Senyum Kebaikan Adhi: Cerita Inspiratif Anak SMA yang Gaul dan Dermawan

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya Pernahkah kamu berpikir kalau tindakan kecil bisa berdampak besar? Cerpen ini mengisahkan Adhi, seorang anak SMA yang nggak cuma populer tapi juga punya hati besar untuk membantu orang lain.

Melalui kebaikan sederhana yang ia lakukan untuk adik kelasnya, Adhi berhasil menularkan semangat positif dan membawa perubahan bagi sekitarnya. Simak bagaimana perjuangan dan kebaikan bisa jadi inspirasi yang menular, bahkan dari hal-hal yang tampak sepele!

 

Cerita Inspiratif Anak SMA yang Gaul dan Dermawan

Sosok Gaul dan Dermawan di Sekolah

Siang itu, matahari seperti enggan menyapa terlalu lama. Awan-awan berarak menutupi sinarnya, membuat suasana sekolah jadi teduh dan nyaman. Suara riuh rendah dari kerumunan siswa memenuhi kantin, tempat favorit Adhi dan teman-temannya untuk berkumpul.

Di kalangan teman-teman, Adhi adalah sosok yang penuh energi. Gayanya santai dan karismatik, tapi yang paling bikin orang suka adalah senyumnya yang selalu tulus. Di mana pun Adhi berada, suasana pasti jadi ceria. “Bro, coba lihat meme yang gue dapet ini, lucu banget!” serunya sambil menunjukkan layar ponselnya ke gengnya. Mereka langsung terbahak-bahak, saling berdebat tentang meme siapa yang lebih kocak.

Tapi bukan cuma temannya yang senang berada di dekat Adhi. Bahkan guru-guru pun sering memberikan perhatian lebih padanya, bukan karena ia pintar atau rajin, tapi karena sikapnya yang tulus dan mudah didekati. Sejak masuk SMA, Adhi selalu bisa menjalin hubungan baik dengan semua orang. Ada saja hal kecil yang ia lakukan untuk bikin orang lain merasa dihargai.

Selesai makan siang, Adhi bangkit dari kursinya dan berniat kembali ke kelas. Tapi pandangannya terhenti pada sosok seorang adik kelas yang tampak terhuyung-huyung membawa tumpukan buku besar. Anak itu kelihatan cemas, sesekali memandang sekeliling seolah-olah mencari bantuan. Adhi bisa merasakan ada yang tak beres.

Tanpa berpikir panjang, Adhi melangkah cepat menghampiri anak itu. “Eh, tunggu bentar, gue bantuin bawa bukunya,” katanya dengan nada santai namun pasti. Anak itu tampak terkejut, mungkin tak menyangka akan dibantu oleh seorang senior.

“Beneran, Kak? Aduh, terima kasih banget ya!” katanya dengan nada lega.

Dengan senyum khasnya, Adhi meraih setengah tumpukan buku itu dan mulai berjalan bersama si adik kelas. “Namanya siapa, nih? Gue Adhi,” ujarnya mencoba mencairkan suasana.

“Namaku Dafa, Kak,” jawab anak itu sambil tertawa kecil, tampak sedikit lebih santai.

Sepanjang jalan ke perpustakaan, Dafa mulai bercerita soal proyek yang sedang dia kerjakan untuk kelasnya. Rupanya, dia mengalami kesulitan belajar dan sedang mencoba mencari buku referensi yang bisa membantunya memahami materi yang sulit. Adhi mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan sesekali komentar yang membuat Dafa merasa didengarkan. Dari cerita Dafa, Adhi bisa melihat kesungguhan adik kelasnya dalam belajar meski ada banyak tantangan.

Sesampainya di perpustakaan, Adhi membantu Dafa menata buku-buku di rak yang dimaksud. “Nah, lo coba deh buka-buka dulu bukunya, siapa tahu cocok buat materi lo,” katanya sambil tersenyum. Melihat Dafa tampak senang, Adhi merasa ada kepuasan tersendiri.

Namun, perhatiannya kembali terarah saat Dafa menghela napas panjang. “Sebenernya, aku agak kesulitan belajar buat ujian nanti, Kak. Aku udah coba baca-baca, tapi tetep nggak ngerti-ngerti.”

Adhi mengangguk penuh pengertian. Tanpa pikir panjang, ia menawarkan sebuah ide. “Gimana kalau nanti sore kita belajar bareng? Gue bisa bantuin lo di bagian yang lo bingungin,” tawarnya dengan nada tulus.

Mata Dafa langsung berbinar mendengar tawaran itu. “Beneran, Kak? Aduh, makasih banget, Kak Adhi! Aku nggak tahu harus bilang apa lagi.”

Adhi hanya tertawa kecil. “Santai aja, Dafa. Kita belajar sambil nongkrong asik. Lagian, siapa tahu gue juga bisa dapet insight baru dari lo.”

Perasaan bangga dan bahagia mengalir dalam diri Adhi. Ia merasa bukan sekadar membantu, tapi seperti menemukan arti baru dari keberadaannya di sekolah. Bukan hanya jadi anak gaul yang dikenal banyak orang, tapi juga bisa jadi seseorang yang memberikan dampak positif.

Saat mereka berjalan keluar dari perpustakaan, Dafa terlihat lebih ceria dan percaya diri. Di benak Adhi, ada harapan sederhana bahwa kebaikan kecil yang ia lakukan ini bisa menginspirasi orang lain di sekolahnya. Dan mungkin, siapa tahu, ini akan jadi awal dari perubahan kecil yang menyebar di kalangan teman-teman mereka.

Dengan langkah ringan, Adhi berjalan kembali menuju kelas. Sepanjang hari itu, ada senyum bangga yang sulit ia sembunyikan. Entah kenapa, membantu orang lain membuatnya merasa lebih berarti daripada sekadar jadi pusat perhatian di sekolah.

 

Pertemuan di Kantin dan Awal Kebaikan

Suasana kantin masih terasa ramai ketika Adhi kembali ke meja bersama teman-temannya. Mereka baru saja menyelesaikan makan siang, tapi tertawa dan bercanda seperti biasa. Di benaknya, masih tergambar jelas pertemuan singkatnya dengan Dafa, adik kelas yang tampak kesulitan tadi. Senyum Dafa yang penuh rasa syukur membuat Adhi merasa bersemangat, seperti ada energi baru yang menyala dalam dirinya.

“Lo kenapa senyum-senyum sendiri, Di? Lagi jatuh cinta sama siapa, nih?” canda Raka, sahabatnya yang paling suka melontarkan lelucon.

Adhi tertawa, lalu menggeleng. “Nggak lah, gue cuma bantuin adik kelas tadi bawa buku-buku buat tugas dia. Kasihan banget, sendirian dan kesusahan,” jawabnya ringan.

“Ah, lo ini emang nggak pernah berubah ya. Anak populer yang baik hati,” sindir Aryo sambil menepuk bahu Adhi. Meski bercanda, Aryo tahu betul kalau Adhi memang anak yang tulus. Sejak dulu, Adhi selalu bisa melihat kebutuhan orang lain dan tanpa ragu menawarkan bantuan, bahkan pada mereka yang mungkin baru dikenalnya.

Mereka melanjutkan obrolan tentang kegiatan akhir pekan nanti, hingga bel masuk kembali berbunyi. Sambil berjalan ke kelas, Adhi terpikir kembali tentang tawarannya untuk membantu Dafa belajar. Sebetulnya, Adhi bukan siswa terpintar di kelasnya. Nilainya memang bagus, tapi bukan yang terbaik. Namun, satu hal yang dia selalu percaya adalah bahwa belajar bersama bisa bikin suasana lebih menyenangkan dan materi pelajaran jadi lebih mudah dipahami.

Sepulang sekolah, Adhi langsung menuju ke kafe favoritnya, tempat biasa dia nongkrong dengan teman-temannya. Ia memang sudah memberitahu Dafa untuk bertemu di sana, dan ternyata Dafa sudah menunggunya di salah satu meja di sudut ruangan. Saat melihat Adhi datang, Dafa tampak sumringah dan sedikit canggung.

“Kak Adhi! Makasih ya udah mau datang,” sapa Dafa dengan senyum penuh harap.

Adhi menepuk bahunya. “Santai aja, panggil gue Adhi aja. Nggak perlu ‘kak-kak’ segala, gue nggak setua itu, kok,” candanya sambil tertawa. Dafa tersenyum malu-malu, lalu menaruh buku-buku pelajaran yang dibawanya di meja.

Mereka mulai dengan membuka beberapa soal yang sulit, dan Adhi dengan sabar mencoba menjelaskan materi yang menurut Dafa paling membingungkan. Kadang, Dafa menggelengkan kepala karena tetap merasa tidak paham, tapi Adhi tak pernah lelah untuk mengulangi penjelasannya dengan kata-kata yang lebih sederhana. Adhi tahu bagaimana rasanya kebingungan karena materi sekolah, dan ia ingin Dafa merasa nyaman bertanya.

“Lo nggak perlu buru-buru paham, Da. Pelan-pelan aja. Gue pun butuh waktu buat ngerti materi ini waktu pertama belajar,” kata Adhi dengan nada penyemangat.

Di tengah sesi belajar, Adhi sengaja menyelipkan candaan-candaan kecil yang bikin Dafa tertawa dan sedikit lebih rileks. Perlahan-lahan, Dafa mulai lebih berani bertanya, dan kepercayaan dirinya pun semakin tumbuh. Adhi melihat proses itu dengan senang. Baginya, ini bukan sekadar belajar, tapi juga kesempatan untuk membuat Dafa percaya bahwa dia bisa mengatasi kesulitannya.

Malam semakin larut, tapi mereka tak terasa sudah hampir menyelesaikan satu bab penuh. Ketika akhirnya Dafa berhasil menjawab soal yang sejak tadi sulit ia pahami, wajahnya terlihat bersinar senang. “Akhirnya ngerti juga, Kak!” serunya dengan semangat.

Adhi tersenyum puas. “Nah, gitu dong! Tuh kan, gue bilang juga apa, lo pasti bisa.”

Setelah menghabiskan beberapa jam di kafe itu, mereka pun memutuskan untuk pulang. Dafa berkali-kali mengucapkan terima kasih sambil menatap Adhi dengan tatapan penuh rasa kagum. “Makasih banget ya, Adhi. Kalau nggak ada lo, mungkin gue udah nyerah belajar untuk ujian minggu depan,” katanya tulus.

Sambil berjalan pulang, Adhi merasakan kepuasan tersendiri. Kebaikan kecil yang dia lakukan ternyata membuat dampak yang begitu besar bagi Dafa. Di benaknya, Adhi mulai menyadari bahwa memberikan waktu dan perhatian pada orang lain bisa menjadi bentuk perjuangan tersendiri. Meskipun mungkin kelihatan sepele, kebaikan kecil yang tulus itu ternyata bisa membantu orang lain melangkah lebih jauh.

Dan saat itu pula, Adhi merasa semakin yakin bahwa menjadi seseorang yang gaul dan populer bukan hanya tentang punya banyak teman atau dikenal banyak orang. Ada makna yang lebih dalam ketika popularitasnya diisi dengan hal-hal positif, kebaikan yang tak pernah ia rencanakan, tapi datang dari dalam hati.

Keesokan harinya di sekolah, Adhi merasakan sesuatu yang berbeda. Senyum hangat Dafa yang menyambutnya di pintu kelas memberikan semangat baru yang luar biasa. Mungkin, ini awal dari perubahan yang tak ia duga. Perubahan yang bukan hanya untuk Dafa, tapi juga untuk dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

 

Belajar Bersama di Kafe

Hari itu terasa berbeda bagi Adhi. Suasana di sekolah lebih riuh dari biasanya, mungkin karena ujian semester sudah semakin dekat. Semua siswa sibuk mempersiapkan diri, dan wajah-wajah tegang tampak di mana-mana. Tapi tidak dengan Dafa. Saat Adhi bertemu dengannya di lorong sekolah, Dafa menyambutnya dengan senyum lebar.

“Kak Adhi!” Dafa berseru sambil mengangkat buku pelajaran di tangannya. “Berhasil ngerjain soal-soal yang kemarin! Gara-gara bantuan kakak, aku jadi lebih percaya diri buat ujian nanti.”

Adhi merasa senang mendengarnya. Sejak pertemuan mereka di kafe kemarin, Dafa terlihat lebih ceria dan bersemangat belajar. Adhi ingat betul bagaimana mereka belajar bersama dengan penuh tawa dan perjuangan. Ternyata, kebaikan kecil yang ia berikan mampu membuat perubahan besar dalam diri Dafa. Semangat baru yang Dafa miliki sekarang tak hanya membuat Adhi bangga, tapi juga memberi arti pada usahanya.

“Bagus, Da! Terus pertahanin semangat lo, ya. Siapa tahu nanti lo jadi lebih jago dari gue,” ujar Adhi sambil tersenyum.

Keesokan harinya, setelah sekolah usai, Adhi dan Dafa memutuskan untuk belajar bersama lagi di kafe yang sama. Adhi sudah mulai menganggap ini sebagai rutinitas baru, bahkan ia merasa antusias untuk belajar bareng Dafa. Meski sibuk dengan pelajaran, momen-momen itu membuat Adhi belajar banyak hal, bukan hanya tentang pelajaran tapi juga tentang ketekunan dan ketulusan.

Saat mereka sampai di kafe, suasananya cukup ramai. Terdengar suara alunan musik ringan yang menemani para pengunjung menikmati kopi dan teh hangat. Adhi dan Dafa memilih meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian, supaya mereka bisa fokus.

“Jadi, sekarang bagian mana yang lo rasa masih susah?” tanya Adhi sambil membuka buku.

Dafa membuka buku catatannya, menunjuk beberapa soal matematika yang terlihat rumit. “Ini, Kak. Aku masih bingung gimana cara nyelesaikan soal kayak gini,” katanya sambil mengerutkan kening.

Dengan penuh kesabaran, Adhi mulai menjelaskan satu per satu langkahnya. Ia tahu bahwa Dafa bukan anak yang cepat memahami, tapi Dafa punya kemauan keras untuk belajar. Dan di situ, Adhi merasa bahwa perjuangannya bukan hanya mengajari soal pelajaran, tapi juga memberi kepercayaan diri untuk Dafa. Sesekali, Adhi menyisipkan candaan agar suasana tidak terlalu tegang. “Eh, kalau gue bisa paham soal ini, masa lo nggak bisa, sih? Kita sama-sama belajar, Bro!” katanya sambil tersenyum lebar.

Dafa terkikik dan semangatnya kembali muncul. Mereka berdua tenggelam dalam lembaran-lembaran soal, mencoba memahami konsep demi konsep yang seolah menantang. Adhi mulai menyadari, belajar bersama Dafa bukan sekadar soal mengajari materi pelajaran. Di balik itu semua, ada perasaan senang dan bangga ketika melihat perkembangan Dafa. Setiap kali Dafa berhasil menyelesaikan soal dengan benar, sorot mata antusias dan senyumnya seakan memberi energi baru bagi Adhi.

Waktu berlalu begitu cepat, dan mereka nyaris lupa waktu hingga langit di luar mulai gelap. Ketika mereka menyadari sudah hampir waktu pulang, Dafa menatap Adhi dengan penuh syukur.

“Makasih banget ya, Kak. Kalau nggak ada kakak, mungkin aku udah nyerah dari kemarin,” ujar Dafa dengan nada tulus.

Adhi tertawa kecil sambil menepuk bahunya. “Udah dibilang, lo nggak perlu panggil gue kakak. Santai aja, kita ini temenan, kan?” kata Adhi sambil tertawa.

Namun, di balik tawanya itu, Adhi merasa haru. Ia tak menyangka bahwa tindakan sederhana bisa membangun ikatan sekuat ini. Dafa mungkin hanya adik kelas yang awalnya tampak kikuk dan pemalu, tapi berkat semangatnya, Adhi merasa belajar banyak tentang arti ketekunan dan kesungguhan. Kebaikan yang ia lakukan kepada Dafa ternyata bukan sekadar bantuan kecil, tapi menjadi salah satu perjuangan untuk membawa Dafa ke tahap yang lebih baik.

Sebelum berpisah, Dafa berkata, “Aku janji, Kak… eh, maksudnya, Adhi. Aku bakal belajar sungguh-sungguh dan nggak bakal sia-siain waktu yang udah kita habisin buat belajar.”

Mendengar itu, Adhi merasakan ada kebanggaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dalam hati kecilnya, ia berharap semangat Dafa tidak pernah padam, dan ia akan terus menjadi seorang pelajar yang berani berjuang.

Sepanjang perjalanan pulang, Adhi merenung. Dulu, mungkin ia hanya melihat pergaulan dan popularitas sebagai hal yang penting. Namun kini, ia menyadari bahwa menjadi orang yang punya banyak teman bukan hanya soal dikenal, tapi soal bisa memberikan pengaruh positif bagi orang lain. Adhi mengerti, perjuangan kecilnya untuk membantu Dafa tak hanya memberi manfaat bagi Dafa, tapi juga mengubah cara pandangnya tentang arti sebenarnya dari pergaulan dan kebaikan.

Dan malam itu, saat Adhi merebahkan diri di tempat tidur, ia tersenyum puas. Perjuangannya mungkin belum selesai, tapi satu hal yang pasti, kini Adhi tahu bahwa kebaikan dan kepercayaan adalah hadiah terbesar yang bisa ia bagikan. Kebaikan yang ia lakukan untuk Dafa tidak hanya mengubah satu orang, tapi juga membawa arti baru dalam hidupnya.

 

Inspirasi Kebaikan yang Menular

Ujian semester telah tiba, dan sekolah dipenuhi dengan wajah-wajah tegang. Hari-hari belajar intensif di kafe bersama Dafa masih terbayang jelas di benak Adhi, yang kini duduk di kursinya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Dafa di ujung kelas. Adhi merasa sedikit cemas untuk adik kelasnya itu, tapi juga penuh harapan bahwa kerja keras mereka selama ini akan terbayar.

Selama minggu-minggu belajar bersama, Dafa menunjukkan perkembangan yang pesat. Anak yang awalnya gugup dan penuh kebingungan itu kini terlihat lebih percaya diri. Adhi merasa bangga, bukan hanya karena Dafa berhasil mengatasi kesulitannya, tapi juga karena ia berhasil membantu seseorang untuk tumbuh dan berani menghadapi tantangan.

Ketika bel tanda akhir ujian berbunyi, Adhi merasa lega. Ia menatap teman-temannya yang sama-sama menghela napas panjang. Namun, tidak seperti biasanya, hari itu Adhi merasa ada sesuatu yang berbeda. Biasanya, selesai ujian semester, dia langsung merencanakan acara nongkrong bareng teman-temannya, tapi kali ini ada dorongan lain yang lebih kuat.

Saat berjalan keluar kelas, Adhi berpapasan dengan Dafa yang sedang mengemas bukunya. Mereka bertukar senyum, dan Dafa tampak sangat lega.

“Gimana, Da? Lancar?” tanya Adhi sambil menepuk bahunya.

Dafa mengangguk semangat. “Lancar banget, Kak Adhi! Soal-soal yang kemarin kita pelajarin banyak yang keluar, jadi aku ngerasa bisa jawab dengan lebih tenang,” jawabnya dengan penuh antusiasme.

Mendengar itu, Adhi merasa senang. Namun, apa yang terjadi berikutnya benar-benar membuatnya tersentuh.

Beberapa hari setelah ujian berakhir, pengumuman hasil ujian pun ditempel di papan pengumuman. Siswa-siswa ramai berkumpul, berdesak-desakan untuk melihat hasil ujian mereka. Adhi yang datang bersama teman-temannya langsung mencari namanya di daftar nilai, dan begitu ia melihatnya, ia menghela napas lega. Nilainya lumayan bagus, cukup untuk mempertahankan posisinya di peringkat atas kelas.

Namun, perhatian Adhi langsung beralih ke sosok yang tampak sangat mencolok di depan papan pengumuman itu. Dafa, dengan wajah tak percaya, menatap nilai ujiannya. Di sebelahnya, beberapa teman sekelasnya juga tersenyum sambil menepuk bahunya.

“Selamat, Dafa! Nilaimu meningkat banget, lho!” seru salah satu temannya.

Dafa menoleh ke arah Adhi yang sedang memperhatikan dari jauh. Ia berlari menghampirinya dengan wajah penuh kebahagiaan. “Kak Adhi, aku… aku berhasil! Nilai-nilaiku naik dan masuk peringkat sepuluh besar!” katanya dengan mata berbinar.

Adhi tersenyum lebar dan menepuk bahunya. “Gue yakin lo bisa, Da. Gue cuma bantu sedikit, sisanya karena usaha lo sendiri,” ujarnya tulus.

Namun, yang membuat Adhi lebih terkejut adalah ketika Dafa mulai menceritakan sesuatu yang lebih dalam. “Kak, aku… terinspirasi dari kakak. Aku tahu, aku nggak cuma mau sukses sendiri. Jadi, aku dan beberapa teman sekelas bikin kelompok belajar kecil, kayak yang kakak buat sama aku. Kita bantu teman-teman lain yang kesulitan belajar. Aku ngerasa apa yang kakak lakuin ke aku harus aku terusin ke orang lain.”

Adhi tertegun. Perasaannya bercampur antara haru dan bangga. Dafa yang dulu tampak canggung dan pemalu kini memiliki semangat yang luar biasa untuk membantu orang lain. Apa yang dimulai dari tindakan kecil kini tumbuh menjadi kebaikan yang menular. Bukan hanya dirinya yang terinspirasi, tapi juga teman-teman Dafa yang kini menjadi bagian dari kelompok belajar itu.

Kepopuleran Dafa sebagai anak yang baik hati mulai menyebar. Tak jarang, Adhi melihat teman-teman Dafa ikut membantu teman-teman lain di perpustakaan. Dafa bahkan sering mengirim pesan kepada Adhi, bertanya tentang cara mengajarkan materi-materi yang lebih rumit kepada teman-temannya.

Melihat hal itu, Adhi merasa seperti menemukan makna baru dalam dirinya. Dulu, ia mungkin merasa puas hanya dengan popularitas di kalangan teman-temannya. Tapi kini, dia tahu bahwa menjadi seseorang yang populer bukan sekadar tentang dikenal banyak orang. Melainkan tentang memberi pengaruh baik, membuat orang lain merasa diperhatikan dan didukung. Dan Dafa telah membuktikan itu dengan menginspirasi orang lain di sekitarnya.

Suatu sore, saat mereka kembali belajar bersama di kafe, Dafa tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil dan menyodorkannya ke Adhi.

“Ini buat kakak,” katanya dengan canggung namun penuh ketulusan.

Adhi mengerutkan kening, bingung. “Apa ini, Da?”

“Ini sebagai tanda terima kasih aku untuk semua bantuan kakak. Aku nggak tahu harus gimana lagi buat bilang makasih, jadi aku beli ini,” ucap Dafa sambil tersenyum malu-malu.

Adhi membuka kotak kecil itu dan menemukan sebuah gantungan kunci kecil berbentuk buku. “Gue nggak nyangka, Da. Makasih banget, ya!” ujarnya dengan nada haru.

Malam itu, Adhi pulang dengan perasaan hangat yang sulit ia jelaskan. Di jalan pulang, ia menggenggam gantungan kunci itu erat-erat, seolah benda kecil itu menjadi simbol dari perjalanan panjang mereka bersama. Perjuangannya untuk menolong Dafa ternyata membuahkan hasil yang lebih besar dari sekadar nilai. Dafa kini menjadi inspirasi bagi teman-temannya, dan kebaikan itu terus menyebar seperti percikan cahaya di tengah malam.

Dalam hati, Adhi berjanji bahwa ia akan terus menebarkan kebaikan, sekecil apa pun itu. Karena ia tahu, kadang hanya butuh satu orang yang peduli untuk memulai perubahan besar. Dan hari itu, Adhi yakin bahwa perjalanannya baru dimulai perjalanan untuk menjadi seseorang yang bukan hanya dikenal, tapi juga memberi arti bagi orang lain.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerita Adhi mengingatkan kita bahwa kadang, dampak terbesar berasal dari tindakan terkecil. Kebaikan itu bisa dimulai dari mana saja—dari membantu teman yang kesulitan belajar hingga menciptakan semangat baru bagi orang lain. Mari belajar dari kisah Adhi, bahwa menjadi inspirasi nggak harus dengan hal besar; cukup jadi diri sendiri dan peduli terhadap orang di sekitar kita. Siapa tahu, kamu pun bisa jadi inspirasi yang menular!

Leave a Reply