Daftar Isi
Bayangin deh, kamu udah nyaris putus asa, ngerasa nggak bakal sampai ke impian yang selama ini dikejar, tapi tiba-tiba aja ada secercah harapan yang bikin semangat itu bangkit lagi. Itu yang dirasain Tessa, cewek yang nggak pernah mau nyerah meski dunia terus kasih rintangan.
Kalau kamu lagi di titik terendah dan butuh dorongan buat tetap bertahan, cerita Tessa ini bakal bikin kamu semangat lagi. Ini tentang perjuangan, kegagalan, dan tentu aja, soal mimpi jadi dokter yang bukan cuma soal titel, tapi tentang tekad yang nggak pernah pudar.
Mengejar Impian Jadi Dokter
Langkah Pertama yang Berat
Tessa duduk di bangku taman sekolah, menatap kosong ke arah buku biologi yang tergeletak di depannya. Semua pelajaran ini, meski sangat penting untuk impian besarnya, terasa begitu berat. Setiap kali membuka halaman demi halaman, seolah angka-angka dan nama-nama ilmiah itu melayang tanpa makna. Pikirannya sibuk bertarung antara keinginan untuk lulus dengan nilai sempurna dan rasa frustasi yang datang begitu saja.
Pagi itu, langit terlihat mendung. Seperti cerminan hatinya yang penuh keraguan. Ia tahu, mimpi besar untuk menjadi seorang dokter bukanlah hal yang bisa dicapai dengan mudah. Semua orang menganggapnya sebagai cita-cita mulia, tapi mereka tidak tahu apa yang ia alami di setiap malam yang penuh peluh, saat ia berusaha keras memahami setiap materi yang sulit dicerna.
“Tessa, kamu nggak bisa terus begini,” gumamnya sendiri, setengah putus asa.
Tak lama kemudian, Vira, sahabatnya yang selalu ceria, datang menghampiri. Vira selalu menjadi teman yang tidak pernah absen untuk memberi semangat, meskipun terkadang cara Vira justru membuat Tessa merasa lebih tertekan.
“Kenapa kamu kelihatan lelah gitu? Ada apa?” tanya Vira dengan senyum khasnya, yang selalu tampak tulus meskipun Tessa tahu bahwa Vira tidak selalu mengerti.
Tessa memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang jelas tertera di raut wajahnya. “Aku cuma capek, Vira. Belajar kayak gini… nggak ada habisnya. Aku nggak tahu lagi deh gimana caranya biar bisa masuk ke fakultas kedokteran.”
Vira duduk di sebelahnya, menatap buku biologi yang terbuka. “Tapi kan kamu pintar, Tess. Pasti bisa kok. Kamu cuma butuh lebih fokus. Kalau aku jadi kamu, nggak bakal buang waktu kayak gini. Harusnya belajar lebih intens, kan?”
Tessa menghela napas panjang. “Nggak semudah itu, Vir. Kamu nggak ngerti. Aku nggak sepintar kamu. Semua pelajaran itu terasa berat banget, kayak nggak ada kemajuan. Apa yang aku pelajari cuma berputar-putar aja.” Suaranya terdengar lelah, penuh ketidakberdayaan.
Vira menggaruk kepala, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Yah, aku ngerti sih, Tess. Tapi kamu tahu, kalau mau jadi dokter itu nggak gampang. Semua orang pasti ngalamin kesulitan yang sama. Aku yakin, kamu bakal bisa kok. Kamu cuma perlu lebih banyak usaha.”
Tessa menatap sahabatnya. Kata-kata itu memang benar, tapi entah kenapa, mereka seperti tidak cukup untuk menyembuhkan keraguannya. Tessa tak bisa menahan perasaan frustrasinya lebih lama. “Aku nggak tahu lagi, Vir. Kadang aku merasa kayak mimpi ini jauh banget dari aku. Kamu tahu kan, kita nggak punya banyak uang. Aku nggak pernah jadi yang terbaik di kelas. Banyak yang lebih pintar dari aku. Aku harus gimana?”
Vira terdiam beberapa detik, lalu menghela napas. “Mungkin itu benar, kamu nggak akan pernah jadi yang terbaik di kelas. Tapi bukan itu yang penting. Yang penting adalah kamu nggak berhenti berusaha. Kamu masih punya waktu, Tessa. Kamu bisa kok. Jangan biarin keadaan bikin kamu down.”
Tessa menunduk, tangan kirinya memeluk buku biologi itu erat-erat, seakan berharap bahwa di dalam buku itu ada jawaban atas semua kebingungannya. Namun, jawaban itu tak kunjung datang.
Keesokan harinya, seperti biasa, Tessa kembali terjebak di meja belajarnya. Tiga jam berlalu, dan rasanya otaknya sudah terlalu penuh dengan informasi yang tak juga meresap. Mata Tessa lelah, begitu pula dengan tubuhnya. Beberapa kali ia memalingkan pandangan dari buku-buku di depannya, menatap langit yang hampir gelap di luar jendela kamarnya.
“Kenapa rasanya seperti ini? Semua orang bilang, kalau kita bekerja keras, pasti ada hasilnya. Tapi kenapa aku merasa aku nggak maju-maju?” pikirnya dalam hati.
Setiap detik yang berlalu, rasa frustasi itu semakin menguasainya. Tessa teringat pada ucapan ibunya yang selalu memberi semangat. “Tessa, kamu bisa jadi apa saja, kamu hanya perlu bekerja keras.” Kata-kata itu terdengar begitu dekat, namun rasanya semakin jauh.
Tessa memutuskan untuk keluar sejenak. Ia butuh udara segar. Berjalan kaki tanpa tujuan jelas, ia melangkah hingga akhirnya berhenti di sebuah taman kecil dekat rumah. Di sana, ia duduk di bangku kosong, memandangi langit yang mulai gelap. Tessa mengeluh dalam hati, bertanya-tanya apakah semua ini layak untuk diteruskan.
Di bangku yang sama, duduk seorang wanita tua yang tampaknya sedang menikmati senja. Matanya yang penuh keriput memandang jauh ke depan, seolah-olah tahu ada sesuatu yang sedang bergejolak dalam pikiran Tessa.
Wanita itu menyadari keberadaan Tessa, dan dengan lembut ia bertanya, “Anak muda, kenapa kamu tampak begitu resah?”
Tessa terkejut, tetapi kemudian ia merasa seperti menemukan seseorang yang bisa mendengarkannya. Tanpa berpikir panjang, ia mulai menceritakan semua yang ada dalam pikirannya—tentang kegelisahan, tentang rasa frustasi, tentang keinginannya yang seakan terhalang oleh kenyataan.
Wanita itu mendengarkan dengan sabar, kemudian berkata, “Hidup ini bukan soal bagaimana kita memulai, tetapi bagaimana kita bertahan dalam perjalanan yang penuh rintangan. Kamu tahu, mimpi itu bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Ia harus diperjuangkan. Setiap langkah, setiap kegagalan, itu semua akan mengajarkanmu sesuatu yang lebih berharga. Jangan biarkan keraguan menahanmu. Kamu akan sampai pada tujuanmu jika kamu tidak berhenti.”
Tessa terdiam, merenungi kata-kata wanita itu. Ada keheningan yang seakan mengisi ruang antara mereka. Tessa merasa seolah-olah sesuatu dalam dirinya mulai berubah. Rasa frustasi yang sempat menguasainya mulai mereda, digantikan oleh sedikit harapan.
Setelah beberapa saat, wanita itu bangkit dan melangkah pergi. Tessa masih duduk di bangku itu, menatap kosong ke depan. Ia tahu, meskipun jalannya penuh tantangan, ia tak boleh berhenti. Mimpi menjadi dokter mungkin jauh, tetapi selama ia tidak berhenti berusaha, maka mimpi itu akan semakin dekat.
Dengan semangat yang mulai terbangun, Tessa kembali pulang ke rumah. Ia tahu, perjalanannya baru saja dimulai. Dan meskipun langkahnya masih berat, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah.
Begitulah awal perjalanan Tessa menuju mimpinya. Namun, masih ada banyak hal yang harus dilalui, dan tak semua rintangan bisa diatasi dengan mudah. Tetapi satu hal yang pasti: Tessa tidak akan berhenti berusaha.
Jalan yang Tak Tampak
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Tessa merasa seperti berputar-putar di tempat yang sama. Meskipun ia mencoba untuk tetap teguh, hari-harinya tetap penuh dengan ujian dan keraguan. Setiap kali ia membuka buku pelajaran atau mengikuti ujian, ada rasa cemas yang mengendap di dadanya. Kadang, ia merasa seolah-olah tidak pernah ada kemajuan, meskipun ia sudah berusaha mati-matian.
Di sekolah, Tessa mulai merasa terasing dari teman-temannya. Mereka tampak begitu santai, sementara dia terus dihantui oleh tekanan yang datang dari dalam dirinya sendiri. Bahkan Vira, sahabat yang selalu memberinya semangat, mulai terlihat bingung. Tessa sering mendapati dirinya menyendiri, tak lagi bisa menikmati waktu bersama mereka. Mimpi besar yang ia gendong terasa seperti beban yang makin berat, dan semakin sering ia merasa bahwa ia tak cukup baik.
Suatu hari, saat pulang sekolah, Tessa memutuskan untuk mampir ke sebuah kafe kecil yang jarang dikunjungi orang. Kafe itu tenang dan menyuguhkan rasa nyaman yang sulit didapatkan di tempat lain. Ia duduk di pojok, membuka buku pelajaran, namun pikirannya tak fokus. Tessa memandangi secangkir kopi yang sudah hampir habis, sambil bertanya-tanya, apakah aku benar-benar bisa?
Tiba-tiba, seorang pria paruh baya yang duduk di meja dekatnya menarik perhatian. Pria itu tampak sibuk menulis di sebuah buku catatan kecil, dengan wajah serius namun penuh ketenangan. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuat Tessa merasa ingin tahu lebih banyak, meski ia tidak tahu harus mulai dari mana.
“Maaf, Pak,” Tessa memberanikan diri untuk berbicara. “Boleh saya tanya sesuatu?”
Pria itu mengangkat wajahnya, tampak sedikit terkejut, tetapi ia tersenyum lembut. “Tentu, ada yang bisa saya bantu?”
Tessa ragu sejenak, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan. “Sebenarnya, saya sedang merasa terjebak dengan mimpi saya. Saya ingin sekali jadi dokter, tapi rasanya seperti jalan menuju sana penuh dengan rintangan. Saya nggak tahu harus bagaimana lagi.”
Pria itu menutup bukunya dan duduk lebih tegak. Ada kekaguman dalam pandangannya, seolah dia sudah memahami apa yang Tessa rasakan. “Mimpi yang besar sering kali datang dengan tantangan yang besar. Tapi tahu apa yang penting? Jangan pernah melihat satu kegagalan sebagai akhir dari segalanya.”
Tessa menunduk, berusaha mencerna kata-kata itu. “Tapi saya merasa sudah berusaha semaksimal mungkin. Nilai saya nggak pernah memuaskan, dan setiap kali ada ujian, saya selalu khawatir gagal. Seperti saya terjebak dalam lingkaran tanpa akhir.”
Pria itu tersenyum lagi, kali ini lebih dalam. “Saya paham. Namun, kamu harus tahu bahwa kegagalan bukanlah akhir dari perjalanan. Semua orang pernah merasa jatuh, merasa tak mampu. Tetapi yang penting adalah bagaimana kamu bangkit setiap kali terjatuh. Coba pikirkan sejenak, apa yang kamu pelajari dari setiap kegagalan itu.”
Tessa terdiam. Kalimat itu terus berputar di kepalanya. Ia memandangi pria itu, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakannya. “Tapi saya masih nggak tahu, Pak. Semua rasanya kabur. Saya nggak tahu apa yang harus saya lakukan untuk bisa melewati semuanya ini.”
“Jangan buru-buru mencari jawabannya,” jawab pria itu bijak. “Terkadang, jawabannya ada pada perjalanan itu sendiri, bukan pada tujuannya. Setiap kegagalan itu adalah bagian dari proses belajar. Terkadang kita tidak tahu bagaimana hal itu akan mengarahkan kita, tetapi jika kita terus maju, kita akan melihat arah yang lebih jelas.”
Tessa menatap pria itu dengan rasa ingin tahu yang lebih besar. “Tapi kalau saya terus gagal, bagaimana? Apa saya akan pernah mencapai apa yang saya impikan?”
Pria itu memandang Tessa dalam-dalam, seolah menilai dirinya dengan ketajaman yang dalam. “Kamu tidak akan tahu jika tidak mencobanya. Gagal bukanlah sebuah tanda bahwa kamu tidak mampu. Gagal adalah tanda bahwa kamu telah mencoba sesuatu yang baru, sesuatu yang berani. Jangan takut gagal, karena kegagalan itu adalah bagian dari kesuksesan yang lebih besar.”
Tessa merasa ada sesuatu yang mulai terbuka di dalam hatinya. Kata-kata pria itu terasa seperti secercah cahaya di tengah kegelapan. Ia merasa sedikit lebih tenang, meskipun masih ada keraguan yang tersisa. Namun, ada keyakinan baru yang muncul di dalam dirinya. Mimpi itu mungkin jauh, tapi setidaknya ia tahu bahwa jalan itu harus terus ia tempuh, meskipun kadang ia harus berjalan dalam ketidakpastian.
Ketika pria itu bangkit dari kursinya dan bersiap untuk pergi, Tessa merasa ingin mengucapkan sesuatu. “Terima kasih, Pak. Saya rasa saya akan mencoba lebih keras lagi.”
Pria itu menatapnya dengan senyum hangat. “Ingatlah, perjalanan menuju impianmu tidak selalu mulus. Namun, yang terpenting adalah terus berusaha dan belajar dari setiap langkah yang kamu ambil. Semoga sukses.”
Dengan itu, pria itu beranjak pergi, meninggalkan Tessa yang kini merasa sedikit lebih ringan, seolah beban yang ada di pundaknya mulai terangkat. Ia duduk sebentar, merenung tentang percakapan tadi. Sepertinya, selama ini ia terlalu fokus pada kegagalan dan kehilangan arah.
Tessa menyadari bahwa ia tidak bisa terus terjebak dalam rasa takut dan kegagalan. Mimpi besar untuk menjadi seorang dokter tidak akan terwujud hanya dengan melihat rintangan dan mundur. Ia harus terus maju, meskipun jalan yang tak tampak. Ia harus percaya bahwa setiap langkah, bahkan yang terasa salah sekalipun, akan membawanya lebih dekat pada impian itu.
Dengan tekad yang baru, Tessa kembali ke rumah, siap untuk menghadapi tantangan baru. Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang, tetapi kini ia memiliki keberanian untuk terus berjuang, meskipun jalan yang harus dilalui tidak selalu jelas.
Di Balik Layar Impian
Tessa mengingat setiap kata yang diucapkan pria itu sepanjang minggu-minggu berikutnya. Kalimat “setiap kegagalan adalah bagian dari proses belajar” kini selalu terngiang dalam benaknya, seolah menjadi mantra yang harus ia genggam erat-erat. Namun, meskipun semangat barunya tak lagi mudah goyah, kenyataan tak selalu seindah harapan.
Ujian tengah semester tiba, dan Tessa kembali dihadapkan pada rintangan yang semakin besar. Meskipun ia sudah berusaha keras, persiapan yang matang, dan mencoba tidak membiarkan rasa cemas menguasai dirinya, ujian kali ini terasa seperti ujian terberat dalam hidupnya. Setiap soal yang dihadapi seolah membawa beban yang lebih berat dari yang sebelumnya, dan semakin banyak hal yang terasa tak bisa dijangkau.
Saat mengerjakan soal-soal biologi yang sulit, pikirannya tiba-tiba terhenti pada satu titik—apa benar dia bisa menjadi dokter? Bagaimana kalau semua ini hanya mimpi kosong yang tak bisa tercapai? Ia memicingkan mata, berusaha untuk tidak terjebak dalam keraguan yang mulai mencengkeram hatinya. Beberapa kali ia melirik ke sekitar, melihat teman-temannya yang tampak tenang dan fokus, dan ia merasa semakin tertinggal.
Setelah ujian selesai, Tessa duduk sejenak di bangku dekat koridor sekolah, merasa lelah. Meskipun ia sudah memberi segalanya, masih ada perasaan tidak puas yang mengganggu pikirannya. Rasa frustasi itu tak bisa ia hindari.
“Tessa,” terdengar suara yang cukup akrab dari samping. Tessa menoleh dan melihat Vira, sahabatnya yang sudah berdiri di sana dengan wajah penuh tanya. “Kamu kenapa? Kelihatan cemas banget.”
Tessa hanya tersenyum kecil, meski senyum itu terasa dipaksakan. “Aku nggak tahu. Kayaknya aku gagal lagi,” jawabnya pelan, hampir seperti bisikan.
Vira duduk di sampingnya, menatapnya dengan tatapan yang tidak sepenuhnya mengerti. “Kamu nggak boleh terlalu keras sama diri sendiri, Tess. Kamu sudah berusaha sebaik mungkin, kan? Semua orang nggak akan berhasil langsung sekali coba.”
Tessa menghela napas panjang. “Tapi rasanya, aku nggak cukup baik. Teman-teman yang lain itu sudah lebih jauh, sementara aku masih berada di titik yang sama. Aku nggak tahu lagi apakah aku bisa jadi dokter. Mungkin aku cuma bermimpi terlalu tinggi.”
Vira menatapnya dengan pandangan serius. “Tess, jangan terlalu terfokus sama orang lain. Mungkin mereka terlihat lebih maju, tapi itu nggak berarti mereka nggak mengalami perjuangan juga. Kamu tahu kan, untuk bisa jadi dokter itu bukan cuma soal pintar atau pintar-pintar soal. Itu soal komitmen, soal terus maju meskipun semuanya terasa berat.”
Tessa menggigit bibir bawahnya, mencoba mencerna kata-kata sahabatnya. “Tapi aku takut gagal lagi. Aku takut impian ini cuma akan jadi sebuah angan-angan.”
Vira meletakkan tangannya di bahu Tessa, memberi sedikit rasa tenang. “Kamu nggak akan tahu kalau kamu nggak terus mencoba, Tess. Mungkin sekarang kamu merasa lelah, mungkin sekarang kamu merasa takut. Tapi percayalah, kalau kamu nggak berhenti, kamu akan sampai ke tempat yang kamu tuju. Gagal itu nggak berarti akhir. Gagal itu cuma langkah lain dalam perjalanan.”
Tessa menatap sahabatnya dengan penuh rasa terima kasih. Walau begitu, keraguan dalam dirinya masih belum sepenuhnya hilang. Namun, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa sedikit lebih tenang. Mungkin Vira benar—mungkin kegagalan memang bagian dari perjalanan.
Seiring berjalannya waktu, Tessa mulai belajar untuk memandang kegagalan dengan cara yang berbeda. Setiap ujian yang ia hadapi, meskipun terasa berat, ia anggap sebagai kesempatan untuk lebih mengerti dirinya. Ia mulai menggali cara-cara baru untuk belajar, bukan hanya dari buku pelajaran, tapi juga dari pengalaman yang membentuknya.
Pada suatu sore, Tessa memutuskan untuk pergi ke rumah sakit umum di kota, tempat di mana ia bisa melihat langsung dunia medis yang ia impikan. Ia ingin merasakan atmosfer rumah sakit, berbicara dengan para tenaga medis, dan mungkin mendapatkan sedikit wawasan yang bisa membantunya lebih memahami dunia dokter yang selama ini hanya ia lihat dari jauh.
Dengan hati yang penuh rasa ingin tahu, Tessa berjalan masuk ke area rumah sakit. Bau antiseptik dan suara mesin yang berdengung menambah ketegangan dalam dirinya. Ia melangkah ke meja pendaftaran, memperkenalkan dirinya kepada petugas yang ada.
“Saya Tessa. Saya ingin menjadi dokter, dan saya pikir saya bisa belajar banyak dengan mengamati di sini.”
Petugas itu tersenyum dan mengarahkan Tessa ke ruang praktek dokter umum. Begitu masuk ke ruangan itu, Tessa merasa seakan-akan segala kegelisahan dalam dirinya menghilang sejenak. Melihat dokter yang tengah berkonsultasi dengan pasien membuatnya terpesona. Ia merasakan energi yang kuat, semangat untuk terus belajar dan membantu orang lain. Ia ingin menjadi bagian dari itu semua.
Namun, perjalanan menuju impian itu tetap tidak mudah. Setiap langkah membawa tantangan baru, setiap rintangan menguji tekadnya. Tessa tahu, perjalanan ini belum berakhir, dan ia harus terus berjuang. Tetapi saat itu, di ruang praktek itu, ia merasakan api semangat yang semakin menyala dalam dirinya.
Ada satu hal yang kini ia sadari—meskipun masa depan tak selalu jelas, setiap usaha yang ia lakukan akan tetap membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih kuat. Ia tidak akan menyerah begitu saja. Ia akan terus berjuang, karena di balik setiap kegagalan, ada pelajaran yang akan membawanya lebih dekat pada impian besar itu.
Menyentuh Impian
Tessa duduk di meja belajarnya, dikelilingi oleh tumpukan buku tebal dan catatan-catatan yang terhampar tak beraturan. Waktu berlalu begitu cepat, dan tak terasa sudah hampir satu tahun sejak ia memutuskan untuk kembali mengejar impiannya menjadi seorang dokter. Ujian demi ujian, kegagalan demi kegagalan, semuanya sudah ia lewati dengan penuh perjuangan. Namun, meski begitu, rasa lelah itu tak pernah benar-benar hilang. Ada kalanya ia merasa seperti ingin berhenti, seperti ingin melepaskan impian itu dan mencari jalan lain yang lebih mudah.
Namun, setiap kali keraguan itu datang, ingatannya akan rumah sakit itu—ruang praktek, dokter-dokter yang penuh semangat, dan pasien-pasien yang tersenyum—selalu datang menghampirinya. Ia mengingat betul bagaimana rasanya melihat seseorang yang begitu yakin dengan pekerjaannya, seperti dokter yang dengan penuh perhatian merawat pasien, memberikan harapan dan kepercayaan diri. Itulah yang ingin ia capai. Itulah yang membuat semua rasa sakit, rasa frustasi, dan kegagalan terasa layak diperjuangkan.
Hari ini, ada ujian penting yang harus Tessa hadapi. Ujian yang menentukan apakah ia akan diterima di program kedokteran yang sudah lama ia impikan. Tessa mengusap wajahnya, mengingat pesan terakhir yang dikirimkan oleh Vira beberapa hari yang lalu: “Jangan lupa, kegagalan itu bukan akhir, hanya sebuah pelajaran.” Kata-kata itu terus menggema di kepalanya saat ia mempersiapkan diri untuk ujian terakhir yang akan menentukan nasibnya.
Langkah demi langkah, ia melangkah masuk ke ruang ujian. Udara terasa panas meskipun pendingin ruangan bekerja dengan baik, dan jantungnya berdegup begitu kencang seolah ingin keluar dari dada. Tapi ia tak menyerah. Tessa tahu, apa yang ada di depannya sekarang adalah hasil dari segala kerja kerasnya selama ini, dan ia harus memberi yang terbaik. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum duduk di meja ujian.
Ujian dimulai, dan Tessa membenamkan dirinya ke dalam setiap soal. Tanpa keraguan, tanpa ragu, ia menjawab satu per satu, memusatkan seluruh perhatiannya. Beberapa soal memang sulit, tapi ia berusaha untuk tidak panik. Ia hanya berpikir satu hal: “Aku sudah belajar, aku sudah berusaha.” Begitu ujian selesai dan semua lembar jawaban terkumpul, ada perasaan lega yang mengalir melalui tubuhnya. Tessa tahu, tidak ada yang lebih bisa ia lakukan selain berdoa dan menunggu hasilnya.
Minggu berikutnya, hasil ujian diumumkan. Tessa menunggu di ruang tamu rumahnya, jantungnya berdebar keras. Ia membuka email, matanya membaca setiap kata dengan cemas. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, ia menemukan kalimat yang membuatnya terhenti: “Selamat, Anda diterima di program kedokteran universitas kami.”
Tessa terdiam, seakan tidak bisa mempercayai apa yang ia baca. Air mata tiba-tiba mengalir di pipinya, membasahi wajahnya. Semua yang ia impikan, semua yang ia perjuangkan selama ini, akhirnya terwujud. Ia akhirnya berhasil.
Tessa menundukkan kepala, mengusap air mata yang tak bisa ia tahan. Tidak ada lagi rasa cemas, tidak ada lagi keraguan yang menghalangi. Semua kerja kerasnya, meskipun terkadang penuh dengan rasa sakit dan ketakutan, akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah melalui perjalanan panjang, dan sekarang ia tahu, setiap langkah itu—baik itu kegagalan, rasa frustasi, atau kelelahan—adalah bagian dari apa yang membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih kuat.
Beberapa jam setelah pengumuman itu, Tessa menelepon Vira, sahabatnya yang selalu ada di setiap langkah perjuangannya. Vira menjawab dengan suara yang ceria di ujung telepon. “Tessa! Aku tahu kamu pasti bisa! Aku tahu kamu pasti diterima!”
Tessa tertawa, merasa ada kelegaan yang luar biasa di hatinya. “Vira, aku akhirnya diterima. Aku… aku nggak tahu harus bilang apa selain terima kasih. Aku nggak bisa sampai di sini tanpa kamu.”
Vira terdiam sejenak sebelum akhirnya berbicara, suaranya penuh dengan kehangatan. “Aku bangga banget sama kamu, Tess. Kamu sudah berjuang begitu keras, dan sekarang kamu akhirnya meraih apa yang kamu impikan. Kamu layak mendapatkannya.”
Tessa menutup telepon, dan duduk sejenak di kursinya. Di luar jendela, ia bisa melihat matahari terbenam, menciptakan pemandangan yang begitu indah. Tessa tahu, perjalanannya baru saja dimulai. Di depan sana masih ada banyak rintangan dan tantangan. Namun, ia tidak takut lagi. Ia tidak akan berhenti, karena ia sudah mengerti satu hal penting: impian itu tidak hanya tentang pencapaian, tetapi juga tentang perjalanan yang membentuk siapa kita.
Ia tersenyum kecil, menatap ke langit yang semakin gelap. “Aku akan jadi dokter,” bisiknya pada diri sendiri, penuh keyakinan. “Ini baru awal.”
Jadi, buat kamu yang lagi ngerasa jalanmu penuh halangan, inget deh, Tessa udah nunjukin kalau nggak ada yang nggak mungkin selama kita mau berusaha. Kegagalan itu cuma batu loncatan, dan impian itu cuma masalah waktu, asal kamu nggak pernah berhenti.
Siapa tahu, setelah baca cerita ini, kamu malah makin yakin buat ngejar apa yang kamu impikan. Karena, seperti kata Tessa, Ini baru awal.