Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya Pernahkah kamu merasakan cinta yang begitu tulus dari seorang ibu? Kisah Ica dalam cerita ini akan membuat kamu merasakan betapa besarnya pengorbanan seorang ibu dan bagaimana seorang anak, meskipun masih muda, bisa memilih untuk berjuang demi kebahagiaan keluarganya.
Cerpen ini mengisahkan perjalanan emosional seorang gadis SMA bernama Ica yang rela mengesampingkan impiannya demi membantu sang ibu yang bekerja keras setiap hari. Siap-siap tersentuh dengan perjuangan dan cinta yang terjalin erat di antara mereka. Bacalah cerita ini dan temukan inspirasi yang mungkin mengubah pandanganmu tentang arti keluarga.
Kasih Ibu yang Tak Terbatas
Ceria di Balik Senyum Ica
Mentari pagi baru saja menampakkan sinarnya di balik awan, menghangatkan setiap sudut kota kecil yang mulai bergeliat. Di dalam sebuah rumah sederhana, terdengar suara riuh panci yang beradu dengan spatula. Bunda sudah sibuk di dapur, menyiapkan sarapan kesukaan Ica. Aroma wangi kue bolu yang sedang dipanggang tercium hingga ke kamar Ica.
Ica, gadis SMA berusia 17 tahun, perlahan membuka mata. Ia meregangkan tubuhnya, masih setengah mengantuk, tapi senyumnya langsung terbit ketika mengingat hari itu adalah hari yang spesial. Hari di mana ia akan menghabiskan waktu bersama teman-temannya setelah pulang sekolah. Seperti biasa, Ica tidak pernah absen membawa kue buatan Bundanya sebagai camilan favorit gengnya.
Sambil menggosok gigi, Ica membuka pesan di ponselnya. Banyak sekali chat dari teman-temannya.
“Ca, jangan lupa bawa kue buatan Bunda ya!” tulis Dinda.
“Kalau nggak ada kue Bunda, piknik kita kurang lengkap,” timpal Sinta.
Ica tersenyum membaca pesan-pesan itu. Dia tahu betul bahwa teman-temannya selalu menantikan kue bolu buatan Bundanya, bukan hanya karena rasanya yang lezat, tapi juga karena kue itu penuh dengan cinta dan kehangatan yang membuat suasana jadi lebih hangat.
Setelah selesai bersiap, Ica turun ke dapur. Di sana, Bunda sudah menyiapkan sarapan berupa nasi goreng sederhana dan secangkir teh hangat. Ica mendekati Bundanya yang sedang memotong kue bolu.
“Selamat pagi, Bunda! Pagi ini Ica mau kue bolunya banyak, ya. Teman-teman pasti bakal rebutan lagi!” seru Ica sambil memeluk Bundanya dari belakang.
Bunda tersenyum, menoleh dan mengusap kepala Ica. “Tentu saja, Sayang. Bunda sudah buat lebih banyak hari ini. Jangan sampai teman-temanmu kecewa, ya.”
Ica tertawa. “Bunda memang yang terbaik!”
Setelah sarapan, Ica dan Bundanya bersiap untuk berangkat. Meski Ica bisa saja naik angkutan umum, Bundanya selalu mengantarnya ke sekolah dengan sepeda motor tuanya. Bagi Bunda, itu adalah momen berharga yang bisa ia habiskan bersama anak perempuannya sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya sebagai penjual kue keliling.
Di sepanjang perjalanan menuju sekolah, Ica dan Bunda mengobrol ringan. Angin pagi yang sejuk membuat Ica semakin nyaman bersandar di punggung Bundanya.
“Bunda, nanti sore Ica piknik sama teman-teman di taman. Jangan khawatir kalau pulang agak telat, ya,” ujar Ica sambil tersenyum.
Bunda mengangguk. “Hati-hati saja ya, Nak. Kalau butuh jemput, kabari Bunda.”
Sesampainya di gerbang sekolah, Ica turun dari motor dan memberikan ciuman singkat di pipi Bundanya. “Terima kasih, Bunda! Hati-hati di jalan ya.”
Bunda hanya tersenyum lembut dan mengangguk sebelum melanjutkan perjalanannya menjajakan kue.
Saat Ica masuk ke halaman sekolah, suasana ceria langsung menyambutnya. Teman-temannya berkumpul di dekat bangku taman, sudah siap dengan rencana mereka hari itu. Ica berjalan mendekat, melambai pada Sinta dan Dinda.
“Ca! Kamu bawa kue itu kan?” tanya Dinda tanpa basa-basi, membuat Ica tertawa.
“Tenang saja, semuanya sudah aman di tas,” jawab Ica, mengangkat tasnya dengan bangga.
Pelajaran hari itu berjalan seperti biasa. Meski Ica dikenal gaul dan aktif, dia tetap bisa menjaga prestasi akademiknya. Ica selalu berusaha fokus pada pelajaran, karena dia tahu bagaimana perjuangan Bundanya untuk memastikan dirinya mendapat pendidikan yang baik.
Sebelum bel pulang berbunyi, Sinta menghampiri Ica. “Jadi, langsung ke taman ya? Aku sudah pesan tempat buat kita duduk santai di bawah pohon besar.”
“Siap! Jangan lupa, aku yang bawa makanan spesial hari ini,” ujar Ica sambil tersenyum penuh percaya diri.
Setelah bel berbunyi, mereka semua bergegas menuju taman. Taman kota yang rindang itu sudah ramai dengan anak-anak SMA lainnya yang juga ingin bersantai di bawah langit biru cerah. Ica dan teman-temannya menemukan tempat yang nyaman di bawah pohon besar, lalu mulai membuka tas mereka, mengeluarkan bekal yang sudah dipersiapkan.
Ketika Ica mengeluarkan kotak besar berisi kue bolu, semua teman-temannya langsung bersorak. “Akhirnya, kue buatan Bunda Ica!” seru mereka hampir bersamaan.
Ica membuka kotak itu dengan bangga. Di dalamnya, kue bolu cokelat dengan taburan keju di atasnya tampak begitu menggoda. Tanpa ragu, Dinda mengambil potongan pertama dan langsung mencicipinya.
“Wah, ini lebih enak dari yang terakhir kali! Rasanya selalu bikin kangen,” ujar Dinda sambil mengunyah dengan penuh semangat.
Sinta menambahkan, “Aku nggak tahu gimana caranya Bunda kamu selalu buat kue yang rasanya sesempurna ini, Ca.”
Ica tersenyum lembut, ada rasa bangga yang muncul setiap kali teman-temannya memuji Bundanya. “Bunda selalu bilang, dia masak dengan cinta. Mungkin itu rahasianya.”
Mereka menghabiskan sore itu dengan bercanda, tertawa, dan berbagi cerita. Di tengah kebahagiaan itu, Ica duduk sejenak, memandang teman-temannya dengan rasa syukur. Dia tahu bahwa momen seperti ini tidak akan pernah sama tanpa kue buatan Bundanya, tanpa cinta dan perhatian yang selalu diberikan tanpa pamrih.
Sore itu, saat langit mulai berubah warna menjadi jingga, Ica merasakan rasa hangat di dadanya. Dia tahu, di mana pun Bundanya berada saat ini, dia selalu membawa keceriaan dan kebahagiaan untuk Ica.
Dan di balik senyuman Ica yang ceria, ada kasih sayang seorang ibu yang tak pernah terukur.
Rasa Manis di Setiap Gigitan
Senja mulai merayap di langit kota kecil itu, mewarnai langit dengan semburat merah muda dan jingga yang menawan. Suara tawa dan canda masih terdengar di taman kota, di mana Ica dan teman-temannya menikmati momen kebersamaan yang penuh kebahagiaan. Mereka duduk melingkar di atas tikar, menghabiskan bekal dan tentu saja, kue bolu buatan Bunda yang selalu dinantikan.
Dinda, dengan mata berbinar, mengambil potongan kue terakhir dan menatap Ica sambil tersenyum. “Ca, tolong bilang ke Bunda ya, kue kali ini benar-benar enak banget! Rasanya lebih lembut, dan kejunya bikin nagih.”
Ica tertawa kecil, hatinya menghangat mendengar pujian itu. “Pasti, Din! Bunda pasti senang dengar kalau kalian suka.”
Sinta yang duduk di sebelah Dinda ikut menimpali, “Ca, kamu tahu nggak? Aku selalu cerita ke mamaku tentang kue buatan Bunda kamu. Dia sampai bilang ingin belajar resepnya dari Bunda suatu hari.”
Ica menghela napas, bukan karena lelah, tapi karena rasa syukur yang begitu mendalam. Dia tahu betapa keras usaha Bundanya setiap pagi membuat kue itu. Kadang, saat Ica terbangun lebih awal, dia melihat Bundanya dengan sabar mengaduk adonan kue di dapur, meski matanya terlihat lelah akibat kurang tidur.
“Iya, Bunda memang suka sekali untuk berbagi resep dan cerita. Tapi sebenarnya, kue ini spesial bukan hanya karena bahannya, tapi karena Bunda selalu buat dengan hati,” ujar Ica sambil mengangkat bahunya, seakan itu adalah hal yang biasa.
Saat mereka asyik bercanda, tiba-tiba hujan rintik mulai turun. Rintik-rintik air jatuh membasahi tikar yang mereka duduki. Sinta panik, merapikan barang-barang mereka dengan tergesa-gesa.
“Hujan! Cepat, kita berteduh di bawah pohon!” seru Sinta.
Mereka berlari kecil menuju pohon besar yang lebih rindang. Ica menutupi kotak bekas kue dengan jaketnya, memastikan tidak ada air yang masuk. Meski basah sedikit, mereka semua tertawa melihat betapa konyolnya mereka lari berlarian menghindari hujan.
“Ini hujan tiba-tiba datang saja, ya!” keluh Dinda sambil tertawa. “Tapi aku senang, kita bisa habisin kue dulu sebelum hujannya turun.”
Ica mengangguk sambil tertawa, tapi di dalam hatinya, dia merasa khawatir. Dia tahu Bundanya mungkin masih di luar sana, berjualan kue di pinggir jalan atau di pasar. Bunda sering kali tidak memedulikan cuaca, tetap tersenyum melayani pembeli meskipun hujan turun deras.
Setelah hujan mulai reda, mereka memutuskan untuk pulang. Ica mengeluarkan ponselnya, menulis pesan cepat untuk Bundanya.
“Bunda, Ica pulang sekarang. Hujan tadi sempat deras. Apa Bunda sudah selesai jualan?”
Beberapa menit berlalu tanpa balasan. Ica merasa sedikit cemas, tapi dia mencoba tidak terlalu memikirkannya. Mungkin Bundanya sedang sibuk melayani pelanggan, pikirnya.
Saat Ica sampai di rumah, pintu depan terbuka lebar. Langit sudah mulai gelap, dan angin malam berhembus lembut membawa aroma tanah yang basah. Ica melangkah masuk, menaruh tas di sofa dan langsung menuju dapur. Tidak ada suara, tidak ada aroma teh hangat yang biasanya menyambutnya pulang.
“Bunda?” panggil Ica, suaranya sedikit menggema di dalam rumah yang kosong.
Beberapa saat kemudian, Bunda muncul dari pintu belakang dengan wajah yang basah, bukan hanya karena keringat tapi juga tetesan air hujan yang masih menempel di rambutnya. Dia membawa beberapa kantong plastik berisi sisa kue yang belum terjual.
“Bunda, kenapa masih di luar? Hujan deras tadi, kenapa nggak pulang lebih awal?” tanya Ica khawatir.
Bunda tersenyum lelah, sambil meletakkan kantong plastik di meja dapur. “Bunda hanya ingin memastikan semua kue terjual, Sayang. Hari ini Bunda buat lebih banyak karena tahu kamu akan bawa kue untuk teman-temanmu. Jadi, Bunda harus berusaha lebih keras.”
Ica terdiam. Ada rasa haru yang menyesakkan dadanya. Dia tahu bahwa setiap potongan kue yang ia bagikan dengan teman-temannya hari ini, dibuat dengan keringat dan perjuangan Bundanya. Di balik setiap senyum yang ia terima, ada kerja keras dan cinta seorang ibu yang tak pernah pamrih.
Ica menghampiri Bundanya, meraih tangan kasar yang dingin itu, lalu menuntunnya untuk duduk di kursi. “Bunda, Ica nggak ingin Bunda sampai kehujanan begini hanya cuma demi jualan. Ica lebih memilih kita makan bersama di rumah, meski hanya dengan sedikit kue.”
Bundanya tertawa kecil, mengelus kepala Ica. “Kamu tahu, Nak, kebahagiaan Bunda itu bukan dari berapa banyak yang terjual, tapi dari melihat senyum di wajahmu. Melihat teman-temanmu suka dengan kue buatan Bunda, itu sudah lebih dari cukup.”
Mata Ica mulai berkaca-kaca, tapi dia menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia tidak ingin Bundanya melihatnya menangis. Sebagai gantinya, Ica menarik napas dalam-dalam, memeluk Bundanya erat.
“Bunda, terima kasih. Terima kasih karena selalu membuat Ica merasa spesial. Ica janji, suatu hari nanti, Ica akan membalas semua kebaikan Bunda. Ica akan membuat Bunda bangga,” bisik Ica, suaranya bergetar menahan emosi.
Bundanya hanya tersenyum, memeluk Ica dengan lembut. “Kamu sudah membuat Bunda bangga setiap harinya, Nak. Kamu anak yang baik, penuh cinta, dan selalu ingat dengan orang-orang di sekitarmu. Itu sudah cukup bagi Bunda.”
Malam itu, mereka duduk bersama di dapur, menikmati sisa kue yang tidak terjual sambil bercerita. Hujan di luar masih turun rintik-rintik, tapi di dalam hati Ica, ada kehangatan yang tak terukur. Kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh seorang ibu, melalui cinta yang tidak pernah habis dan perjuangan yang tak terlihat.
Ica tahu, perjuangan Bundanya hari ini hanyalah salah satu dari ribuan hari yang penuh cinta dan pengorbanan. Dia berjanji dalam hatinya, tidak akan pernah melupakan rasa manis di setiap gigitan kue, rasa manis yang berasal dari kasih sayang seorang ibu yang selalu memberikan segalanya tanpa meminta balasan.
Ketulusan Tanpa Syarat
Pagi itu, mentari menyapa lembut melalui jendela kamar Ica. Sinar yang hangat menerobos masuk, menciptakan pola indah di dinding. Ica membuka matanya perlahan, masih merasakan kehangatan pelukan Bundanya dari malam sebelumnya. Ia menatap langit-langit kamar, teringat percakapan mereka yang penuh dengan emosi di dapur. Ada rasa syukur yang begitu mendalam dalam hatinya. Hari ini, Ica memutuskan untuk melakukan sesuatu yang spesial untuk Bundanya.
“Ica harus melakukan sesuatu untuk Bunda,” gumamnya, memantapkan hati.
Ica segera bangun, merapikan tempat tidurnya dengan cepat, dan bergegas menuju dapur. Biasanya, dia akan bisa menemukan Bundanya yang sedang sibuk menyiapkan sarapan dan adonan kue. Tapi kali ini berbeda. Bundanya sedang duduk di meja makan dengan segelas teh hangat, sambil memijat-mijat tangannya yang terasa pegal. Ica bisa melihat guratan lelah di wajah Bundanya, meski senyuman tak pernah lepas dari bibirnya.
“Bunda, pagi ini Ica yang masak, ya?” ujar Ica sambil mengambil alih spatula di tangan Bunda.
Bundanya tertawa kecil, menggeleng pelan. “Kamu bisa masak, Ca? Jangan sampai kita makan gosong, ya?”
Ica ikut tertawa, merasa sedikit tersindir tapi justru semakin bersemangat. “Percaya sama Ica, Bunda! Ica mau buatkan sarapan spesial.”
Tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut, Ica mulai menyiapkan bahan-bahan. Dia memilih membuat nasi goreng sederhana kesukaan Bundanya, dengan telur mata sapi dan sedikit irisan sosis. Tangannya bergerak cekatan, meski kadang terlalu bersemangat hingga sedikit bumbu tumpah ke meja. Bunda memperhatikan dari jauh, senyum kecil terukir di wajahnya, seolah melihat anak kecil yang sedang berusaha keras membuat sesuatu.
“Nah, Bunda! Jadi juga!” seru Ica dengan bangga saat nasi goreng yang harum sudah tertata di piring.
Mereka duduk bersama di meja makan, dan Ica memperhatikan Bundanya menyuapkan nasi goreng itu perlahan. Mata Bundanya memancarkan rasa bangga, meskipun Ica tahu rasanya mungkin tidak seberapa dibandingkan masakan Bundanya sendiri.
“Enak, Ca. Ini nasi goreng paling enak yang pernah Bunda makan,” kata Bundanya tulus.
Ica tersenyum lebar, hatinya mengembang penuh kebahagiaan. “Bunda benar nggak bohong, kan?”
Bundanya hanya mengangguk sambil tertawa. “Nggak bohong. Ini nasi goreng yang penuh cinta.”
Setelah sarapan, Ica mengajak Bundanya duduk di ruang tamu. Hari ini dia punya sebuah rencana lain, sesuatu yang ingin dia lakukan bersama Bunda. “Bunda, bagaimana kalau kita libur jualan hari ini? Ica mau kita jalan-jalan ke pasar pagi.”
Bunda terkejut mendengar ajakan itu. Dia menatap Ica dengan tatapan penuh pertanyaan. “Tapi, Nak, kue hari ini bagaimana? Kalau tidak dijual, nanti kita.”
“Bunda, sekali saja, ya? Ica cuma mau kita menikmati hari ini tanpa harus memikirkan kue atau jualan. Lagipula, pasar pagi kan menyenangkan, ada banyak hal yang bisa kita lihat,” potong Ica dengan penuh semangat.
Bunda terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk setuju. “Baiklah, sekali ini saja. Demi kamu, Ica.”
Mereka berdua berjalan bergandengan menuju pasar pagi. Di sepanjang jalan, Ica merasa lega melihat senyuman Bundanya yang tulus, seperti tidak ada beban sedikit pun. Setibanya di pasar, mereka disambut dengan riuh rendah suara pedagang dan pembeli. Aroma rempah, buah segar, dan makanan menguar di udara, menciptakan suasana yang hidup dan penuh warna.
Ica menarik tangan Bundanya, menuju lapak yang menjual kain batik. Mata Ica tertuju pada sehelai kain batik dengan motif bunga kecil yang anggun, berwarna biru lembut, warna kesukaan Bundanya.
“Bunda, lihat kain ini. Cantik, ya?” ujar Ica sambil memegang kain itu.
Bundanya tersenyum, mengelus kain tersebut dengan lembut. “Iya, cantik sekali. Tapi harganya pasti mahal, Ca. Kita tidak perlu—”
“Bunda, kali ini Ica yang bayar. Ica sudah menabung dari uang jajan Ica. Ini hadiah untuk Bunda, sebagai ucapan terima kasih,” kata Ica tegas.
Bundanya terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia menatap Ica dengan rasa haru yang begitu dalam, seolah tidak percaya bahwa putrinya yang selama ini hanya dikenal sebagai anak gaul dan ceria, bisa begitu perhatian dan peduli.
“Ica… kamu tidak perlu melakukan ini, Nak,” bisik Bunda, suaranya bergetar.
“Tapi Ica ingin, Bunda. Ica ingin Bunda tahu betapa Ica mencintai Bunda, betapa Ica menghargai semua yang sudah Bunda lakukan untuk Ica. Ini hanya sedikit dari apa yang bisa Ica berikan,” jawab Ica, menggenggam tangan Bundanya erat.
Dengan mata yang berkaca-kaca, Bundanya memeluk Ica di tengah keramaian pasar. Orang-orang di sekitar mereka mungkin melihat sekilas, tapi tidak ada yang tahu betapa dalam makna pelukan itu bagi mereka berdua. Pelukan itu adalah pelukan yang mengandung janji, cinta, dan rasa terima kasih yang tak terukur.
Setelah membeli kain batik, mereka berjalan-jalan menikmati suasana pasar pagi. Ica membelikan es kelapa muda untuk Bundanya, dan mereka duduk di pinggir jalan, menikmati minuman itu sambil bercerita tentang masa kecil Ica. Bunda bercerita bagaimana dulu dia sering menggendong Ica sambil menjual kue keliling, dan bagaimana Ica selalu tertawa ceria setiap kali melihat burung terbang.
Ica mendengarkan cerita itu dengan senyuman, tapi di dalam hatinya, dia merasa perih. Bayangan Bundanya yang berjuang sendirian, membawa Ica yang masih bayi, membuat hatinya bergetar. Dia tidak bisa membayangkan betapa berat perjuangan Bundanya selama ini.
“Bunda, mulai sekarang, Ica janji akan lebih membantu. Ica tidak mau Bunda terus menerus bekerja keras seperti ini. Ica mau Bunda bisa istirahat, menikmati hidup,” kata Ica penuh tekad.
Bundanya menatap Ica, menangkup wajah putrinya dengan kedua tangan. “Ica, kebahagiaan Bunda adalah melihat kamu tumbuh menjadi anak yang baik, yang peduli dengan orang lain. Bunda tidak butuh istirahat, selama kamu bahagia, itu sudah cukup bagi Bunda.”
Ica menahan air matanya, memeluk Bundanya sekali lagi. Mereka berdua duduk di sana, merasakan kehangatan satu sama lain, sambil menyaksikan matahari mulai naik lebih tinggi, menghangatkan kota kecil mereka. Hari itu, Ica belajar sesuatu yang penting: bahwa ketulusan seorang ibu adalah cinta yang tak pernah mengenal lelah, cinta yang selalu ada, meski tidak diminta, dan cinta yang tulus tanpa syarat.
Dan Ica berjanji, di dalam hatinya, bahwa dia akan terus berjuang, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk Bundanya yang telah memberikan segalanya tanpa meminta imbalan.
Pengorbanan yang Tidak Terlihat
Hari mulai sore ketika Ica dan Bundanya kembali ke rumah dari pasar pagi. Perjalanan mereka dipenuhi tawa, cerita, dan canda yang membuat hati Ica terasa lebih ringan dari sebelumnya. Ia merasa hari itu adalah hari terbaik yang pernah ia alami bersama Bundanya. Namun, di tengah kebahagiaan itu, ada sebuah keinginan yang mulai tumbuh dalam diri Ica: ia ingin melakukan lebih dari sekadar membelikan hadiah untuk Bundanya. Ica ingin benar-benar mengubah hidup Bundanya, membebaskannya dari beban yang selama ini dipikul tanpa keluhan.
Setelah sampai di rumah, Bundanya segera kembali ke dapur, menyiapkan adonan kue untuk dijual esok hari. Meskipun sudah menghabiskan waktu di pasar, Bundanya tetap semangat mempersiapkan segalanya, tanpa menunjukkan tanda-tanda lelah. Ica memandang Bundanya dengan penuh rasa kagum, tapi juga dengan rasa bersalah yang dalam. Ia tahu, jika tidak ada yang berubah, Bundanya akan terus menjalani hari-hari penuh kelelahan ini.
Ica mengambil napas dalam-dalam, lalu masuk ke dapur. “Bunda, istirahat saja dulu. Ica yang lanjut buat adonan ini,” ujarnya sambil menyingsingkan lengan baju.
Bundanya tersenyum kecil, mengelus kepala Ica. “Kamu kan sudah membantu di pasar tadi, Nak. Sekarang biarkan Bunda yang bekerja. Kamu belajar saja, biar nanti ujianmu bagus.”
Namun, Ica tidak menyerah. “Bunda, Ica sudah berpikir. Mulai sekarang, Ica mau lebih banyak membantu. Ica ingin Bunda punya waktu untuk istirahat, atau melakukan hal-hal yang Bunda suka, bukan cuma bekerja setiap hari.”
Bunda terdiam, menatap Ica dengan mata yang berkaca-kaca. “Kamu ini, kenapa tiba-tiba jadi perhatian sekali? Bunda tidak apa-apa, Ica. Bunda sudah terbiasa bekerja seperti ini.”
“Ica bukan tiba-tiba, Bunda. Ica sadar, selama ini Ica terlalu sibuk dengan diri sendiri, dengan sekolah dan teman-teman Ica, sampai lupa betapa kerasnya Bunda bekerja untuk Ica,” jawab Ica tegas, meski hatinya terasa berat saat mengatakannya.
Ica mengambil alih pekerjaan Bundanya, mulai menguleni adonan dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia merasa gugup, karena meskipun sering melihat Bundanya bekerja, ini adalah pertama kalinya ia mencoba membuat adonan kue sendiri. Tapi Ica tidak mau menyerah. Dia memandang Bundanya yang kini duduk di kursi, memperhatikan dengan senyum lelah tapi bangga.
Setelah adonan selesai, Ica meletakkannya dengan hati-hati di atas loyang, siap untuk dipanggang. Sementara menunggu kue matang, Ica duduk di sebelah Bundanya. Mereka berdua terdiam sejenak, hanya ditemani oleh suara kipas angin yang berputar pelan.
“Bunda, Ica mau cerita sesuatu,” kata Ica pelan.
Bundanya mengangguk, menatap Ica dengan penuh perhatian. “Apa, Nak?”
“Ica sudah memutuskan, Bunda. Setelah lulus nanti, Ica tidak akan langsung kuliah. Ica mau bekerja dulu, membantu Bunda. Ica mau kita bisa lebih tenang, tanpa harus terlalu memikirkan uang setiap hari,” ucap Ica dengan suara bergetar.
Bundanya terkejut mendengar itu, matanya melebar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Apa? Kamu tidak mau kuliah? Kenapa, Ica? Kuliah itu penting, Nak. Bunda ingin kamu punya masa depan yang lebih baik.”
Ica menggeleng cepat, memegang tangan Bundanya erat. “Bunda, Ica tahu kuliah penting, tapi keluarga lebih penting. Ica tidak mau melihat Bunda terus-menerus lelah seperti ini. Ica ingin membantu dulu, Bunda. Setelah kita lebih tenang, baru Ica pikirkan untuk kuliah.”
Bundanya menatap Ica dengan tatapan penuh cinta, tapi juga dengan rasa sedih yang dalam. Dia menggenggam tangan Ica, menangkupnya di antara kedua tangannya yang kasar karena terlalu sering bekerja. “Ica, kamu tahu… bagi Bunda, melihat kamu bisa kuliah dan mencapai cita-citamu adalah kebahagiaan terbesar Bunda. Kamu tidak perlu mengorbankan impianmu hanya demi Bunda.”
“Ica tidak merasa ini pengorbanan, Bunda. Ica hanya ingin melakukan yang terbaik untuk kita berdua. Ica yakin, ini pilihan yang benar,” jawab Ica sambil menahan air matanya yang sudah mulai menggenang.
Pelukan hangat Bundanya menyelimuti Ica. Dia bisa merasakan getaran di tubuh Bundanya, seolah menahan emosi yang begitu kuat. “Kamu anak yang baik, Ica. Bunda sangat bangga padamu,” bisik Bundanya.
Malam itu, mereka duduk berdua di ruang tamu, menikmati secangkir teh hangat. Ica merasa ada beban yang terangkat dari dadanya setelah mengungkapkan keinginannya pada Bunda. Dia tahu ini tidak akan mudah, tapi dia yakin bisa melaluinya bersama Bundanya. Mereka berbicara panjang lebar tentang masa depan, tentang rencana-rencana kecil yang ingin mereka capai bersama.
Keesokan harinya, Ica memulai harinya lebih awal dari biasanya. Dia membantu Bundanya menyiapkan kue sejak pagi, lalu mengantar kue-kue itu ke toko langganan mereka. Sepanjang perjalanan, Ica merasa ada semangat baru dalam dirinya. Dia tidak lagi hanya menjalani hari-hari sebagai anak SMA yang sibuk dengan teman-teman dan tugas sekolah. Sekarang, dia memiliki tujuan yang lebih besar, sebuah misi untuk membahagiakan Bundanya.
Hari-hari berikutnya, Ica semakin sering membantu Bundanya. Dia mengurangi waktu bermain dengan teman-temannya, meskipun itu bukan keputusan yang mudah. Banyak teman-temannya yang mulai bertanya-tanya, kenapa Ica tiba-tiba jarang nongkrong atau ikut acara sekolah.
“Ica, kenapa kamu jarang kelihatan? Ada masalah, ya?” tanya salah satu temannya, Rina, ketika mereka bertemu di kantin.
Ica tersenyum, mencoba tidak menunjukkan kesedihannya. “Nggak kok, Rina. Aku cuma lagi fokus bantu Bunda di rumah. Aku janji, kalau ada waktu luang, aku pasti ikut kumpul lagi.”
Meski begitu, tidak semua temannya mengerti. Ada beberapa yang mulai menjauh, menganggap Ica sudah berubah. Ica merasa sedikit sakit hati, tapi dia tahu, ini adalah konsekuensi dari pilihannya. Dia berusaha fokus pada apa yang lebih penting: keluarganya.
Suatu sore, ketika Ica sedang menata kue di dapur, Bundanya datang menghampiri dengan senyum lebar. “Ica, kamu tahu nggak? Tadi, ada pelanggan yang memuji kue kita. Katanya rasanya lebih enak daripada biasanya. Kamu pasti yang membuatnya jadi lebih spesial.”
Ica tertawa kecil, merasa senang mendengar pujian itu. “Mungkin karena adonannya dibuat dengan cinta, Bunda.”
Bundanya menggeleng sambil tersenyum, menepuk pundak Ica dengan lembut. “Iya, dengan cinta. Cinta dari seorang anak yang mau berkorban untuk ibunya. Bunda beruntung punya kamu, Ica.”
Di momen itu, Ica menyadari satu hal: perjuangan yang ia lakukan, meski penuh tantangan, memberikan kebahagiaan yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan. Tidak ada yang lebih indah dari melihat senyum di wajah Bundanya, dan bagi Ica, itu sudah cukup sebagai alasan untuk terus berjuang.
Dan sore itu, di bawah langit yang mulai berwarna jingga, Ica dan Bundanya berdiri berdampingan di depan rumah, menikmati angin sore yang sejuk. Mereka tidak mengucapkan banyak kata, tapi di dalam hati mereka, ada rasa syukur yang mengalir tenang. Mereka tahu, selama mereka saling memiliki, tidak ada hal yang tidak bisa mereka hadapi bersama.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerita Ica mengingatkan kita akan pentingnya menghargai setiap momen bersama ibu. Di balik senyuman seorang ibu, sering kali tersimpan kisah perjuangan yang tak terlihat oleh mata. Dari perjalanan Ica dan Bundanya, kita belajar bahwa cinta dan pengorbanan sejati tidak membutuhkan kata-kata yang banyak, tapi terasa dalam setiap tindakan sederhana yang dilakukan dengan tulus. Semoga kisah ini menginspirasi kamu untuk lebih menyayangi dan menghargai orang tua. Bagikan cerita ini kepada teman-temanmu, siapa tahu mereka juga tergerak untuk melakukan hal yang sama. Karena, cinta ibu memang tidak akan pernah tergantikan.