ia pilih sendiri.

Malam itu, Zeina berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. “Aku nggak harus tahu semuanya sekarang. Aku cuma harus berusaha dan nggak takut gagal. Semua akan datang pada waktunya,” katanya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan hati yang masih penuh kecemasan.

Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, Zeina merasa bahwa sedikit demi sedikit, dia mulai menemukan kedamaian dalam dirinya. Mungkin perjalanan ini panjang, tetapi dia siap untuk melangkah, bahkan jika langkah pertama itu adalah langkah kecil.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Zeina mengajarkan kita bahwa kecemasan tentang masa depan adalah hal yang wajar, tetapi bukan penghalang untuk terus maju. Dengan ketekunan, dukungan teman-teman, dan keberanian untuk mengambil langkah pertama, kita bisa menemukan jalan menuju ketenangan dan keberhasilan. Jadi, jika kamu sedang merasa cemas tentang masa depan, ingatlah bahwa perjalanan Zeina adalah bukti bahwa kita bisa menghadapi segala tantangan, asalkan kita percaya pada diri sendiri dan tetap berusaha. Semoga cerita ini memberi inspirasi dan kekuatan untuk melangkah lebih maju!

Leave a Reply