Cinta Tak Dianggap: Kisah Perjalanan Luka, Kecewa, dan Mencari Kedamaian dalam Kesendirian

Posted on

Pernah nggak sih, ngerasa kamu udah kasih semua yang terbaik buat seseorang, tapi tetep aja nggak dianggap? Kayak udah ngasih perhatian, cinta, dan waktu, tapi akhirnya kamu cuma jadi penonton dalam cerita mereka.

Cerita ini mungkin bakal bikin kamu ngerasa relate banget, soal gimana rasanya cinta yang nggak pernah terbalas, dan gimana caranya terus bertahan meski hati udah lama terluka. Yuk, ikuti perjalanan Renzi yang berusaha melepaskan cinta yang tak pernah dihargai, sambil nyari kedamaian dalam kesendirian.

 

Cinta Tak Dianggap

Bayanganku di Balik Senyumanmu

Malam itu, aku duduk di kursi taman belakang rumahmu, menatap langit yang gelap, hampir tak ada bintang. Hanya ada satu titik terang di kejauhan sana—mungkin planet atau pesawat terbang. Tapi aku lebih suka membayangkan itu adalah harapan yang masih menyala, meski lemah, meski hampir redup. Aku sudah terlalu lama menunggu, sudah terlalu sering berharap, meski aku tahu itu hanya ilusi yang ku buat sendiri.

Kierra baru saja masuk ke dalam rumah setelah malam yang panjang bersama teman-temannya. Dan aku, seperti biasa, mengantarnya pulang. Aku selalu menganggap itu bagian dari rutinitasku, seolah aku adalah penjaga yang setia. Padahal, di dalam hati, aku sudah terlalu lama merasa bukan siapa-siapa.

Aku tak tahu apa yang membuatku tetap bertahan. Mungkin karena aku tak pernah tahu bagaimana cara berhenti mencintaimu, meski cintaku sudah lama terpendam tanpa pernah diakui. Atau mungkin, karena aku takut kehilangan kenangan-kenangan indah yang pernah kita bagikan dulu, saat kita masih anak-anak yang berlari bersama di halaman belakang rumahmu, tanpa beban, tanpa prasangka.

Langkahku terdengar pelan di sepanjang jalan setapak menuju rumahmu. Aku mendengar suara tawa kamu dari dalam, mencairkan keheningan malam. Aku tahu itu suara kamu, Kierra, suara yang sudah sangat aku kenal. Namun, entah mengapa, suara itu tak pernah terdengar seindah dulu. Sekarang, lebih sering terdengar seperti jarak yang semakin jauh di antara kita.

Saat aku menatapmu, aku tahu kamu tak melihatku dengan cara yang sama lagi. Kamu lebih sering berbicara tentang dia—teman-teman barumu, orang-orang yang lebih penting dari aku. Aku hanya sebuah tempat singgah, tempat untuk kamu berbagi cerita tentang hari-harimu. Sesekali, aku berharap kamu akan bertanya tentang aku, tentang bagaimana perasaanku, meski aku tahu itu hanya akan jadi harapan kosong.

“Kamu capek?” tanya kamu dengan nada yang aku tahu, cuma basa-basi. Tak ada rasa peduli di sana, hanya sekadar kebiasaan yang sudah kamu bangun selama bertahun-tahun.

Aku tersenyum, meski dalam hati aku tahu itu cuma senyum palsu. “Enggak kok. Aku baik-baik aja.” Aku mencoba meyakinkanmu, meski aku sendiri tak yakin dengan kata-kataku.

Kamu melirikku, seolah memeriksa. “Benar?” matamu yang cerah menatapku, seakan mencari tahu sesuatu yang tak pernah kamu temukan. Mungkin, kamu mencari kebenaran di balik senyumanku. Tapi aku sudah terlalu lama memalsukan itu. Sudah terlalu lama aku menyembunyikan perasaan yang membuncah dalam dada.

“Ya, benar.” Aku mencoba meyakinkanmu lagi, meskipun sejujurnya aku ingin berteriak, ingin kamu tahu bagaimana rasanya menjadi seseorang yang terus-menerus diberi harapan palsu. Tapi, aku memilih diam. Aku memilih untuk menyembunyikan segalanya, seperti yang selalu aku lakukan.

Kamu hanya mengangguk pelan dan terus melangkah masuk ke dalam rumah. Aku berdiri di depan pintu rumahmu, menatap punggungmu yang semakin menjauh. Ada sedikit rasa sesak di dadaku, seperti ada sesuatu yang terpendam yang tak bisa keluar begitu saja.

“Aku… baik-baik aja,” bisikku pada diriku sendiri.

Kamu melambaikan tanganmu dengan cepat, seolah itu sudah menjadi kebiasaan, sebelum akhirnya pintu rumahmu tertutup. Aku berdiri di sana untuk beberapa detik, membiarkan angin malam mengelus wajahku, mencoba menenangkan diri. Tapi kenyataannya, aku tidak pernah merasa tenang. Aku selalu cemas, selalu menunggu, meski aku tahu tak ada yang pernah datang.

Aku berjalan perlahan menuju trotoar, mencari tempat untuk duduk. Matahari baru saja terbenam, dan jalanan mulai sepi. Aku duduk di sana, menatap langit yang kosong, mencoba menenangkan pikiran. Aku sudah terlalu sering berada dalam situasi seperti ini—di mana aku merasa terabaikan, di mana aku hanya menjadi bagian dari latar belakang hidupmu, bukan pusat dari ceritamu.

Aku mulai berpikir tentang semua kenangan kita. Dulu, kita selalu bercanda bersama, tertawa tanpa henti. Kita berbicara tentang masa depan, tentang bagaimana kita akan selalu bersama. Tapi, semua itu sepertinya hanya ada dalam mimpiku. Kini, aku hanya menjadi penonton dalam hidupmu, melihatmu menjalani semuanya tanpa bisa ikut merasakannya.

“Tunggu, Renzi,” katanya di suatu waktu dulu, dengan senyum lebar di wajahmu. “Suatu hari, kita pasti akan tetap bersama, kan?”

Tapi aku tahu, Kierra, bahwa janji itu hanya ada di masa lalu. Kini, kita sudah jauh berbeda. Kita telah berubah, dan aku tidak bisa lagi berharap pada hal yang sama.

Aku memejamkan mata dan menarik napas panjang, mencoba mengusir semua pikiran yang berkelebatan. Tapi, entah kenapa, aku merasa tak mampu untuk melepaskan. Aku ingin menahan semuanya, meski itu berarti harus terus berada di sini, dalam bayanganmu, dengan cinta yang tak pernah dianggap.

“Selamat malam, Kierra,” bisikku pelan. Tapi malam itu, aku tidak yakin kamu bisa mendengarnya.

 

Senyum yang Tak Pernah Aku Rasakan

Hari-hari berlalu tanpa ada perubahan. Aku tetap di sini, menunggu, menyaksikan hidupmu berjalan tanpa aku. Setiap kali aku melihatmu tertawa bersama teman-temanmu, atau mendengar cerita tentang dia—tentang kekasihmu yang baru—aku hanya bisa terdiam. Aku belajar untuk tidak mengatakan apa-apa, hanya menjadi pendengar setia yang terus meredam rasa sakit itu.

Kamu tetap sama, Kierra. Ceria, penuh semangat, dan tak pernah merasa kekurangan apa-apa. Tapi aku tahu, di balik semua itu, ada satu hal yang selalu tak terungkap. Aku merasa seperti sebuah bagian dari puzzle yang tak pernah cukup untuk melengkapi gambarmu. Kamu mungkin tidak sadar, tapi aku sudah lama ada di sini—terus berada dalam bayang-bayangmu, tetap dengan harapan kosong yang tak kunjung padam.

Aku ingat, beberapa hari yang lalu, kamu mengajakku untuk pergi ke kafe, hanya berdua. Aku tahu, kamu hanya ingin menghabiskan waktu dengan teman-temanmu, tapi entah kenapa kamu memilih aku. Mungkin karena kamu merasa nyaman, atau mungkin karena kamu tahu aku tak akan pernah menolak untuk berada di sampingmu. Bahkan jika itu hanya untuk sekadar menemanimu saat kamu merasa bosan.

“Renzi,” kamu memulai percakapan dengan suaramu yang ringan, seperti angin yang menyentuh permukaan air. “Aku benar-benar bingung akhir-akhir ini.”

Aku menatapmu, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa sakitnya mendengar kalimat itu. “Kenapa?” tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak apa yang akan keluar dari mulutmu.

Kamu mengerutkan dahi, menatap secangkir kopi yang setengah kosong di depanmu. “Aku merasa dia mulai berubah. Dia mulai sibuk dengan urusannya sendiri, dan aku merasa seperti… seperti aku bukan lagi yang utama di hidupnya.”

Aku hanya mengangguk, berusaha menjaga ekspresi wajahku tetap tenang. “Mungkin kamu hanya perlu memberi sedikit ruang. Cinta itu butuh waktu untuk berkembang, kan?”

Kamu mengangkat pandanganmu dan tersenyum padaku, senyum yang aku tahu itu lebih untuk menenangkan dirimu sendiri daripada untukku. “Kamu benar, Renzi. Mungkin aku terlalu cemas.”

Hatiku terasa sesak mendengar itu, tapi aku tidak mengatakannya. Aku hanya tersenyum, meskipun senyum itu terasa semakin sulit untuk dipertahankan. Aku bisa saja mengatakan bahwa aku juga merasakannya—bahwa aku juga merasa tak pernah menjadi yang utama dalam hidupmu. Tapi itu akan sia-sia. Kamu tidak akan pernah mengerti.

Selama ini, aku sudah terbiasa menjadi bagian dari bayanganmu, bersembunyi di balik senyumanmu yang manis, bersembunyi di balik kata-kata yang kamu ucapkan untuk membuat dirimu merasa lebih baik. Aku sudah cukup lama menahan perasaan ini, meskipun setiap kali aku melihatmu, aku merasa semakin terluka.

Aku menundukkan kepala, mencoba menenangkan diriku sendiri. “Tapi kamu harus ingat, Kierra, bahwa kadang-kadang kita memang harus menghadapi kenyataan bahwa orang yang kita cintai tidak selalu bisa memberi apa yang kita harapkan. Mungkin, kadang-kadang, kita hanya harus menerima bahwa cinta tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan.”

Kamu menatapku lebih lama, seolah mencoba mencari tahu apakah ada kebenaran dalam kata-kataku. “Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan,” katanya pelan, dan aku hampir tidak bisa mendengar suara itu. “Tapi kenapa kamu selalu tampak baik-baik saja? Kenapa kamu selalu bisa tenang, Renzi?”

Aku menatapmu, merasakan sebuah tarikan berat di dalam dadaku. Kenapa aku selalu tampak baik-baik saja? Kenapa aku selalu bisa tetap tenang, meskipun di dalam hati aku merasa hancur? Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan perasaan ini—terbiasa dengan kenyataan bahwa aku tak akan pernah lebih dari sekadar teman dalam hidupmu.

“Karena,” aku berhenti sejenak, mencoba menyusun kata-kata yang bisa membuatmu merasa nyaman tanpa harus mengungkapkan perasaan sebenarnya, “aku sudah lama belajar untuk menerima kenyataan, Kierra.”

Kamu tampak terdiam, memikirkan jawabanku. Aku bisa merasakan ada ketegangan di udara, meskipun kamu mencoba untuk menyembunyikannya. Aku tahu, kamu tidak pernah benar-benar melihatku, meskipun aku sudah berusaha menunjukkan siapa aku sebenarnya. Aku bukan hanya teman yang selalu ada untukmu. Aku lebih dari itu, Kierra. Tapi aku tahu, aku tak akan pernah bisa mengungkapkannya.

Akhirnya, kamu menghela napas dan tersenyum lagi, meskipun senyum itu tak pernah bisa menembus rasa sakit yang ada di dalam hatiku. “Terima kasih, Renzi,” katanya lembut. “Aku senang bisa berbicara denganmu. Kamu memang selalu ada untukku.”

Aku merasa seluruh tubuhku berat. Kata-kata itu selalu sama. Kamu selalu mengucapkannya, tetapi aku tahu, itu hanya kata-kata kosong yang tidak pernah menyentuh hatimu. Aku bukan siapa-siapa dalam hidupmu, dan aku sudah mulai menerima kenyataan itu. Tapi entah mengapa, aku tetap bertahan. Karena aku tahu, meskipun tak pernah dianggap, aku akan selalu mencintaimu.

 

Di Antara Harapan dan Kehilangan

Seminggu telah berlalu sejak pertemuan terakhir kita di kafe itu, namun rasanya, semuanya masih tetap sama. Hari-hariku berputar dengan cepat, seolah waktu ingin aku melupakanmu, tapi kenanganmu tetap ada di setiap sudut pikiranku. Aku terus berjalan di jalur yang sama—jalan yang aku tahu tak akan pernah membawaku ke tempat yang kuinginkan. Jalan yang tak akan pernah menuntunku pada sebuah pengakuan darimu, sebuah tempat di hatimu yang sudah sejak lama aku dambakan.

Aku melihatmu lagi hari itu, Kierra, saat kamu datang ke taman tempat aku biasa duduk sendirian. Kamu sedang berjalan dengan langkah ringan, membawa buku-buku yang selalu kamu bawa kemanapun, dengan wajah cerah yang tak pernah menunjukkan sedikitpun kerisauan. Kamu terlihat begitu sempurna, begitu jauh dari segala kekhawatiran. Sementara itu, aku hanya bisa menatapmu dari kejauhan, menahan segala perasaan yang ingin meledak begitu saja.

Kamu duduk di bangku sebelah, mengeluarkan buku dan mulai membaca. Aku tahu, ini adalah kebiasaanmu—mencari ketenangan di tengah kesibukan yang tak pernah ada habisnya. Aku ingin mendekat, ingin menyapamu, tapi aku tahu betul bahwa aku hanya akan mengganggu kedamaianmu. Jadi, aku tetap di tempatku, hanya menjadi pengamat dari jauh.

Tak lama kemudian, seorang pria datang menghampirimu. Aku mengenalnya, meskipun hanya sekilas. Namanya Damien, teman kuliahmu yang selalu ada di setiap kesempatan. Sejak pertama kali kamu mengenalnya, aku sudah bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda di antara kalian. Ada cara dia memandangmu, cara dia berbicara padamu, yang tidak pernah aku rasakan. Dan aku tahu, dia adalah orang yang bisa memberimu apa yang aku tak bisa beri—cinta yang kamu cari.

Damien duduk di sampingmu, dan aku bisa mendengar percakapan kalian meskipun jaraknya agak jauh. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang tugas kuliah, tentang kegiatan kampus, tentang teman-teman kalian. Aku melihat kalian tertawa bersama, berbagi cerita, dan aku merasa semakin kecil. Ada rasa yang berat di dadaku, seperti ada batu yang menekan, tapi aku tetap diam. Aku harus diam.

Kamu tertawa, Kierra, dan aku tahu itu bukan untukku. Senyum yang kamu berikan padaku sudah lama hilang. Sekarang, senyum itu hanya ada untuk Damien, untuk orang yang tak pernah tahu betapa lama aku menunggu, betapa sering aku terjebak dalam kebisuan ini. Aku menatap kalian, berusaha mengontrol perasaan yang mulai kacau. Semua kenangan yang kita buat bersama, semua janji yang pernah kita ucapkan, seolah hilang begitu saja, tergantikan oleh kehadiran orang lain.

Saat kalian berdua beranjak untuk pergi, aku berdiri dan melangkah pergi juga, meninggalkan taman yang sepi. Aku tahu, ini bukan pertama kalinya aku merasa seperti ini. Aku sudah terbiasa dengan perasaan terabaikan, dengan kenyataan bahwa kamu tidak pernah benar-benar membutuhkan keberadaanku. Tapi, entah kenapa, kali ini rasanya lebih sakit. Mungkin karena aku sudah terlalu lama berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa suatu hari, kamu akan melihatku, bahwa suatu hari, kamu akan menyadari betapa aku mencintaimu.

Kaki ku bergerak tanpa arah, seperti tubuh yang kehilangan kendali. Aku hanya berjalan, mengikuti arus kehidupan yang terus berputar, meskipun hatiku terperangkap dalam kebingungan yang tak pernah terpecahkan. Aku sudah mencoba untuk mundur, untuk berhenti berharap, tapi kenyataan itu selalu mengikutiku, terus membayangi setiap langkahku.

Aku berjalan melewati jalan yang biasa kita lewati bersama, tempat-tempat yang penuh dengan kenangan tentang kita. Semua itu terasa seperti ilusi, seperti sebuah kisah yang hanya ada dalam mimpi. Tempat-tempat yang dulu terasa penuh dengan tawa dan kebahagiaan, kini hanya menjadi tempat yang mengingatkan aku akan betapa jauh aku tertinggal.

Aku berhenti di sebuah persimpangan, menatap jalanan yang kosong. Aku tahu, aku harus melanjutkan hidupku, melangkah maju, meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi di depan sana. Tapi, saat aku berbalik, aku melihat sebuah bayangan yang familiar. Itu kamu, Kierra, sedang berjalan sendirian menuju arah yang sama.

Aku merasa cemas. Kenapa kamu ada di sini? Apakah kamu sedang mencari aku? Atau ini hanya kebetulan semata?

Kamu melambaikan tangan dengan senyum yang biasa, senyum yang dulu membuatku merasa segalanya mungkin. Tapi sekarang, senyum itu hanya membuat aku merasa semakin jauh. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahku terasa kelu. Aku ingin bertanya bagaimana perasaanmu, apakah kamu masih peduli padaku, apakah kamu pernah merasakan hal yang sama, tapi aku tahu, itu hanya akan memperburuk keadaan.

“Kierra,” aku akhirnya mengucapkan namamu pelan. Kamu berhenti dan menatapku, sedikit terkejut.

“Oh, Renzi,” jawabmu, senyum yang kamu beri lebih terasa seperti kebiasaan. “Kamu di sini?”

Aku mengangguk, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. “Ya, kebetulan aku lewat. Ada apa? Kenapa kamu sendirian?”

Kamu mengerutkan dahi, sejenak. “Aku cuma butuh waktu untuk diri sendiri. Kadang-kadang aku merasa seperti… seperti aku kehilangan arah,” katanya dengan nada yang terdengar agak cemas.

Aku merasa hatiku seperti terhenti sejenak. Kamu… kehilangan arah? Aku ingin berteriak, mengatakan bahwa aku di sini, bahwa aku selalu ada untuk kamu, tapi aku hanya diam. Aku hanya bisa menatapmu, mencoba menahan semuanya.

Aku tahu jawabanku sudah pasti. “Aku… aku harap kamu bisa menemukan arahmu, Kierra.”

Kamu tersenyum lagi, senyum yang kali ini terasa lebih jujur, meskipun aku tahu itu bukan untukku. “Terima kasih, Renzi. Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan.”

Kata-kata itu terasa lebih seperti penghiburan daripada kenyataan, dan aku tahu, tak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi.

Aku mengangguk pelan, dan kita berdua melanjutkan langkah masing-masing. Namun, kali ini, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Mungkin, ini adalah saatnya aku berhenti berharap, berhenti mencari tempat di hatimu yang tidak pernah ada untukku. Karena, pada akhirnya, kita hanya akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama—di antara harapan dan kehilangan.

 

Mencari Kedamaian dalam Kesendirian

Hari-hari berlalu seperti biasa, dan aku semakin terbiasa dengan kenyataan bahwa kita berada di jalur yang berbeda. Kamu dengan dunia kamu yang penuh dengan tawa dan cerita yang tidak pernah mengikutiku, dan aku—aku hanya menjadi seorang pengamat dari jauh, berharap suatu hari kamu bisa melihatku. Tapi kenyataan tak pernah seindah harapan, bukan? Seperti yang selalu aku tahu, kita tak akan pernah bisa saling menemukan pada waktu yang tepat. Kita tak akan pernah berjalan seiring, dan aku hanya bisa menerima itu dengan diam, tanpa bisa mengubah apapun.

Namun, meskipun aku sudah mulai melepaskan harapan itu, ada satu hal yang tetap bertahan: kenangan tentang kita. Itu mungkin hal yang paling sulit untuk aku tinggalkan. Kenangan itu seperti bayangan yang mengikuti langkahku, tidak bisa aku tinggalkan, bahkan ketika aku berusaha keras untuk melupakan. Kamu, dengan senyum manismu, dengan segala perhatian kecil yang pernah kamu berikan, masih tetap ada di benakku. Dan mungkin, itu yang selalu membuatku tidak bisa benar-benar pergi dari kamu, meskipun aku tahu, aku harus.

Pagi itu, aku duduk di sebuah bangku di taman yang sama, tempat kita dulu sering menghabiskan waktu bersama. Udara pagi terasa segar, dan suara burung yang bernyanyi di kejauhan membuat suasana semakin tenang. Aku memandang langit biru yang luas, merasa seolah-olah dunia ini begitu besar, sementara aku hanya sebutir debu yang terabaikan.

Aku tidak tahu apa yang aku harapkan dengan datang ke tempat ini. Mungkin, aku hanya ingin merasa sedikit dekat dengan kenangan kita. Tapi semakin aku menatap, semakin aku merasa bahwa semua itu sudah berlalu, bahwa tak ada yang tersisa lagi. Semua itu hanyalah bagian dari cerita yang sudah usai.

Aku mendengar langkah kaki mendekat, dan saat aku menoleh, aku melihat kamu, Kierra. Kamu datang sendirian, seperti biasa. Wajahmu tidak berubah, masih cerah seperti pagi yang penuh harapan. Kamu tersenyum saat melihatku, dan untuk sejenak, rasanya dunia ini berhenti berputar. Tapi aku tahu, senyum itu bukan untukku.

“Apa kabar, Renzi?” kamu bertanya dengan suara yang lembut, dan aku hanya bisa mengangguk pelan.

“Aku baik, Kierra,” jawabku, meskipun sejujurnya aku tidak merasa baik. Tapi aku tak ingin kamu tahu itu. Aku tak ingin kamu merasa bersalah atau kasihan padaku. “Kamu sendiri?”

“Kehidupanku berjalan seperti biasa,” jawabmu dengan senyum yang kembali merekah di wajahmu. “Aku senang bisa menemukan waktu untuk duduk dan menikmati ketenangan. Rasanya aku butuh itu, setelah segalanya yang terjadi.”

Aku menatapmu lama, mencoba membaca ekspresi wajahmu, mencoba menangkap apa yang sebenarnya kamu rasakan. Tapi kamu sudah begitu terlatih untuk menutup diri. Kamu sudah begitu pandai menyembunyikan apa yang ada di dalam hatimu. Dan aku—aku hanya bisa berharap bahwa kamu benar-benar baik-baik saja.

Aku ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu apakah kamu pernah merasakan apa yang aku rasakan, apakah kamu juga merasa kehilangan. Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokan. Aku sudah terlalu sering bertanya pada diriku sendiri tentang perasaanmu, tapi jawabannya selalu sama: kamu tidak pernah merasa yang sama.

“Aku senang kamu bisa menemukan kedamaian,” kataku akhirnya, meskipun ada rasa yang mengganjal di dada. “Aku juga berusaha mencari kedamaian dalam diriku.”

Kamu tersenyum lagi, senyum yang kali ini terasa lebih tulus, seolah kamu mengerti apa yang aku rasakan. “Aku yakin kamu akan menemukannya, Renzi. Aku tahu kamu orang yang kuat.”

Kata-katamu terasa seperti obat untuk luka yang belum sembuh. Tapi di balik itu, aku tahu, kamu tidak akan pernah benar-benar melihatku dengan cara yang sama. Kamu tidak akan pernah melihatku sebagai lebih dari sekadar teman, sebagai seseorang yang bisa memberi kamu tempat yang kamu inginkan.

Kita terdiam sejenak, saling berhadapan tanpa kata. Aku melihatmu, dan seketika itu aku merasa begitu kecil, begitu tak berarti. Kita terjebak dalam kesunyian yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang pernah terluka. Kita terjebak dalam jarak yang tak pernah bisa dijembatani.

Akhirnya, kamu bangkit dari dudukmu, menyarungkan tas di pundak. “Aku harus pergi, Renzi. Ada hal lain yang perlu aku urus.”

Aku mengangguk, tak ada lagi yang perlu diucapkan. Kamu berjalan pergi dengan langkah ringan, seperti biasa, seolah dunia ini masih berjalan sesuai dengan keinginanmu. Aku menatapmu, dan untuk pertama kalinya, aku merasakan kedamaian. Bukan kedamaian yang datang dari kamu, bukan kedamaian yang aku harapkan dari perhatianmu. Tapi kedamaian yang datang dari dalam diriku sendiri, kedamaian yang aku cari selama ini.

Aku tahu, aku harus melepaskanmu. Aku tahu, aku harus berhenti berharap. Mungkin ini saatnya aku belajar untuk berdamai dengan diriku sendiri, untuk menerima bahwa cinta yang aku berikan tidak akan pernah dihargai seperti yang aku inginkan. Mungkin, aku tidak akan pernah mendapatkan apa yang aku harapkan, tapi aku harus terus berjalan.

Kamu pergi, dan aku tetap di sini, duduk di bangku taman yang sepi. Tapi kali ini, rasanya tidak ada lagi luka yang menganga. Aku mungkin masih terluka, tapi aku tahu, itu bukan akhir dari segalanya. Karena aku akan terus berjalan, meskipun tanpa kamu. Aku akan menemukan kedamaian dalam kesendirian, dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan cinta yang seharusnya untukku.

Aku menatap langit yang masih biru, dan untuk pertama kalinya, aku merasa bebas.

 

Jadi, ya, terkadang kita harus belajar melepaskan, meski hati kita nggak siap. Cinta yang nggak pernah terbalas emang pahit, tapi mungkin itu yang justru bikin kita jadi lebih kuat. Renzi mungkin nggak dapat apa yang dia harapin, tapi dia belajar untuk berdamai sama diri sendiri. Mungkin kita juga gitu. Cinta bisa datang kapan aja, tapi kalau itu bukan untuk kita, yaudah lah, mungkin kita memang ditakdirkan untuk menemukan kedamaian dalam cara yang lain.

Leave a Reply