Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada Pernahkah kamu merasakan kehilangan yang begitu dalam? Cerpen ini mengisahkan tentang Pasya, seorang anak SMA yang harus menghadapi kenyataan pahit ketika orang yang ia cintai harus pergi.
Dalam cerita ini, kita akan diajak menyelami perjuangan Pasya dalam mengatasi perasaan kehilangan, sambil berusaha bangkit dan melanjutkan hidup. Kisah ini penuh dengan emosi, kesedihan, namun juga harapan yang tak pernah padam. Yuk, baca lebih lanjut dan temukan bagaimana seorang pemuda berjuang menghadapi kasih yang hilang!
Kisah Sedih Pasya, Anak SMA yang Kehilangan Cinta Sejati
Cinta yang Tumbuh di Tengah Keramaian
Aku selalu menjadi pusat perhatian di sekolah. Dari pagi sampai sore, semua orang mengenalku. Namaku Pasya, anak SMA yang selalu tampil ceria, gaul, dan punya banyak teman. Hidupku tak pernah sepi dari tawa, canda, dan obrolan yang tiada habisnya. Aku rasa, di sekolah ini, aku punya segalanya. Namun, entah kenapa, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tak bisa aku temukan di tengah keramaian ini.
Lalu, dia datang. Seorang gadis yang tak pernah aku bayangkan bisa masuk ke dalam dunia ceria dan penuh kebahagiaan yang aku buat. Namanya Dara. Dia baru pindah ke sekolah kami beberapa bulan lalu, dan sejak saat itu, kehidupanku berubah. Dara tidak seperti gadis-gadis lain yang aku kenal. Dia lebih pendiam, lebih bijak, dan selalu tampak tenang. Namun ada sesuatu di matanya yang membuatku tertarik, sebuah kedalaman yang seolah menyimpan cerita yang tak pernah bisa diceritakan pada orang lain.
Hari pertama aku bertemu Dara, aku hanya memperhatikannya dari kejauhan. Aku lihat dia duduk sendiri di pojok kelas, membaca buku, atau sesekali menulis sesuatu di kertas. Aku ingin mendekat, tetapi aku tak tahu bagaimana cara memulainya. Aku yang biasanya selalu bisa berbicara dengan siapa saja, kali ini merasa canggung dan ragu. Apa yang harus aku katakan?
Hari demi hari, aku semakin sering memperhatikannya. Terkadang saat istirahat, aku sengaja berjalan dekat dengannya, berharap bisa menyapa. Namun, entah kenapa, ada rasa takut yang menghalangiku. Aku takut jika aku salah langkah atau membuatnya merasa tidak nyaman. Tapi suatu hari, tanpa diduga, dia yang justru mengajakku berbicara.
“Pasya, kamu suka musik?” tanyanya dengan suara lembut, matanya tidak menatapku langsung, tapi aku bisa merasakan ketulusan dalam pertanyaannya.
Aku kaget, namun segera menjawab dengan antusias, “Iya, banget! Aku suka banget dengerin musik. Apa kamu juga suka?”
Dia mengangguk pelan. “Aku juga suka, tapi lebih suka dengerin yang tenang, yang bisa bikin rileks. Kalau kamu?”
Aku tersenyum, merasa semakin dekat. “Aku sih suka yang energik, yang bisa bikin semangat. Kita berdua beda selera musik ya?”
Sejak saat itu, kami mulai sering berbicara. Meskipun pertemuan kami tidak sering, tetapi setiap percakapan dengan Dara selalu meninggalkan kesan yang dalam. Aku merasa lebih hidup, lebih berarti. Aku merasa bisa menjadi diriku yang sebenarnya saat berbicara dengannya. Dara tidak menilai, tidak menghakimi. Dia hanya mendengarkan.
Waktu berlalu, dan aku merasa semakin dekat dengannya. Kami mulai bertukar cerita tentang banyak hal, mulai dari hal-hal sepele hingga masalah yang lebih serius. Aku belajar banyak dari Dara, tentang bagaimana melihat dunia dengan perspektif yang berbeda, tentang ketenangan di tengah keramaian, tentang bagaimana menemukan kedamaian dalam diri sendiri. Aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan.
Aku sadar, perasaan itu mulai tumbuh dalam hatiku. Aku mulai menyukai Dara. Tetapi aku juga tahu, perasaan itu bukanlah sesuatu yang bisa diungkapkan dengan mudah. Aku yang biasa dikenal sebagai anak gaul, anak yang selalu jadi pusat perhatian, merasa canggung untuk menyatakan perasaanku. Aku khawatir, jika aku mengatakan apa yang aku rasakan, semuanya akan berubah. Aku khawatir, Dara tidak akan pernah melihatku lebih dari seorang teman.
Aku mulai menghindari perasaan itu, berusaha menekan perasaan yang semakin tumbuh di hatiku. Tapi setiap kali aku melihat Dara, hatiku berdebar kencang. Setiap kali aku mendengar suaranya, ada sensasi hangat yang menyelimuti dadaku. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Rasanya seperti ada kekosongan di dalam diriku yang hanya bisa diisi oleh senyuman Dara.
Satu hari, saat aku sedang duduk di kantin bersama teman-teman, aku melihat Dara duduk sendirian di pojok. Aku merasa ada dorongan untuk menghampirinya, untuk berbicara lebih banyak. Tetapi sebelum aku bisa bergerak, aku melihatnya sedang tertawa bersama seorang cowok lain di kelas. Tertawa dengan begitu lepas, begitu bahagia.
Aku tersentak. Tiba-tiba, perasaan yang aku coba sembunyikan muncul begitu saja. Rasa cemburu itu datang begitu cepat, seperti petir yang menyambar. Aku merasa gelisah, tidak nyaman, dan tiba-tiba kesal. Aku mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi itu tetap mengganggu. Aku bertanya-tanya, apakah Dara melihat cowok itu seperti dia melihatku? Apakah aku hanya teman biasa baginya?
Di saat seperti ini, aku merasa benar-benar bingung. Aku merasa kehilangan arah. Aku ingin mengungkapkan perasaanku, tetapi aku tidak tahu bagaimana. Aku takut, aku takut jika aku melangkah terlalu jauh, aku akan kehilangan semuanya. Aku tidak ingin merusak hubungan yang sudah kami bangun, meskipun perasaan itu semakin sulit untuk disembunyikan.
Namun, aku juga tahu bahwa waktu tidak akan pernah memberi kesempatan yang sama. Jika aku terus menunggu, aku mungkin akan kehilangan kesempatan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya aku rasakan. Dan itu, adalah ketakutanku yang paling besar.
Kenangan Manis yang Tersisa
Hari-hari terus berlalu, dan aku semakin tenggelam dalam perasaan yang tak terucapkan. Dara gadis pendiam yang datang begitu tiba-tiba dalam hidupku kian menyibukkan pikiranku. Semua yang kulakukan, setiap kali aku melihatnya atau mendengar suaranya, aku merasa ada yang mengisi ruang kosong dalam diriku. Tapi, entah kenapa, aku selalu merasa seperti ada dinding yang membatasi kami. Mungkin itu dinding yang kubangun sendiri, dinding ketakutan yang tak ingin aku runtuhkan.
Aku tahu, Dara tidak pernah menganggapku lebih dari seorang teman. Itu terlihat jelas setiap kali dia berbicara dengan orang lain, terutama dengan cowok yang baru saja aku lihat bersamanya di kantin. Ada senyum lepas di wajahnya yang tak bisa aku pungkiri. Itu senyum yang sama yang aku harapkan bisa aku lihat, tetapi dari sudut matanya yang selalu menghindar saat aku berada di dekatnya. Aku merasa seperti bayangan dalam hidupnya, seseorang yang hadir namun tidak pernah benar-benar terlihat.
Namun, aku tetap bertahan dalam keheningan itu. Setiap kali aku bertemu dengannya, aku berusaha bersikap biasa. Aku berusaha menunjukkan bahwa aku baik-baik saja, walaupun di dalam hatiku seolah ada badai yang tak pernah berhenti. Aku tak bisa mengungkapkan apa yang kurasakan, karena aku takut semuanya akan berubah. Aku takut kehilangan Dara, bahkan sebagai teman.
Suatu sore, setelah pelajaran olahraga, aku duduk sendirian di taman sekolah. Teman-temanku semua sudah pulang, dan aku memutuskan untuk menunggu sebentar. Saat itu, Dara muncul, berjalan sendirian. Aku ingin menyapanya, tetapi ada semacam rasa ragu yang membuatku hanya bisa diam. Dara melihatku dan tersenyum, senyum yang selalu membuat jantungku berdebar. Dia duduk di sampingku, menatap langit yang mulai berubah warna.
“Pasya,” katanya dengan suara lembut, “kamu pernah merasa kesepian meskipun dikelilingi banyak orang?”
Aku terkejut mendengar pertanyaannya. Dara yang biasanya pendiam, kini berbicara tentang sesuatu yang terasa begitu pribadi. Aku melihatnya dengan serius, mencoba mencari tahu apa yang dia rasakan.
“Aku rasa setiap orang pasti pernah merasakannya,” jawabku dengan hati-hati. “Kadang, walaupun kita dikelilingi banyak teman, tetap saja ada sesuatu yang hilang. Mungkin kita merasa tidak benar-benar dipahami.”
Dara mengangguk pelan. “Aku merasa begitu belakangan ini. Aku merasa, meskipun aku punya banyak teman, ada jarak yang tidak bisa kutemukan. Sesuatu yang tak bisa aku jelaskan. Mungkin karena aku lebih memilih untuk menyimpan semuanya sendiri.”
Aku menatapnya, mencoba memahami perasaan yang sedang dia alami. Aku merasa sedikit lega, setidaknya ada bagian dari diri Dara yang aku bisa kenali. Tapi, pada saat yang sama, ada perasaan sakit di dadaku. Aku tahu, meskipun kami berbicara tentang hal yang sama, aku dan Dara ada di dua dunia yang berbeda.
Malam itu, aku pulang dengan perasaan campur aduk. Kata-kata Dara terngiang di telingaku. Aku merasa terhubung dengannya, namun aku juga merasa semakin jauh. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Perasaan yang kupertaruhkan ini semakin berat, semakin sulit untuk dibiarkan begitu saja. Aku merasa seperti ada dua dunia dalam satu tubuhku—satu yang ingin aku jalani, dan satu lagi yang harus aku sembunyikan.
Beberapa hari kemudian, kejadian yang tak pernah aku duga terjadi. Dara mulai lebih sering berbicara denganku, lebih sering duduk berdua saat istirahat, dan seolah kami mulai menjadi teman yang lebih dekat. Namun, aku tidak bisa menghilangkan rasa cemas itu. Aku mulai merasa ada yang aneh. Setiap kali aku melihat Dara tertawa dengan orang lain, atau berbicara dengan cowok lain, aku merasa hati ini mulai retak. Ada bagian dari diriku yang hancur, seperti aku mulai kehilangan sesuatu yang sangat penting.
Suatu hari, saat kami berdua duduk di taman, Dara menatapku dengan tatapan yang berbeda. Tidak ada senyum biasa, hanya sebuah tatapan yang aku tidak mengerti. Aku menahan napas, berharap agar semua rasa cemas ini bisa hilang begitu saja.
“Pasya,” Dara akhirnya membuka suara. “Aku ingin bicara denganmu tentang sesuatu yang penting.”
Jantungku berdegup kencang. “Tentu, apa yang ingin kamu bicarakan?” jawabku, berusaha untuk tetap tenang meski hati ini hampir pecah.
Dara menarik napas panjang. “Aku… aku akan pindah sekolah. Keluargaku harus pindah ke luar kota, dan aku harus ikut mereka. Aku sudah mencoba mengatur semuanya, tapi rasanya ini keputusan yang tidak bisa ditunda lagi.”
Aku terdiam. Seperti ada yang merobek hatiku. Semua yang kurasakan tiba-tiba terasa sia-sia. Apa yang aku harapkan, apa yang aku perjuangkan, semuanya harus berakhir seperti ini. Dara akan pergi, dan aku hanya bisa diam, merasakan betapa dalamnya rasa kehilangan ini.
Aku mencoba tersenyum, meskipun hatiku hancur. “Jadi… kamu benar-benar akan pergi?”
Dara mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tahu ini berat, Pasya. Aku tidak ingin kamu merasa kecewa, tapi aku tidak bisa terus berada di sini. Ini keputusan keluarga, dan aku harus mengikutinya.”
Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Semua perasaan itu datang begitu mendalam, begitu tak terbendung. Aku ingin mengungkapkan betapa aku merasa kehilangan, betapa aku menginginkan dia tetap tinggal, tapi aku hanya bisa diam.
Di saat itu, aku sadar bahwa kasih yang aku rasakan, kasih yang tumbuh perlahan di antara kami, harus hilang begitu saja. Semua kenangan indah yang kami bagi, semua tawa yang kami bagi, akan segera menjadi masa lalu. Aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang ikut pergi bersamanya.
Dara pergi, dan aku tetap di sini, dengan kenangan yang tertinggal. Kenangan yang mungkin akan aku bawa selamanya, namun tidak akan pernah kembali lagi.
Perpisahan yang Tak Terelakkan
Kepergian Dara adalah kenyataan yang perlahan-lahan harus kucerna. Setelah hari itu, di taman, saat aku mendengar dari mulutnya sendiri bahwa dia akan pindah, semuanya terasa berbeda. Seolah waktu melambat, dan aku tersesat dalam kesendirian yang tiba-tiba meresap begitu dalam. Semua yang kami bicarakan sebelumnya, senyum-senyum yang sempat muncul di antara kami, kini terasa seperti kenangan yang mulai memudar.
Minggu-minggu setelah itu terasa hampa. Di sekolah, aku terus berusaha terlihat normal. Bertemu dengan teman-temanku, tertawa, dan berpartisipasi dalam obrolan yang sama seperti biasanya. Tapi setiap kali aku melihat Dara di kejauhan, atau mendengar suaranya yang biasa terdengar ceria, hatiku kembali terasa berat. Rasanya seolah aku sedang berdiri di sisi lain dari dunia yang tidak bisa aku jangkau.
Kepergian Dara semakin dekat. Beberapa hari sebelum dia pergi, dia mulai membereskan barang-barangnya di kelas. Aku duduk di meja belakang, hanya bisa mengamatinya dari jauh. Ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Tidak ada lagi tawa lepas seperti dulu, tidak ada lagi obrolan ringan di antara kami. Dara terlihat lebih pendiam dari biasanya, seolah ada beban yang sangat berat ada di pundaknya.
Aku mencoba untuk tidak terlalu mengganggunya, tidak ingin terlihat terlalu menginginkannya, tapi hatiku tidak bisa berbohong. Aku ingin ada lebih banyak waktu bersamanya, hanya untuk berbicara, tertawa, atau bahkan hanya duduk berdua tanpa kata-kata. Waktu yang begitu singkat, rasanya aku tidak siap untuk kehilangan begitu saja.
Hari itu, saat kami berdua berada di ruang kelas yang sepi, Dara mendekatiku. Ada ragu di matanya, tapi dia tetap melangkah ke arahku. Aku mengangkat wajahku dan tersenyum, berusaha menunjukkan bahwa aku baik-baik saja, meskipun dalam hatiku ada kekosongan yang tidak bisa aku sembunyikan.
“Pasya, aku ingin mengucapkan terima kasih,” katanya dengan suara yang pelan, namun penuh makna. “Kamu telah menjadi teman yang baik bagiku, bahkan lebih dari itu. Aku tahu kita tidak pernah mengungkapkan semuanya, tapi aku merasa senang bisa mengenalmu.”
Aku terdiam sejenak. Kata-kata Dara menusuk langsung ke jantungku. Aku ingin berkata lebih banyak, ingin menyatakan semua yang sedang kupikirkan, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Aku hanya bisa menatapnya, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba muncul begitu saja. Ini bukan hanya tentang kehilangan seorang teman. Ini tentang kehilangan bagian dari diriku yang aku rasa baru saja kutemukan.
“Aku juga senang bisa mengenalmu, Dara,” jawabku akhirnya dengan suara serak. “Aku akan bisa merindukanmu, lebih dari yang kamu tahu.”
Dara mengangguk pelan, lalu menundukkan kepala, seolah dia tahu apa yang aku rasakan. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Kami berdua hanya duduk dalam keheningan, meresapi saat-saat terakhir bersama.
Keesokan harinya, kami mengadakan sebuah acara perpisahan kecil untuk Dara. Semua teman-teman di kelas berkumpul di ruang kosong sekolah, menulis pesan-pesan di kartu ucapan dan memberikan hadiah kecil sebagai kenang-kenangan. Aku melihat Dara berdiri di depan kelas, tersenyum meskipun matanya tampak berkaca-kaca. Dia memang tegar, tapi aku tahu betul bahwa ada bagian dari dirinya yang ingin tetap bertahan di sini.
Aku menatapnya dari jauh. Aku tidak bisa menghindari kenyataan bahwa semua ini akan segera berakhir. Aku ingin mengatakan sesuatu yang penting padanya, sesuatu yang sudah lama ingin kuungkapkan, tapi entah kenapa kata-kata itu tetap saja terkunci di dalam dada. Aku hanya bisa melihat Dara, berdiri dengan raut wajah yang ceria, meskipun aku tahu dia merasa sama kosongnya dengan diriku.
Ketika acara hampir selesai, Dara datang menghampiriku. “Pasya, terima kasih sudah menjadi teman baik. Aku akan sangat merindukanmu.”
Hatiku bergejolak mendengar kata-katanya. “Aku juga akan merindukanmu, Dara,” jawabku pelan, tak mampu menahan perasaan yang tiba-tiba begitu sulit untuk disembunyikan. Aku ingin memeluknya, menahan agar tidak pergi, tapi semuanya terasa sia-sia. Waktu kami sudah habis.
Dia melangkah mundur, sedikit tersenyum, lalu berkata, “Jaga dirimu, Pasya. Jangan lupa untuk selalu tersenyum.”
Aku hanya bisa menatapnya pergi. Dara, gadis yang begitu kuat, yang selalu mampu tersenyum meski banyak hal yang dia sembunyikan. Dia pergi dengan begitu ringan, seperti burung yang terbang bebas di angkasa, meninggalkan aku yang merasa terjebak di dunia yang sepi tanpa kehadirannya.
Setelah perpisahan itu, aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku yang paling berharga. Hidupku tidak lagi sama tanpa Dara di sekitarku. Aku berusaha untuk tetap tersenyum di depan teman-teman, tetapi di dalam hati, aku merasakan kehilangan yang tak bisa kuungkapkan. Aku tidak tahu kapan perasaan ini akan hilang, atau apakah perasaan ini akan tetap ada selamanya.
Namun, satu hal yang aku sadari perasaan ini, meskipun menyakitkan, akan selalu menjadi kenangan manis tentang Dara. Aku akan selalu ingat bagaimana dia mampu memberi warna dalam hari-hariku, bahkan jika dia hanya ada sejenak. Dan meskipun dia kini jauh, aku percaya dia akan selalu ada dalam kenanganku. Sebab, kadang-kadang, kasih yang hilang tetap hidup dalam ingatan, meskipun tak lagi bisa digenggam.
Kenangan yang Menjadi Perjuangan
Setelah Dara pergi, dunia terasa berbeda. Meskipun aku tetap melanjutkan rutinitasku seperti biasa sekolah, bertemu teman-teman, bermain basket tapi ada sesuatu yang hilang. Rasa kehilangan itu tak terucapkan, tapi begitu mendalam. Aku tidak bisa lagi melihat Dara, tertawa bersama, berbicara tentang rencana-rencana yang kini hanya menjadi bayangan. Rasanya dunia tiba-tiba menjadi lebih sepi dan lebih sunyi.
Hari-hari berlalu dengan lambat. Aku merasa seperti berjalan di atas jalur yang tak jelas, tanpa arah, seperti hidup ini hanya berjalan tanpa tujuan. Setiap kali aku lewat di tempat-tempat yang biasa kami lewati bersama, ada rasa sakit yang mengingatkan betapa cepatnya waktu berlalu, dan betapa cepatnya dia pergi. Rasanya seperti sebuah lembaran kosong, aku tak tahu harus menulis apa lagi.
Suatu sore, setelah sekolah, aku duduk sendiri di taman. Semua teman-temanku sudah pulang, dan aku memilih untuk tetap di sana, menenangkan diri. Angin berhembus lembut, dan matahari yang mulai terbenam menyinari wajahku dengan cahaya jingga. Itu adalah waktu yang tepat untuk merenung. Namun, meski suasana begitu tenang, hatiku tetap tidak bisa tenang. Terus menerus, pikiranku dipenuhi oleh Dara, oleh kenangan-kenangan yang tak bisa aku hapus.
Aku melihat sekeliling, mencoba mencari kenyamanan dalam keheningan. Tapi semuanya terasa kosong. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Aku sudah mencoba untuk melupakan, mencoba untuk bergerak maju, tapi semakin aku mencoba, semakin kenangan itu mengikutiku. Kenangan tentang tertawa bersama, tentang berlarian mengejar waktu di sekolah, dan tentang semua janji yang tak sempat kami penuhi. Semua itu kini hanya ada dalam ingatan, sebuah bayangan yang terus menghantui.
Setelah beberapa lama termenung, aku mendapat sebuah pesan di ponselku. Dari Dara.
“Pasya, aku tahu kita tidak bisa selalu bersama, tapi aku ingin kamu tahu bahwa kamu tetap bagian dari hidupku, meski jarak memisahkan kita. Jaga dirimu, dan jangan lupa untuk terus tersenyum. Kita akan bertemu lagi, suatu hari nanti.”
Aku terdiam sejenak, membaca pesan itu berulang kali. Ada perasaan aneh yang bercampur aduk di dalam hatiku kehilangan, tapi juga harapan. Dara memang pergi, tapi dia masih ada dalam bentuk kata-kata yang ia tinggalkan. Kata-kata itu memberi semangat untuk melanjutkan hidup, untuk tetap bertahan meskipun dia jauh di sana. Aku tahu, perasaan ini bukanlah perasaan yang harus aku biarkan menguasai diriku selamanya. Aku harus belajar untuk menghadapinya, untuk merelakan, meskipun itu sangat sulit.
Setelah membaca pesan itu, aku merasa seolah ada sedikit cahaya yang muncul dalam kegelapan. Aku tahu aku tidak bisa terus-terusan terpuruk dalam kesedihan. Dara ingin aku tetap bahagia, dan aku harus menghargai itu. Aku harus melanjutkan hidup, meskipun dengan rasa sakit yang masih ada.
Hari-hari setelah itu, aku mulai berusaha untuk kembali ke kehidupan normal. Mungkin tidak sepenuhnya normal, karena kehilangan Dara adalah hal yang besar dalam hidupku, tapi aku berusaha untuk bertahan. Aku kembali fokus pada sekolah, mencoba untuk lebih dekat dengan teman-teman, dan mencoba kembali mencari kebahagiaan dalam hal-hal kecil yang dulu aku anggap remeh. Aku tahu, meskipun Dara tidak ada di sini, dia tetap ada dalam bentuk kenangan yang akan selalu ku bawa.
Suatu hari, aku melihat sebuah foto lama kami berdua yang tertinggal di buku catatan. Itu adalah foto kami di acara perpisahan sekolah, tertawa bersama, berpose dengan teman-teman. Foto itu tiba-tiba membawa kembali semua kenangan indah yang kami buat. Tersenyum, aku menatap foto itu lama-lama. Dalam hati, aku berjanji bahwa aku akan menjaga kenangan ini, kenangan tentang Dara, dan membuatnya menjadi semangat dalam hidupku.
Keputusan untuk tidak membiarkan rasa kehilangan ini menghentikan langkahku adalah keputusan yang sulit, tapi aku tahu itu adalah hal yang benar. Dara ingin aku terus tersenyum, dan aku akan melakukannya, meski dengan hati yang berat. Kenangan tentangnya akan selalu ada, dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa diambil oleh siapa pun. Walaupun dia jauh, kasih sayangnya tetap ada dalam setiap langkahku. Aku harus menjalani hidup ini, dengan atau tanpa kehadirannya, tetapi aku akan selalu membawa bagian dari dirinya dalam hatiku.
Dalam setiap detik yang berlalu, aku berusaha untuk melanjutkan perjuanganku untuk menjadi lebih baik, untuk lebih menghargai setiap momen yang ada, dan untuk tidak menyerah pada rasa sakit. Aku tahu, meskipun Dara tidak ada di sini, dia selalu ada dalam bentuk kenangan yang akan terus memberi warna pada hidupku.
Perjuangan untuk bangkit dari kehilangan ini memang tidak mudah, tetapi aku yakin, seperti kata Dara dalam pesan terakhirnya “kita akan bertemu lagi, suatu hari nanti.”