Cerpen Romantis Menggemaskan: Kisah Cinta yang Tak Terduga

Posted on

Jadi, bayangin deh, ada dua orang yang awalnya nggak terlalu nyambung, tapi tiba-tiba malah jadi serasi banget. Yang satu, cowok dingin dan cuek, yang satunya, cewek ceria yang selalu bikin suasana jadi lebih hidup.

Keduanya sama-sama nggak ngerti kenapa, tapi malah asyik banget buat saling ngobrol, ketawa, dan kadang ngelakuin hal konyol bareng. Pokoknya, cerpen ini bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri, karena kisahnya beneran menggemaskan dan nggak terduga. Yuk, simak kisah cinta mereka yang penuh tawa dan kejutan ini!

 

Kisah Cinta yang Tak Terduga

Perjumpaan yang Tak Terduga

Pagi itu kampus terasa lebih sibuk dari biasanya. Suara langkah-langkah kaki yang terburu-buru bergema di sepanjang lorong kampus, ditambah dengan suara percakapan teman-teman yang berseliweran di sekitar. Aku berjalan pelan, memikirkan tugas yang belum selesai dan jadwal kuliah yang tak ada habisnya. Di pelataran kampus, sepertinya hanya aku yang tidak terburu-buru—menikmati sejenak suasana yang ramai meski terasa hampa.

Kampus ini memang tidak pernah sepi, dan seringkali aku merasa seperti seorang asing di tengah keramaian. Tidak ada teman dekat di sini, dan aku lebih sering menyendiri. Aku selalu duduk di belakang kelas, menghindari kerumunan, dan lebih suka fokus pada tugas daripada bergaul. Mungkin itu sebabnya aku sering dilewatkan begitu saja.

Tapi hari itu, ada sesuatu yang berbeda.

Di dekat bangku panjang, aku melihat seorang gadis berdiri, tampak kebingungan. Kendra. Ya, dia. Aku ingat pertama kali melihatnya dua minggu lalu di kelas teori sastra. Meskipun selalu duduk di belakang, aku sering memperhatikannya tanpa alasan yang jelas. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku penasaran. Terkadang dia terlihat sangat serius, seperti sedang memikirkan sesuatu yang besar, tapi juga… terlihat rapuh.

Kendra berdiri sendiri, matanya melirik ke sekeliling seperti mencari seseorang atau sesuatu. Rambutnya yang ikal itu terurai begitu saja, dan dia mengenakan hoodie putih yang sedikit kebesaran. Punggungnya sedikit membungkuk, seolah-olah dia sedang memikirkan apakah harus melangkah lebih jauh atau hanya tetap berdiri di tempat.

Tanpa sadar, langkahku mempercepat, dan aku merasa aku sudah terlalu dekat untuk mundur. Ini gila. Kenapa aku mendekatinya?

Aku menarik napas dalam-dalam. Sepertinya ini satu-satunya kesempatan yang aku punya untuk berbicara dengannya, jadi aku harus melakukannya.

“Kendra?” suaraku terdengar lebih ragu daripada yang aku harapkan.

Dia menoleh dengan cepat, matanya sedikit terkejut. Sepertinya dia tidak menyangka ada yang memanggilnya. Saat pandangannya bertemu denganku, aku merasa ada sedikit kekosongan dalam dirinya, sesuatu yang berbeda dari biasanya.

“Oh, hi! Kamu… Dylan, kan?” katanya dengan suara pelan tapi terdengar ceria.

Aku mengangguk, agak kikuk. “Iya, Dylan. Aku lihat kamu lagi sendirian. Ada yang bisa aku bantu?”

Dia tersenyum kecil, kemudian menggelengkan kepala. “Nggak, nggak ada. Aku cuma… bingung aja, gitu.”

“Ada apa? Mau kemana?” tanyaku dengan penasaran, meski aku tahu seharusnya aku nggak terlalu mendesaknya. Tapi entah kenapa, aku ingin tahu lebih banyak.

Kendra menyentuh ujung rambutnya, sedikit canggung. “Aku nggak tahu… Kayaknya aku nggak cukup berani buat ngelakuin sesuatu sendiri, tapi nggak ada yang ngajak bareng.”

“Berarti kamu takut sendirian?” aku bertanya sambil mencoba meredakan ketegangan yang mulai muncul di antara kami.

Kendra tertawa pelan, suaranya melengking tinggi seperti suara anak kecil yang ketawa tanpa beban. Itu suara yang sangat berbeda dengan kesan serius yang selalu kubayangkan. Aku terkejut dan tak bisa menahan senyum. “Aku nggak takut, sih. Cuma aja… nggak suka sendiri. Apalagi kalau nggak tahu harus ngapain.”

Dia memiringkan kepalanya, lalu kembali menatapku dengan ekspresi yang tiba-tiba berubah serius. “Tapi… aku juga nggak tahu kenapa aku ngerasa nyaman ngobrol sama kamu.”

Aku hanya terdiam sejenak, sedikit bingung. Tentu saja, kami belum pernah berbicara banyak, dan selama ini dia selalu terlihat seperti orang yang lebih memilih menjaga jarak. “Hmm… Aku juga nggak tahu, sih,” jawabku pelan. “Mungkin… karena kita udah sering ngeliat satu sama lain di kelas.”

Kendra mengangguk pelan. “Mungkin, ya.”

Aku merasa sedikit canggung, tapi pada saat yang sama, ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Aku nggak tahu pasti apa itu, tetapi rasanya ringan, seperti ada sesuatu yang menghubungkan kami tanpa perlu banyak kata.

Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Kendra akhirnya membuka mulut lagi. “Kamu tahu nggak, Dylan?” katanya dengan wajah serius namun matanya masih memancarkan cahaya yang ceria. “Aku nggak terlalu suka jadi orang yang selalu serius. Aku pengen lebih santai, kayak kamu.”

Aku tersenyum kecil. “Santai aja, nggak perlu terlalu dipikirin. Kadang kita memang terlalu sibuk mikirin yang nggak perlu.”

Kendra tertawa lagi, kali ini lebih santai. “Iya, ya? Mungkin aku harus mulai belajar untuk nggak terlalu mikirin apa yang orang lain pikirkan tentang aku.”

Aku tersenyum lebar, merasa semakin dekat dengan gadis di depanku ini. “Mungkin itu bisa jadi awal yang bagus, Kendra.”

Kami terdiam sejenak, hanya ada suara angin yang berbisik di antara kami. Kendra menunduk, mungkin merasa sedikit canggung, tapi aku bisa merasakan ada kenyamanan di antara kami yang tumbuh begitu saja. Tak perlu usaha keras, tak perlu drama besar, hanya obrolan ringan dan tawa yang mengalir begitu saja.

“Jadi… mau ikut makan siang bareng?” aku bertanya, berharap dia nggak merasa tertekan.

Dia menatapku dengan senyum malu, dan aku merasa jantungku sedikit berdegup lebih cepat. “Hmm… oke, sih. Aku rasa itu nggak terlalu buruk.”

Aku tersenyum, merasa lega. Entah kenapa, hatiku terasa lebih ringan. Kendra ternyata lebih sederhana dari yang aku bayangkan, dan dia bisa membuat segala hal terasa mudah. Tanpa sadar, aku merasa sepertinya kami sudah saling mengenal lebih lama daripada yang sebenarnya.

Kami berjalan bersama menuju kantin kampus, berbicara tentang hal-hal kecil yang ternyata cukup menarik untuk dibicarakan. Mungkin ini baru awal, dan mungkin ada banyak hal yang belum kami ketahui tentang satu sama lain. Tapi yang jelas, hari ini terasa lebih ringan dari biasanya.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa senang untuk menjadi bagian dari dunia yang selama ini terasa begitu jauh.

 

Tawa yang Menghubungkan

Kedua kaki kami melangkah bersamaan menuju kantin kampus, meskipun jarak kami cukup dekat, rasanya ada sesuatu yang terasa lebih jauh. Aku bisa mendengar langkah Kendra yang sedikit tertatih di sampingku, diikuti dengan suara desiran napasnya yang pelan, seperti dia sedang berpikir keras tentang sesuatu.

Aku mencoba untuk tidak terlalu berpikir, meski sebenarnya rasanya aneh—aku merasa lebih nyaman berjalan bersamanya daripada yang pernah kubayangkan. Ternyata, tidak ada kerumitan besar dalam berbicara dengannya. Kendra bukan tipe gadis yang terjebak dalam topik-topik berat yang biasa dibicarakan orang-orang di kampus. Dia lebih suka hal-hal sederhana, seperti makanan enak atau cerita lucu yang baru saja dia dengar. Semua itu membuatnya terasa lebih manusiawi, lebih nyata.

“Jadi, Dylan,” Kendra tiba-tiba membuka pembicaraan, suaranya sedikit lebih ceria dari sebelumnya, “kenapa sih kamu selalu duduk di belakang kelas? Kayak, kamu nggak pengen lebih terlihat atau apa?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya, meski aku sudah sering mendapatkan pertanyaan yang sama dari teman-teman yang lain. “Gak ada alasan khusus. Aku cuma… lebih nyaman di belakang. Bisa lebih fokus, gitu. Lagi pula, kadang orang-orang di depan terlalu ramai.”

Kendra tertawa mendengar jawabanku. “Aku kira kamu tipe orang yang selalu pengen duduk di depan, supaya bisa kelihatan keren dan gitu.”

Aku terkekeh. “Nggak juga. Kalau itu, aku bakal duduk di depan pintu, supaya kalau ada yang lewat bisa ngeliat aku.”

Dia menoleh ke arahku dengan ekspresi setengah penasaran. “Serius?”

“Serius. Tapi kalau aku duduk di depan, aku malah jadi nggak fokus sama materi kuliah. Jadi ya, lebih baik di belakang aja,” jawabku, sedikit bermain-main.

Kendra tampak memikirkan jawabanku sebentar, kemudian mengangguk dengan wajah bijak yang menggemaskan. “Ah, aku ngerti. Jadi, kamu tuh orang yang lebih suka fokus, ya?”

Aku mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-katanya. “Iya, bisa dibilang gitu. Kadang aku ngerasa kalau banyak yang nggak penting di sekitar kita, jadi lebih baik fokus sama apa yang kita inginkan.”

Dia terdiam sejenak, seperti berpikir dalam-dalam. Aku berharap dia nggak merasa bosan, karena aku tahu kadang aku bisa menjadi orang yang terlalu serius.

“Jadi, kamu nggak suka kalau ada yang gangguin, ya?” Kendra bertanya dengan nada setengah bercanda.

Aku tertawa pelan. “Gimana ya… kadang aku memang nggak suka diganggu. Tapi ya, kalau udah ngobrol sama orang yang aku kenal, rasanya bisa lebih nyambung.”

Dia mengangguk lagi, matanya berbinar. “Aku paham kok. Aku juga sering gitu. Aku lebih suka ngobrol sama orang yang nggak bikin aku merasa canggung.”

Kami sampai di kantin, dan aku mempersilakan Kendra memilih tempat duduk. Kantin kampus hari itu cukup ramai, tapi tidak ada yang terlalu mencolok. Kami duduk di pojok dekat jendela, tempat yang cukup tenang.

Setelah memilih makanan, kami duduk berhadapan, dan suasana kembali terasa nyaman meskipun baru beberapa jam yang lalu kami belum saling mengenal. Kendra menatapku dengan senyum kecil, seolah-olah mengamati wajahku yang lebih serius dari biasanya.

“Jadi, Dylan,” katanya, membuka percakapan lagi, “kenapa kamu nggak pernah ngobrol banyak sama orang lain? Kayak, kamu tipe yang… lebih suka diem, ya?”

Aku mengangkat bahu, sedikit bingung. “Mungkin. Aku nggak terlalu suka ngobrol sama orang yang nggak aku kenal baik. Kadang aku merasa kalau mereka ngomong hal-hal yang nggak penting. Jadi lebih baik diem aja.”

Kendra tertawa, kali ini lebih keras, dan suaranya terdengar lebih tulus. “Aku paham! Kamu pasti tipe orang yang nggak mau ikut campur sama drama, ya?”

Aku tersenyum, merasa sedikit lega karena bisa terbuka sedikit dengan Kendra. “Iya, bisa dibilang begitu. Aku nggak suka ribut-ribut yang nggak jelas.”

Dia menyendok makanannya, lalu menatapku dengan serius, meski mata nya masih memancarkan cahaya yang cerah. “Tapi, Dylan, kamu nggak pernah penasaran sama orang-orang yang kamu temui, gitu?”

Aku menatapnya, sedikit bingung. “Penasaran? Maksud kamu gimana?”

Dia tersenyum, membuat matanya sedikit melengkung, dan aku merasa ada sesuatu yang menyentuhku. “Penasaran sama apa yang mereka rasakan, apa yang mereka pikirkan. Maksudnya, kadang aku merasa kalau orang-orang itu punya cerita yang nggak pernah kita denger. Dan kadang, aku ingin tahu lebih banyak tentang mereka.”

Aku terdiam. Itu adalah pemikiran yang belum pernah aku pikirkan sebelumnya. Kendra benar, mungkin ada banyak orang dengan cerita yang tersembunyi di balik senyuman atau kata-kata mereka. Tapi, entah kenapa aku merasa lebih nyaman hanya melihat dunia lewat sudut pandangku sendiri.

“Kamu keren, Kendra,” kataku tanpa berpikir panjang. “Kayaknya kamu lebih bisa melihat dunia dari berbagai sisi. Aku malah jarang banget mikirin orang lain.”

Kendra tertawa lagi, kali ini terdengar lebih ringan, dan aku merasa semakin nyaman berada di dekatnya. “Jangan ngomong gitu, Dylan. Kamu juga punya cara sendiri buat melihat dunia, kan? Mungkin cuma nggak sadar aja.”

Aku mengangguk pelan, merasa kata-katanya cukup menenangkan. “Mungkin. Tapi aku nggak pernah mikir kalau ada orang yang bisa ngerti aku kayak kamu.”

Dia tersenyum manis. “Mungkin kita cuma butuh waktu untuk lebih kenal satu sama lain. Kalau gitu, kita mulai dari sini, ya?”

Aku tersenyum balik, merasa ada kehangatan yang tumbuh di dalam hatiku. Entah kenapa, berbicara dengannya terasa begitu mudah. Seperti kami sudah saling mengenal lebih lama, meskipun ini baru awalnya.

Di tengah tawa kami yang semakin akrab, aku merasa dunia ini menjadi sedikit lebih cerah. Tidak ada yang rumit, tidak ada yang sulit, hanya kami berdua, dua orang yang terhubung dalam cara yang begitu sederhana.

“Jadi, Kendra,” kataku setelah beberapa saat, “kapan kita ngobrol lagi? Aku nggak mau berhenti ngomong sama kamu.”

Kendra menatapku dengan senyum lebar. “Setiap kali kamu butuh teman ngobrol, aku ada kok, Dylan.”

Dan pada saat itu, aku merasa bahwa dunia yang terlalu rumit ini tiba-tiba menjadi lebih mudah dicerna.

 

Ketika Waktu Menjadi Milik Kita

Hari-hari berlalu dengan cepat sejak pertemuan pertama kami di kantin kampus. Setiap kali aku bertemu dengan Kendra, aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang selalu tertinggal ketika kami berpisah. Tidak ada yang bisa menjelaskan betapa anehnya perasaan itu, bagaimana rasanya selalu ingin tahu lebih banyak tentangnya, meski dia sudah cukup terbuka dengan segala hal yang ada di dalam kepalanya.

Kami sering bertemu di kampus, kadang hanya untuk berbincang ringan tentang hal-hal kecil atau sesekali berdebat tentang film atau makanan favorit. Kendra selalu punya pandangan yang segar, sesuatu yang berbeda dari kebanyakan orang. Namun, meskipun perasaan itu tumbuh, aku masih merasa ada jarak—jarak yang mungkin hanya bisa dihapus dengan lebih banyak waktu.

Sore itu, aku sengaja datang lebih awal ke kampus, berharap bisa bertemu Kendra lebih dulu. Kelas yang kami ambil berdua baru dimulai sekitar jam lima, tapi aku sudah duduk di bangku taman dekat gedung fakultas. Waktu itu langit mulai gelap, dan angin sepoi-sepoi membuat pohon-pohon sekitar bergerak pelan.

Aku mengecek jam di tangan, tak sabar menunggu. Beberapa menit kemudian, Kendra muncul dari balik pintu fakultas, mengenakan jaket biru tua yang cocok dengan celana jeansnya yang sudah sedikit kumal. Wajahnya tampak cerah meski hari sudah mulai senja. Dia melambaikan tangan dari kejauhan.

“Hei, Dylan!” teriaknya, dengan senyum yang tak pernah gagal membuat hati ini terasa lebih ringan. Aku mengangkat tangan, membalas sapaannya.

“Hei, Kendra! Baru datang?” tanyaku, memperhatikan dia berjalan menuju tempat dudukku.

“Iya,” jawabnya sambil duduk di sampingku. “Hari ini kelasnya sedikit membosankan. Penuh dengan teori yang… aduh, bikin ngantuk banget.”

Aku tersenyum mendengarnya, merasa bahwa Kendra benar-benar bisa menghidupkan suasana meskipun dia baru saja mengeluh. “Paham, aku juga ngerasain hal yang sama di kelas tadi. Tapi, kadang teori itu penting, kan? Walaupun bikin mata jadi berat.”

Kendra tertawa kecil, memutar matanya dramatik. “Kalau teori itu buat ujian sih, oke lah. Tapi kalau cuma buat buat tidur di kelas, mending nggak usah diajarkan.”

Aku tertawa, merasa semakin nyaman di dekatnya. Kami duduk diam beberapa saat, menikmati angin sore yang sejuk. Tidak ada yang perlu dipaksakan dalam kebersamaan ini. Kami hanya berbicara tentang apa pun yang terlintas di kepala, dan entah kenapa, itu terasa begitu menyenangkan.

“Kamu tahu nggak, Dylan,” kata Kendra tiba-tiba, menyadarkan aku dari lamunanku, “aku selalu penasaran sama satu hal tentang kamu.”

Aku menoleh ke arah Kendra yang tampaknya serius, meskipun senyum tipis masih menghiasi wajahnya. “Penasaran sama apa?”

Dia menatapku sejenak, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat. “Kenapa kamu selalu tampak… kayak nggak peduli sama apa yang terjadi di sekitar kamu? Seperti kamu punya dunia sendiri, gitu.”

Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Untuk pertama kalinya, Kendra berhasil menembus pertahanan yang selama ini kupertahankan. Aku selalu berpikir bahwa jika aku bisa menjaga jarak, aku akan lebih aman. Tapi Kendra, dengan caranya yang unik, seperti bisa melihat lebih dalam dari sekadar penampilan.

“Aku nggak selalu kayak gitu,” jawabku, mencoba mencari penjelasan yang tepat. “Mungkin, lebih tepatnya, aku nggak suka terjebak dalam hal-hal yang nggak penting. Aku lebih suka fokus ke apa yang aku anggap penting.”

Kendra mengangguk pelan, matanya menatapku dengan rasa ingin tahu yang semakin dalam. “Tapi bukannya hidup itu tentang lebih dari sekadar fokus pada satu hal? Bukankah kadang-kadang kita juga harus peduli sama hal-hal kecil di sekitar kita?”

Aku terdiam, merenung sejenak. Kata-kata Kendra memang benar. Kadang aku terlalu terfokus pada apa yang aku pikirkan, hingga melupakan hal-hal kecil yang ada di sekitar. Sesuatu yang seharusnya bisa membuat hidup terasa lebih hidup. Namun, aku merasa ada rasa canggung yang tiba-tiba mengalir di antara kami, seperti ada sesuatu yang belum terungkap.

Kendra tampaknya menyadari perubahan ekspresiku. “Maaf, aku nggak bermaksud bikin kamu merasa nggak nyaman,” katanya dengan nada lembut. “Aku cuma merasa… kadang kita terlalu terjebak dalam rutinitas, sampai lupa untuk menikmati momen sekarang.”

Aku menatapnya, sedikit terkejut. Tidak banyak orang yang bisa melihat dunia dengan cara seperti itu, apalagi gadis yang satu ini. “Nggak, kamu nggak bikin aku merasa nggak nyaman,” jawabku pelan. “Aku cuma mikir, kamu benar. Mungkin aku terlalu… fokus sama yang lain.”

Kendra tersenyum lebar. “Makanya, kalau kamu terus berlarian mengejar hal-hal besar, kamu bisa ketinggalan yang kecil-kecil yang justru lebih berharga. Kamu nggak mau kan, ketinggalan hal-hal yang bisa bikin kamu bahagia?”

Aku mengangguk pelan. Tidak banyak orang yang bisa memberi pandangan seperti itu, terutama dari seorang gadis yang sebelumnya aku anggap hanya sekadar teman. Namun, kini Kendra lebih dari itu. Dia membawa warna baru dalam hidupku, sebuah warna yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Tiba-tiba, dia menyentuh lenganku ringan. “Kamu pernah merasakan apa yang aku bilang, Dylan?” tanyanya dengan suara pelan. “Kalau ada momen yang bikin kamu ngerasa hidup banget, meski itu cuma sesaat?”

Aku terdiam, memikirkan pertanyaan itu. “Aku rasa… aku baru mulai ngerasain itu sekarang. Dengan kamu, Kendra.”

Dia tersenyum dengan cara yang membuat hatiku berdebar. Tidak ada kata-kata yang lebih baik dari itu, hanya senyum kecil yang mengisyaratkan bahwa kami sedang berjalan menuju tempat yang lebih dalam, tempat yang belum pernah kami ketahui sebelumnya.

Ketika Kendra tertawa ringan, aku menyadari satu hal: waktu yang kami habiskan bersama, meskipun sebentar, sudah cukup untuk memberi arti baru dalam hidupku. Dan aku tahu, perasaan ini baru saja dimulai.

 

Tak Ada Lagi Yang Perlu Ditakutkan

Hari-hari terus bergulir cepat, dan aku merasakan sesuatu yang tak pernah kumiliki sebelumnya. Perasaan itu tak dapat kugambarkan dengan kata-kata, lebih dari sekadar ketertarikan atau sekadar suka. Itu lebih dalam dari itu, lebih nyata, dan kini aku merasa tak bisa lagi melarikan diri.

Kendra sudah menjadi bagian dari rutinitasku, bagian dari kebiasaan yang tak bisa kuingkari. Setiap kali aku merasa penat, dia selalu ada, mengingatkan aku akan sesuatu yang lebih penting daripada sekadar mengejar tujuan yang tak jelas. Kami tak selalu berbicara tentang hal-hal besar, kadang hanya tertawa tentang sesuatu yang konyol, atau berbicara tentang hal-hal kecil yang membuat kami tersenyum. Tapi dari kebersamaan itu, aku mulai merasa bahwa hidup bukan hanya soal mencapai sesuatu, melainkan juga menikmati prosesnya, menikmati setiap detik yang kita jalani.

Sore itu, kami kembali bertemu di taman kampus, tempat yang selalu jadi saksi bisu dari percakapan ringan kami. Kendra duduk di sampingku, tangannya menggenggam gelas teh manis yang baru saja dia beli dari kafe kampus. Kami duduk dalam keheningan, hanya angin yang sesekali menyapa wajah kami. Tak ada kata-kata yang perlu diucapkan. Aku tahu, dia tahu, bahwa tak perlu banyak bicara untuk merasa nyaman bersama.

“Aku senang kita bisa ngobrol kayak gini,” kata Kendra, memecah keheningan.

Aku menoleh padanya, sedikit terkejut. “Kenapa? Apa yang membuat kamu senang?”

Dia tersenyum, senyum yang cukup untuk membuat hati ini berbunga. “Karena aku merasa kita bisa jadi diri kita sendiri. Tanpa harus mikirin banyak hal. Semua jadi lebih ringan.”

Aku mengangguk, merasa hal yang sama. “Aku juga merasa gitu. Kayak nggak ada beban kalau kita bersama.”

“Kamu tahu, Dylan,” Kendra melanjutkan, “kadang aku merasa kita udah cukup lama kenal, padahal baru sebentar. Kamu itu unik, ngerti nggak? Aku belum pernah punya teman yang… sejujur kamu.”

Aku tertawa ringan, merasa sedikit tersipu. “Aku cuma ngomong apa yang aku pikirin aja kok, nggak pernah takut untuk jujur.”

“Dan itu yang aku suka dari kamu,” jawabnya sambil memutar gelas teh di tangannya. “Kamu nggak coba-coba jadi orang lain. Itu yang penting.”

Aku menatapnya, merasa semakin dekat dengannya. “Terima kasih, Kendra. Kamu juga… luar biasa. Aku nggak pernah mikir kita bakal punya ikatan kayak gini.”

Kendra menatapku, matanya berbinar. “Kita nggak perlu mikir soal masa depan, Dylan. Yang penting, kita nikmati momen ini. Kalau kamu terus berpikir tentang apa yang bakal datang, kamu malah kehilangan hal-hal yang sekarang ada di depan mata.”

Aku terdiam mendengarnya. Kendra memang selalu punya cara untuk mengingatkan aku akan hal-hal yang kadang terlupakan. Ada banyak kekhawatiran di kepalaku, ada banyak rencana yang belum tercapai, tapi bersama Kendra, semuanya terasa lebih sederhana. Tak ada lagi rasa takut untuk gagal, tak ada lagi kecemasan tentang apa yang akan terjadi. Hanya ada saat ini, hanya ada kami berdua, dan itu sudah cukup.

“Aku nggak tahu kenapa, Kendra,” kataku dengan suara rendah, “tapi aku merasa kalau aku bersama kamu, semuanya jadi terasa lebih mudah.”

Dia tersenyum lebar, seolah aku baru saja mengungkapkan hal yang paling penting. “Itu karena kita saling melengkapi, Dylan. Kamu punya cara untuk membuat segala sesuatunya jadi lebih jelas, dan aku punya cara untuk membuat kamu nggak terlalu serius.”

Aku tertawa, merasa bahwa kata-kata Kendra sangat tepat. “Berarti kita saling mengisi, ya?”

“Ya,” jawabnya dengan yakin. “Dan itu yang membuat semuanya jadi berharga.”

Aku menghela napas panjang, seolah-olah semua kekhawatiran yang pernah ada di dalam pikiranku menguap begitu saja. Kendra benar. Mungkin, hidup bukan soal apa yang kita capai, tapi tentang siapa yang kita temui dan apa yang kita rasakan di sepanjang perjalanan itu.

Ketika kami duduk bersama di taman, aku merasa tak ada lagi yang perlu ditakutkan. Tak ada lagi keraguan. Tak ada lagi pertanyaan tentang apa yang akan datang. Hanya ada Kendra, hanya ada aku, dan kami berdua.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa aku sudah menemukan tempat yang tepat. Sesuatu yang lebih penting daripada sekadar tujuan—sesuatu yang lebih berharga daripada segala yang aku bayangkan sebelumnya.

Kami berdua hanya duduk di sana, saling tersenyum. Tak perlu kata-kata lagi. Hanya ada perasaan yang mengisi ruang di antara kami, perasaan yang lebih kuat dari apapun.

Dan aku tahu, inilah awal dari sesuatu yang tak akan pernah berakhir.

 

Jadi, mungkin begitulah cinta, kan? Nggak selalu tentang rencana besar atau kata-kata manis yang muluk-muluk. Kadang, cuma butuh dua orang yang saling ngerti tanpa harus banyak bicara.

Dan siapa sangka, yang dimulai dengan tawa-tawa konyol bisa jadi cerita yang nggak bakal terlupakan? Kalau kamu merasa sama, mungkin ini waktunya kamu ketawa bareng seseorang yang spesial juga. Cinta itu simpel, kok—kadang datang tanpa kita duga, dan bikin segala sesuatunya jadi lebih berwarna.

Leave a Reply