Daftar Isi
Jadi, kalian pernah nggak sih ngerasain cinta yang nggak pernah balik lagi? Kayak kita udah ngasih hati seutuhnya, tapi malah cuma dianggap temen doang. Gimana rasanya? Pasti nyesek banget, kan? Nah, cerita ini bakal nyeritain tentang perjalanan seorang remaja yang ngalamin langsung gimana rasanya jatuh cinta dan berharap lebih.
Namun akhirnya cuma bisa menerima kenyataan pahit. Cinta bertepuk sebelah tangan emang nggak enak, tapi siapa tahu dari sini kita bisa belajar sesuatu yang lebih besar. Yuk, baca cerita ini sampai habis!
Cerpen Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
Harapan di Balik Senyuman
Suara derap langkah kaki siswa-siswa yang keluar dari kelas membuat koridor sekolah ramai. Zaf melangkah dengan pelan, matanya terfokus pada bangku kosong yang ada di belakang kelas, tempat yang biasanya ia duduki setiap hari. Hari itu terasa biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Namun ada sesuatu yang membuat dadanya sedikit lebih sesak. Sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan, bahkan pada dirinya sendiri. Cinta, mungkin. Tapi ia tak pernah merasa cukup berani untuk menyebutkan kata itu.
Alisa. Nama itu berputar-putar dalam kepalanya seperti lagu yang tak bisa berhenti diputar. Gadis itu, yang selalu terlihat ceria dengan senyuman manis yang seolah bisa membuat siapa saja terpesona. Alisa bukan tipe cewek yang langsung mencuri perhatian seperti Kimi yang selalu dikerumuni teman-temannya. Tapi ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan, yang membuat Zaf merasa ada yang mengikat dirinya pada sosok itu. Meski hanya sekedar teman sekelas, rasa itu berkembang begitu dalam, begitu tanpa bisa ia hentikan.
Pagi itu, saat bel masuk berbunyi, Zaf seperti biasa duduk di bangku belakang kelas, membuka buku dan berusaha fokus pada pelajaran. Namun, matanya tak bisa lepas dari Alisa yang duduk di depan, tampak asyik berbicara dengan Della. Mereka tertawa, sesekali Alisa menoleh ke belakang, dan untuk sesaat, mata mereka bertemu. Zaf merasa detak jantungnya berdegup kencang, meski hanya dalam sekejap. Hanya senyuman singkat yang tercipta, lalu Alisa kembali berbicara dengan Della. Zaf berusaha menenangkan dirinya, menelan rasa cemas yang menyelimuti. Tapi ia tahu, ia tak bisa menyembunyikan perasaan itu. Cinta ini sudah terlalu besar untuk dibiarkan terpendam.
Sore harinya, setelah pelajaran selesai, Zaf melangkah keluar dari kelas dan berjalan menyusuri koridor yang ramai dengan siswa-siswa yang baru saja pulang. Hatinya tak bisa berhenti memikirkan Alisa. Ia melihat Alisa bersama Kimi, tertawa lepas dan berbicara dengan penuh semangat. Mereka berdua seolah memiliki dunia mereka sendiri. Zaf menghentikan langkahnya sejenak, memerhatikan mereka dari kejauhan. Cemburu, entah bagaimana ia bisa merasakannya. Cemburu pada Kimi yang bisa begitu dekat dengannya, bisa membuat Alisa tertawa seperti itu. Zaf ingin menjadi bagian dari tawa itu, ingin merasakan kehangatan dalam percakapan mereka, tapi ia tahu, itu hanya harapan kosong.
Langkah kaki Zaf akhirnya terhenti ketika Alisa menoleh ke arahnya, seolah merasakan kehadirannya. Zaf dengan cepat menundukkan kepala, berusaha untuk tidak terlihat gelisah. Tapi, tidak lama kemudian, Alisa tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya. “Zaf, kamu mau ikut ke acara di aula nanti?” katanya dengan suara ceria, seperti tidak ada apa-apa.
Zaf terdiam sejenak. “Ah, iya, kalau ada waktu…” jawabnya, meski hati kecilnya tahu bahwa ia hanya berkata begitu untuk menghindari kekecewaan. Alisa tidak tahu apa yang ia rasakan. Bagi Alisa, Zaf hanya seorang teman, seseorang yang hanya sebatas teman sekelas, tidak lebih. Tapi bagi Zaf, perasaan itu jauh lebih dalam.
Setelah percakapan singkat itu, Zaf melanjutkan langkahnya menuju ruang kelas. Ia merasa sedikit lega, meski rasa itu masih ada, menggantung di dadanya. Setiap kali Alisa melirik ke arahnya, ia merasakan harapan kecil yang seolah tumbuh kembali. Harapan bahwa suatu hari, Alisa akan melihatnya lebih dari sekadar teman sekelas. Harapan yang ia simpan rapat-rapat dalam hatinya, meskipun ia tahu itu mungkin tak akan pernah terwujud.
Hari-hari berlalu dengan Zaf terus berusaha mengalihkan perhatiannya. Belajar, membantu teman sekelas, dan mencoba fokus pada pelajaran. Tapi, setiap kali Alisa berbicara atau tertawa, hatinya kembali terhenti, terhanyut dalam perasaan yang tak pernah bisa ia ungkapkan. Ia mulai merasa lelah. Lelah dengan perasaan ini, lelah dengan ketidakpastian, dan lelah dengan kenyataan bahwa ia tak pernah bisa menjadi lebih dari sekadar Zaf yang duduk di bangku belakang kelas.
Suatu hari, ketika waktu istirahat tiba, Zaf duduk di luar kelas, menatap langit yang mendung. Matanya terpejam, berusaha mengusir pikiran-pikiran yang terus mengganggu. Namun, suara langkah kaki menghentikan lamunannya. Zaf membuka mata dan melihat Alisa berjalan mendekat, tangan memegang buku catatan, tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Zaf hanya bisa tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa canggung.
“Zaf, kamu lagi apa?” tanya Alisa, suaranya lembut, seolah tak menyadari bahwa Zaf sedang dihantui perasaan yang tak bisa diungkapkan.
“Enggak apa-apa, cuma mikirin tugas,” jawab Zaf, berusaha terdengar biasa.
“Boleh bantuin, enggak?” Alisa melanjutkan, duduk di sebelah Zaf. Zaf merasa seakan seluruh dunia berputar di sekitarnya, namun ia berusaha untuk tetap tenang.
“Boleh sih…,” jawabnya pelan, hati berdebar. Setiap detik yang mereka habiskan bersama terasa begitu berarti, meski Zaf tahu ini hanya sebatas percakapan biasa. Tak lebih dari itu.
Perasaan itu semakin berkembang dalam diam. Zaf tahu, ia tak akan pernah bisa menjadi lebih dari yang Alisa lihat. Tapi ia juga tahu, setiap detik yang ia habiskan bersama Alisa, meski hanya sebatas teman sekelas, adalah sesuatu yang tak bisa ia lupakan.
Cemburu yang Tersembunyi
Minggu-minggu berlalu dengan Zaf yang terus berusaha meredam perasaannya, meski semakin hari perasaan itu semakin sulit untuk disembunyikan. Ia berusaha menjaga jarak, tapi pada kenyataannya, ia tak bisa benar-benar menjauh. Alisa masih sering melontarkan senyum dan sapaan ringan yang membuat Zaf merasa seperti terjebak dalam lingkaran yang tak bisa ia keluar. Setiap tatapan, setiap kalimat ringan yang keluar dari mulutnya, semakin menguatkan harapan yang Zaf tahu seharusnya ia lupakan.
Hari itu, cuaca mendung, dan hujan deras turun begitu saja setelah pelajaran terakhir selesai. Zaf melihat teman-temannya sudah berkumpul, sebagian menuju kantin, sebagian lagi berkumpul di sudut-sudut sekolah. Namun, matanya lebih tertuju pada Alisa yang tampak bingung mencari sesuatu di dalam tas ranselnya. Tak lama kemudian, Kimi datang mendekat, berbicara dengan nada yang sangat akrab, dan membuat Zaf merasa aneh. Mereka berdua tertawa, sangat dekat, dan Zaf tahu perasaan itu—cemburu, yang datang begitu tiba-tiba, menggerogoti hatinya.
“Eh, Kimi, kamu ke kantin bareng ya?” Alisa bertanya sambil menutup tasnya. Zaf hanya bisa diam, menatap mereka berdua dari kejauhan. Ada sesuatu yang menusuk dada Zaf, membuatnya merasa seperti tak punya tempat di antara mereka.
Kimi menjawab dengan semangat, “Ayo, bareng-bareng! Kamu kan mau beli minuman dingin, kan?”
Alisa mengangguk, melirik sekilas ke arah Zaf, yang masih terdiam di tempatnya. Mata Zaf bertemu dengan matanya, dan untuk sesaat, ia merasa seolah-olah waktu berhenti. Sebuah senyum kecil terukir di wajah Alisa, tetapi Zaf tahu itu hanya senyum biasa. Senyum yang tak berarti apapun. Hanya senyum kepada seorang teman. Tidak ada yang lebih.
Zaf mencoba menelan rasa cemburu yang meluap, berusaha untuk tidak terlihat canggung. “Aku… mungkin ke perpustakaan dulu,” jawabnya pelan, meski suara hatinya berteriak ingin melibatkan diri. Ia tahu, itu hanya akan membuatnya semakin sakit.
Alisa tidak berkata apa-apa lagi, hanya mengangguk dan melangkah pergi bersama Kimi. Zaf berdiri mematung, menatap mereka berdua, menyadari bahwa dirinya hanyalah penonton dalam cerita yang bukan miliknya. Cemburu itu semakin menyiksa, semakin membuatnya merasa tak berharga.
Hari-hari berikutnya tidak banyak berbeda. Setiap kali Zaf bertemu Alisa, ia hanya bisa melihat dari kejauhan. Percakapan mereka selalu ringan, tidak pernah lebih dari sekadar pembicaraan tentang pelajaran atau acara sekolah. Zaf tahu, tidak ada ruang untuknya dalam hidup Alisa. Setiap tawa mereka, setiap kebersamaan mereka, semakin menorehkan luka di dalam hati Zaf. Cinta yang ia pendam semakin membuatnya frustasi, dan ia mulai merasa semakin terpinggirkan.
Suatu siang, ketika pelajaran sudah berakhir dan siswa-siswa mulai meninggalkan kelas, Zaf duduk sendiri di bangku taman sekolah. Hujan sudah reda, meninggalkan langit yang cerah dengan cahaya matahari yang menyinari permukaan daun. Namun hatinya tetap mendung, seolah-olah langit yang cerah pun tidak bisa mengusir awan gelap di dalam dirinya.
Alisa lewat dengan teman-temannya, tertawa riang. Tawa yang membuat Zaf merasakan sakit di dadanya. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikannya, meski setiap detik yang ia habiskan dengan menatapnya, perasaan itu semakin dalam dan semakin menyiksa. Zaf tahu, ia tak akan pernah menjadi bagian dari kebahagiaan itu.
Tidak lama setelah itu, Alisa mendekat dan duduk di samping Zaf. Zaf terkejut, tapi berusaha menyembunyikan rasa canggungnya. “Zaf, kenapa duduk sendirian? Ada yang nggak enak?” tanyanya dengan suara lembut, yang seolah bisa menenangkan hati siapa saja. Tetapi, bagi Zaf, suara itu hanya semakin menyakitkan.
“Aku nggak apa-apa kok,” jawabnya, berusaha tersenyum. “Lagi mikirin tugas aja.”
Alisa mengangguk, tampak tidak terlalu peduli. “Oh, gitu. Kalau butuh bantuan, bilang aja ya.”
Zaf mengangguk pelan. Ada rasa kesal yang tertahan, tapi ia berusaha menahannya. “Makasih,” jawabnya singkat, lalu melanjutkan menatap ke depan.
Tapi Alisa sepertinya merasa aneh dengan suasana itu. “Zaf, ada yang aneh ya?” tanyanya, sambil memiringkan kepalanya. “Kamu nggak biasanya gini.”
Zaf menahan napas sejenak. “Nggak apa-apa, Alis. Beneran, cuma capek aja.”
Alisa tidak memaksa lagi, tetapi Zaf bisa merasakan ada kekosongan di antara mereka. Ada jarak yang tidak bisa dijelaskan, meskipun ia masih berada di dekat Alisa. Rasanya, meski mereka berdua duduk berdampingan, dunia mereka sangat berbeda.
Setelah beberapa menit, Alisa bangkit berdiri. “Oke deh, aku balik ke kelas dulu. Jangan lupa kalau butuh apa-apa, ya.”
Zaf hanya bisa mengangguk. “Iya, makasih.”
Alisa pergi dengan langkah ringan, meninggalkan Zaf sendiri dengan pikirannya. Ketika Alisa hilang dari pandangan, Zaf menundukkan kepala, menghela napas panjang. Sakit. Ia merasa begitu jauh, seperti tak memiliki tempat di dunia yang sedang berputar di sekitar Alisa. Semua harapan yang ia simpan selama ini terasa semakin rapuh, semakin hilang. Ia tahu, untuk cinta ini, tak ada ruang untuknya. Tapi dia masih berharap, meski tahu itu hanyalah harapan yang sia-sia.
Zaf duduk diam di tempat itu, menyadari bahwa terkadang, cinta bukan hanya tentang mendapatkan, tapi juga tentang melepaskan.
Kepedihan yang Tersisa
Zaf melangkah keluar dari kelas dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang menekan dadanya, menghimpit setiap detak jantungnya. Alisa. Ya, dia baru saja mengatakan bahwa dia tahu perasaannya, dan meski dengan cara yang lembut, itu tetap menghancurkan. Tak ada lagi ruang untuk berharap. Tidak ada lagi kesempatan untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar teman.
Dia merasa seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah. Ke mana harus melangkah setelah semua yang ia simpan dalam hati terasa sia-sia? Seharian penuh, ia seperti berjalan dalam kabut—semua orang di sekitarnya terlihat begitu jelas, namun ia sendiri tidak tahu kemana harus melangkah. Alisa, yang seharusnya menjadi alasan kebahagiaannya, kini justru menjadi sumber kesedihan yang mendalam.
Zaf duduk di bangku taman sekolah, tempat yang biasanya menjadi pelariannya ketika dunia terasa terlalu keras. Pikirannya mulai melayang, mengenang semua saat-saat manis bersama Alisa. Setiap percakapan ringan, setiap tawa yang tertukar, semuanya kini terasa kosong. Seperti angin yang datang dan pergi tanpa memberi jejak.
Tak lama, Arka, teman lama yang sudah cukup lama tak berbicara banyak dengannya, datang menghampiri. Arka duduk di sampingnya tanpa bertanya apa-apa, hanya menyodorkan sebuah botol air mineral.
“Lo lagi ngelamun, Zaf,” kata Arka santai. “Ada apa?”
Zaf menghela napas panjang. “Gue… gue nggak tahu lagi, Ark. Gue cuma ngerasa capek. Capek berharap, capek ngejalanin perasaan yang nggak pernah dibales.”
Arka hanya mengangguk, seolah mengerti meskipun tak sepenuhnya. “Cinta itu emang aneh, bro. Lo bisa ngasih hati, tapi kadang nggak ada yang balik. Yang lo bisa lakuin cuma terima kenyataan, atau lo bakal terjebak terus.”
Zaf menatap Arka. Kata-katanya seperti tamparan keras. “Tapi gimana caranya berhenti, Ark? Gimana gue bisa berhenti dari semua yang udah gue rasain?”
Arka terdiam sejenak, memilih kata-kata. “Gue nggak bisa jawab itu buat lo. Tapi satu hal yang pasti, Zaf. Lo nggak bisa hidup buat orang lain. Lo nggak bisa terus berharap sama orang yang nggak ngasih respon yang sama. Kalau lo terus-terusan kayak gitu, lo cuma bakal nyakitin diri lo sendiri.”
Zaf merasa seperti ada yang terbuka di dalam dirinya. Arka benar. Ia sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang perasaan yang tak pernah dibalas. Ia tak bisa terus mengandalkan harapan yang tak pasti. Ia butuh untuk melepaskan, untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri.
Setelah beberapa saat terdiam, Zaf akhirnya berkata dengan suara pelan, “Makasih, Ark. Gue tahu lo cuma ngomong yang bener.”
Arka tersenyum, memberi anggukan. “Lo tahu kan, gue bakal ada buat lo. Kadang, yang paling penting itu bukan siapa yang lo cintai, tapi siapa yang ada di sisi lo waktu lo lagi butuh.”
Zaf mengangguk, merasa sedikit lebih ringan. Meskipun rasa sakit itu masih ada, dan meskipun kenyataan ini tetap terasa pahit, dia tahu ada langkah-langkah yang harus diambil untuk memulai perjalanan baru. Perasaan itu mungkin belum hilang sepenuhnya, tapi setidaknya dia mulai belajar untuk menghadapinya.
Melangkah Maju, Meninggalkan Bayang-Bayang
Waktu terus berputar, dan Zaf merasakan setiap detiknya begitu berat. Seperti sebuah perjalanan yang tak pernah ia pilih, namun harus ia jalani. Hari-hari yang semula terasa penuh harapan kini berubah menjadi beban yang semakin sulit untuk dipikul. Namun, pada titik tertentu, Zaf mulai sadar bahwa mungkin sudah saatnya untuk berhenti menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang.
Alisa masih seperti biasa, ceria, penuh tawa dan harapan, sementara Zaf semakin terjebak dalam bayang-bayang perasaannya sendiri. Cinta yang ia simpan semakin menekan, semakin mengikatnya pada kenyataan yang pahit. Ia sudah terlalu lama berusaha meyakinkan dirinya bahwa suatu hari Alisa akan melihatnya lebih dari sekadar teman, tetapi kini, ia sadar bahwa itu tidak lebih dari sekadar angan-angan yang tak akan pernah terwujud.
Suatu sore, ketika pelajaran selesai dan sekolah mulai sepi, Zaf duduk di pojok taman sekolah yang sepi. Ia tidak tahu lagi harus ke mana, karena perasaannya begitu kacau. Hatinya terasa kosong, seperti ada lubang besar yang sulit untuk diisi. Di tengah kesendiriannya, seseorang mendekat. Suara itu begitu familiar, dan Zaf tahu siapa yang datang.
“Zaf, kamu lagi sendiri?” suara Alisa terdengar lembut, namun kali ini berbeda. Zaf bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya. Tidak seperti biasanya, suara itu terdengar penuh dengan keprihatinan, seolah-olah Alisa merasa ada yang tidak beres dengan dirinya.
Zaf menatapnya, mencoba tersenyum meski hatinya terasa perih. “Iya, lagi butuh waktu sendiri,” jawabnya, berusaha tidak memberi kesan terlalu terbuka.
Alisa duduk di sebelahnya, tanpa bertanya lebih jauh. Mereka berdiam sejenak, hanya suara angin yang terdengar di sekitar mereka. Zaf merasa canggung, tidak tahu harus berkata apa. Selama ini, Alisa selalu berada di luar jangkauannya, namun sekarang, dia ada di sampingnya, dalam kesunyian yang membuat Zaf merasa semakin kehilangan arah.
“Aku tahu kamu nggak nyaman, Zaf,” Alisa akhirnya berkata, membuat Zaf terkejut. “Aku tahu kamu… suka sama aku, kan?”
Zaf terdiam, dadanya serasa sesak mendengar kalimat itu. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar hal seperti itu, tapi kali ini rasanya berbeda. Terkadang, kata-kata bisa terasa lebih tajam daripada apapun, dan Zaf merasa seperti ditusuk oleh kenyataan yang ia coba hindari.
“Alisa…” Zaf terhenti sejenak. Ia ingin mengatakan banyak hal, ingin meluapkan semua perasaan yang telah lama dipendam. Tapi kata-kata itu tetap tertahan.
“Maafkan aku, Zaf,” Alisa melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. “Aku nggak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti ini. Aku nggak tahu kalau kamu merasakan hal itu.”
Zaf menundukkan kepala. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengakhiri semuanya. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada berharap pada sesuatu yang tak pernah ada. Zaf sudah terlalu lama merasakan sakit ini, dan kini, ia tahu sudah saatnya untuk melepaskan. Melepaskan cinta yang tak pernah ia miliki. Melepaskan perasaan yang telah lama ia tahan.
“Aku… nggak apa-apa, Alisa,” jawabnya, meski kata-kata itu terasa pahit di lidah. “Aku cuma… aku cuma butuh waktu buat sendiri. Aku nggak bisa terus berharap kalau aku tahu aku nggak akan pernah mendapatkan apa yang aku inginkan.”
Alisa diam sejenak, lalu mengangguk. “Aku ngerti, Zaf. Aku minta maaf kalau aku bikin kamu merasa nggak nyaman. Aku nggak tahu harus gimana lagi. Kamu itu teman yang baik, dan aku nggak ingin kehilangan teman baik seperti kamu.”
Zaf hanya mengangguk. Keputusan sudah diambil. Mungkin ia harus lebih bijak dengan perasaannya. Mungkin, ia harus belajar untuk berhenti menunggu dan mulai membuka hati untuk hal-hal yang lebih penting daripada hanya sekadar cinta yang tak terbalas.
Hari itu, Zaf pulang dengan langkah yang lebih ringan. Tidak ada lagi beban yang mengikat hatinya, meski rasa sakit itu masih ada. Ia sadar, melepaskan bukan berarti melupakan. Melepaskan adalah tentang memberi diri kesempatan untuk tumbuh dan menemukan kebahagiaan tanpa harus bergantung pada orang lain.
Beberapa minggu kemudian, Zaf memutuskan untuk fokus pada dirinya sendiri. Ia mulai lebih aktif dalam kegiatan sekolah, berbicara dengan teman-teman yang selama ini ia abaikan, dan mulai merasakan kembali kebahagiaan yang sempat hilang. Tak lama kemudian, Alisa pun semakin jarang muncul dalam pikirannya.
Zaf tahu, perjalanan cintanya tidak berakhir seperti yang ia harapkan, tetapi dari situ, ia belajar satu hal penting: cinta tak selalu harus berujung bahagia, tetapi dari kegagalan cinta, kita bisa menemukan kekuatan untuk menjadi lebih baik, untuk menjadi lebih dewasa, dan untuk lebih menghargai diri sendiri.
Dengan langkah yang lebih pasti, Zaf melangkah ke depan, meninggalkan bayang-bayang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Kini, ia tahu bahwa kebahagiaan bukanlah milik orang lain yang kita idamkan, tapi adalah sesuatu yang harus kita ciptakan sendiri.
Jadi, meskipun cinta itu nggak selalu berbalas, kita tetap bisa belajar banyak dari pengalaman itu. Kadang, yang terpenting bukanlah siapa yang kita cintai, tapi bagaimana kita bisa bangkit dan melanjutkan hidup meskipun rasa sakit itu ada.
Semua yang kita alami, baik itu kecewa atau patah hati, adalah bagian dari perjalanan menuju versi terbaik dari diri kita. Jadi, buat kalian yang lagi ngalamin hal serupa, inget aja, kalian nggak sendirian. Dan siapa tahu, cinta yang lebih baik bakal datang di waktu yang tepat. Keep going!