Daftar Isi
Kadang, kita ngerasa banget kan kalau cinta itu datang dengan cara yang gak kita sangka-sangka? Gak selalu langsung gitu, kadang malah butuh waktu yang lama banget. Nah, ini nih cerita tentang dua orang yang awalnya bingung, ragu, dan takut buat buka hati.
Tapi ternyata, waktu punya cara sendiri buat jawab semua keraguan itu. Jadi, kalau kamu lagi nungguin jawaban dari perasaanmu, mungkin cerita ini bisa ngasih kamu harapan. Cekidot!
Cinta Terjawab Oleh Waktu
Angan yang Terpendam
Di sebuah kafe kecil yang selalu dipenuhi dengan aroma kopi yang menggoda, Revan duduk di sudut meja dekat jendela. Matanya menatap kosong pada tumpukan kertas yang bertebaran di hadapannya. Pikirannya jauh lebih sibuk dari apapun yang ada di meja itu. Sejak malam itu, sejak kata-kata Aurelia yang masih terngiang jelas di telinganya, hatinya tak pernah tenang. “Mungkin cinta itu hanya sebuah cerita,” itu kalimat yang sering kali muncul di benaknya.
Kadang, dia berpikir apakah memang cinta itu hanya sebatas cerita. Kisah yang indah namun tak bisa dijalani. Tapi, di saat yang bersamaan, ada rasa yang tak bisa disangkal—perasaan yang tumbuh setiap kali dia mengingat wajah Aurelia, senyumannya yang penuh rahasia, atau tawa kecil yang selalu membuatnya merasa hangat.
“Kenapa aku harus seperti ini?” Revan bergumam pada dirinya sendiri, menyeruput kopinya. Ia sudah berusaha keras untuk melupakan, tapi entah kenapa, saat matanya menatap jalanan di luar jendela, dia tak bisa mengusir bayangan wajah Aurelia.
Pikirannya kembali melayang ke hari-hari pertama mereka bertemu. Ketika mereka berbicara dengan santai tentang buku-buku, tentang apa yang mereka impikan, dan tentang dunia yang mereka lihat dengan cara yang berbeda. Aurelia dengan segala kecerdasannya, dengan pandangan hidup yang realistis, membuatnya merasa seperti sedang berbicara dengan seseorang yang tidak pernah bisa ia temukan lagi.
Revan tahu betul bagaimana dia merasa ketika berbicara dengan Aurelia. Ada semacam getaran yang hadir, seperti ada hal besar yang sedang mereka bahas, meskipun terkadang topiknya sepele. Tapi saat itu, perasaan itu menyatu dengan dunia mereka, seolah waktu berhenti sejenak untuk mendengarkan percakapan mereka.
Namun, semuanya berubah saat Aurelia berkata, “Cinta itu mungkin cuma cerita, Revan. Tak lebih dari angan-angan.”
Revan mengingat kalimat itu dengan jelas. Ketika itu, hatinya terasa sedikit tergores. Tapi dia tak pernah mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Hanya diam, berharap waktu bisa memberi jawaban, entah kapan.
Hari itu, tiba-tiba saja, ponselnya bergetar. Ada pesan dari Aurelia.
“Aku ingin berbicara.”
Baca pesan itu, jantung Revan berdetak lebih cepat. Tiba-tiba, suasana kafe itu terasa begitu sepi, seakan seluruh dunia berhenti berputar. Dia menatap layar ponselnya lama, menunggu detik-detik selanjutnya yang entah akan membawa apa. Tiga kata itu—”Aku ingin berbicara”—terasa begitu penting, lebih dari apa pun yang pernah dia rasakan.
Dia meraih jaketnya dengan cepat dan bergegas menuju taman kecil yang menjadi tempat pertama kali mereka bertemu. Langit senja mulai memerah, dan suasana di sekitar taman itu sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan melewati jalan setapak.
Dan di sana, di bangku taman yang sama, Aurelia duduk. Buku terbuka di pangkuannya, namun matanya tak tertuju pada tulisan itu. Matanya menatap kosong ke depan, seperti sedang mencari-cari jawaban dalam pikirannya.
Revan mendekat, dan dengan langkah yang agak ragu, dia berdiri di samping bangku itu. “Aurelia,” katanya pelan, “aku datang secepatnya.”
Aurelia menoleh. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya. Ada keraguan, namun di saat yang sama, ada keinginan untuk mengatakan sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan mudah.
“Aku… aku ingin meminta maaf, Revan,” ujar Aurelia, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya. “Aku selalu berpikir cinta itu tak nyata, hanya sebatas cerita. Tapi setelah sekian lama, aku sadar bahwa aku salah. Aku… aku sudah jatuh cinta padamu.”
Revan terdiam, seolah waktu berhenti sejenak. Suasana yang semula tenang kini terasa begitu berat. Setiap kata yang keluar dari mulut Aurelia menembus langsung ke dalam hatinya, seperti petir yang menghantam tanah.
“Aurelia…” kata Revan, suaranya hampir tak terdengar. “Aku juga menunggumu. Aku tak pernah berhenti menunggumu.”
Aurelia menatapnya dengan mata yang penuh keraguan. “Kamu… menungguku?”
“Iya.” Revan mengangguk perlahan, berusaha menenangkan diri meskipun hati dan pikirannya bercampur aduk. “Aku tidak pernah menyerah, Aurelia. Karena aku percaya bahwa waktu… waktu akan menjawab segalanya.”
Di bawah sinar bulan yang mulai menyinari taman itu, ada keheningan antara mereka berdua. Revan merasakan angin malam yang sejuk, menyapu wajahnya, seolah menghapus segala keraguan yang sempat hadir di dalam hatinya. Dan dalam diam itu, ia merasakan sesuatu yang lebih kuat dari sekadar kata-kata: sebuah koneksi yang terjalin dalam waktu yang lama, tanpa disadari.
Aurelia menghela napas panjang, seakan ada beban yang terlepas dari bahunya. “Aku tahu, Revan. Aku tahu kamu sudah lama menungguku. Dan aku… aku baru sadar.”
“Kamu tahu?” tanya Revan, sedikit terkejut. “Tapi kenapa baru sekarang?”
“Karena aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, dengan apa yang harus aku lakukan, dengan hidup yang harus berjalan sesuai dengan rencana.” Aurelia tersenyum kecil, memandangi Revan dengan tatapan yang berbeda. “Tapi sekarang, aku yakin. Cinta itu nyata. Dan aku tahu, aku ingin menjalani ini denganmu.”
Revan merasa dunia seakan kembali berputar dengan kecepatan yang semestinya. “Aku sudah menunggu terlalu lama untuk mendengar kalimat itu,” katanya sambil tersenyum lebar, meski dalam hatinya ada perasaan yang lebih besar daripada sekadar kebahagiaan. “Dan aku tidak akan berhenti menunggu.”
Aurelia tertawa pelan, melirik Revan dengan senyum manis. “Kamu tahu, aku tak pernah menyangka kita akan sampai di sini, Revan. Tapi sepertinya… kita sudah sampai.”
Di malam yang tenang itu, mereka duduk bersama, berbicara tentang segala hal dan tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Cinta yang tertunda kini akhirnya menemukan jalannya, dan meskipun perjalanan mereka panjang, Revan tahu, waktu tidak pernah menipu. Cinta, setelah sekian lama, akhirnya datang—jawaban yang sempurna untuk segala rasa yang tersembunyi.
Tunggu dan Harap
Malam itu, setelah percakapan panjang yang membawa banyak rasa ke permukaan, Revan pulang dengan langkah ringan, meskipun hatinya penuh dengan kebahagiaan yang membuncah. Keinginan untuk mengatakan banyak hal kepada Aurelia tak terucap, tetapi dia tahu, terkadang kata-kata bukanlah hal yang paling penting. Hanya bersama, hanya dalam keheningan mereka, semuanya terasa sempurna.
Namun, seperti yang sering terjadi, kebahagiaan itu selalu datang dengan bayang-bayang pertanyaan. Revan tak bisa menahan pikirannya yang mulai kembali sibuk. Dia tahu, meskipun kata-kata Aurelia tadi adalah jawaban yang selama ini dia tunggu, masih ada banyak hal yang perlu mereka hadapi. Mereka berdua baru saja memulai babak baru, dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa perjalanan ini akan semulus yang dia harapkan.
Hari-hari setelah itu berjalan seperti biasa. Revan kembali ke rutinitasnya, menyusun kata demi kata untuk bukunya, meski pikirannya sering kali terbang kembali kepada Aurelia. Mereka masih bertemu, masih berbicara, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Revan merasa seperti ada sedikit jarak yang terbentuk antara mereka, meskipun semuanya terlihat biasa saja di luar.
Aurelia kadang tampak lebih sering sibuk dengan pekerjaannya, atau bahkan tampak bingung saat Revan mengajaknya berbicara tentang masa depan mereka. Sementara itu, Revan, meski hatinya ingin sekali mempercepat segala hal, berusaha untuk sabar. Dia tidak ingin terburu-buru, tidak ingin membuat Aurelia merasa tertekan. Lagipula, ia sudah lama menunggu, jadi menunggu sedikit lebih lama lagi bukanlah masalah besar.
Namun, semakin lama, semakin jelas bagi Revan bahwa ada sesuatu yang mengganjal di hati Aurelia. Sesekali, saat mereka duduk berdua di kafe atau di taman, dia melihat senyum Aurelia yang sedikit dipaksakan, matanya yang sering kali tampak jauh. Tidak seperti dulu, saat mereka berbicara dan tertawa dengan bebas. Kadang-kadang, ia merasa seperti ada dinding tipis yang memisahkan mereka.
Revan memutuskan untuk tidak terlalu mendesak. Ia tahu, waktu akan mengungkapkan segala sesuatunya. Tapi bukan berarti dia berhenti berusaha. Dia hanya perlu lebih sabar, menunggu hingga Aurelia benar-benar siap. Bukankah cinta memang tentang itu? Tentang sabar dan memberi ruang untuk tumbuh?
Suatu sore, ketika hujan mulai turun dengan perlahan, Revan berjalan menuju taman yang sering mereka kunjungi. Dia tahu, Aurelia akan ada di sana—seperti biasa, membaca buku di bangku taman yang sudah menjadi tempat favorit mereka. Terkadang, dia merasa bahwa taman itu adalah dunia mereka yang kecil dan damai, tempat di mana mereka bisa menyingkirkan semua keraguan dan hanya fokus pada satu sama lain.
Saat dia sampai, dia melihat sosok Aurelia di bangku yang sama, dengan buku di tangan, tapi matanya tak lagi tertuju pada halaman-halaman itu. Wajahnya tampak serius, penuh dengan pikiran yang tak terucapkan. Revan mendekat pelan, duduk di sebelahnya tanpa berkata apa-apa. Hujan semakin deras, namun tak ada yang bergerak. Hanya ada suara rintik-rintik hujan yang semakin keras.
“Kenapa, Aurelia?” tanya Revan akhirnya, suaranya lembut, meskipun dalam hatinya ada kekhawatiran yang mulai tumbuh. “Apa yang ada di pikiranmu?”
Aurelia memandangnya sejenak, seakan mencari cara untuk mengungkapkan apa yang sedang mengganggu hatinya. “Revan,” katanya dengan suara pelan, “kadang aku merasa… aku merasa aku tidak pantas mendapatkan semua ini.”
Revan terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan Aurelia. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Aku tahu kamu menungguku, dan aku tahu kamu berusaha keras untuk meyakinkanku bahwa kita bisa bersama,” jawab Aurelia, matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi, aku merasa… aku merasa aku terlalu banyak membawa beban dalam hidupku yang tidak bisa kamu lihat. Aku takut, Revan. Takut kalau cinta ini tak bisa bertahan.”
Revan menatapnya dalam-dalam. “Aurelia, aku tahu kamu punya masa lalu, dan aku tahu kamu pernah terluka. Tapi itu tidak akan menghalangimu untuk merasakan cinta lagi. Aku di sini, dan aku ingin kamu tahu, aku siap menghadapi semuanya bersamamu. Aku tak akan pergi.”
Aurelia menunduk, bibirnya bergetar sedikit. “Aku ingin begitu, Revan. Aku benar-benar ingin bersama kamu. Tapi aku juga takut. Takut kalau aku memberi harapan yang salah.”
Revan meraih tangan Aurelia, menggenggamnya dengan lembut. “Aku tahu kita berdua sama-sama punya keraguan. Tapi kamu tidak sendirian, Aurelia. Kita bisa melewati ini bersama. Aku tidak akan lari, aku janji.”
Aurelia menatapnya dengan mata penuh kebingungan, namun di balik itu ada rasa yang lebih besar—rasa yang ingin dia percayai. Perlahan, dia mengangguk. “Aku hanya butuh waktu. Aku butuh waktu untuk benar-benar merasa siap.”
“Tunggu dan harap,” kata Revan, senyum tipis terukir di wajahnya. “Aku akan ada di sini. Sebanyak yang kamu butuhkan.”
Malam itu, mereka berdua duduk di taman yang sama, di bawah hujan yang semakin deras, hanya dengan satu sama lain, menunggu, dan berharap. Revan tahu, cinta itu bukanlah tentang kesempurnaan. Cinta itu tentang saling memberi waktu, tentang melawan rasa takut dan keraguan bersama. Dan meskipun perjalanan mereka masih panjang, dia tak akan pernah berhenti menunggu dan berharap. Karena dia tahu, cinta yang sejati selalu membutuhkan waktu untuk berkembang.
Perjalanan Tak Terduga
Pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya. Hujan yang kemarin mengguyur, meninggalkan udara segar yang menenangkan. Revan terbangun dengan perasaan sedikit lebih ringan. Beberapa minggu terakhir telah mengujinya, terutama setelah percakapan malam itu di taman. Meskipun Aurelia mengatakan bahwa dia membutuhkan waktu, Revan merasa ada kemajuan. Bahkan jika kemajuan itu hanya dalam bentuk senyum tipis yang mulai menghiasi wajah Aurelia setiap kali mereka bertemu.
Namun, di balik senyum itu, Revan tahu masih ada banyak hal yang belum terungkap. Mungkin bukan waktunya untuk memaksakan semuanya, tapi perasaan itu terus berkembang, semakin dalam, semakin sulit untuk dikesampingkan. Kadang, rasa sabar itu mulai terkikis oleh keraguan kecil. Apa yang sebenarnya sedang dipikirkan Aurelia? Apa dia benar-benar merasa siap? Ataukah itu hanya kata-kata yang terucap begitu saja, tanpa bisa dia pegang sepenuhnya?
Hari itu, mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tempat yang selalu menjadi tempat pertemuan mereka setelah hari yang panjang—dengan secangkir kopi hitam pahit dan bisikan suara musik akustik yang menemani percakapan ringan mereka. Revan sudah sampai lebih dulu, duduk di meja favorit mereka yang ada di pojok, dengan pandangan langsung ke jendela besar yang menghadap ke jalan. Ia memandangi orang-orang yang berlalu lalang, mencoba menenangkan pikirannya.
Tidak lama, pintu kafe berbunyi, dan sosok yang sudah sangat dikenalnya muncul di ambang pintu. Aurelia, dengan gaun kasual dan rambut yang sedikit berantakan karena angin, melangkah masuk, seakan membawa dunia luar bersama hujan rintik yang membasahi sepatunya. Dia tersenyum ketika melihat Revan, dan meskipun senyum itu tetap indah, Revan bisa merasakan ada sesuatu yang masih tersisa. Ada sesuatu yang belum sepenuhnya dia beri tempat.
“Aku pesan kopi buat kamu,” ujar Revan, memberi isyarat kepada pelayan yang sudah mendekat. “Kamu pasti suka yang hitam pekat, kan?”
Aurelia tertawa pelan. “Kamu memang selalu ingat hal kecil seperti itu.”
“Tentu saja, bagaimana bisa aku lupa hal-hal kecil yang selalu kamu suka?” jawab Revan dengan nada menggoda, sedikit berusaha mencairkan suasana yang masih terasa canggung.
Aurelia duduk di hadapannya, menatapnya dengan tatapan lembut namun penuh keraguan. “Revan, aku…”
“Kenapa?” tanya Revan, langsung merasa cemas melihat perubahan nada suara Aurelia.
Aurelia menghela napas, menatap ke luar jendela sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku merasa… takut kalau aku melukai kamu. Aku tahu kamu menungguku, tapi aku merasa aku belum siap sepenuhnya untuk ini.” Suaranya perlahan meredup, seolah dia sedang berjuang untuk mengungkapkan perasaan yang tersembunyi begitu lama.
Revan memandangnya, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ada di hati Aurelia. “Kamu sudah siap. Kita berdua sudah siap. Cinta itu bukan hanya soal waktu atau kesiapan, Aurelia. Tapi tentang apakah kita mau mencoba melewatinya bersama.”
Aurelia menunduk, mengerutkan kening, kemudian menatapnya lagi. “Tapi aku takut. Takut aku hanya akan menyakitimu. Aku… aku takut aku tidak akan bisa memberi apa yang kamu harapkan.”
Revan mengulurkan tangan, menggenggam tangannya dengan lembut, memberikan sedikit ketenangan. “Aurelia, aku tidak mengharapkan apa-apa selain kamu ada di sini, di sampingku. Aku tidak peduli seberapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk siap. Aku hanya ingin kita berjalan bersama, tanpa ada rasa takut untuk saling melangkah.”
Tapi Aurelia tetap tidak bisa melepaskan rasa takut itu. Rasa takut yang sudah terlalu lama menguasainya. Dia memandang Revan dengan mata yang sedikit basah. “Aku ingin, Revan. Aku ingin sekali. Tapi, aku takut kalau aku tidak bisa mencintaimu dengan cara yang kamu inginkan.”
Revan tersenyum, meskipun di dalamnya ada perasaan yang sedikit tergores. “Cinta itu bukan tentang sempurna, Aurelia. Cinta itu tentang perjalanan. Kita akan menemui banyak ketakutan, banyak keraguan, dan kita akan jatuh, terkadang, tetapi kita akan bangkit bersama. Aku hanya ingin tahu bahwa kamu ingin mencoba, seperti aku.”
Aurelia terdiam, lalu mengangguk perlahan. Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai berubah, walaupun sangat pelan. Mungkin memang bukan waktunya untuk semua yang dia impikan—bukan untuk saat ini. Tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang merasa lebih tenang, lebih siap untuk melangkah, sedikit demi sedikit. Revan selalu ada di sana, menunggunya tanpa paksaan, memberi ruang yang dia butuhkan. Itu adalah sesuatu yang sangat langka, sesuatu yang jarang ditemukan.
“Baiklah,” kata Aurelia akhirnya, suara yang lebih lembut dari sebelumnya. “Aku akan mencoba. Aku tidak tahu bagaimana, dan aku tidak tahu kapan. Tapi aku ingin mencoba bersama kamu.”
Revan meremas tangannya dengan lembut, hatinya berbunga dengan harapan yang kembali menyala. “Aku akan menunggumu, Aurelia. Seberapa pun lama itu.”
Mereka duduk bersama di kafe yang sama, di bawah langit yang tak pernah benar-benar cerah, tetapi penuh dengan potensi. Revan tahu, meskipun perjalanan mereka penuh dengan ketidakpastian, satu hal yang pasti—dia akan tetap menunggu, tetap berharap, dan tidak akan pernah menyerah.
Karena cinta yang sejati tidak datang dalam bentuk yang sempurna, tetapi dalam bentuk kesabaran dan komitmen untuk terus berjalan, meskipun jalan itu penuh dengan belokan dan rintangan. Dan meskipun mereka berdua belum tahu apa yang akan terjadi ke depan, satu hal yang mereka yakini—mereka tidak akan lagi berjalan sendirian.
Cinta yang Terjawab Oleh Waktu
Waktu berlalu begitu cepat. Terkadang, Revan merasa waktu itu seperti satu teka-teki yang sulit dipecahkan, namun begitu indah ketika akhirnya menemukan potongan-potongan yang tepat. Ia selalu menunggu, sabar, dengan harapan yang tak pernah surut. Seperti yang pernah dia katakan pada Aurelia, cinta bukan soal kecepatan atau kesempurnaan. Cinta adalah tentang perjalanan yang panjang, tentang langkah-langkah kecil yang akhirnya membawa pada tujuan yang lebih besar.
Setelah pertemuan mereka di kafe, segala sesuatunya berubah. Tidak dengan tiba-tiba, namun dengan perlahan, seiring dengan waktu yang memberikan jawaban-jawaban yang mereka butuhkan. Aurelia semakin sering membuka dirinya, tidak hanya untuk Revan, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Dia mulai menerima perasaan yang selama ini dipendam, mulai memberi tempat untuk cinta yang tumbuh dengan hati-hati, tanpa rasa takut lagi. Ada banyak momen kecil yang mereka lewati bersama—tawa, canda, bahkan keheningan yang terasa nyaman. Setiap momen itu seperti memberi kekuatan untuk melanjutkan, meskipun mereka tidak tahu apa yang akan datang.
Hari ini, mereka bertemu lagi di tempat yang sama—di kafe yang sudah menjadi saksi perjalanan mereka. Tapi kali ini, suasananya berbeda. Ada sesuatu yang lebih hangat di udara, bukan hanya karena cuaca yang cerah, tetapi juga karena perasaan yang terbangun di antara mereka. Revan menatap Aurelia dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Aurelia pun tersenyum kembali, dan matanya berbinar lebih cerah dari sebelumnya.
“Revan,” katanya dengan suara yang lebih tenang dan mantap. “Aku ingin kamu tahu satu hal. Aku… sudah siap. Aku sudah siap untuk kita.”
Revan terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. Ada rasa lega yang besar mengalir dalam dirinya, tetapi juga kebahagiaan yang luar biasa. Dia tidak tahu kapan tepatnya semuanya berubah, namun dia tahu bahwa momen ini adalah puncak dari perjalanan panjang mereka.
“Kamu yakin?” tanya Revan, suara penuh kehangatan.
Aurelia mengangguk, dan kali ini tidak ada keraguan dalam pandangannya. “Aku sudah memikirkannya. Dan aku tahu, ini bukan tentang waktu atau ketakutan. Ini tentang kita. Tentang apa yang kita bisa bangun bersama, meskipun tidak sempurna.”
Revan tersenyum lebih lebar. “Aku juga tidak berharap kita sempurna. Aku hanya ingin kita berjalan bersama, melewati apapun yang datang.”
Aurelia tertawa pelan. “Kamu selalu membuatku merasa tenang, Revan.”
Dan di sinilah mereka—dua hati yang sebelumnya terpisah oleh keraguan dan ketakutan, kini mulai menyatu dalam perjalanan yang lebih jelas. Tidak ada lagi pertanyaan yang mengganggu, tidak ada lagi rasa takut yang menghalangi. Mereka tahu bahwa hidup tidak selalu memberi mereka jalan yang mudah, tetapi mereka siap untuk menghadapi setiap tantangan bersama.
Waktu, yang selama ini mereka rasakan sebagai sesuatu yang berat dan penuh dengan ketidakpastian, kini terasa seperti hadiah. Waktu telah mengajarkan mereka bahwa segala sesuatu membutuhkan proses. Tidak ada yang bisa dipaksakan. Dan terkadang, hal terbaik dalam hidup datang bukan pada saat yang kita inginkan, tetapi pada saat kita sudah siap menerimanya.
Seiring matahari mulai turun di balik cakrawala, Revan meraih tangan Aurelia dengan lembut, merasakan hangatnya sentuhan itu. Mereka duduk bersama, menikmati keheningan yang nyaman, dengan perasaan yang sudah pasti. Cinta mereka, yang dulu tersembunyi, kini mulai terbuka—terjawab oleh waktu, yang ternyata adalah guru terbaik dalam perjalanan ini.
“Aku akan selalu ada untukmu,” kata Revan, dengan suara yang penuh keyakinan.
Aurelia menatapnya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa tidak ada lagi yang perlu diragukan. “Dan aku akan selalu memilihmu, Revan.”
Cinta mereka tidak datang dalam bentuk yang besar dan dramatis, tapi dalam bentuk kesabaran, waktu, dan komitmen. Sebuah perjalanan yang dimulai dengan ketakutan dan keraguan, akhirnya terjawab dengan keyakinan dan harapan yang lebih kuat dari sebelumnya. Karena mereka tahu, cinta yang sejati bukanlah tentang menjadi sempurna, tetapi tentang saling memilih, meskipun tidak ada jaminan apa pun.
Mereka berjalan bersama, melangkah ke masa depan dengan tangan yang terjalin erat, menanti setiap hari yang baru, tanpa pernah menoleh ke belakang.
Jadi, mungkin kita gak perlu buru-buru buat nyari jawaban dari perasaan kita. Kadang, waktu yang akan ngasih jawabannya, dan kita cuma perlu sabar sedikit lebih lama. Kalau cinta memang buat kita, ia akan datang dengan caranya sendiri.
Dan buat kalian yang masih ragu, jangan khawatir, karena seperti yang kita tahu, waktu selalu punya cara untuk menjawab semuanya. Jadi, tetaplah berharap dan menunggu, karena cinta yang sesungguhnya nggak akan pernah sia-sia.