Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu suka banget sama seseorang sampai lupa kalau kamu juga punya hati yang harus dijaga? Cerpen ini bukan soal cinta yang indah, tapi soal gimana rasanya bertahan, disia-siakan, sampai akhirnya sadar… mungkin orang yang kita kejar bukan jawabannya.
Ini kisah Andra, cowok yang terus ada buat cewek yang nggak pernah lihat dia lebih dari temen. Siapin hati, deh—karena cerita ini bisa bikin kamu inget betapa pentingnya buat sayang sama diri sendiri dulu.
Ketika Cinta Tak Terbalas
Menanti di Bayangan
Langit pagi itu berwarna kelabu, seolah menggambarkan perasaan Andra yang kian hari semakin terbenam dalam keraguan. Sudah lebih dari sebulan sejak Ayana mulai menunjukkan ketertarikannya yang hangat dan memikat. Awalnya, kedekatan mereka hanya sekadar obrolan ringan di kantin, diskusi tugas kuliah, dan beberapa kali bercanda bersama teman-teman. Namun, tanpa Andra sadari, hari-harinya mulai terisi dengan kehadiran Ayana. Gadis itu punya daya tarik tersendiri yang begitu memikat—begitu manis, begitu sederhana, dan entah bagaimana, Andra merasa nyaman di dekatnya.
“Hey, kamu bisa bantuin aku nggak?” Ayana berkata sambil menepuk bahu Andra suatu sore di perpustakaan.
Andra menoleh, melihat Ayana yang sedang memandanginya dengan senyum khasnya. Senyum itu, menurutnya, seperti senyum yang bisa mengubah hari mendung menjadi cerah seketika. Andra mengangguk pelan.
“Aku lagi susah nyari referensi tugas. Kamu tau nggak, bagian sejarah sastra modern itu ada di mana?” tanya Ayana sambil mengusap rambutnya yang panjang dan jatuh dengan lembut di bahunya.
Andra tersenyum sedikit, lalu berkata, “Coba di lantai dua, dekat rak-rak yang pojok. Biasanya buku-buku kayak gitu ada di sana.”
Tanpa sadar, Andra menghabiskan hampir seluruh sore itu untuk membantu Ayana mencari referensi yang ia butuhkan. Ketika mereka akhirnya selesai, matahari hampir terbenam, mewarnai langit dengan semburat jingga yang menawan. Mereka berjalan berdampingan keluar dari perpustakaan, dan saat itu Ayana menatap Andra sambil berkata, “Makasih, ya. Kamu selalu ada buat aku.”
Hanya kalimat sederhana, tapi bagi Andra, kata-kata itu terasa seperti penghargaan yang jarang ia terima. Dia tersenyum kikuk, mencoba menahan debaran yang muncul di dadanya.
Seiring berjalannya waktu, Ayana semakin sering mengajak Andra untuk menghabiskan waktu bersama. Tidak ada janji khusus, tidak ada status hubungan yang jelas, tapi Andra merasa bahwa kehadiran Ayana dalam hidupnya sudah cukup. Setiap kali Ayana memerlukan bantuan, entah itu untuk tugas, mencari informasi, atau sekadar teman bicara, Andra selalu siap. Seperti pohon rindang di siang terik, ia selalu ingin memberi kenyamanan bagi Ayana.
Namun, lama-kelamaan, Andra mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda. Waktu mereka bertemu jadi semakin terbatas; Ayana sering menghilang dan lebih sering terlihat bersama teman-temannya. Ia yang dulu selalu punya waktu untuk Andra, kini seolah hanya datang saat benar-benar membutuhkan sesuatu. Ketika Andra ingin mengajaknya bicara tentang hal-hal sederhana atau berbagi cerita tentang hari-harinya, Ayana kadang terlihat tergesa-gesa, seolah ada hal lain yang lebih penting untuk dikerjakan.
Suatu sore, saat mereka sedang duduk di sebuah kafe kecil di dekat kampus, Andra memandang Ayana yang sibuk dengan ponselnya. Dia menunggu hingga Ayana mengangkat wajahnya dari layar, menatapnya dengan sorot mata yang mulai dipenuhi oleh kebingungan.
“Kamu baik-baik aja, Na?” tanya Andra perlahan, mencoba memecah kebekuan di antara mereka.
Ayana mengangkat wajahnya sejenak, memberikan senyum yang tipis. “Aku baik, kok. Kenapa emangnya?”
“Nggak, cuma… belakangan ini kamu kayak sibuk banget. Apa ada yang kamu pikirin?” Andra menggigit bibirnya, sedikit ragu untuk menyampaikan perasaannya, tapi ia merasa perlu untuk tahu.
“Oh, aku emang lagi banyak kegiatan, Andra. Tapi nggak usah khawatir, ya,” jawab Ayana sambil menepuk punggung tangan Andra.
Meski begitu, jawabannya terasa hampa bagi Andra. Dia merasa seperti orang asing yang hanya diperlukan ketika Ayana merasa sepi atau butuh sesuatu. Dalam benaknya, mulai timbul keraguan: apakah dirinya hanya seorang pelengkap dalam hidup Ayana? Atau mungkin dia terlalu berharap lebih pada hubungan yang tidak pernah Ayana anggap spesial?
Namun, setiap kali ia mencoba untuk berhenti, ada sesuatu yang membuatnya terus bertahan. Mungkin itu senyum Ayana yang selalu membuatnya merasa hidup, atau mungkin rasa hangat yang ia rasakan setiap kali mereka berbincang. Andra tetap bertahan, bahkan ketika hati kecilnya mulai berbisik bahwa Ayana tidak pernah benar-benar memperhatikannya.
Pagi itu, Andra berusaha menyibukkan diri dengan menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Namun, pesan singkat dari Ayana muncul di layar ponselnya, meminta bantuan untuk suatu acara kampus yang sedang dia kerjakan. Tanpa berpikir panjang, Andra langsung bersiap dan bergegas menuju kampus untuk menemuinya.
Sesampainya di sana, Andra melihat Ayana tengah bercengkrama dengan teman-temannya. Ketika dia melihat Andra datang, Ayana melambaikan tangan dan langsung mendekat.
“Makasih ya, Andra, udah mau datang. Aku butuh bantuan untuk dekorasi aula. Kamu bisa bawa beberapa alat dari gudang kampus nggak?” katanya dengan senyum cerah.
Andra mengangguk dan langsung pergi menuju gudang, mengangkat berbagai peralatan yang diminta Ayana. Sepanjang acara, dia bekerja tanpa henti, memastikan semua dekorasi berjalan sesuai rencana. Namun, yang membuat hatinya miris adalah ketika melihat Ayana tertawa dan bercanda bersama teman-temannya, seolah kehadirannya tidak lebih dari seorang pekerja tambahan.
Saat acara usai, Ayana berjalan menghampiri Andra, yang sedang duduk di sudut aula, mencoba mengatur napas setelah seharian bekerja keras.
“Kamu hebat banget, Ra. Makasih, ya!” ucap Ayana sambil tersenyum, lalu menepuk pundak Andra sebelum berbalik kembali ke kerumunan teman-temannya, meninggalkan Andra sendirian.
Andra memandang kepergian Ayana dengan perasaan campur aduk. Baginya, setiap waktu yang dihabiskan bersama Ayana selalu terasa berarti. Namun, perlahan-lahan ia mulai menyadari bahwa kehadirannya bagi Ayana hanya sebatas bantuan teknis, bukan sebagai seseorang yang benar-benar dihargai. Meski begitu, di dalam hatinya, Andra masih mencoba memaklumi semua ini, berusaha meyakinkan diri bahwa Ayana akan sadar suatu hari nanti.
Malam itu, Andra duduk di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang gelap. Pikirannya berputar-putar, mencoba memahami arti hubungannya dengan Ayana. Apakah dia hanya sekadar pengisi waktu kosong dalam hidup Ayana? Ataukah dia sedang terjebak dalam harapan yang ia ciptakan sendiri? Setiap kali pikirannya mengatakan bahwa sudah saatnya untuk berhenti, hatinya selalu menyangkal, membujuknya untuk bertahan sedikit lebih lama.
Di ujung harapan, Andra hanya bisa berbisik pada dirinya sendiri, berharap bahwa cinta yang ia berikan tidak akan sia-sia. Meski batinnya sudah mulai lelah, ia tetap menggantungkan secercah harapan, meyakini bahwa suatu hari Ayana akan memandangnya dengan cara yang berbeda.
Retak yang Tak Terlihat
Hari-hari berlalu seperti angin yang lewat tanpa jejak. Andra tetap menghabiskan waktunya di sisi Ayana, meskipun semakin jelas baginya bahwa kehadirannya hanya sekadar bayangan. Ia tak pernah benar-benar dipandang penting, tapi ia tetap bertahan, menelan rasa sakit kecil yang terus-menerus menghantui setiap langkahnya.
Suatu sore, di sebuah kafe kecil tempat mereka sering bertemu, Andra duduk sendiri sambil menatap layar ponselnya. Ia menunggu pesan dari Ayana yang, seperti biasa, tak kunjung datang. Biasanya, ia akan menerima pesan singkat atau sekadar ucapan terima kasih, namun kali ini hening yang menyelimuti. Meski begitu, Andra tetap menunggu, menatap setiap nama yang muncul di layar, berharap salah satunya adalah dari Ayana.
Tepat saat Andra berpikir untuk pergi, pintu kafe terbuka dan Ayana masuk, tersenyum lebar, namun ditemani oleh seorang pria yang Andra belum pernah lihat sebelumnya. Ayana melambai padanya, dan Andra dengan cepat berdiri, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyumnya yang tenang.
“Andra! Kenalin, ini Bram,” ujar Ayana dengan ceria sambil menarik lengan pria itu mendekat.
Bram, dengan tinggi badan yang tegap dan sikap yang percaya diri, menjabat tangan Andra. “Ayana sering banget cerita soal kamu. Katanya, kamu yang paling bisa diandalkan, ya?”
Andra hanya tersenyum kecil, mencoba memahami maksud di balik kata-kata itu. Dalam hatinya, ada rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul, tapi ia memilih untuk mengabaikannya.
“Oh, ya, Andra. Hari ini aku lagi butuh bantuan untuk acara malam nanti. Bram bakal ikut bantu juga, kan kita bisa kerjasama, ya?” Ayana menatap Andra dengan mata berbinar, seolah sudah yakin bahwa ia akan setuju tanpa ragu.
Andra hanya mengangguk, mencoba menekan perasaan aneh yang perlahan-lahan tumbuh. Sepanjang hari itu, ia bekerja bersama Ayana dan Bram, menyusun segala persiapan untuk acara kampus mereka. Setiap kali Ayana tertawa bersama Bram atau bercanda kecil, Andra bisa merasakan sesuatu di dalam dirinya mulai terkikis. Ia menyadari bahwa dirinya bukan lagi satu-satunya yang Ayana andalkan. Tapi meski begitu, Andra tetap bertahan, mencoba menyakinkan dirinya bahwa ini hanya perasaannya saja.
Ketika malam tiba, mereka semua berkumpul di aula kampus, menikmati suasana acara yang mulai ramai. Bram dan Ayana tampak akrab; mereka berbagi cerita dan tawa yang hanya bisa Andra dengarkan dari jauh. Seperti bayangan, Andra hanya berdiri di sana, menyaksikan mereka berbincang dan tertawa bersama.
Di tengah keramaian itu, Ayana tiba-tiba menghampiri Andra. “Ra, kamu baik-baik aja, kan?” tanyanya sambil menatapnya penuh perhatian.
Andra tersenyum, mencoba mengabaikan perasaan sesak di dadanya. “Aku baik, Na. Cuma lagi sedikit capek aja.”
Ayana tersenyum kecil dan mengangguk. “Makasih, ya, udah mau bantuin aku terus. Aku seneng banget punya temen kayak kamu.”
Kata-kata itu, meski manis di telinga, terdengar pahit bagi Andra. Sementara Ayana kembali bergabung dengan Bram, Andra menyadari bahwa dirinya hanya seorang ‘teman’ di mata Ayana. Meski berat, ia mencoba menerima kenyataan itu. Namun, semakin ia berusaha menahan perasaan itu, semakin sesak hatinya.
Saat acara berakhir, Andra memutuskan untuk menghindari Ayana dan Bram, memilih untuk membereskan dekorasi di sisi aula yang sepi. Satu per satu hiasan yang dipasang dengan penuh semangat ia lepas, dan dengan setiap benda yang diambilnya, Andra merasakan bahwa sedikit demi sedikit ia sedang melepaskan rasa yang ia simpan selama ini.
Namun, saat ia tengah terbenam dalam pikirannya, suara langkah kaki mendekat. Ayana berdiri di depannya, wajahnya tampak lelah namun masih menyisakan senyum kecil.
“Andra, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut.
Andra hanya mengangguk, merasa sulit untuk berbicara. Untuk pertama kalinya, ia merasakan keinginan untuk mengatakan semuanya pada Ayana. Rasa sakit yang ia simpan terlalu lama, kekecewaan yang terus ia sembunyikan di balik senyum dan kesetiaannya. Tapi ketika ia menatap wajah Ayana yang tampak tulus, ia ragu. Ia takut, takut kalau kata-katanya hanya akan membuat Ayana menjauh.
“Kamu tau, Ra,” kata Ayana, “Bram itu sebenernya… bukan pacar aku. Dia cuma teman lama. Aku cuma pengen nunjukin bahwa aku juga punya temen yang ngerti aku, kayak kamu.”
Ucapan itu sejenak membuat hati Andra lega, namun kesedihannya tetap tak bisa hilang sepenuhnya. Andra tahu bahwa dirinya mungkin satu-satunya teman yang Ayana percaya, tapi ia tidak yakin apakah ia adalah seseorang yang Ayana butuhkan dengan cara yang sama.
“Na, aku nggak tau harus ngomong apa,” Andra berkata perlahan. “Kadang aku merasa kayak… aku cuma ada buat kamu kalau kamu butuh aja.”
Ayana menatap Andra dengan tatapan bingung, lalu menghela napas. “Aku nggak pernah maksud buat bikin kamu ngerasa kayak gitu, Ra. Kamu itu berharga buat aku… sebagai teman.”
Kata-kata itu menghantam Andra lebih keras dari yang ia duga. Meskipun sudah berkali-kali ia menebak, mendengarnya langsung dari Ayana terasa seperti luka yang baru terbuka. Ia ingin marah, ingin menuntut alasan, tapi ia sadar bahwa tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima.
Dengan hati yang mulai retak, Andra tersenyum tipis dan menunduk, menyembunyikan kesedihannya. “Iya, aku ngerti, Na. Aku cuma butuh waktu buat nyerahin semua ini.”
Ayana meraih bahu Andra, memberikan pelukan singkat, dan mengucapkan terima kasih. Tapi bagi Andra, sentuhan itu hanya memperjelas bahwa ia telah menempatkan dirinya pada posisi yang selalu membuatnya kalah—teman setia yang hanya dibutuhkan ketika tak ada orang lain di sekitar.
Malam itu, setelah Ayana pergi bersama teman-temannya, Andra berdiri di aula yang kosong. Ia merasa seperti seseorang yang kehilangan arah, terjebak dalam perasaannya sendiri. Ia sadar, untuk pertama kalinya, bahwa mempertahankan perasaan ini hanya membuatnya semakin tersesat.
Namun, di dalam hatinya, Andra tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sebuah perjalanan untuk menemukan dirinya sendiri, meskipun itu berarti harus merelakan Ayana dan semua perasaan yang ia simpan untuknya.
Luka yang Tertinggal
Setelah malam itu, Andra mulai menjaga jarak dari Ayana, mencoba mengambil kembali sebagian dirinya yang selama ini ia serahkan. Ia tidak ingin terus menjadi bayangan, atau seseorang yang hanya hadir ketika Ayana merasa sepi. Keputusan itu tidak mudah, bahkan terasa menyesakkan, tapi ia tahu jika ia tidak mengambil langkah ini, ia akan semakin terjebak.
Beberapa hari berlalu tanpa pesan dari Ayana, dan Andra merasa aneh dengan keheningan itu. Biasanya, ponselnya akan berdering setidaknya sekali, meski hanya pesan singkat yang mengajak untuk bertemu atau minta tolong. Namun, hari-hari ini, Ayana tampak lenyap dari kehidupannya, seperti menguap begitu saja.
Suatu sore, ketika Andra sedang duduk sendirian di taman kampus, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang—aroma parfum Ayana sudah begitu melekat di ingatannya.
“Andra?” Ayana duduk di sampingnya, menghela napas panjang. “Aku merasa kamu makin menjauh belakangan ini.”
Andra tersenyum kecil, meski rasa getir masih terasa di dadanya. “Aku cuma lagi sibuk, Na. Ada banyak hal yang perlu aku beresin.”
Ayana terdiam, menatap Andra dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Aku ngerasa kayak kamu berubah. Biasanya, kamu selalu ada buat aku.”
Andra merasakan kata-kata itu menyentuh luka di hatinya, luka yang belum sepenuhnya sembuh. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari cara untuk menjelaskan perasaannya tanpa membuat Ayana merasa bersalah.
“Na, pernah nggak, kamu mikir gimana perasaanku?” tanyanya pelan, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku tahu kita temenan. Tapi… kadang aku ngerasa kayak aku ini cuma jadi tempat pelarian kamu.”
Ayana tampak terkejut, matanya membulat dan bibirnya sedikit terbuka. “Aku nggak pernah bermaksud buat kamu ngerasa kayak gitu, Ra. Aku pikir… kamu ngerti kalau kamu berharga buat aku.”
Andra mengangguk, tersenyum pahit. “Aku ngerti, Na. Tapi, ngerti itu nggak cukup. Kamu pernah nggak merasa bahwa aku juga butuh seseorang di sisi aku, seseorang yang bisa ada buat aku juga?”
Ayana menunduk, wajahnya terlihat sedikit gelisah. Ia membuka mulutnya untuk berkata sesuatu, namun kemudian terdiam, seolah-olah kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.
Andra tahu bahwa Ayana tak bermaksud menyakiti perasaannya, tapi di saat yang sama, ia juga sadar bahwa ia tidak bisa terus-terusan membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan yang tidak terbalas. Setiap kali ia berada di dekat Ayana, ia hanya merasa semakin tersesat dalam perasaannya sendiri.
“Kamu tau nggak, Na? Kadang aku mikir, mungkin aku terlalu berharap. Aku sadar kamu nggak pernah janji apa-apa sama aku, tapi…” Andra menghentikan kata-katanya, merasa sesak di dadanya semakin kuat.
Ayana mengangkat wajahnya, menatap Andra dengan mata yang penuh rasa bersalah. “Aku nggak pernah nyangka kamu bakal ngerasa seberat ini, Ra. Aku pikir… kamu akan selalu ada, nggak peduli gimana perasaanku ke kamu.”
Andra merasakan hatinya seolah terbelah dua. Mendengar kata-kata Ayana seperti menegaskan semua yang selama ini ia takuti. Ia menyadari bahwa Ayana tak pernah melihatnya lebih dari sekadar teman yang nyaman untuk disandarkan. Ayana terbiasa dengan kehadirannya, tapi ia tak pernah benar-benar membutuhkannya dengan cara yang Andra butuhkan.
“Mungkin… aku terlalu bodoh, Na. Aku terlalu lama berharap tanpa melihat kenyataan.” Andra menghela napas, mencoba meredakan rasa sesak yang menguasai dadanya. “Aku cuma mau kamu tahu kalau aku butuh waktu buat nyembuhin diri aku sendiri.”
Ayana tampak terdiam, kedua tangannya menggenggam erat-erat tasnya. “Ra, aku… aku nggak tahu harus bilang apa. Kamu sahabat terbaik aku, dan aku nggak pernah mau kehilangan kamu. Tapi… kalau kamu butuh waktu, aku ngerti.”
Andra menatap Ayana dengan senyum lemah, perasaan lelahnya tercermin dalam matanya. “Aku nggak minta kamu nunggu, Na. Aku cuma minta kamu untuk ngerti perasaanku, meskipun mungkin kamu nggak bisa balas perasaan itu.”
Tanpa kata tambahan, Andra berdiri, merasakan beban yang tak lagi bisa ia tanggung. Ayana hanya duduk diam, menatap kepergiannya dengan tatapan penuh penyesalan, namun tak satu pun dari mereka yang berusaha memperbaiki retakan yang sudah terbentuk di antara mereka.
Andra berjalan pergi dengan hati yang perih, namun ada sedikit kelegaan yang ia rasakan. Meski luka itu masih terbuka, setidaknya ia telah berani menghadapi kenyataan. Bukan lagi bayangan yang setia di belakang Ayana, ia kini memulai langkah pertamanya menuju kebebasan, meskipun rasa sakit itu masih akan ia bawa dalam setiap langkahnya.
Di dalam hatinya, Andra tahu bahwa proses ini tidak akan mudah. Luka yang tertinggal di hatinya takkan sembuh dalam sekejap, namun ia memilih untuk merelakan, untuk berhenti berharap pada sesuatu yang tak bisa ia miliki.
Namun, tanpa Andra sadari, Ayana tetap duduk di taman itu lama setelah ia pergi. Mata Ayana menatap kosong, seolah-olah ia baru menyadari bahwa sesuatu yang selama ini ia anggap abadi kini perlahan menghilang.
Jalan yang Terbentang
Berbulan-bulan berlalu sejak percakapan terakhir mereka di taman. Andra sudah membiasakan dirinya tanpa keberadaan Ayana di hidupnya. Awalnya sulit, seperti menghilangkan kebiasaan yang sudah lama melekat; ada perasaan hampa yang tidak mudah hilang. Namun seiring waktu, ia mulai menemukan kembali dirinya—sisi yang hilang karena terlalu fokus pada perasaan yang tak terbalas.
Di sisi lain, Ayana pun merasakan perubahan. Kepergian Andra meninggalkan kekosongan yang ia coba isi dengan teman baru, kesibukan kampus, dan segudang aktivitas lain. Tapi tidak ada yang benar-benar mengisi ruang itu. Dan yang paling ia sadari adalah bahwa Andra bukanlah seseorang yang bisa begitu saja digantikan.
Suatu malam, di tengah keheningan kamarnya, Ayana memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Andra. Sudah lama ia merasakan penyesalan, tetapi selalu saja ragu untuk menghubunginya. Setelah menatap layar ponselnya cukup lama, akhirnya ia mengetik pesan sederhana:
“Ra, apa kabar?”
Andra yang sedang membaca di kamarnya terkejut menerima pesan dari Ayana. Jantungnya berdebar, tapi ia tahu perasaannya sudah jauh lebih tenang dibanding dulu. Setelah mengambil napas dalam-dalam, ia membalas:
“Baik, Na. Ada apa?”
Ayana terdiam sejenak setelah membaca balasan singkat Andra. Dia berharap ada kehangatan yang biasa ia temukan dalam kata-katanya dulu, namun kini ia hanya melihat jarak yang membuatnya merasa asing.
“Aku… cuma ingin tahu kabar kamu. Aku kangen ngobrol sama kamu, Ra.”
Andra terdiam. Kata-kata itu, yang dulu selalu ia nantikan, kini terdengar berbeda. Rasanya ada ruang antara mereka yang tidak lagi bisa disatukan dengan obrolan ringan. Ia berpikir lama sebelum membalas:
“Aku juga kangen, Na. Tapi mungkin sekarang kita lebih baik kayak gini. Aku udah mulai bisa nerima semuanya, dan aku nggak mau balik ke situasi yang sama lagi.”
Ayana merasa tersentak. Andra bukan lagi Andra yang dulu, sosok yang selalu siap di sampingnya tanpa syarat. Dan saat itu, ia menyadari bahwa kehadiran Andra bukanlah sesuatu yang seharusnya ia anggap remeh.
“Aku ngerti, Ra. Aku cuma mau bilang, maaf. Aku udah banyak nyakitin kamu.”
Andra tersenyum kecil, meskipun hatinya tetap terasa sedikit perih. Tapi kini ia bisa menatap perasaannya dengan jernih. Ia membalas dengan tulus:
“Udah nggak ada yang perlu dimaafkan, Na. Aku juga berterima kasih, karena selama ini aku belajar banyak dari kita.”
Ayana membacanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia sadar, hubungan mereka kini hanya tinggal kenangan yang tak lagi bisa ia kembalikan. Andra bukan miliknya lagi, dan ia harus merelakan semuanya.
Beberapa minggu setelah percakapan itu, Andra telah benar-benar melangkah maju. Ia mulai bertemu dengan teman baru, menyibukkan diri dengan proyek dan kegiatan yang selalu ingin ia coba. Di setiap langkah, ada sisa-sisa kenangan tentang Ayana, namun tidak lagi membebani. Ia kini bisa mengenang Ayana tanpa rasa sakit yang dulu begitu menghantui.
Ayana pun belajar untuk menerima bahwa hidupnya akan berjalan tanpa Andra di sisinya. Meski rasa kehilangan itu tetap ada, ia tahu itu adalah harga yang harus ia bayar atas segala keegoisannya di masa lalu. Ia mengerti bahwa beberapa kesalahan tidak bisa diperbaiki, bahwa beberapa orang datang dan pergi untuk mengajarkan pelajaran penting dalam hidup.
Bagi Andra, perjalanannya telah membawa sebuah pencerahan baru. Kini, ia bisa mencintai dirinya sendiri lebih baik dan tidak lagi bergantung pada harapan yang tak pernah nyata. Perasaan itu telah ia lepaskan dengan penuh kedamaian, dan hidupnya kini terbentang dengan harapan yang baru.
Dan meskipun Ayana mungkin akan selalu menjadi bagian dari cerita hidupnya, Andra tahu bahwa jalan yang terbentang kini adalah miliknya, untuk ia lalui sendiri—dengan penuh kebebasan, dan keyakinan bahwa ia layak untuk bahagia.
Terkadang, yang paling berat bukanlah kehilangan seseorang, tapi menemukan keberanian buat ngelepas. Andra udah belajar, kalau kebahagiaan nggak selalu datang dari ngejar orang yang kita pikir tepat—kadang justru muncul setelah kita berani bilang, cukup.
Jadi, buat kamu yang pernah ngerasa kayak Andra, ingat aja… di ujung semua rasa sakit itu, ada versi diri kamu yang lebih kuat, lebih bijak, dan lebih bahagia menunggu.