Kasih Tak Sampai: Cinta Yura yang Terpendam di Hati Sahabat Sendiri

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada apakah kamu sedang mencari cerita pendek yang penuh dengan emosi, perjuangan, dan ketulusan cinta yang tidak berbalas? Cerpen ini, “Ketulusan yang Tersembunyi”, menghadirkan kisah Yura, seorang remaja SMA yang gaul dan punya banyak teman, namun harus menghadapi pahitnya cinta tak sampai.

Cerita ini mengajak kamu menyelami perasaan cinta yang tulus dan keikhlasan melepaskan, meskipun harus mengorbankan perasaannya sendiri. Siapkan hati dan tisu saat membaca, karena kisah Yura akan membuatmu terharu!

 

Cinta Yura yang Terpendam di Hati Sahabat Sendiri

Senyum di Balik Luka

Di sekolah, semua orang bisa mengenal Yura sebagai gadis yang penuh dengan keceriaan. Setiap sudut ruang kelas menjadi lebih hidup ketika Yura hadir, dengan candaan ringan dan senyum yang selalu terukir di wajahnya. Dia tidak hanya cantik, tetapi juga karismatik. Banyak teman yang merasa nyaman berbagi cerita dengannya, baik di kantin, lapangan, maupun saat pulang sekolah. Dia adalah sosok sahabat sejati yang selalu bisa diandalkan. Namun, ada satu orang yang menjadi pusat perhatian Yura lebih dari siapa pun Daffa.

Daffa adalah sahabat terbaik Yura sejak mereka duduk di bangku SMP. Mereka selalu bersama, tak akan terpisahkan seperti bayangan dan cahaya. Bahkan teman-teman sering mengira mereka adalah pasangan, meskipun Yura hanya tertawa saat mendengarnya. “Ah, kita hanya sahabatan kok,” katanya sambil tersenyum, berusaha menutupi perasaannya sendiri. Karena, di balik senyum itu, tersembunyi perasaan yang lebih dalam dari sekadar persahabatan.

Hari itu, seperti biasa, Yura dan Daffa duduk bersama di kantin. Mereka memesan es teh favorit mereka sambil bercanda tentang guru yang selalu terlambat masuk kelas. Yura tertawa, namun di dalam hatinya ada rasa sakit yang terus mengganggu. Setiap kali melihat senyum Daffa, ada harapan kecil yang tumbuh, tetapi juga ada ketakutan besar yang menyertainya takut jika suatu saat, senyum itu bukan lagi untuknya.

“Yu, kamu nggak pernah berubah ya. Tetap saja ceria,” kata Daffa tiba-tiba, memandang Yura dengan tatapan hangat.

Yura tersenyum kecil, berusaha menutupi kesedihannya. “Kamu juga, Daf. Tetap saja dengan senyum khas kamu itu,” balasnya sambil menggigit sedotan. Dalam hati, Yura ingin berkata lebih, ingin mengutarakan perasaannya yang telah lama ia pendam. Namun, kata-kata itu selalu tersangkut di tenggorokan, tak pernah sampai keluar.

Setiap malam, Yura merenung di kamarnya. Ia menatap ponsel, melihat foto-foto kenangan bersama Daffa. Ada foto mereka saat berlibur ke pantai bersama teman-teman, tertawa riang sambil bermain ombak. Ada juga foto saat perayaan ulang tahun Daffa, di mana Yura diam-diam menyiapkan kado spesial untuknya. “Kado untuk sahabat terbaikku,” kata Yura waktu itu, meskipun dalam hatinya ia berharap bisa memberikan lebih.

Sambil memeluk bantal, Yura bergumam, “Kenapa sih, aku nggak bisa jujur saja? Kenapa harus menyimpan semua ini sendiri?” Namun, setiap kali ia berpikir untuk mengungkapkan perasaannya, ada ketakutan yang lebih besar takut kehilangan Daffa sebagai sahabat. Baginya, persahabatan yang mereka miliki terlalu berharga untuk dihancurkan oleh perasaan sepihak.

Suatu hari, Yura melihat Daffa sedang berbicara dengan seorang gadis di taman sekolah. Gadis itu adalah Raina, teman sekelas mereka yang dikenal manis dan ramah. Daffa terlihat begitu ceria saat berbicara dengan Raina, dan mereka tampak sangat akrab. Melihat pemandangan itu, ada rasa sakit yang menusuk hati Yura. Ia berpura-pura tidak peduli, tapi perasaannya tak bisa untuk dibohongi.

Yura segera mengalihkan pandangannya, mencoba menyibukkan diri dengan teman-temannya yang lain. Namun, pikirannya terus kembali pada pemandangan tadi. “Mungkin aku hanya terlalu berlebihan,” pikir Yura sambil tersenyum masam. Tapi, ia tahu, itu bukan hanya cemburu sebagai sahabat itu adalah cemburu seorang gadis yang jatuh cinta.

Saat pulang sekolah, Daffa menghampiri Yura seperti biasa. “Yu, mau pulang bareng nggak?” tawarnya sambil tersenyum lebar. Senyum yang selalu membuat Yura merasa tenang, meskipun kali ini ada sedikit rasa perih yang mengikutinya.

“Ya, ayo,” jawab Yura cepat, berusaha menutupi kegalauan di hatinya. Mereka berjalan beriringan, berbicara tentang hal-hal kecil seperti biasa, tapi kali ini Yura lebih banyak diam. Daffa sepertinya tidak menyadari perubahan itu, dan Yura merasa lega karena ia tidak ingin Daffa tahu perasaannya.

Di perjalanan, Daffa tiba-tiba berkata, “Tadi aku ngobrol sama Raina. Dia orangnya asyik banget, ya?”

Yura terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Oh, ya? Iya, dia memang ramah,” balasnya dengan senyum yang dipaksakan. Ada jeda yang panjang setelah itu, dan Yura merasa seperti menahan napas sepanjang jalan pulang.

Sesampainya di rumah, Yura langsung masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Ia duduk di tepi tempat tidur, air mata mulai mengalir di pipinya. “Kenapa aku harus merasakan ini?” bisiknya pelan, sambil memegang dadanya yang terasa begitu sakit. Selama ini, ia selalu berusaha kuat, selalu berpikir bahwa perasaannya pada Daffa hanyalah rasa suka biasa. Tapi sekarang, ia tak akan bisa lagi membohongi diri sendiri.

Malam itu, Yura memutuskan untuk menulis di buku hariannya tempat ia biasa mencurahkan semua perasaan yang tak terungkap. “Dear Daffa,” tulis Yura dengan tangan gemetar, “Aku tahu, aku hanya sahabat bagimu. Dan aku mungkin tidak akan pernah bisa lebih dari itu. Tapi aku ingin kamu tahu, meskipun aku tak pernah mengatakannya, aku menyayangimu lebih dari apa pun. Dan jika aku harus menyimpan ini selamanya, demi melihatmu bahagia, aku akan melakukannya.”

Yura menutup buku hariannya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, perasaannya ini tak mungkin diungkapkan. Cinta yang tak terucap, namun tetap kuat mengakar di hatinya. Dengan senyum kecil, Yura menghapus air matanya. “Aku masih punya Daffa sebagai sahabat,” katanya kepada diri sendiri, berusaha menguatkan hati yang terluka.

Meski senyum itu selalu hadir di wajahnya, di baliknya tersembunyi luka yang tak pernah terlihat oleh siapa pun, kecuali dirinya sendiri.

 

Harapan yang Kandas di Tengah Perjalanan

Hari-hari berlalu, dan Yura masih berusaha menata hatinya, menyembunyikan luka yang terus menganga. Di sekolah, dia tetap menjadi gadis yang ceria dan penuh tawa. Sahabat-sahabatnya tidak pernah tahu bahwa di balik canda dan tawa itu, ada perasaan yang ia pendam dalam-dalam. Setiap kali bertemu Daffa, hatinya selalu bergetar, namun Yura terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Suatu hari, Yura dan Daffa ditugaskan untuk menjadi panitia acara “Festival Musik Sekolah”. Acara tahunan ini adalah momen yang paling dinantikan oleh para siswa. Semua berlomba-lomba menunjukkan bakat mereka, baik itu bernyanyi, menari, ataupun bermain alat musik. Daffa, yang jago bermain gitar, tentu menjadi salah satu yang ditunggu-tunggu penampilannya. Sedangkan Yura, meskipun tidak pernah menunjukkan bakat menyanyi di depan banyak orang, diam-diam ia memiliki suara yang indah.

“Yu, kamu mau jadi MC aja atau ikut nyanyi di festival nanti?” tanya Daffa sambil menyerahkan secarik kertas daftar tugas panitia.

Yura tersenyum kecil. “Ah, aku jadi MC aja deh. Nyanyi bukan bakatku,” katanya, berbohong. Padahal, ia sangat ingin sekali bernyanyi bersama Daffa, menunjukkan bahwa ia juga bisa. Tapi, rasa takut ditolak dan malu membuatnya lebih memilih mundur.

“Sayang banget, padahal aku pengen kamu nyanyi bareng aku,” kata Daffa dengan nada kecewa. Senyum itu terlintas di wajahnya, dan Yura merasa jantungnya berdebar lebih cepat.

“Oh ya? Tapi aku nggak pede, Daf. Lagian, pasti banyak yang lebih jago dari aku,” Yura menjawab sambil mencoba tertawa, menutupi kegugupannya.

Hari-hari persiapan festival pun dimulai. Setiap sore, Yura dan Daffa sering menghabiskan waktu bersama di ruang musik, menyusun daftar lagu, mengatur jadwal penampilan, dan mempersiapkan segala hal dengan sempurna. Ruang musik menjadi tempat di mana mereka bisa tertawa lepas, bercanda seperti dulu kala, meskipun bagi Yura, ada rasa perih yang tersembunyi di balik tawa itu.

Suatu sore, ketika Daffa tengah berlatih gitar sendirian, Yura datang dengan membawa beberapa kertas untuk pengumuman. Ia melihat Daffa duduk di kursi, memetik senar gitar dengan penuh perasaan. Lagu yang dimainkan adalah lagu favorit mereka, lagu yang selalu mereka nyanyikan bersama saat masih SMP. Yura berhenti sejenak, menikmati alunan melodi yang membawa kenangan manis itu kembali.

Tanpa sadar, Yura mulai menyanyikan lagu itu dengan suara lirih. Suaranya mengalun lembut, mengikuti irama gitar yang dimainkan Daffa. Daffa tersentak, menoleh ke arah Yura yang kini berdiri di dekat pintu, menyanyi dengan mata terpejam. Ia tersenyum, lalu mempercepat petikannya, mengikuti nada suara Yura.

“Suaramu bagus banget, Yu,” puji Daffa setelah lagu itu selesai.

Yura tertawa kecil, mencoba menutupi rasa malunya. “Ah, biasa aja kok. Aku cuma kebawa suasana.”

“Tapi, kenapa kamu nggak mau tampil di festival nanti? Aku yakin, semua orang bakal suka,” desak Daffa dengan mata berbinar.

Yura terdiam, menundukkan kepalanya. Ia tahu alasan sebenarnya bukan karena ia tak mampu, tapi karena ia tak ingin perasaan yang ia pendam ini semakin terasa nyata di hadapan Daffa. “Aku nggak yakin, Daf. Aku nggak mau mengecewakan,” katanya pelan.

Daffa menatap Yura dalam-dalam, seolah mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan oleh gadis itu. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, pintu ruang musik terbuka dan Raina masuk dengan senyuman lebar.

“Daffa, kita perlu diskusi soal lagu yang akan kita bawain nanti,” kata Raina sambil menghampiri Daffa, tanpa memedulikan keberadaan Yura.

Yura tersenyum canggung. “Oh, aku harus pergi nih. Ada urusan lain,” katanya, berusaha menghindar. Ia merasakan hatinya kembali teriris melihat kedekatan Daffa dan Raina.

Sepeninggal Yura, Daffa menatap pintu yang perlahan tertutup, merasakan ada sesuatu yang salah. Tapi ia tak bisa menebak apa itu.

Malam harinya, Yura duduk di balkon kamarnya, memandangi langit yang dipenuhi bintang. Udara malam yang dingin terasa menusuk hingga ke tulang, seakan menyatu dengan rasa dingin di hatinya. “Kenapa aku harus merasakan ini?” gumam Yura pelan, air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia hentikan. Ia tahu bahwa perasaannya pada Daffa bukan lagi sekadar rasa suka biasa, melainkan cinta yang tulus. Namun, cinta itu terasa sia-sia ketika melihat betapa akrabnya Daffa dan Raina.

Seminggu sebelum festival, sekolah tampak semakin sibuk. Semua siswa berlatih dan mempersiapkan penampilan mereka. Yura, meskipun merasa sedih, tetap profesional menjalankan tugasnya sebagai panitia. Ia mengesampingkan perasaannya dan fokus bekerja. Namun, setiap kali melihat Daffa berlatih bersama Raina, hatinya selalu terasa sesak.

Di hari gladi resik, Yura melihat Daffa sedang membantu Raina mempersiapkan lagu yang akan mereka bawakan bersama. Mereka terlihat begitu serasi, tertawa dan saling bertukar pandang dengan mesra. Yura hanya bisa berdiri dari kejauhan, menyaksikan pemandangan itu dengan senyum pahit di bibirnya.

“Kenapa aku harus jatuh cinta pada sahabatku sendiri?” pikir Yura. Ia ingin melangkah pergi, namun kakinya terasa berat.

Saat itu, Daffa menoleh ke arah Yura dan melambai. “Yu, sini! Aku butuh pendapat kamu soal lagu ini.”

Yura menghela napas panjang, lalu berjalan menghampiri mereka. “Lagu yang bagus,” katanya datar, berusaha terdengar biasa saja.

“Menurutmu gimana kalau aku dan Raina duet di festival nanti?” tanya Daffa dengan senyum lebar.

Yura merasa seperti ditusuk ribuan jarum. Ia menatap Daffa dan Raina yang tersenyum padanya, namun yang ia rasakan hanyalah kepedihan. “Keren banget. Kalian pasti cocok,” jawabnya dengan suara serak.

Daffa mengangguk senang. “Aku tahu kamu bakal setuju. Terima kasih, Yura.”

Di balik senyum itu, Yura menahan air mata yang hampir jatuh. Ia berjuang keras untuk tetap tersenyum, meski hatinya remuk redam. “Apapun, asal kamu bahagia, Daf,” bisik Yura pelan, tak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.

 

Kenangan yang Terlupakan

Sejak percakapan itu, Yura merasa semakin jauh dari Daffa. Setiap kali melihat Daffa dan Raina bersama, tawa mereka seolah menjadi jeritan sunyi di hatinya. Namun, Yura tetap memasang senyum. Tidak ada yang tahu bahwa setiap senyumnya adalah bentuk pertahanan terakhir agar tidak terlihat rapuh. Dia tak ingin membuat masalah, apalagi menyakiti perasaannya sendiri dengan berharap lebih.

Hari festival pun semakin dekat, hanya tersisa tiga hari lagi. Di sekolah, suasana semakin ramai. Siswa-siswi sibuk berlatih di berbagai sudut, dekorasi panggung mulai ditata, dan panitia bekerja tanpa henti. Yura, sebagai salah satu ketua panitia, juga tak kenal lelah mempersiapkan segalanya. Dia melupakan rasa lelah demi memastikan acara ini berjalan sempurna. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada rasa sakit yang tak bisa ia hilangkan.

“Yura, lihat nih! Bagus nggak dekorasi lampu panggungnya?” tanya seorang teman panitia.

Yura mengangguk sambil tersenyum. “Bagus banget, kok. Kalian udah kerja keras,” jawabnya, sambil mencoba terdengar senang.

Di tengah kesibukannya, tiba-tiba Daffa muncul dengan wajah serius. “Yura, kamu bisa ikut aku sebentar?” tanyanya.

Yura mengangguk pelan, mengikuti langkah Daffa menuju ruang musik yang kini sepi. Tempat itu sudah dihias untuk acara nanti, dengan lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip di sudut ruangan. Suasana ruang musik begitu tenang, hanya terdengar suara angin yang berhembus pelan melalui jendela yang terbuka.

“Ada apa, Daf?” tanya Yura, sambil mencoba terdengar tenang meskipun dalam hatinya berdebar.

Daffa menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Aku merasa akhir-akhir ini kamu menghindar dariku. Kenapa, Yu? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?” tanyanya lembut.

Yura menelan ludah, menahan air mata yang hampir jatuh. “Kamu nggak salah apa-apa, Daf. Mungkin aku cuma sibuk dengan urusan panitia,” jawabnya, berbohong lagi.

Daffa mendekat, menyentuh bahu Yura dengan lembut. “Tapi aku merasa ada yang berbeda. Kamu nggak seperti biasanya, Yu. Kamu selalu ceria, selalu tertawa bersama aku… tapi sekarang aku merasa kehilangan kamu.”

Kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk hati Yura. Bagaimana ia bisa menjelaskan perasaannya? Bahwa rasa sakit ini datang karena ia jatuh cinta pada Daffa, sahabat yang kini mencintai gadis lain. Yura menggeleng pelan, memaksakan senyum yang tipis. “Aku baik-baik saja, Daf. Kamu terlalu khawatir.”

Daffa menghela napas panjang. “Kalau kamu bilang begitu, aku percaya. Tapi ingat, Yu, aku selalu ada di sini kalau kamu butuh seseorang.”

Yura hanya mengangguk, tak mampu berkata apa-apa. Ia tahu, Daffa memang selalu ada untuknya, tapi bukan dengan cara yang ia harapkan. Saat itu, Raina masuk ke dalam ruangan dengan wajah ceria. “Oh, kalian di sini! Aku udah selesai latihan. Kamu ikut sekarang, Daf?” tanyanya sambil memegang tangan Daffa.

Daffa tersenyum pada Raina, lalu menoleh ke Yura. “Aku pergi dulu, ya, Yu.”

Yura mengangguk pelan. “Iya, hati-hati,” balasnya dengan senyum yang sudah mulai retak.

Ketika mereka pergi, Yura menutup pintu ruang musik dan duduk di lantai. Ia memeluk lututnya, membiarkan air mata yang selama ini ditahannya jatuh tanpa henti. Ruangan yang penuh kenangan itu terasa begitu kosong sekarang. Setiap sudutnya menyimpan memori indah bersama Daffa, memori yang mungkin hanya berarti bagi Yura seorang.

Hari festival akhirnya tiba. Semua berjalan sesuai rencana. Panggung sudah dipenuhi dekorasi yang indah, penonton memadati aula, dan para peserta menampilkan bakat mereka dengan penuh semangat. Yura, sebagai MC, tampil dengan senyum yang ceria, menyapa penonton dengan penuh antusias. Tak ada yang tahu bahwa di balik senyum itu, hatinya sedang hancur berkeping-keping.

“Dan sekarang, kita akan menyaksikan penampilan yang sangat ditunggu-tunggu dari Daffa dan Raina!” teriak Yura ke mikrofon, diiringi dengan sorak-sorai dari para penonton.

Yura melangkah mundur, memberikan panggung kepada Daffa dan Raina. Mereka berdiri di tengah panggung, tersenyum manis sambil menyiapkan diri. Daffa memetik gitar dengan lembut, dan Raina mulai bernyanyi dengan suara yang merdu. Penampilan mereka sempurna, dan semua mata tertuju pada mereka. Yura berdiri di sisi panggung, berusaha tetap tersenyum, meskipun hatinya terasa hancur.

Di akhir lagu, Daffa dan Raina saling bertatapan dengan mesra. Daffa mengambil mikrofon dan berbicara. “Lagu ini… aku dedikasikan untuk seseorang yang sangat spesial di hidupku,” katanya sambil menatap Raina dengan penuh kasih sayang.

Yura terdiam, dadanya terasa sesak. Inilah momen yang selama ini ia takutkan. Daffa akhirnya menyatakan cintanya di depan semua orang, dan itu bukan untuknya.

“Raina, kamu adalah orang yang membuat aku merasa lengkap. Aku ingin kita selalu bersama,” lanjut Daffa.

Penonton bersorak riuh, memberi tepuk tangan meriah. Raina tersenyum bahagia, dan Daffa memeluknya erat. Sementara itu, Yura berdiri terpaku, mencoba menahan air mata yang sudah tidak bisa dibendung lagi.

“Terima kasih, semuanya. Selamat menikmati acara selanjutnya,” kata Yura dengan suara gemetar, lalu buru-buru turun dari panggung.

Yura berlari keluar aula, mencari tempat di mana ia bisa menangis tanpa dilihat orang lain. Dia berlari menuju taman belakang sekolah, tempat di mana ia dan Daffa sering duduk bersama, bercanda, dan berbicara tentang mimpi-mimpi mereka. Kini, tempat itu terasa asing dan sepi. Yura duduk di bangku kayu, membenamkan wajahnya di tangan, membiarkan air mata mengalir deras.

“Kenapa harus begini? Kenapa aku jatuh cinta padamu, Daf?” Yura berbisik di antara isakan tangisnya. Dia merasa bodoh, merasa lemah. Selama ini, ia selalu berusaha terlihat kuat, tapi di sini, di tempat kenangan mereka, ia tak bisa menahan rasa sakit itu lagi.

Dalam hening malam itu, Yura berjuang menghadapi kenyataan bahwa cintanya tak pernah sampai. Bahwa Daffa sudah memilih orang lain. Dia tahu, ini bukan akhir dari segalanya. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, Yura merasa benar-benar sendirian.

 

Melepaskan dengan Ketulusan

Setelah malam festival yang penuh tangisan itu, Yura memutuskan untuk mengambil jarak dari Daffa dan Raina. Rasanya sulit untuk berpura-pura bahagia di depan mereka, sementara hatinya terluka. Setiap kali melihat mereka bersama, seperti menambahkan garam pada luka yang belum sembuh. Namun, Yura tidak ingin menjadi sosok yang menyimpan dendam atau cemburu. Dia sadar, rasa cintanya pada Daffa harus bisa dilepaskan jika dia benar-benar menyayanginya.

Pagi hari itu, Yura duduk di taman sekolah, di bawah pohon besar yang rimbun. Udara pagi terasa sejuk, angin semilir membelai rambutnya yang tergerai. Yura menatap langit, mencoba menenangkan diri. Hatinya masih terasa sesak, tapi dia tahu, hari ini dia harus melakukan sesuatu yang sudah lama ingin ia lakukan — mengucapkan perpisahan pada perasaannya sendiri.

Raina menghampiri Yura dengan senyum lembut. “Hai, Yura. Aku bisa duduk di sini?” tanyanya.

Yura mengangguk, tersenyum tipis. “Tentu, Rai. Duduklah.”

Raina duduk di sampingnya, suasana menjadi hening. Mereka berdua menatap langit yang sama, tapi mungkin dengan perasaan yang sangat berbeda. Yura tahu, Raina sudah menyadari perasaan yang ia simpan selama ini. Mereka tak pernah membicarakannya, tapi ada sesuatu dalam tatapan Raina yang membuat Yura yakin, Raina tahu semuanya.

“Aku ingin minta maaf,” kata Raina tiba-tiba, suaranya lirih.

Yura menoleh, bingung. “Kenapa kamu minta maaf, Rai?”

Raina menunduk, menatap rumput yang tumbuh di bawah kakinya. “Aku tahu, Yura. Aku tahu perasaanmu pada Daffa sejak dulu. Aku bisa merasakan bagaimana kamu menahan semuanya demi melihat kami bahagia. Kamu pasti terluka, tapi tetap berusaha kuat. Aku… aku minta maaf kalau selama ini aku membuatmu merasa seperti ini.”

Yura tersenyum, walaupun ada air mata yang mulai menggenang di matanya. Dia menggeleng pelan. “Tidak, Rai. Kamu nggak perlu minta maaf. Perasaan itu pilihanku sendiri. Aku yang memutuskan untuk mencintai Daffa, dan aku juga yang memutuskan untuk melepaskannya. Kamu tidak salah apa-apa.”

Raina menatap Yura dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku merasa bersalah. Aku tahu bagaimana perasaan itu bisa menyiksa. Aku pernah merasakannya sebelum Daffa ada di hidupku. Melihatmu seperti ini… membuat aku merasa sedih.”

Yura menghela napas panjang, lalu memeluk Raina erat. “Aku nggak mau kamu merasa bersalah, Rai. Cinta itu bukan soal siapa yang salah atau benar. Kadang, kita mencintai seseorang yang tidak bisa kita miliki. Itu bagian dari hidup, bagian dari belajar untuk menjadi lebih kuat.”

Air mata Yura jatuh di bahu Raina. Ini pertama kalinya ia menangis di depan orang lain sejak malam festival itu. Raina membalas pelukan Yura dengan erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan padanya. Mereka berdua menangis bersama, tanpa kata-kata, hanya merasakan sakit dan kelegaan yang saling berbagi.

Setelah beberapa saat, mereka melepaskan pelukan. Raina mengusap air mata di wajah Yura. “Kamu benar-benar kuat, Yura. Aku tidak tahu apakah aku bisa sekuat kamu jika berada di posisimu.”

Yura tersenyum di tengah tangisnya. “Aku tidak sekuat itu, Rai. Aku hanya belajar untuk menerima bahwa tidak semua hal bisa berjalan sesuai keinginan kita.”

Siang harinya, Yura memutuskan untuk menemui Daffa. Dia menunggu di ruang musik, tempat favorit mereka dulu. Ruangan itu kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Gitar yang biasa dimainkan Daffa tergeletak di sudut, seolah ikut merasakan kehilangan.

Daffa masuk dengan wajah sedikit bingung. “Kamu ingin bicara, Yura?”

Yura mengangguk, mencoba menata kata-katanya. “Iya, ada sesuatu yang harus aku sampaikan, Daf.”

Daffa duduk di kursi, menatap Yura dengan penuh perhatian. “Apa itu, Yu? Kamu kelihatan serius.”

Yura mengambil napas dalam-dalam, menenangkan debaran di dadanya. “Aku… ingin bilang bahwa aku akan berhenti mencintaimu, Daffa.”

Daffa terdiam, terlihat terkejut. “Maksudmu?”

Yura tersenyum kecil, meskipun air mata mengalir di pipinya. “Selama ini, aku mencintaimu tanpa pernah berharap lebih. Aku senang bisa berada di sampingmu, menjadi sahabatmu. Tapi, sekarang aku harus melepaskan perasaan itu. Aku ingin kamu bahagia dengan Raina. Aku ingin melepaskan semua rasa sakit yang ada di hatiku, dan memulai lagi dari awal.”

Daffa tampak bingung, matanya terlihat berkaca-kaca. “Yura, aku… aku tidak tahu harus bilang apa.”

Yura menggeleng pelan. “Kamu nggak perlu bilang apa-apa, Daf. Aku sudah membuat keputusan ini. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku akan tetap menjadi temanmu, meskipun hatiku butuh waktu untuk sembuh.”

Daffa berdiri, menghampiri Yura, lalu memeluknya erat. “Aku minta maaf, Yura. Aku nggak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu.”

Yura memeluk balik, air matanya jatuh membasahi bahu Daffa. “Kamu nggak perlu minta maaf. Kamu telah memberikan kenangan yang indah untukku. Itu sudah cukup.”

Pelukan itu adalah perpisahan bagi Yura, bukan sebagai kekasih, tapi sebagai seorang sahabat yang melepaskan cintanya dengan tulus. Dia tahu, ada saatnya kita harus berjuang untuk mempertahankan, dan ada saatnya kita harus berjuang untuk melepaskan. Hari ini, Yura memilih untuk melepaskan.

Waktu berlalu, dan Yura mulai menemukan kedamaian dalam hatinya. Meski masih ada rasa sakit, dia tahu dia sudah mengambil keputusan yang benar. Melihat Daffa dan Raina bahagia, Yura bisa tersenyum dengan tulus. Dia belajar bahwa cinta yang sebenarnya bukan soal memiliki, tapi soal merelakan kebahagiaan orang yang kita cintai, meskipun itu bukan bersama kita.

Yura berdiri di tepi taman sekolah, memandangi matahari yang mulai terbenam. Senja membawa warna oranye yang lembut di langit, mengingatkannya pada semua kenangan yang pernah ia lalui. Tapi kali ini, Yura tidak merasa sedih lagi. Dia merasa bebas, seperti beban berat yang akhirnya terangkat dari hatinya.

“Selamat tinggal, cinta yang pernah kuharapkan,” bisik Yura pada senja, lalu tersenyum pada dirinya sendiri. Dia tahu, perjalanan baru akan segera dimulai, dan ia siap untuk menghadapi apapun yang datang di masa depan.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Yura dalam “Cinta Tak Sampai” mengingatkan kita bahwa tidak semua cinta bisa berakhir bahagia. Kadang, kita harus belajar menerima kenyataan bahwa meski sudah memberi yang terbaik, tak selalu ada balasan yang setimpal. Namun, dari cerita ini, kita bisa mengambil pelajaran penting tentang ketulusan dan keberanian untuk melepaskan. Jadi, jika kamu merasa tersentuh dengan cerita ini, jangan ragu untuk berbagi kepada teman-temanmu! Cinta yang tak sampai mungkin menyakitkan, tapi setiap perjalanan hati membawa kita menuju kedewasaan.

Leave a Reply