Dingin tapi Memikat: Kisah Cinta Rina dan Dosen Muda

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya apakah anda pernah merasakan cinta yang begitu rumit hingga rasanya seperti berdiri di tepi jurang? Cerita ini membawa Anda ke dalam kisah cinta antara seorang siswi SMA yang sangat gaul dan seorang dosen muda yang dingin namun memikat.

Melalui lika-liku emosi, perjuangan melawan perasaan, dan harapan yang tak pernah padam, cerpen ini akan menyentuh hati Anda dan membuat Anda tidak bisa berhenti membacanya. Mari ikuti kisah mereka yang penuh dengan kejutan dan tantangan, di mana batas antara guru dan murid diuji oleh cinta yang tak terduga.

 

Kisah Cinta Rina dan Dosen Muda

Tatapan Pertama yang Menggetarkan

Hari ini berbeda dari biasanya di SMA Bintang Cemerlang. Pagi yang biasanya dipenuhi celotehan siswa yang malas masuk kelas, kini terasa lebih bersemangat. Aula sekolah dipenuhi para siswa yang tak sabar menunggu seminar persiapan kuliah. Seminar ini menjadi topik hangat karena kabarnya, sekolah mendatangkan dosen muda yang baru saja menyelesaikan S2 di luar negeri. Kabar lain yang lebih menarik bagi Rina dan teman-temannya: dosen itu sangat tampan, namun terkenal dingin.

“Aku dengar dia jarang senyum,” ujar Tiwi, sahabat dekat Rina, sambil meneguk jus jeruknya di kantin.

“Benarkah? Kalau dia memang sedingin itu, aku penasaran, apa yang membuat dia seperti itu?” sahut Rina, senyum di wajahnya menunjukkan rasa tertarik yang berbeda.

Tiwi mengangguk sambil memutar sedotan di gelasnya. “Katanya sih, dia tipe orang yang fokus dan serius. Bahkan di universitasnya, banyak mahasiswi yang gagal menarik perhatiannya. Keren, kan?”

Rina hanya tertawa kecil. “Mungkin dia belum pernah bertemu dengan seseorang yang bisa membuatnya tersenyum,” ujar Rina dengan nada menggoda. Ia memang selalu optimis dan suka menantang dirinya sendiri.

Sesi seminar pun dimulai. Aula dipenuhi siswa yang berdesakan mencari tempat duduk. Rina dan teman-temannya berhasil mendapatkan tempat di baris depan, posisi yang sempurna untuk melihat lebih dekat sang dosen muda yang menjadi pusat perhatian.

Ketika pria itu muncul di atas panggung, suasana aula mendadak hening. Daffa, dosen muda itu, memiliki postur tinggi dengan rambut hitam rapi. Wajahnya tampak tenang, namun ekspresinya kaku. Mata tajamnya menyapu seluruh ruangan seolah mampu menembus hati setiap siswa yang menatapnya. Saat itulah, tatapan mereka bertemu.

Rina merasakan debaran di dadanya. Sesuatu yang aneh, tapi menyenangkan. Selama beberapa detik yang terasa lebih lama, tatapan Daffa tertuju padanya. Meski tanpa senyum, ada sesuatu yang membuat Rina merasa ada percikan listrik kecil yang mengalir di antara mereka. Namun, secepat tatapan itu datang, Daffa mengalihkan pandangannya dan memulai seminarnya.

“Selamat pagi, semuanya. Nama saya Daffa. Hari ini kita akan membahas persiapan menghadapi ujian masuk universitas. Saya harap kalian semua siap mendengarkan,” katanya dengan suara rendah namun penuh wibawa.

Rina mendengarkan dengan seksama, tapi pikirannya berkeliaran. Mengapa hanya dengan tatapan itu, hatinya bisa berdebar seperti ini? Ia sudah sering bertemu banyak pria, bahkan siswa-siswa populer di sekolah, tapi tidak ada yang membuatnya merasa seperti ini.

“Rina, kamu serius banget dengarinnya,” bisik Sahila di sebelahnya sambil menahan tawa.

“Sssst, aku mau fokus,” jawab Rina sambil memukul pelan lengan Sahila. Meski begitu, senyumnya tak bisa disembunyikan.

Sesi tanya jawab dibuka. Beberapa siswa mulai mengajukan pertanyaan, tapi kebanyakan terlalu umum dan tidak menarik. Rina mengangkat tangannya dengan penuh percaya diri.

“Saya Rina,” ujarnya memperkenalkan diri. “Bagaimana cara kita tahu apakah jurusan yang kita pilih sesuai dengan kepribadian kita, Pak?”

Daffa menatap Rina, kali ini dengan lebih lama. Ada sebersit rasa kagum di balik ekspresinya yang dingin, namun ia tidak memperlihatkannya. “Pertanyaan yang bagus,” katanya singkat. “Jurusan yang tepat bukan hanya cuma tentang minat, tapi juga tentang sebuah kemampuan dan sebuah tekad untuk bisa berkembang di bidang tersebut. Kenali diri kalian sendiri dulu, dan jangan hanya mengikuti apa yang sedang tren atau apa yang diinginkan orang lain.”

Jawaban itu terdengar sederhana, namun cara Daffa mengucapkannya membuat Rina terpesona. Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu tenang dan serius dalam setiap kata yang diucapkannya? Setelah menjawab, Daffa kembali menatap Rina seolah ingin memastikan apakah ia memahami jawabannya.

Rina tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, Pak,” ucapnya pelan, namun cukup jelas terdengar.

Daffa mengangguk kecil, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit senyum tipis yang hampir tak terlihat di sudut bibirnya. Tapi hanya Rina yang melihatnya, dan itu sudah cukup membuatnya merasa seolah memenangkan sesuatu yang besar.

Seminar berakhir dengan tepuk tangan meriah. Siswa-siswa lain segera beranjak keluar, namun Rina tetap duduk di tempatnya. Ada rasa penasaran yang belum terjawab di hatinya. Ia memandangi sosok Daffa yang sedang membereskan barang-barangnya di atas panggung. Tanpa pikir panjang, Rina berjalan mendekat.

“Pak Daffa, terima kasih atas seminarnya,” ucap Rina dengan senyum lebar.

Daffa menatap Rina dengan ekspresi datar. “Terima kasih sudah mendengarkan dengan baik, Rina,” jawabnya singkat.

Namun, Rina tidak mundur. Ia memutuskan untuk menggali lebih dalam. “Saya penasaran, Pak. Apa yang membuat Anda memutuskan menjadi dosen? Bukankah Anda bisa mengambil karier lain dengan pendidikan setinggi itu?”

Pertanyaan Rina tampak mengejutkan Daffa. Ia terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Saya suka berbagi pengetahuan dan bisa membantu siswa untuk bisa menemukan jalannya sendiri. Itu sudah cukup bagi saya,” katanya dengan nada datar.

“Tapi Anda terlihat tidak menikmati momen seperti ini,” balas Rina dengan senyum menantang. “Anda sangat serius, bahkan tidak akan pernah tersenyum.”

Daffa menaikkan alisnya, tampak sedikit terhibur. “Apakah saya harus selalu tersenyum hanya karena itu yang diharapkan orang lain?” tanyanya balik.

Rina tertawa kecil. “Tidak, tidak harus. Tapi mungkin sekali-sekali tersenyum bisa membuat orang merasa lebih nyaman.”

Daffa akhirnya tersenyum tipis, namun hanya sesaat. “Terima kasih atas sarannya, Rina. Saya akan mencoba.”

Rina merasakan rasa hangat menjalar di hatinya. Meskipun hanya senyum tipis, itu adalah kemajuan. “Baiklah, Pak. Saya akan menunggu senyum berikutnya,” kata Rina sambil melambaikan tangan sebelum beranjak pergi.

Saat meninggalkan aula, Rina merasa jantungnya masih berdebar. Ini baru pertemuan pertama mereka, tapi perasaan ini begitu kuat dan nyata. Rina tahu, ini bukan sekadar rasa kagum biasa. Ada sesuatu tentang Daffa yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. Dan Rina, seperti biasa, tidak pernah takut untuk mengejar apa yang diinginkannya.

Di sudut aula, Daffa masih menatap ke arah pintu di mana Rina baru saja menghilang. Senyum kecil menghiasi bibirnya lagi. Mungkin, dia baru saja bertemu dengan seseorang yang bisa membuat hatinya yang beku sedikit mencair.

 

Ketegangan di Balik Senyum Dingin

Keesokan harinya, sekolah kembali sibuk dengan aktivitas rutin, namun bagi Rina, ada hal yang berbeda yang terus terbayang di pikirannya. Sosok Daffa, dosen muda yang misterius itu, masih terlintas jelas di benaknya. Tatapan dingin, senyum tipis, serta nada bicaranya yang tegas namun penuh makna semua itu meninggalkan kesan yang mendalam bagi Rina. Saat berada di kelas, ia bahkan sering terdiam, melamun mengingat percakapan singkat mereka kemarin.

“Rina, kamu kenapa sih?” Tiwi menyikut lengan Rina yang duduk di sampingnya. “Kamu melamun lagi. Jangan-jangan kamu kepikiran sama Pak Daffa?”

Rina menghela napas, mencoba menutupi senyumnya. “Enggak, kok. Aku cuma… berpikir soal seminar kemarin. Dia memberikan jawaban yang menarik.”

Tiwi tertawa kecil. “Jawaban menarik, atau orangnya yang menarik?”

Rina menjulurkan lidahnya ke arah Tiwi, mengelak dengan candaan. Namun, dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang berbeda kali ini. Dia tidak bisa menyangkal perasaan yang tumbuh setiap kali mengingat tatapan dingin Daffa. Ada rasa penasaran yang begitu kuat, dan Rina tahu dia tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja.

Hari Jumat tiba, dan rumor mulai beredar di sekolah bahwa Pak Daffa akan mengadakan kelas tambahan khusus untuk siswa kelas 12 yang ingin mempersiapkan ujian masuk universitas. Tanpa pikir panjang, Rina langsung mendaftarkan dirinya. Kesempatan ini terlalu berharga untuk dilewatkan, bukan hanya karena materi yang akan diajarkan, tapi juga karena keinginannya untuk mengenal Daffa lebih dalam.

Ruang kelas dipenuhi siswa yang tampak antusias. Rina duduk di baris depan, kali ini tanpa teman-temannya. Ia merasa lebih baik berada sendiri agar bisa fokus. Ketika Daffa masuk, kelas langsung hening. Wibawanya begitu kuat, meski ia tak berbicara sepatah kata pun. Daffa mengenakan kemeja putih yang sederhana, namun tetap memancarkan aura yang berbeda.

“Selamat sore, semuanya,” ucap Daffa sambil menaruh bukunya di meja. “Saya senang bisa melihat kalian dengan penuh antusias untuk kelas tambahan ini. Hari ini kita akan membahas strategi belajar yang efektif untuk persiapan ujian.”

Daffa mulai menjelaskan dengan rinci, memberikan tips yang jelas dan praktis. Rina memperhatikan setiap gerakan dan kata-katanya dengan seksama. Ada sesuatu yang memikat dalam cara Daffa mengajar; ia tidak hanya memberikan teori, tapi juga menunjukkan kepedulian terhadap masa depan siswa-siswanya. Hal itu membuat Rina semakin tertarik.

Di tengah penjelasan, Daffa mengajukan sebuah pertanyaan sulit. “Apa yang menjadi sebuah motivasi terbesar kalian untuk bisa masuk ke universitas yang kalian pilih?” tanyanya, sambil menatap para siswa satu per satu.

Beberapa siswa mengangkat tangan, memberikan jawaban yang klise seperti “ingin pekerjaan yang bagus” atau “ingin membanggakan orang tua”. Namun, saat tatapan Daffa beralih ke Rina, ia merasa ada tantangan yang tersirat di sana.

Rina mengangkat tangannya perlahan. “Saya memilih jurusan psikologi, karena saya ingin memahami pikiran manusia. Saya percaya, dengan memahami orang lain, kita bisa membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik,” jawabnya dengan suara yang tegas namun lembut.

Daffa menatapnya dalam-dalam, seolah menilai jawabannya. “Jawaban yang menarik, Rina. Tapi apakah kamu sudah siap menghadapi tantangan di bidang itu? Psikologi bukan hanya soal teori, tapi juga soal keberanian menghadapi sisi gelap manusia.”

Rina tersenyum, meski sedikit gugup. “Saya rasa, itulah bagian yang paling menarik. Saya ingin memahami sisi itu, meskipun mungkin sulit dan menakutkan.”

Untuk pertama kalinya, Daffa tersenyum lebih lebar, meski hanya sekejap. “Baiklah, kalau begitu. Saya harap kamu bisa mempertahankan motivasi itu.”

Setelah kelas berakhir, para siswa mulai beranjak pergi, namun Rina tetap tinggal di tempat duduknya. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, meski ia sendiri belum yakin apa itu. Saat Daffa sedang membereskan buku-bukunya, Rina sudah menghampirinya.

“Pak Daffa, saya ingin bertanya sesuatu,” ujarnya pelan.

Daffa menoleh, wajahnya masih seperti biasa, datar dan tenang. “Apa yang ingin kamu tanyakan, Rina?”

Rina terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Kenapa Anda memilih untuk mengajar di sekolah SMA? Dengan latar belakang Anda, saya bisa yakin Anda bisa mengajar di universitas terkenal.”

Pertanyaan itu tampak mengejutkan Daffa. Ia menatap Rina lebih lama dari biasanya, seolah sedang menimbang-nimbang jawabannya. “Mengajar bukan hanya soal tempat, Rina,” katanya akhirnya. “Di sini, saya sedang merasa bisa memberikan pengaruh yang lebih besar. Anak-anak SMA seperti kalian masih mencari jati diri, dan saya ingin membantu kalian menemukan jalan yang tepat.”

Jawaban itu terasa begitu tulus bagi Rina. Ia merasakan sisi lain dari Daffa yang jarang terlihat, sisi yang lebih manusiawi dan hangat. “Itu alasan yang sangat mulia, Pak,” ujarnya dengan senyum manis.

Daffa tersenyum kecil, dan kali ini lebih tulus. “Terima kasih, Rina. Kamu juga punya potensi yang besar. Jangan ragu untuk bisa mengejar apa yang kamu inginkan.”

Saat Daffa berbalik untuk pergi, Rina memanggilnya lagi. “Pak Daffa, saya ingin melihat Anda tersenyum lebih sering. Senyum Anda… tidak sedingin yang saya kira.”

Daffa terdiam sejenak, lalu menoleh ke belakang, menatap Rina dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Mungkin kamu yang membuat saya ingin tersenyum lebih sering,” jawabnya pelan sebelum berjalan pergi.

Rina merasakan pipinya memanas. Jawaban itu membuat hatinya berdebar kencang, namun juga membuatnya merasa bahagia. Mungkin, ini awal dari perjuangannya untuk mengenal Daffa lebih dalam. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Daffa adalah pria yang dingin dan penuh dengan pertahanan diri. Tapi Rina tidak pernah takut pada tantangan.

“Aku akan mencairkan hati itu, Pak Daffa,” gumam Rina dalam hati sambil tersenyum kecil.

Di kejauhan, Daffa melihat Rina yang masih berdiri di depan kelas dengan senyum yang sama. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang berani mendekati dan memahami dirinya dengan cara yang berbeda. Dan ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri mungkin, ia juga mulai menantikan pertemuan-pertemuan berikutnya dengan gadis yang penuh semangat ini.

 

Rintangan di Antara Dua Hati

Beberapa minggu berlalu setelah kelas tambahan yang diadakan oleh Daffa. Semenjak saat itu, Rina dan Daffa semakin sering bertemu, meski hanya di sekolah. Tatapan mata yang dulunya penuh dengan kebekuan kini perlahan mulai mencair. Senyum kecil Daffa yang jarang terlihat kini sesekali muncul, terutama saat Rina ada di dekatnya. Hubungan mereka memang belum bisa dibilang akrab, tetapi ada sesuatu yang mulai tumbuh, sesuatu yang membuat Rina terus berharap.

Rina tidak bisa menyembunyikan perasaannya dari teman-temannya. Tiwi, sahabat baik Rina, mulai menyadari bahwa Rina terlihat lebih ceria belakangan ini.

“Kamu suka sama Pak Daffa, kan?” tanya Tiwi tiba-tiba saat mereka sedang makan siang di kantin.

Rina tersentak, hampir menjatuhkan jus jeruknya. “Eh, kenapa tiba-tiba ngomong begitu?”

Tiwi menggeleng sambil tersenyum lebar. “Oh ayolah, Rin. Kamu selalu melamun kalau habis ketemu Pak Daffa. Matamu itu nggak bisa bohong, tau!”

Rina menghela napas panjang, lalu tersenyum malu-malu. “Ya… mungkin iya. Tapi dia kan dosen, Wi. Aku cuma siswa SMA biasa. Apa mungkin dia sudah bisa merasakan hal yang sama?”

Tiwi menepuk pundak Rina. “Kamu nggak pernah tau sebelum mencobanya, Rin. Dan menurutku, kamu itu beda. Kamu punya sesuatu yang mungkin bisa menarik perhatiannya.”

Ucapan Tiwi membuat hati Rina sedikit lebih tenang, namun ia sadar bahwa perasaannya tidak semudah itu untuk diwujudkan. Ada banyak rintangan yang harus ia hadapi, termasuk batasan antara siswa dan dosen. Namun, di sisi lain, Rina merasa tertantang. Ia tidak ingin menyerah begitu saja.

Kesempatan emas datang ketika sekolah mengadakan kegiatan outbond untuk kelas 12. Semua siswa berkumpul di lapangan untuk mengikuti aktivitas luar ruangan yang sudah dipersiapkan. Dan yang mengejutkan, Daffa hadir sebagai salah satu pembina kegiatan. Melihat kehadiran Daffa, Rina tidak bisa menahan senyum kecilnya.

“Wi, lihat! Pak Daffa juga ikut,” bisik Rina sambil menunjuk ke arah Daffa yang sedang berdiskusi dengan guru lainnya.

Tiwi mengangkat alisnya. “Wah, ini kesempatan kamu, Rin! Siapa tahu kamu bisa lebih dekat dengannya hari ini.”

Rina hanya mengangguk dengan semangat. Meskipun ia tahu akan ada banyak siswa lain, ia tetap ingin memanfaatkan momen ini.

Kegiatan dimulai dengan berbagai permainan tim. Rina ditempatkan dalam kelompok yang berbeda dari Tiwi, dan ia sedikit kecewa karena tidak ada cara langsung untuk mendekati Daffa. Namun, nasib seolah berpihak padanya ketika tiba-tiba salah satu anggota kelompoknya harus meninggalkan permainan karena sakit. Panitia meminta Daffa untuk menggantikan posisi tersebut.

“Baiklah, saya akan bergabung dengan kelompok ini,” ujar Daffa sambil memasuki lingkaran kelompok Rina.

Rina merasa jantungnya berdegup kencang. Ini adalah kesempatan langka yang tidak ia sangka-sangka. Mereka harus bekerja sama dalam berbagai permainan, dan itu membuat Rina semakin mengenal sisi lain dari Daffa yang jarang terlihat. Di balik sikap dinginnya, ternyata Daffa adalah sosok yang penuh strategi dan sangat peduli pada tim.

Saat mereka bermain permainan “Trust Fall”, di mana seseorang harus jatuh ke belakang dan mengandalkan teman-temannya untuk menangkapnya, Rina merasa gugup. Kali ini, ia harus jatuh ke arah Daffa. Detik-detik menegangkan itu terasa begitu lama bagi Rina.

“Percaya saja, aku akan menangkapmu,” kata Daffa dengan nada tegas.

Rina menatap matanya yang serius, lalu mengangguk pelan. “Oke, aku percaya.”

Ia memejamkan mata, mengambil napas dalam, lalu membiarkan tubuhnya jatuh ke belakang. Sesaat kemudian, Rina merasakan tangan kuat Daffa menangkapnya dengan lembut namun pasti. Ada rasa aman yang mengalir dalam dirinya. Saat membuka mata, ia melihat Daffa menatapnya dengan senyum kecil yang jarang terlihat.

“Kamu terlalu tegang tadi, Rina,” ucap Daffa sambil tertawa kecil.

Rina hanya bisa tersenyum malu. “Maaf, saya nggak terbiasa. Tapi… terima kasih sudah menangkap saya, Pak.”

Daffa mengangguk tanpa berkata apa-apa, namun ada tatapan lembut di matanya yang membuat Rina merasa lebih dekat dengannya.

Kegiatan outbond berakhir menjelang sore. Siswa-siswa tampak kelelahan, namun mereka terlihat sangat puas. Rina berjalan di belakang rombongan, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Tiba-tiba, Daffa mendekat dan berjalan di sampingnya.

“Kamu baik-baik saja? Terlihat lelah,” tanya Daffa.

Rina tersenyum lemah. “Iya, capek sih, tapi aku senang. Hari ini sangat seru.”

Daffa mengangguk, lalu terdiam sejenak. “Rina, aku ingin bicara sesuatu.”

Rina menghentikan langkahnya, menatap Daffa dengan penasaran. “Ada apa, Pak?”

Daffa menarik napas dalam, seolah sedang menimbang-nimbang kata-katanya. “Kamu tahu, aku biasanya tidak begitu peduli dengan siswa secara pribadi. Tapi… kamu berbeda, Rina. Ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku ingin tahu lebih jauh.”

Rina terkejut mendengar pengakuan itu. Jantungnya berdebar kencang, hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Maksud Anda, Pak?”

Daffa tersenyum tipis. “Aku juga belum tahu pasti. Tapi kamu membuatku berpikir bahwa mungkin… aku bisa membuka diri sedikit lebih banyak. Terima kasih untuk itu.”

Sebelum Rina sempat menjawab, Daffa sudah berjalan lebih dulu meninggalkannya. Ia merasa bingung, senang, dan gugup sekaligus. Kata-kata Daffa tadi terasa ambigu, namun juga memberikan harapan bagi Rina. Ia tahu, ini bukan jalan yang mudah, tetapi ia siap untuk melanjutkan perjuangan ini.

Di kejauhan, Rina melihat Tiwi yang melambaikan tangan dengan senyum penuh arti. Rina mendekatinya sambil tertawa kecil.

“Kamu berhasil, Rin!” seru Tiwi.

“Belum, Wi. Ini baru permulaan,” jawab Rina sambil menatap langit yang mulai berubah warna, senja yang indah menemani hatinya yang kini dipenuhi oleh perasaan baru yang ia belum pernah rasakan sebelumnya.

Perjalanan cinta ini mungkin akan penuh dengan rintangan, namun Rina yakin selama ia terus berusaha, suatu hari nanti ia akan mampu mencairkan hati dingin Daffa, dan mungkin… mereka bisa bersama.

 

Menghadapi Kenyataan

Hari-hari setelah outbond terasa berbeda bagi Rina. Setiap kali ia melihat Daffa di sekolah, ada perasaan hangat yang menjalar di hatinya. Tatapan Daffa yang dulu dingin kini berubah menjadi lebih lembut, dan sesekali, senyum tipis tersungging di wajahnya saat bertemu pandang dengan Rina. Meski mereka belum berbicara lagi secara pribadi, Rina merasakan adanya perubahan di antara mereka.

Tiwi yang selalu menjadi pendengar setia Rina pun ikut merasakan kebahagiaan itu. “Rin, aku akan selalu bisa lihat kalau Pak Daffa itu mulai ada rasa sama kamu. Kamu harus lebih berani, dong!” ucap Tiwi sambil mengerling jahil.

Rina tertawa, namun ia juga tahu kalau perjuangannya belum selesai. Masih ada banyak hal yang mengganjal pikirannya, termasuk batasan antara mereka. Dia hanya seorang siswa SMA, sementara Daffa adalah seorang dosen muda yang cerdas dan berwibawa. Apa yang orang lain akan katakan jika hubungan ini terungkap?

Namun, hati tidak bisa berbohong. Semakin Rina mencoba menghindari perasaannya, semakin kuat ia merasakan cintanya pada Daffa.

Suatu hari, sekolah mengadakan seminar karier di aula besar. Semua siswa diwajibkan hadir, termasuk Rina dan teman-temannya. Daffa, yang merupakan salah satu dosen yang diundang sebagai pembicara, berdiri di depan aula dengan percaya diri. Rina duduk di barisan tengah bersama Tiwi, tetapi matanya tidak bisa lepas dari sosok Daffa yang sedang berbicara tentang pentingnya pendidikan dan pilihan karier.

Setiap kali Daffa melirik ke arah audiens, Rina merasakan tatapannya terhenti sesaat di dirinya. Itu membuatnya gugup, namun juga bahagia. Ia merasa seperti ada komunikasi rahasia di antara mereka yang hanya mereka berdua yang mengerti.

Ketika seminar selesai, Rina bergegas keluar aula. Namun, sebelum ia sempat mencapai pintu, ia mendengar suara panggilan yang sangat familiar.

“Rina, bisa bicara sebentar?”

Rina berbalik, melihat Daffa berdiri di dekat pintu. Raut wajahnya serius, berbeda dari senyum hangat yang sempat ia lihat beberapa kali. Rina mengangguk pelan, mengikuti Daffa yang membawanya ke ruangan kosong di belakang aula.

Di dalam ruangan itu, Daffa berdiam diri sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. Rina bisa merasakan ketegangan di udara, dan jantungnya berdetak kencang.

“Pak Daffa, ada apa?” tanya Rina akhirnya, mencoba mengusir kecanggungan.

Daffa menarik napas panjang, lalu menatap Rina dengan mata yang dalam. “Rina, aku tahu apa yang kamu rasakan. Dan aku harus jujur, aku juga merasakan hal yang sama.”

Rina membelalak, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Kata-kata itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan, tetapi ekspresi Daffa tidak menunjukkan kebahagiaan, melainkan kebingungan dan kekhawatiran.

“Tapi hubungan ini… tidak mudah,” lanjut Daffa. “Aku dosen, kamu masih siswa. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, bukan hanya perasaan kita.”

Rina menelan ludah, sambil berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. “Aku tahu, Pak. Tapi perasaan ini… aku tidak bisa menghentikannya. Aku hanya ingin jujur dengan apa yang aku rasakan.”

Daffa tersenyum pahit, mengusap rambutnya dengan gelisah. “Aku pun begitu, Rina. Tapi kita harus realistis. Orang-orang tidak akan menerima hubungan ini dengan mudah. Mungkin… kita harus berhenti bertemu seperti ini.”

Kata-kata itu menusuk hati Rina seperti pisau. Air mata yang ia tahan akhirnya mengalir begitu saja. “Berhenti bertemu? Apakah itu berarti kita menyerah, Pak?”

Daffa menundukkan kepala, tampak dilema. “Aku tidak ingin menyakiti kamu, Rina. Tapi aku juga tidak bisa egois dengan tetap bertahan dalam hubungan yang akan menghancurkan masa depan kita berdua. Aku ingin kamu fokus pada pendidikanmu, pada impianmu.”

Rina menggigit bibirnya, menahan isakan. Ia tahu Daffa benar, tetapi hatinya tidak siap menerima kenyataan ini. “Jadi, ini akhirnya?” tanya Rina dengan suara gemetar.

Daffa mendekat, meraih tangan Rina dengan lembut. “Ini bukan akhir, Rina. Aku hanya butuh waktu. Jika perasaan ini memang nyata, maka waktu akan membuktikan segalanya.”

Rina menatap mata Daffa, mencari harapan di balik kata-katanya. “Jadi, kita hanya perlu menunggu?”

Daffa mengangguk pelan. “Ya, Rina. Menunggu dan berjuang dengan cara kita masing-masing.”

Hari-hari setelah pertemuan itu terasa seperti siksaan bagi Rina. Ia mencoba fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya selalu kembali pada Daffa. Setiap kali mereka berpapasan di koridor, Rina merasakan jarak yang tak terlihat, namun begitu terasa. Mereka tidak berbicara lagi seperti dulu, bahkan senyum pun jarang terukir di wajah mereka. Namun, Rina tahu bahwa perasaan itu masih ada, hanya terpendam di balik kesunyian.

Tiwi yang melihat perubahan Rina hanya bisa memeluknya erat. “Rin, aku tahu ini sulit. Tapi kamu harus tetap kuat. Jika kamu memang mencintainya, kamu harus percaya bahwa ini hanya ujian.”

Rina mengangguk sambil menghapus air mata yang jatuh di pipinya. “Aku tahu, Wi. Aku hanya berharap waktu benar-benar bisa menyembuhkan dan mempertemukan kami kembali.”

“Dan sampai saat itu tiba, kamu harus terus berjuang untuk dirimu sendiri, Rin,” ujar Tiwi dengan tegas. “Daffa pasti juga sedang sangat berjuang dengan caranya.”

Kata-kata Tiwi memberinya sedikit kekuatan. Rina tahu bahwa ia tidak sendirian. Meski terasa berat, ia harus berjuang untuk dirinya sendiri, untuk masa depannya, dan untuk cinta yang ia yakini.

Di sisi lain, Daffa duduk di ruang kerjanya, sambil menatap foto keluarga yang ada di mejanya. Ia merasakan kebingungan yang sama. Perasaannya pada Rina begitu nyata, namun tanggung jawabnya sebagai seorang dosen membuatnya terjebak dalam dilema yang sulit. Daffa memutuskan untuk menjaga jarak, bukan karena ia tidak mencintai Rina, tetapi justru karena ia mencintainya.

“Hanya waktu yang bisa menjawab, Rina,” bisiknya pelan, seolah berkata pada Rina meski mereka terpisah oleh jarak dan keadaan.

Daffa menghela napas, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Bahwa pada akhirnya, mereka akan menemukan jalan untuk kembali bersama, jika memang cinta mereka sekuat yang mereka rasakan.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerita ini bukan sekadar kisah cinta biasa, melainkan sebuah perjalanan penuh emosi yang mengajarkan kita tentang arti cinta sejati, pengorbanan, dan harapan. Rina dan Daffa telah melewati berbagai cobaan yang menguji ketulusan perasaan mereka. Meski cinta mereka terhalang oleh norma dan perbedaan status, hati mereka tetap berjuang dan saling percaya. Apakah waktu benar-benar akan menyatukan mereka kembali? Hanya dengan membaca hingga akhir, Anda akan menemukan jawabannya. Cinta, pada akhirnya, selalu menemukan jalannya.

Leave a Reply