Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu ngerasa terjebak dalam kehidupan yang nggak kamu ngerti? Entah kenapa, hidup kayak nyuruh kita buat nyari sesuatu yang lebih, sesuatu yang ngasih kita ketenangan. Nah, cerita ini tentang seorang pemuda yang terdampar di pulau misterius, berusaha keluar, tapi malah nemuin hal yang jauh lebih penting:
kedamaian dalam dirinya sendiri. Gak ada jalan keluar yang gampang, tapi justru perjalanan inilah yang akhirnya bikin dia ngerti makna cinta sejati. Penasaran? Yuk, baca terus!
Cinta Sejati di Pulau Misterius
Undangan dari Laut
Aku terbangun oleh suara deburan ombak yang memecah keras di telingaku. Malam itu begitu sunyi, seolah dunia mengerut menjadi satu titik kecil yang terkurung dalam kegelapan. Aku masih terbaring di pasir pantai yang lembut, tubuhku kaku, dan pikiran terasa seperti kabut tebal. Sebelum aku benar-benar sadar, aku teringat dengan jelas bagaimana kapal yang kutumpangi tenggelam. Air laut yang hitam, gelap seperti malam tanpa bintang, memelukku dalam dingin. Sekarang, aku terdampar di tempat yang asing—di sebuah pulau yang sepertinya tak pernah ada dalam peta manapun.
Aku duduk perlahan, merasakan pasir yang dingin menyentuh kulitku. Di sekitar, hanya ada hutan lebat yang tampak seperti berjaga, gelap dan penuh misteri. Suara alam yang bersahutan dengan angin laut membuatku merasa bahwa pulau ini, entah kenapa, bukanlah tempat yang biasa. Aku memandangi laut yang tak terlihat ujungnya, gelap dan sunyi. Bagaimana bisa aku sampai di sini? Apa yang sebenarnya terjadi?
Ketika aku mencoba berdiri, tubuhku terasa lemas, seolah belum siap menerima kenyataan ini. Namun, di dalam diriku ada satu pertanyaan yang terus berputar: Siapa yang mengundangku ke sini? Tak ada jawaban, hanya suara angin yang terus berbisik. Aku meraba saku jaket, dan di sana aku menemukan sebuah kertas kecil yang telah terlipat. Kertas itu tak berlabel, hanya ada sebuah pesan singkat yang terukir dengan tulisan tangan yang rapi:
“Temui cinta sejati di tempat yang tak dikenal.”
Pesan itu membuat hatiku berdebar. Cinta sejati? Di tempat yang tak dikenal? Apakah ini semacam lelucon? Tapi kenapa aku merasa, bahwa mungkin ini adalah alasan aku terdampar di sini? Sebuah misteri yang lebih besar dari sekadar kecelakaan kapal.
Aku menarik napas panjang dan menatap sekeliling. Pulau ini sepertinya tak memiliki jalan keluar. Hutan yang lebat dan gelap, pantai yang memanjang tanpa ujung, seolah mengurungku di dalamnya. Aku memutuskan untuk berjalan, berharap menemukan petunjuk atau mungkin, seseorang yang bisa memberi penjelasan.
Langkahku semakin jauh, namun pulau ini tampak seperti sebuah labirin. Semakin aku menjelajahi, semakin aku merasa seperti ada yang mengamatiku. Tidak ada suara manusia, hanya suara angin yang bertiup kencang dan gemerisik dedaunan. Aku terus melangkah, mengikuti jejakku sendiri di pasir, hingga akhirnya aku menemukan sebuah rumah tua di antara hutan yang semakin lebat.
Rumah itu tampak terlantar. Kayu-kayunya tampak rapuh, jendelanya tertutup rapat, namun ada satu cahaya temaram yang muncul dari dalam. Tersentak, aku merasa seolah ada yang menungguku di dalam sana. Ada perasaan aneh yang menggelitikku—antara takut dan penasaran. Tanpa berpikir panjang, aku mengetuk pintu itu.
Pintu terbuka tanpa suara.
Aku melangkah masuk, menatap rumah yang penuh debu dan kesunyian. Namun, ada sesuatu yang berbeda di dalamnya. Di tengah ruangan, seorang wanita berdiri menghadap jendela. Rambutnya panjang dan gelap, mengenakan gaun putih lusuh, seakan baru saja terbangun dari tidur yang panjang.
Wanita itu menoleh perlahan, matanya yang tajam memandangku dengan intens, namun ada sesuatu yang aneh dalam pandangannya. Seperti ada luka dalam hatinya, yang mencoba untuk tetap tersembunyi.
“Siapa kamu?” tanyanya, suaranya lembut, namun terdengar penuh keputusasaan.
Aku tak tahu harus menjawab apa, tapi rasa penasaran yang dalam memaksaku untuk berbicara. “Aku… aku Zafir. Aku terdampar di pulau ini setelah kapal yang kutumpangi tenggelam.”
Wanita itu mengangguk pelan, seolah sudah mengetahui itu. “Aku Lyra,” katanya singkat, lalu kembali menatap jauh ke luar jendela.
“Apa yang terjadi di sini?” tanyaku, menahan rasa penasaran yang semakin membuncah. “Kenapa aku terdampar di sini? Kenapa pulau ini terasa begitu aneh?”
Lyra akhirnya berbalik, matanya yang tajam menatapku dengan lebih dalam. “Pulau ini bukan tempat yang biasa, Zafir. Ini bukan hanya pulau, ini adalah tempat di antara dunia nyata dan dunia yang penuh dengan perasaan yang tak terungkapkan. Mereka yang datang dengan cinta sejati bisa keluar dari sini. Tapi mereka yang tak tahu siapa dirinya, atau siapa yang menunggu, akan terjebak selamanya.”
Perkataan Lyra membuat jantungku berdegup kencang. Cinta sejati? Siapa yang dimaksud dengan itu? Apa hubungannya dengan aku yang hanya seorang fotografer biasa?
“Tapi aku tidak…,” aku ragu-ragu, “Aku tidak tahu siapa yang mengundangku ke sini. Apa maksudmu dengan cinta sejati?”
Lyra diam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kataku. “Cinta sejati adalah sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan, Zafir. Ini adalah perasaan yang murni, yang datang tanpa pamrih. Kamu harus menemukannya untuk bisa keluar dari pulau ini.”
Aku mengerutkan dahi, mencoba mencerna semua kata-katanya. “Tapi bagaimana caranya aku tahu itu? Aku bahkan tidak tahu mengapa aku berada di sini.”
Lyra menatapku, dan ada sesuatu dalam pandangannya yang berbeda. Sebuah perasaan yang aku tak bisa jelaskan. “Kamu harus mencari jalanmu sendiri. Pulau ini akan menunjukkan apa yang perlu kamu temukan, tapi ingat, tidak semua yang terlihat di sini nyata. Kamu harus memutuskan apakah kamu ingin meninggalkan semuanya atau terus mencari.”
Aku terdiam, perasaan bingung dan takut bercampur aduk. Apa maksudnya? Mengapa aku merasa ada sesuatu yang lebih di balik kata-katanya? Sepertinya, aku baru saja melangkah ke dalam dunia yang jauh lebih besar dari yang kuperkirakan.
Satu hal yang aku tahu pasti: aku harus menemukan jawaban. Entah cinta sejati itu apa, atau mengapa aku terjebak di sini—aku harus mencari tahu.
Dan malam itu, saat aku melangkah keluar dari rumah tua itu, aku tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.
Rumah di Ujung Hutan
Pagi datang begitu lambat, dengan cahaya yang lemah menembus celah-celah daun hutan yang lebat. Aku duduk di atas batu besar, merenung, mencoba menghubungkan kata-kata Lyra dengan kenyataan yang aku alami. Pulau ini bukan hanya sebuah tempat, tapi lebih seperti sebuah teka-teki. Aku tahu bahwa jawaban atas semua ini tersembunyi di sini—entah di hutan lebat, rumah tua, atau bahkan di dalam diriku sendiri. Tapi yang pasti, aku harus menemukan cinta sejati yang Lyra bicarakan.
Aku berjalan menyusuri pantai yang berpasir halus, langkahku melambat seiring pikiran yang terus berputar. Aku merasa ada sesuatu yang menarik, sesuatu yang ingin aku pahami lebih dalam. Pulau ini sepertinya memiliki pengaruh yang kuat, seolah-olah alam dan waktu bekerja dengan cara yang tak bisa dijelaskan. Keheningan yang aneh menggantung, dan sesekali angin berhembus kencang, membawa aroma laut yang tajam dan segar.
Di saat aku mulai merasa putus asa, langkahku terhenti di depan sebuah pohon besar yang menjulang tinggi, akarnya mencuat keluar dari tanah, seakan membentuk jalan setapak. Aku menatapnya dengan rasa penasaran, seolah pohon itu memanggilku. Tanpa berpikir panjang, aku melangkah maju, memasuki hutan yang semakin rimbun.
Di dalam hutan, udara terasa lebih berat, seperti menyimpan rahasia yang tak ingin terungkap. Langkahku semakin dalam, hingga akhirnya aku melihat sesuatu yang mengejutkan—sebuah rumah lain, kali ini lebih kecil dan tampak lebih tua daripada yang pertama. Atapnya sudah berlubang di beberapa bagian, dan dindingnya terbuat dari kayu yang tampak rapuh. Namun, yang paling menarik adalah cahaya yang kembali muncul dari dalam, seakan rumah ini hidup meskipun jelas terlantar.
Aku melangkah perlahan menuju pintu yang terbuka, dan sebelum aku bisa mengetuk, seorang wanita muda muncul dari balik pintu. Rambutnya acak-acakan, dan matanya yang lelah menatapku dengan ragu. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam sorot matanya—sebuah rasa kehilangan yang dalam, seperti dia sudah menunggu kedatanganku sejak lama.
“Siapa kamu?” tanyanya, suaranya lembut, namun ada keraguan yang jelas dalam nada suaranya.
“Aku Zafir,” jawabku, meskipun aku tak yakin apa yang aku harapkan. “Aku terdampar di pulau ini. Aku sedang mencari… sesuatu.”
Wanita itu mengamati aku dengan seksama, seolah-olah dia bisa melihat melalui diriku, menilai setiap kata yang keluar dari mulutku. Lalu, dia tersenyum tipis, seolah sudah tahu jawaban atas semua kebingunganku.
“Kamu datang untuk mencari cinta sejati, bukan?” tanyanya, nada suaranya seperti menyentuh kedalaman hatiku. Aku terkejut, tak menyangka dia bisa tahu.
“Apa maksudmu?” aku bertanya, bingung. “Cinta sejati? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
Wanita itu mengangguk perlahan. “Pulau ini bukan untuk semua orang, Zafir. Hanya mereka yang tak takut pada diri mereka sendiri yang bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi.” Dia berhenti sejenak, seakan mengumpulkan keberanian. “Nama saya Aruna. Saya pernah terjebak di sini, sama seperti kamu. Tetapi tidak semua orang bisa keluar. Tidak semua orang bisa menemukan apa yang mereka cari.”
Aku terdiam mendengarnya, bingung dengan kata-katanya. “Lalu, bagaimana denganmu? Kenapa kamu masih di sini?”
Aruna menundukkan kepala, seolah menghindari pandanganku. “Aku datang ke sini dengan cinta yang salah. Dan sekarang aku terjebak dalam bayang-bayang cinta itu. Aku tak bisa keluar, Zafir. Tak seperti yang mereka katakan.”
“Apa maksudmu dengan ‘cinta yang salah’?” aku bertanya, semakin penasaran.
Dia mengangkat wajahnya, matanya penuh dengan kepedihan. “Cinta yang salah adalah cinta yang membutakanmu, yang membuatmu terjebak dalam harapan kosong. Aku datang ke pulau ini karena cinta, tapi aku tak pernah menyadari bahwa aku harus belajar mencintai diriku sendiri terlebih dahulu.”
Kata-katanya menggelayuti pikiranku. Apakah aku juga datang ke sini dengan harapan kosong? Apakah cinta sejati yang Lyra sebutkan memang harus dimulai dari dalam diri sendiri? Aku merasa semakin bingung, dan rasa takut yang menggerogoti mulai menyelimuti diriku.
Aruna melangkah mundur, seolah memberi ruang. “Kalau kamu ingin keluar dari sini, Zafir, kamu harus mengerti satu hal: Cinta sejati tidak selalu datang dengan cara yang kamu harapkan. Kamu harus melihat lebih jauh dari sekadar perasaanmu sendiri. Kamu harus menemukan kedamaian dalam diri.”
Aku menatapnya, dan meskipun aku tak sepenuhnya mengerti, aku tahu satu hal—aku harus terus mencari, apapun yang terjadi. Aku mengucapkan terima kasih padanya, lalu berbalik menuju jalan yang sama yang kutempuh untuk datang ke rumah itu. Namun, langkahku kini terasa lebih berat. Seolah-olah setiap langkah membawaku semakin dalam ke dalam misteri pulau ini, dan semakin jauh dari rumah yang kutinggalkan di belakang.
Sesaat, aku merasa kehilangan arah. Tapi ada satu hal yang pasti—aku tidak bisa berhenti. Cinta sejati mungkin bukan hanya tentang menemukan orang yang tepat, tapi juga tentang menemukan kedamaian dalam diri sendiri. Jika aku ingin keluar dari pulau ini, aku harus mengerti arti dari kata-kata Aruna.
Aku terus berjalan, mencari jalan keluar dari labirin yang semakin membuatku merasa terperangkap—terperangkap dalam cinta, dalam misteri, dan dalam diriku sendiri.
Bayangan yang Terungkap
Langit sore di pulau itu mulai berubah, membentangkan rona jingga yang tak biasa, seperti api yang perlahan padam di cakrawala. Angin semakin kencang, seakan membawa perasaan tidak tenang, dan aku merasakannya, merasakannya sangat jelas. Aku telah berada di pulau ini lebih lama dari yang aku kira, dan meskipun langkahku terus maju, aku merasa seolah-olah aku tidak pernah benar-benar bergerak dari tempat ini. Bahkan dengan setiap langkah yang kuambil, ada perasaan bahwa aku semakin terikat, semakin tertarik pada rahasia yang terus mengelilingiku.
Aku kembali ke pantai, tempat di mana aku pertama kali terdampar. Laut yang tampaknya begitu damai beberapa hari lalu kini beriak gelisah. Ombak datang dan pergi dengan kekuatan yang tak bisa kujelaskan, dan dalam setiap riakannya, aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang memanggilku. Aku duduk di atas batu besar yang menghadap laut, berharap bisa menemukan petunjuk dari perasaan aneh yang datang bersamaan dengan suara ombak.
Malam mulai menyelimuti pulau, dan tak lama setelah itu, aku mendengar langkah kaki di belakangku. Aku berbalik, dan di sana, berdiri Lyra. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia melangkah mendekat dan duduk di sebelahku. Wajahnya tampak serius, matanya yang biasanya cerah kini kelam, seolah ada beban berat yang dipikulnya.
“Kamu sudah menemukannya, bukan?” tanyanya, suaranya rendah dan penuh makna.
Aku mengangguk perlahan, walaupun aku belum benar-benar tahu apa yang harus kutemukan. “Apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini, Lyra? Kenapa semua orang sepertinya terjebak?”
Lyra terdiam sejenak, menatap ke arah laut yang beriak. “Pulau ini adalah tempat yang aneh,” katanya pelan. “Ini bukan hanya tentang tempat, Zafir. Ini tentang diri kita sendiri, tentang cinta yang kita cari. Cinta sejati bukan sekadar perasaan yang kita harapkan. Ia lebih dari itu. Jika kamu benar-benar ingin keluar, kamu harus melihat lebih dalam, lebih jauh dari apa yang tampak di permukaan.”
“Aku tidak mengerti,” aku mengakui, merasa kebingunganku semakin dalam. “Jika cinta sejati itu tidak hanya tentang menemukan seseorang, lalu apa yang harus aku temukan di sini?”
Lyra menoleh padaku, matanya yang tajam menatapku dengan penuh ketegasan. “Kamu harus menemukan dirimu sendiri, Zafir. Itulah kunci untuk keluar dari pulau ini. Cinta sejati dimulai dari sini,” dia menunjuk dadanya, “bukan dari seseorang yang kita temui. Kamu harus memaafkan dirimu sendiri, menerima semua kekuranganmu.”
Kata-katanya terasa seperti sebuah pukulan, namun juga sebuah pembukaan. Aku merasa seperti terbangun dari sebuah mimpi yang panjang dan gelap. Aku belum pernah benar-benar memikirkan tentang diriku sendiri seperti yang dia katakan. Selama ini, aku terfokus pada mencari sesuatu di luar, pada seseorang yang akan memberi arti hidupku. Namun, kini aku tahu, mungkin yang hilang selama ini adalah kedamaian dalam diriku sendiri.
“Kamu juga bisa keluar, Zafir,” kata Lyra, suara lembut tapi penuh keyakinan. “Tapi hanya jika kamu berhenti mencari di luar dirimu. Kamu harus mencintai dirimu sendiri terlebih dahulu, sebelum kamu bisa menemukan cinta sejati.”
Aku menunduk, merenung dalam. Terlihat seperti pesan yang sulit diterima, namun begitu jelas. Pulau ini memang aneh, penuh misteri, tapi mungkin misteri yang sebenarnya adalah tentang diriku, tentang cara aku memandang diriku sendiri. Selama ini, aku terlalu terfokus pada harapan kosong, pada pencarian yang tanpa ujung, pada cinta yang tak kunjung datang.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanyaku, meskipun aku sudah mulai paham bahwa ini bukan sekadar soal mencari jalan keluar fisik, tapi juga sebuah pencarian dalam batin.
Lyra tersenyum tipis, “Berjalanlah lebih jauh, Zafir. Ikuti jalur yang belum pernah kamu lihat, temukan dirimu, dan dengarkan suara hatimu. Cinta sejati ada di dalam sana.”
Sebelum aku bisa merespon lebih lanjut, Lyra berdiri dan berjalan ke arah hutan yang gelap, meninggalkan aku dengan pikiranku sendiri. Aku duduk beberapa saat, memikirkan setiap kata yang baru saja dia ucapkan. Aku tahu, perjalananku belum selesai. Bahkan lebih jauh lagi, perjalananku baru saja dimulai.
Aku bangkit dan berjalan, tidak tahu ke mana langkahku akan membawaku, tetapi merasa ada kekuatan yang mendorongku untuk terus maju. Jalan setapak yang sebelumnya tak terlihat kini tampak jelas di hadapanku. Aku mengikuti jalan itu, menembus hutan yang semakin gelap dan terasa semakin hidup, seperti ada sesuatu yang mengamatiku dari balik bayangan.
Tiba-tiba, aku mendengar suara lembut, seperti bisikan yang datang dari udara, memanggil namaku.
“Zafir… datanglah lebih dekat.”
Aku menoleh, tetapi tak ada siapa-siapa. Hanya bayang-bayang pohon yang bergerak dengan angin. Namun, suara itu terdengar lebih jelas, seolah datang dari dalam diriku sendiri. Aku melangkah maju, semakin dalam ke dalam hutan, seolah suara itu mengarahkanku menuju sesuatu yang sangat penting.
Apa yang akan aku temui di sana? Apa yang akan aku pelajari tentang diriku? Hanya waktu yang akan memberi tahu, tetapi satu hal yang pasti—aku tidak bisa kembali. Aku harus terus berjalan, hingga akhirnya aku menemukan apa yang selama ini hilang.
Pintu Terakhir
Malam semakin dalam, dan aku masih berjalan menembus hutan lebat, meskipun langit hampir sepenuhnya gelap. Bintang-bintang tak terlihat di langit, terhalang oleh awan tebal yang seperti menutup dunia ini dari pandanganku. Suara bisikan itu masih terngiang di telingaku, namun semakin lama semakin samar, seperti kabut yang menutup semua jejak yang ada.
Aku merasa seolah-olah sudah berjalan jauh sekali, tetapi langkah kakiku tetap terasa ringan. Ada sesuatu yang mendorongku untuk terus maju. Di tengah-tengah hutan, ada sebuah cahaya yang muncul di kejauhan. Aku mempercepat langkahku, rasa penasaran semakin kuat. Cahaya itu semakin besar, semakin terang, hingga akhirnya aku menemukan sebuah pintu batu besar yang tersembunyi di balik pohon-pohon besar. Pintu itu seperti terbuat dari zaman yang tak terhitung, dipenuhi ukiran-ukiran yang aneh dan penuh makna. Aku tahu, inilah akhir dari perjalanan ini.
Aku berdiri di depan pintu itu, memandanginya dengan hati yang berdebar. Ini bukan hanya pintu fisik, tapi pintu menuju sesuatu yang lebih dalam, lebih esensial. Sesuatu yang aku cari selama ini, dan yang akhirnya akan membuka mata hatiku. Tanpa bisa kuhindari, pikiranku kembali melayang kepada Lyra. Kata-katanya terngiang jelas dalam pikiranku.
“Cinta sejati dimulai dari dalam dirimu.”
Aku menatap pintu itu dengan lebih tajam, merasakan kehangatan yang aneh mengalir dari dalam sana. Dengan sebuah dorongan yang tak bisa kutahan, aku meraih gagang pintu itu dan memutarnya. Pintu itu terbuka perlahan, seolah memberikan izin bagi aku untuk masuk.
Di balik pintu, aku menemukan sebuah ruangan besar yang penuh dengan cahaya lembut. Di tengah-tengah ruangan, ada sebuah cermin besar yang memantulkan bayangan diriku. Aku melangkah lebih dekat, merasa heran mengapa ruangan ini terasa begitu akrab. Lalu aku sadar—cermin itu bukan hanya cermin biasa. Cermin itu memantulkan lebih dari sekadar rupa fisikku. Cermin itu menunjukkan seluruh diriku—kebingunganku, ketakutanku, dan juga harapan-harapanku yang terpendam.
Aku berdiri di sana, memandangi diriku sendiri, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa mengenal diriku dengan sepenuh hati. Tidak ada lagi kebingungan, tidak ada lagi pencarian yang kosong. Aku mengerti sekarang, bahwa selama ini aku mencari jawaban di luar, sementara jawaban yang sebenarnya ada di dalam diriku.
Tiba-tiba, bayangan Lyra muncul di cermin itu, seperti sebuah pantulan samar yang tak bisa kujelaskan. Wajahnya terlihat tenang, penuh ketenangan, dan seolah-olah ia tersenyum padaku. “Kamu sudah sampai di sini,” katanya dengan lembut, meskipun bibirnya tak bergerak.
Aku terdiam, merasakan ketenangan yang tiba-tiba menyelubungi hatiku. “Aku… aku sudah menemukan apa yang harus aku cari,” ujarku pelan, meskipun aku tak tahu pasti apa yang telah kutemukan. Mungkin ini adalah proses, perjalanan yang tak akan pernah berakhir. Namun, aku tahu satu hal—aku siap menghadapi semua yang datang setelah ini.
Lyra mengangguk, wajahnya mulai memudar, dan suara lembutnya kembali terdengar. “Sekarang kamu tahu, Zafir. Cinta sejati bukan hanya tentang menemukan orang yang tepat, tapi menemukan kedamaian dalam diri sendiri. Kamu sudah menemukan kunci itu.”
Aku merasa ada sesuatu yang membuka dalam diriku, seperti sebuah pintu yang terbuka untuk pertama kalinya. Aku merasa lega. Dan saat aku menoleh, cermin itu mulai memudar. Semua yang ada di ruangan itu perlahan menghilang, dan aku hanya bisa merasa… seperti seseorang yang baru saja bangkit dari sebuah mimpi panjang.
Langkah kakiku membawa aku kembali ke luar hutan, menuju pantai tempat pertama kali aku terdampar. Namun kali ini, aku tidak lagi merasa terjebak. Laut yang kelam kini tampak lebih terang, seolah memberikan tanda bahwa aku telah mencapai tempat yang lebih dalam. Aku bukan lagi orang yang sama yang datang ke pulau ini.
Aku berjalan ke arah laut, dan angin laut menerpa wajahku dengan lembut, membawa rasa kedamaian yang selama ini ku cari. Aku tersenyum, menyadari bahwa meskipun aku tidak menemukan jalan keluar seperti yang aku pikirkan, aku telah menemukan sesuatu yang lebih penting—aku telah menemukan diriku sendiri.
Dalam diam, aku menyadari bahwa perjalanan ini bukanlah tentang berlari menuju ujung, tetapi tentang bagaimana kita menghadapi diri kita sendiri, menerima semua bagian dari diri kita. Dan cinta sejati? Itu adalah penerimaan itu sendiri, kedamaian yang datang setelah kita berhenti mencari, dan mulai menerima.
Dengan satu langkah, aku melangkah ke dalam laut, merasa semakin dekat dengan kedamaian yang kuimpikan. Kini, aku tahu, aku tidak perlu lagi mencari. Aku sudah menemukan rumahku—di dalam diriku sendiri.
Jadi, kadang kita sibuk nyari jalan keluar, padahal yang kita butuhin cuma berhenti sejenak, nyari kedamaian dalam diri kita sendiri. Karena, cinta sejati nggak selalu soal menemukan orang yang tepat, tapi lebih ke menerima dan mencintai diri kita dengan segala kekurangannya.
Semoga cerita ini ngingetin kita kalau perjalanan itu bukan tentang cepat atau lambat, tapi tentang apa yang kita temuin di sepanjang jalan. Sampai jumpa di perjalanan selanjutnya!