Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu merasa punya mimpi besar, tapi malah dihalangin terus sama orang-orang di sekitar? Kayak, apa yang kamu anggap passion malah dianggap nggak ada masa depannya.
Tapi, siapa yang bisa ngehentikan mimpi? Ikutin cerita ini tentang Irna, yang meski ditolak dan diabaikan, tetep berusaha jadi penulis. Gimana rasanya berjuang buat sesuatu yang nggak pernah disetujui orang lain? Penasaran kan?
Cita-Cita Menjadi Penulis
Halangan di Balik Pintu
Irna duduk di meja belajar, menatap layar laptop yang sepi. Jari-jarinya gemetar sedikit, belum tahu apakah dia akan melanjutkan atau berhenti di sini. Beberapa kali dia mengetik dan menghapus kalimat yang sama. Ia merasa bingung, kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Seperti ada sesuatu yang menahan, sebuah beban yang tak terlihat, tapi sangat nyata.
Di luar, suara hujan deras mulai terdengar, seperti tangisan yang tak ingin berhenti. Irna menyandarkan punggungnya pada kursi, menyandarkan kepala ke sandaran, lalu menatap langit-langit kamar yang terlampau hening. Buku-buku di rak sebelah kanan tampak lebih hidup, seakan memanggilnya untuk membuka dan membaca kembali kisah-kisah lama yang telah membawanya pada impian ini.
Mimpi itu selalu datang, sejak pertama kali ia menemukan betapa kuatnya kekuatan kata. Namun, ada satu hal yang selalu menahannya. Orang tuanya.
Setelah beberapa detik, Irna menutup laptop dan meraih buku catatannya yang sudah penuh dengan coretan. Coretan-coretan tentang dunia yang ingin ia buat, tentang karakter yang ingin ia ciptakan, namun semuanya selalu terkendala dengan satu hal: harapan orang tuanya.
“Menjadi penulis? Itu hanya mimpi, Irna. Tak ada masa depan di sana,” kata ibunya dengan suara yang berat dan penuh ketegasan, beberapa minggu lalu, saat ia pertama kali mengungkapkan cita-citanya. “Kamu harus serius. Kami sudah merencanakan semuanya untukmu. Kamu tak bisa mengejar sesuatu yang tak pasti.”
Irna mendesah, matanya tertuju pada coretan-coretan itu lagi. Ia ingin mengabaikan semua kata-kata yang terus bergaung di kepalanya. Tapi, setiap kali ia berusaha menulis, suara ibu dan ayahnya datang begitu saja, seperti bayangan yang selalu mengikutinya.
Ayahnya lebih diam. Tidak pernah berkata banyak. Hanya menatapnya dengan tatapan kosong setiap kali ia menyebutkan impian yang berbeda dari yang mereka inginkan. Sejak kecil, ia sudah tahu bahwa keluarganya punya gambaran tentang siapa dirinya: seorang ahli hukum, atau dokter, atau apapun yang memberi status dan kebanggaan bagi mereka. Tapi bukan penulis.
Irna tidak tahu harus bagaimana lagi. Menulis adalah bagian dari dirinya yang tak bisa diabaikan, tetapi setiap kalimat yang terbersit di pikirannya selalu dihantui oleh suara-suara yang menuntutnya untuk menuruti keinginan orang tua.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan. Ibunya muncul, wajahnya terlihat tegang, dan matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam.
“Irna, apa yang kamu lakukan?” Tanya ibunya, suaranya penuh keprihatinan. “Jangan bilang kalau kamu masih ingin terus dengan ide aneh itu.”
Irna menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. “Aku hanya menulis sedikit. Tidak ada yang aneh tentang itu, Bu. Aku hanya ingin mencoba…”
“Coba?” Ibunya mendekat, wajahnya semakin keras. “Coba apa? Ini bukan permainan, Irna. Kamu tahu apa yang harus kamu pilih. Kami sudah memberimu segala yang kamu butuhkan. Jadi, kenapa kamu masih bertahan dengan hal seperti ini?”
Irna menundukkan kepalanya. Sakit rasanya mendengar kata-kata itu lagi. Setiap kali dia mencoba untuk mempertahankan mimpi kecilnya, itu selalu berakhir dengan rasa bersalah yang datang begitu saja. Seakan-akan ia tak cukup baik jika tidak memenuhi harapan mereka.
“Ibu, aku… Aku cuma ingin menjadi penulis. Hanya itu yang aku inginkan,” jawab Irna pelan, hampir tak terdengar. Namun ada kepastian dalam kata-katanya, meskipun tak ada keyakinan di mata ibunya.
Ibunya menghela napas panjang. “Kamu tidak mengerti, kan? Menjadi penulis itu tidak jelas. Tidak ada masa depan di sana. Tidak ada yang bisa dijamin dari menulis. Kamu tidak bisa hidup hanya dengan kata-kata.”
Irna menggigit bibirnya, menahan air mata yang ingin tumpah. “Kenapa tidak, Bu? Bukankah setiap orang memulai dari sesuatu yang tidak jelas? Bukankah ayah dan ibu juga memulai dari nol?”
“Karena ini berbeda. Menjadi penulis itu bukan hal yang nyata,” ujar ibunya dengan nada yang lebih keras lagi. “Aku tak mau melihatmu terluka karena mengejar sesuatu yang hanya ada dalam bayangan.”
Irna merasa kepalanya semakin berat. Setiap kali ia mencoba untuk berbicara, ibu selalu menutupnya dengan kata-kata yang lebih tajam, lebih pasti. Seolah-olah tak ada ruang untuk mimpi yang lebih kecil, yang tak terjangkau oleh mereka.
Ibunya pergi begitu saja, meninggalkan Irna yang masih duduk terpaku, merasa sangat kosong. Mimpi yang sudah ia pelihara begitu lama kini terasa lebih jauh dari sebelumnya.
Namun, meski hatinya terasa remuk, Irna tetap membuka laptopnya lagi. Ia kembali menatap layar yang kosong itu. Jari-jarinya mulai mengetik, mencoba untuk menyalakan api dalam hatinya meski hampir semua orang di sekitarnya berusaha untuk memadamkannya.
“Kalau aku tak bisa menulis untuk dunia ini,” pikirnya, “maka aku akan menulis untuk diriku sendiri.”
Tangan Irna bergerak cepat. Kata demi kata tercipta, meskipun di hatinya masih ada rasa takut. Tak ada yang bisa menghalanginya dari menulis, bahkan jika hanya untuk dirinya sendiri.
Mencuri Waktu, Mencuri Mimpi
Irna menatap langit malam yang gelap dari jendela kamarnya. Hujan yang tadi siang turun dengan deras kini sudah berhenti, meninggalkan tetesan air di kaca jendela yang membentuk garis-garis halus. Di luar sana, dunia tampak damai, tetapi di dalam hatinya ada sebuah pertempuran yang tak pernah selesai.
Setiap hari seakan berjalan lambat. Sekolah, les, dan segala kegiatan yang telah diatur oleh orang tuanya memakan waktunya habis. Begitu banyak waktu yang terasa terbuang, waktu yang seharusnya bisa ia manfaatkan untuk menulis. Tapi entah mengapa, setiap kali ia mencoba, ada rasa bersalah yang selalu muncul, seakan-akan ia sedang melakukan sesuatu yang sangat salah.
Di tengah tekanan itu, Irna menemukan sedikit ruang untuk melarikan diri. Pagi itu, ketika ibunya pergi ke pasar dan ayahnya ke kantornya, Irna meraih kesempatan langka untuk berada sendirian. Ia segera menutup pintu kamarnya dan duduk di meja tulisnya, membuka laptop yang sudah lama tidak ia sentuh.
Ada sebuah lomba menulis yang ia temukan di internet beberapa hari lalu. Tema lombanya adalah “Cinta dalam Kata”, dan meskipun ia tahu orang tuanya pasti tidak akan mendukungnya, kesempatan ini terlalu berharga untuk dilewatkan. Ia sudah menulis cerita tentang seorang gadis yang terjebak dalam dilema antara impian dan kenyataan. Kisah itu bukan hanya fiksi, tapi juga sedikit cerita hidupnya sendiri. Ia ingin dunia membaca itu, meskipun ia tahu itu tak mungkin terjadi.
Irna menghela napas, tangannya gemetar saat ia memulai untuk mengetik ulang cerita itu. Di dalam dirinya, ada ketakutan dan keraguan yang besar. Tak ada yang tahu bahwa dia ingin mengikuti lomba itu. Teman-temannya pun tidak tahu tentang kecintaannya pada menulis. Semua orang hanya tahu bahwa dia adalah Irna, gadis pintar yang selalu mengikuti jejak yang diinginkan orang tuanya.
Tapi, kali ini, ia tak bisa menahan diri. Mimpinya lebih besar daripada apa pun yang bisa dituntut orang tuanya. Jika ia tidak bisa menulis untuk orang lain, ia akan menulis untuk dirinya sendiri. Itu adalah hal yang masih bisa ia kendalikan.
Pagi itu berlalu begitu cepat. Irna menulis dan mengedit cerita itu hingga waktunya hampir habis. Ketika ibunya tiba-tiba membuka pintu kamar, Irna terkejut dan menutup layar laptopnya dengan cepat, seakan ingin menyembunyikan sesuatu yang memalukan.
“Sedang apa kamu?” tanya ibunya, sambil berdiri di pintu, menatapnya dengan curiga.
Irna tersentak. “Ah, hanya membaca buku. Kenapa, Bu?”
Ibunya memandangi ruangan itu sejenak, kemudian beralih ke arah meja yang tertata rapi, lalu kembali menatap Irna dengan tatapan yang tajam. “Jangan terlalu sibuk dengan hal-hal yang tidak penting, ya. Kamu masih harus fokus pada pelajaran dan ujian yang ada.”
Irna hanya bisa mengangguk, berusaha menahan kegelisahan di dadanya. Ibunya tidak tahu bahwa di balik sikapnya yang terlihat patuh, ada sebuah api kecil yang tak pernah padam. Itu adalah api yang ia sembunyikan, karena dia tahu, jika orang tuanya tahu, mereka akan menghancurkannya tanpa ragu.
Namun, meskipun ia harus menutup laptopnya, hatinya tidak pernah berhenti menulis. Di sekolah, di antara tugas-tugas yang tak ada habisnya, ia selalu menyelipkan waktu untuk menulis. Bahkan di tengah kebisingan kelas, di sela-sela waktu istirahat, ia selalu membawa sebuah buku kecil untuk mencatat ide-ide cerita yang tiba-tiba muncul.
Suatu hari, ketika tengah istirahat, teman sekelasnya, Dita, mendekat dan memandang buku yang sedang Irna tulis.
“Kamu menulis apa?” tanya Dita, penasaran. “Tulisannya mirip banget sama cerpen. Kamu suka menulis?”
Irna terkejut. Sejenak, ia merasa seperti terjebak. Tapi dengan cepat, ia menyembunyikan buku itu dan memaksakan senyum.
“Hah? Oh, enggak kok. Cuma catatan kecil aja. Kamu tahu, cuma buat belajar,” jawab Irna, mencoba terdengar santai.
Dita tidak terlalu curiga, dan segera berpaling pergi untuk berbicara dengan teman lainnya. Namun, Irna merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Seolah-olah, satu-satunya hal yang ia coba sembunyikan, kini sedikit mulai terbongkar. Keinginan untuk menulis, yang selama ini ia jaga dalam diam, mulai mengusik kenyamanannya.
Di malam hari, setelah orang tuanya tertidur, Irna kembali membuka laptopnya. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan langka. Kali ini, ia sudah hampir selesai dengan cerita pendek yang ia rencanakan untuk lomba menulis itu. Setiap kalimat yang ia ketikkan terasa seperti melawan arus kehidupan yang telah digariskan untuknya. Ia tahu betul bahwa jika orang tuanya mengetahui ini, ia akan menghadapi masalah besar.
“Ini adalah satu-satunya kesempatan,” pikir Irna, saat matanya memandang tulisan yang semakin lengkap. Cerita itu menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Itu adalah sebuah bagian dari dirinya yang ia tak bisa lepaskan.
Ketika pagi menjelang, Irna mengumpulkan segala keberaniannya untuk mengirimkan cerpen itu ke lomba menulis. Walaupun rasanya seperti melawan dunia, ia tidak peduli lagi. Karena menulis adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa bebas, tempat di mana ia bisa menjadi siapa dirinya sendiri tanpa ada tekanan, tanpa ada harapan yang mengekangnya.
Namun, meskipun ia merasa lega setelah mengirimkan ceritanya, Irna tahu, jalan ini bukanlah jalan yang mudah. Mimpi ini akan selalu dihantui oleh larangan dan ketidaksetujuan orang tuanya. Tetapi satu hal yang ia yakin, mimpi ini adalah miliknya. Dan tidak ada yang bisa mencabutnya dari hatinya.
Titik Balik
Hujan kembali turun dengan lebat pagi itu. Irna duduk di dalam ruang tamu, menatap keluar jendela yang buram oleh tetesan air. Dingin. Suasana di rumahnya selalu terasa seperti itu, penuh dengan aturan yang mengikat, tanggung jawab yang menanti, dan harapan orang tua yang terus mengalir tanpa henti.
Ia memeriksa ponselnya, hanya untuk menemukan sebuah notifikasi baru—sebuah email. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Irna membuka email itu. Judulnya sederhana, namun cukup membuat jantungnya berdetak lebih cepat: Pengumuman Pemenang Lomba Menulis: Cinta dalam Kata.
Dengan rasa gugup, Irna membuka isi email itu.
“Terima kasih telah mengirimkan cerita Anda ke lomba kami. Kami senang bisa menerima karya Anda, namun dengan sangat menyesal kami harus memberitahukan bahwa cerita Anda tidak terpilih untuk menjadi pemenang. Kami berharap Anda tetap semangat untuk terus menulis.”
Irna membacanya berulang kali. Hatinya terjatuh ke dasar jurang yang gelap. Begitu saja, semuanya hilang. Mimpinya yang sempat ia genggam dengan penuh harapan, sekarang terlepas begitu saja.
Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah bagian dari dirinya yang ia investasikan dengan sepenuh hati. Setiap kata dalam ceritanya terasa nyata, dan meskipun tahu bahwa tak ada yang bisa menjamin hasilnya, ia tetap berharap. Tapi kenyataan berbicara lain.
Dengan perasaan yang hampa, Irna menutup laptopnya dan meletakkannya dengan berat. Di luar jendela, suara hujan semakin keras, seperti menambah kesedihan yang menggunung di hatinya.
“Irna, makan siang sudah siap, Nak!” seru ibunya dari ruang makan.
Irna tak menjawab, hanya mengangguk pelan. Sebagian dari dirinya ingin melarikan diri, keluar dari rumah dan menjauh dari kenyataan yang menyakitkan ini. Tapi, ia tahu itu bukan solusi. Setidaknya, untuk sekarang, ia harus tetap hidup dengan harapan orang tuanya yang tidak pernah pudar. Meskipun ia tahu, ia tidak pernah bisa meraih kebahagiaannya dengan cara itu.
Saat makan siang, ibunya berbicara tentang kegiatan sekolah yang akan datang. Ada acara pertemuan orang tua dan guru, dan Irna bisa merasakan betapa ibunya sangat bersemangat untuk itu. “Kamu harus tampil sempurna di sana, Irna. Ibu ingin semua orang tahu betapa hebatnya anak ibu ini.”
Irna hanya tersenyum tipis, mencoba menghilangkan rasa sesak di dadanya. Apa yang bisa ia katakan? Kalau ia mengungkapkan bahwa impian kecilnya untuk menulis tak pernah bisa ia raih, apakah ibunya akan mengerti? Atau malah menghancurkannya lebih dalam lagi?
Setelah makan siang, Irna naik ke kamar. Ia kembali duduk di meja, memandang laptop yang tergeletak di atasnya. Ada rasa pahit di tenggorokannya, dan tubuhnya terasa begitu lelah. Tidak hanya fisik, tetapi jiwanya juga lelah.
Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk menyerah begitu saja. Ada bagian dari Irna yang tidak ingin menjadi seperti orang lain, yang hanya mengikuti arus tanpa tahu apa yang benar-benar ia inginkan. Menulis adalah bagian dari dirinya yang tidak bisa ia lepaskan begitu saja. Ini adalah jalan yang penuh dengan rintangan, ya, namun ia tahu, jika ia berhenti sekarang, maka ia akan menyesal seumur hidup.
Dengan langkah hati-hati, Irna membuka file cerita yang baru saja ia kirim. Meskipun ia tahu ceritanya tak menang, ia ingin melihatnya sekali lagi. Setiap kalimat, setiap pilihan kata, yang ia pilih dengan penuh perasaan. Ia ingin merasakan kebanggaan, meskipun tidak ada orang yang mengakui karya itu.
Saat matanya menyusuri setiap paragraf, tiba-tiba sebuah ide muncul dalam kepalanya. Kenapa tidak mencoba untuk menulis lagi, untuk memperbaiki cerita itu? Mungkin kali ini ia bisa mengirimkannya ke penerbit independen, atau bahkan membuat blog pribadi dan mempublikasikan ceritanya di sana.
“Iya, mungkin itu yang harus aku lakukan,” bisik Irna pada dirinya sendiri, seakan-akan dunia mendengarnya. Ia menatap layar dengan tekad yang baru, membayangkan bahwa suatu saat nanti, ia akan ada di sana. Sebuah titik, sebuah saat di mana seseorang akan membaca ceritanya dan merasakan emosi yang sama seperti yang ia rasakan saat menulisnya.
Namun, keputusan untuk terus menulis tidaklah mudah. Di tengah jalan, Irna masih harus berhadapan dengan realitas yang tak bisa ia abaikan. Kegagalan yang ia alami ini, meskipun pahit, memberikan pelajaran yang berharga. Ia tahu bahwa setiap perjuangan pasti ada hambatannya, dan jika ia ingin mencapai mimpinya, ia harus terus melangkah, meskipun jalannya penuh dengan batu kerikil dan rintangan.
Ketika malam menjelang, Irna menutup laptopnya dengan hati yang sedikit lebih ringan. Meskipun mimpinya tidak terwujud hari ini, ia tahu bahwa langkah selanjutnya adalah miliknya. Ia tidak akan menyerah. Ia akan terus menulis, meskipun tidak ada yang tahu atau peduli. Karena di dalam hatinya, menulis adalah cara untuk merdeka, cara untuk benar-benar menjadi dirinya sendiri.
Melangkah ke Depan
Matahari terbenam di balik horizon, menorehkan langit dengan warna jingga yang menenangkan, seakan-akan dunia memberi Irna kesempatan untuk bernafas. Hari-hari berlalu begitu cepat, namun di dalam dirinya, ada perubahan yang tak terucapkan. Meskipun hujan selalu datang dan pergi, tak ada yang bisa menghapus tekad yang kini tumbuh semakin kuat dalam dirinya.
Irna duduk di depan meja, dengan secangkir teh hangat yang mengepul di sampingnya. Di luar, angin berhembus pelan, dan suara ombak di laut seolah memberi ritme yang menenangkan. Ia membuka kembali laptopnya, dan kali ini, ia merasa lebih siap. Tidak ada lagi rasa takut yang menyelimuti, tidak ada lagi keraguan yang mengganggu pikirannya. Ia tahu, bahwa inilah saatnya untuk kembali menulis, untuk menghidupkan mimpi yang sempat terabaikan.
Hari itu, Irna memutuskan untuk menulis ulang cerita yang sempat ia tinggalkan. Ia menambahkan elemen baru, menggali lebih dalam ke dalam diri karakternya. Setiap kata terasa lebih hidup, lebih penuh makna. Ia menulis dengan rasa, bukan hanya untuk memenuhi ruang kosong di layar. Setiap paragraf adalah cerminan dari perjalanan panjang yang telah ia lalui.
Tentu saja, ini bukan lagi tentang memenangkan lomba atau mendapatkan pengakuan dari orang lain. Bagi Irna, menulis adalah cara untuk menyampaikan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata biasa. Menulis adalah bentuk kebebasan yang ia cari, bahkan jika itu hanya untuk dirinya sendiri.
Beberapa minggu kemudian, Irna mengirimkan cerita itu ke sebuah penerbit kecil yang pernah ia dengar dari temannya. Tanpa banyak harapan, ia menunggu. Namun, berbeda dari sebelumnya, kali ini ia merasa lebih tenang, lebih siap menerima apa pun yang akan datang. Ia tahu, bahwa meskipun dunia tak selalu memberi apa yang kita inginkan, kita selalu bisa memilih untuk terus melangkah.
Satu bulan setelahnya, sebuah email datang lagi. Irna membuka email itu dengan jantung yang berdetak lebih cepat, namun kali ini ia tak merasa cemas. Begitu ia membaca isi email itu, senyumnya mulai merekah.
“Selamat, Irna. Cerita Anda telah terpilih untuk dipublikasikan dalam antologi cerita pendek kami. Kami sangat mengapresiasi gaya menulis Anda yang penuh emosi dan kedalaman.”
Irna tertawa pelan, seperti menahan air mata yang tiba-tiba saja menggenang. Ini bukan tentang menjadi terkenal atau mendapatkan hadiah. Ini adalah tentang perjalanan yang tak pernah ia sesali. Tentang perjuangan yang tak selalu berhasil, namun tetap memberi makna. Tentang mimpi yang tak bisa ia raih dengan cara yang mudah, tapi tetap memberikan kebahagiaan yang luar biasa.
Ia menutup laptopnya dan memandang ke luar jendela. Dunia di luar sana terasa lebih terang, seakan memberi ruang bagi setiap impian yang bertahan. Irna tahu, mimpinya mungkin tak selalu datang dengan cara yang ia inginkan, tetapi ia juga tahu bahwa ia akan terus melangkah, seiring waktu yang terus berputar.
“Aku akan terus menulis,” katanya pelan, pada dirinya sendiri, namun dengan keyakinan yang lebih kuat dari sebelumnya.
Mimpi itu mungkin telah lama terbungkus dalam keraguan dan kegagalan, tetapi sekarang, Irna tahu bahwa ia tidak perlu lagi menunggu untuk bisa meraihnya. Ia sudah memilikinya. Semua perjalanan ini, dengan segala suka dan duka, adalah bagian dari perjalanan menuju mimpi yang lebih besar—sebuah mimpi yang tidak akan pernah pudar, meskipun dunia terus berubah.
Dan dengan itu, Irna kembali melangkah, dengan pena di tangan dan hati yang penuh harapan.
Jadi, gimana menurut kamu? Kadang hidup memang nggak selalu ngasih kita jalan yang mulus, tapi itu bukan alasan buat berhenti. Kalau Irna bisa terus berjuang meski segala halangan datang, kenapa kita nggak?
Mimpi itu nggak pernah mati, kok, selama kita tetap berani bertahan. Siapa tahu, langkah kecil hari ini bisa jadi pintu besar di masa depan. Yuk, terus coba!