Daftar Isi
Cinta itu nggak selalu tentang kata-kata manis atau janji-janji. Kadang, yang terpenting adalah keberadaan satu sama lain di saat yang tepat, di tengah kekosongan dan keraguan.
Cerita ini bukan tentang cinta yang sempurna, tapi tentang bagaimana dua hati bisa saling terhubung tanpa perlu banyak bicara. Jadi, siap-siap merasakan debaran di setiap halaman cerpen ini, karena siapa tahu, kisah ini akan bikin kamu percaya kalau cinta bisa datang dengan cara yang paling nggak terduga.
Cinta Tak Terucap
Senja yang Mengikat
Senja itu memang selalu memukau. Tapi entah kenapa, kali ini, aku merasa ada yang berbeda. Mungkin karena langitnya tidak sepenuhnya jingga, ada sedikit merah yang merayap di sisi horizon. Atau mungkin karena kali ini aku tidak sendiri. Matahari hampir tenggelam, meninggalkan sisa-sisa cahaya lembut yang mengalir di sepanjang langit, tepat seperti yang selalu aku lihat setiap sore.
Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Sesuatu yang ada di meja seberang—seorang pria yang sepertinya sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, tanpa peduli dengan orang-orang di sekitar. Aku tidak tahu kenapa aku memperhatikannya. Dia tidak berbeda dari orang-orang lainnya yang sedang duduk di kafe ini. Tapi entah kenapa, aku merasa mataku terus mencari-cari keberadaannya, seolah tubuhku tahu lebih dulu bahwa aku harus mengenalnya.
Aku duduk di sudut meja, memesan kopi hitam—tanpa gula, seperti yang selalu aku sukai. Menatap ke arah pria itu dari balik secangkir kopi yang aku genggam erat. Rambutnya sedikit acak-acakan, seperti baru bangun tidur, tapi entah kenapa itu malah membuatnya tampak lebih menarik. Pakaian yang dia kenakan tidak istimewa—hanya kaos hitam dan celana jeans. Tapi ada aura yang membuatnya tampak berbeda. Aku ingin tahu siapa dia, apa yang membuatnya begitu tenang, begitu sunyi, di tengah keramaian ini.
Setiap kali aku melirik, dia tidak menyadari. Matanya terfokus pada layar ponselnya, jarinya sesekali menekan layar, tetapi ekspresinya tetap datar. Ada ketenangan yang memancar dari dirinya, seolah dia tak terpengaruh oleh dunia luar. Aku mencoba mengalihkan pandanganku, berusaha untuk tidak terus-terusan memperhatikannya. Tapi semakin aku berusaha, semakin besar rasa penasaran itu tumbuh.
Hingga akhirnya, aku tidak bisa menahan diri. Aku meletakkan gelas kopi di meja, bangkit, dan berjalan mendekatinya. Suara langkah kakiku terdengar lebih nyaring dari biasanya, namun dia tidak menoleh sedikit pun. Dia tetap dengan dunianya sendiri.
Akhirnya, aku sampai di depannya. Diam sejenak, lalu aku duduk tanpa menunggu izin darinya. Tanpa melihatku, dia mengangkat kepalanya, matanya menatap layar ponsel, dan dia berkata dengan nada datar.
“Kamu tidak bisa begitu terus, kan?”
Aku terkejut, hampir saja aku mendorong mundur kursi itu. “Maksud kamu?” jawabku, meski sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.
“Menatap seseorang tanpa berkata-kata. Itu bisa membuat orang merasa risih.”
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Rasanya aku ingin menghapus tatapan penasaran itu, tapi entah kenapa, aku merasa… aku harus tetap di sini. Rasanya, ada sesuatu yang membuatku ingin mengenalnya lebih dalam, sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa penasaran.
“Aku… hanya penasaran,” jawabku pelan. “Kamu selalu di sini, kan?”
Dia mengangguk tanpa menoleh ke arahku, seolah dia tidak benar-benar membutuhkan interaksi apapun, hanya kehadiran fisik. “Iya. Di sini. Sering kali. Tapi kamu… baru kali ini.”
Aku tersenyum tipis. “Kebetulan. Aku juga baru pertama kali datang ke sini.”
Dia akhirnya meletakkan ponselnya, menatapku dengan mata yang tampak memeriksa, seolah mencari tahu siapa aku, apa yang membuatku berbeda dari yang lain. “Kebetulan, ya? Atau kamu memang sengaja datang hanya untuk duduk di sini dan mengamati orang?”
Aku tertawa pelan, agak kikuk. “Aku bukan pengamat yang profesional. Cuma merasa ada yang… menarik di sini.”
“Dan kamu merasa aku menarik?” Dia bertanya dengan nada yang agak menggoda, meski suaranya tetap terdengar datar, tidak menunjukkan ekspresi berlebihan.
Aku mengangguk, walau sedikit ragu. “Mungkin. Atau mungkin hanya karena aku merasa ada sesuatu yang aneh di udara. Seperti… takdir yang sedang menuntun kita untuk duduk di sini.”
Dia menatapku lagi, kali ini lebih lama, seolah ingin memastikan aku tidak sedang bermain-main. “Takdir?” Ucapannya terdengar sinis, tapi aku tahu dia sedang berpikir keras tentang apa yang baru saja aku katakan. “Aku tidak percaya pada takdir.”
Aku mengangkat bahu. “Terkadang, kita tidak perlu percaya padanya untuk merasakannya.”
Dia mengangguk pelan, seolah merenung. Lalu, ada senyum kecil di bibirnya yang membuat aku merasa seperti dunia ini hanya milik kami berdua. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi aku tahu satu hal—ini bukan kebetulan. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa.
Di luar jendela, matahari mulai terbenam, meninggalkan langit yang semakin gelap dengan bintang-bintang yang mulai bermunculan. Di dalam kafe, kami duduk dalam keheningan, berbagi ruang dan waktu, tanpa ada yang perlu dijelaskan lebih jauh. Hanya ada dua jiwa yang sedang mulai saling mengenal, saling merasakan adanya koneksi yang tak terucapkan.
“Aku Langit,” akhirnya aku berkata, setelah diam cukup lama.
Dia menatapku, memeriksa nama yang baru saja aku ucapkan, lalu memberi senyum tipis yang menghangatkan hati. “Qadar.”
“Aku senang bisa bertemu denganmu, Qadar,” kataku, meski aku tidak tahu pasti mengapa aku merasa seperti ini—seperti ini bukan hanya pertemuan biasa.
“Aku juga,” jawabnya singkat, namun aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dari kata-kata itu.
Senja akhirnya benar-benar tenggelam, meninggalkan ruang yang hening dan penuh makna. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang aku yakin—aku ingin tahu lebih banyak tentang Qadar, lebih dari apa yang bisa aku ketahui hanya dalam satu pertemuan. Entah apa yang sedang menanti, tetapi aku merasa sudah siap untuk menjalaninya.
Tatapan yang Tak Terucapkan
Sejak pertemuan itu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada benang merah yang menarikku untuk kembali ke tempat itu, ke kafe yang sama, meskipun aku tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Qadar—namanya masih terngiang jelas di telingaku. Setiap kali aku berpikir tentang dia, ada perasaan aneh yang membuat jantungku berdebar cepat. Bahkan meskipun hanya satu pertemuan singkat, rasanya sudah cukup untuk membuat aku merasa seperti mengenalnya lebih lama.
Hari-hari berlalu begitu saja, dan aku tak pernah benar-benar berani untuk mencari tahu lebih banyak tentang dirinya. Namun, pada suatu sore yang cerah, tanpa banyak berpikir, aku kembali ke kafe itu. Ada dorongan kuat yang memaksaku untuk datang. Seolah-olah aku sudah tahu bahwa dia juga akan ada di sana.
Begitu aku melangkah masuk, aroma kopi yang menggoda langsung menyapa hidungku. Kafe ini masih sama seperti yang aku ingat—dengan desain minimalis yang nyaman, suasana yang tenang, dan tentu saja, keberadaan Qadar di pojok ruangan itu. Kali ini, dia tidak sendirian. Ada seorang pria lain di sebelahnya yang tengah berbicara dengan suara agak keras, namun Qadar tetap tenang, duduk dengan postur yang sangat rileks, seolah tidak terpengaruh oleh suara apapun di sekitarnya.
Aku berdiri sebentar di pintu, mengamati dia. Tidak bisa dipungkiri, hatiku berdegup kencang. Aku menunggu beberapa detik, memikirkan apakah aku harus mendekat atau tidak. Namun, dorongan itu kembali datang, memaksaku untuk berjalan menuju meja yang ada di dekatnya. Tanpa banyak berpikir, aku duduk tepat di depan meja kosong yang berada beberapa langkah dari mereka.
Qadar menoleh ke arahku begitu aku duduk, dan matanya yang dalam itu langsung menangkap perhatianku. Ada tatapan yang berbeda dari biasanya. Kali ini, ada sesuatu yang lebih—sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa. Senyum kecil muncul di wajahnya, dan aku merasa seolah seluruh dunia berhenti sejenak.
“Langit,” ucapnya dengan suara yang rendah dan tenang, seolah sudah tahu aku akan datang. “Kembali lagi?”
Aku mengangguk pelan, berusaha menjaga ketenanganku. “Iya, kebetulan aku lewat.”
Dia mengangguk, tapi aku bisa melihat ada rasa ingin tahu di matanya. “Kebetulan?” dia bertanya, mengulang kata yang sama dengan nada sedikit menggoda.
Aku tertawa pelan. “Kamu nggak percaya sama kebetulan, kan?”
Dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia hanya mengangkat satu alisnya, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut. Aku merasa sedikit gugup, tapi aku tahu aku ingin berbicara lebih banyak dengannya.
“Aku pikir…” Aku berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Aku pikir kita bisa berbicara lebih banyak, mungkin?”
Tatapan Qadar tidak lepas dari wajahku. Dia menilai aku dalam diam, seolah sedang memeriksa sejauh mana aku ingin melangkah. “Tentu saja,” katanya akhirnya. “Ayo bicara.”
Aku merasa lega mendengar jawabannya. Kami mulai berbicara tentang banyak hal—tentang hari-hari yang kami lalui, tentang hal-hal yang tidak pernah kami ceritakan pada orang lain. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar begitu dalam, begitu penuh makna. Tidak ada yang sia-sia dalam setiap kata yang diucapkannya.
Namun, meskipun aku merasa nyaman, aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Ada ketegangan yang halus, seperti ada sesuatu yang menunggu untuk dibicarakan, sesuatu yang lebih pribadi.
Seiring berjalannya waktu, obrolan kami mulai melunak, dan dia mulai membuka diri sedikit demi sedikit. Ternyata, meskipun tampaknya Qadar begitu tenang dan tertutup, dia juga memiliki sisi yang jauh lebih lembut, lebih rentan. Aku merasa senang bisa sedikit mengenalnya lebih jauh.
“Kamu pernah merasa,” katanya, suara lembutnya menghentikan obrolan sejenak, “bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertemuan kebetulan? Sesuatu yang seperti… sudah ditentukan untuk terjadi?”
Aku menatapnya, tidak yakin apakah aku mendengar dengan benar. “Seperti takdir?”
Dia mengangguk perlahan, matanya tak pernah lepas dari mataku. “Iya. Seperti kita ini sudah dituntun untuk bertemu.”
Aku merasa ada perasaan hangat yang merambat di dadaku. “Aku rasa aku mulai mengerti apa yang kamu maksud.”
Keheningan menyelimuti kami sejenak, dan aku merasakan ketegangan itu, seperti ada sesuatu yang tak terucapkan di antara kami. Mungkin ini bukan hanya sebuah kebetulan. Mungkin… mungkin ada alasan mengapa aku dan Qadar bertemu di sini, di waktu yang tepat, dalam keadaan yang begitu sempurna.
Setelah beberapa menit terdiam, aku tersenyum. “Kamu tahu,” kataku, “mungkin takdir itu bukan sesuatu yang harus kita cari. Mungkin itu akan datang dengan sendirinya.”
Qadar tersenyum tipis, matanya berkilau seperti langit yang mulai gelap. “Mungkin. Tapi aku rasa, kita baru saja mulai mencarinya.”
Senja kini sudah benar-benar menghilang, digantikan oleh malam yang semakin pekat. Tapi aku tahu, malam ini tidak akan seperti malam-malam biasa. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih indah, yang tengah terbentuk antara aku dan Qadar—sesuatu yang tak perlu dijelaskan, hanya dirasakan.
Bayang-bayang yang Menanti
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya, meskipun jalanan kota penuh dengan aktivitas. Aku bangun lebih pagi dari biasanya, membiarkan sinar matahari yang lembut masuk melalui celah tirai jendela. Rasanya, semalam itu masih berputar-putar dalam pikiranku. Percakapan kami berdua di kafe—penuh dengan ketenangan dan kehangatan yang tak terduga—membuat aku bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi antara aku dan Qadar.
Satu hal yang jelas: aku tidak bisa menepis perasaan itu. Setiap kali aku memikirkan dia, ada rasa nyaman yang mengisi dadaku, rasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghubungkan kami berdua, sebuah ikatan yang belum sepenuhnya terlihat, namun cukup kuat untuk menarik kami lebih dekat.
Aku bergegas keluar, memilih untuk berjalan kaki menuju kampus. Pikiranku kembali terombang-ambing pada percakapan kami semalam. Aku memutuskan untuk mencoba memahami perasaan ini, meskipun aku tahu bahwa jalan yang aku pilih ini mungkin tidak akan mudah. Qadar—dia memang berbeda dari yang lain. Dia tidak terburu-buru untuk menunjukkan siapa dirinya, tapi aku bisa merasakannya, bahwa di balik sikap tenangnya, ada sesuatu yang lebih dalam, yang mungkin aku belum siap untuk menyelami.
Saat aku memasuki kampus, aku hampir tidak menyadari kehadiran seseorang yang berdiri di bawah pohon besar di taman tengah. Tapi begitu aku mendekat, aku bisa melihat sosok itu dengan jelas—Qadar. Dia berdiri di sana, dengan tatapan yang mengarah jauh ke depan, seakan memikirkan sesuatu yang jauh di luar jangkauan. Matanya yang dalam, yang selalu mengingatkanku pada langit senja, kini tampak sepi. Sesuatu tentang kehadirannya itu menenangkan, tapi juga membingungkan.
Aku melangkah lebih dekat, dan dia menoleh ke arahku, sedikit terkejut. Tapi kemudian, senyum kecil muncul di wajahnya, senyum yang seperti mengatakan bahwa dia sudah menunggu.
“Kamu di sini,” kataku, sedikit terkejut meskipun aku sudah tahu jawabannya. Entah kenapa, aku merasa seolah kami saling mencari.
“Iya,” jawabnya singkat. “Aku pikir, aku akan menunggumu.”
Aku terdiam, mencari-cari arti dari kalimat itu. Apakah itu hanya sebuah kebetulan lagi? Atau ada sesuatu yang lebih dari itu?
Tanpa banyak bicara, aku duduk di sampingnya, membiarkan keheningan menyelimuti kami. Qadar tampaknya lebih memilih diam, seolah menunggu aku yang pertama kali membuka pembicaraan. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, namun perasaan yang menyesak di dada ini membuatku ingin mengatakan sesuatu yang selama ini aku simpan.
“Qadar,” aku akhirnya bersuara, suara aku terdengar lebih rendah dari yang aku inginkan. “Kenapa aku merasa… ini bukan hanya kebetulan?”
Dia menatapku, seolah menganalisis setiap kata yang aku ucapkan. “Karena itu bukan kebetulan,” jawabnya pelan. “Aku merasa begitu juga.”
Senyuman kecil itu muncul lagi di wajahnya, namun kali ini aku bisa merasakan bahwa ada kedalaman dalam tatapannya. Sebuah kehangatan yang mengalir begitu lembut, seolah mengundang aku untuk lebih dekat, lebih dalam, tapi juga menyadarkanku akan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang harus kami hadapi bersama.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku nggak tahu kenapa aku merasa begitu mudah nyaman di dekat kamu,” kataku, suara ku semakin lirih, seolah berbicara dengan hatiku sendiri. “Ada semacam ketenangan yang aku rasakan, meskipun aku nggak tahu kenapa.”
Qadar menatapku, kali ini dengan tatapan yang penuh makna. “Aku juga merasa begitu,” katanya perlahan, matanya seolah berkata lebih banyak dari apa yang keluar dari mulutnya. “Kadang kita nggak perlu tahu kenapa kita merasa nyaman. Mungkin itu hanya sebuah perasaan yang memang seharusnya ada.”
Kami terdiam sejenak, dan saat itu, aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Ada perasaan yang mengalir begitu lembut, begitu natural, seolah tak ada yang perlu dijelaskan. Aku ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu lebih jauh tentangnya, tentang apa yang ada dalam pikirannya, tetapi ada sesuatu yang menahan. Sesuatu yang membuatku merasa, kami belum siap untuk membahasnya.
“Jadi,” aku memecah keheningan, “apa yang kita lakukan sekarang?”
Qadar tersenyum kecil, senyum yang kali ini lebih tenang dan penuh keyakinan. “Kita jalani aja dulu,” jawabnya dengan suara yang penuh ketenangan. “Terkadang, kita nggak perlu tahu jawabannya. Cukup ikuti saja.”
Aku mengangguk pelan, meskipun ada ribuan pertanyaan yang berputar dalam kepalaku. Tapi mungkin, seperti yang dia katakan, ini bukan waktu untuk mencari jawaban. Mungkin, ini waktu untuk merasakannya, untuk menjalani setiap langkah bersama.
Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Meskipun kami tidak banyak bicara setelah itu, aku merasa setiap detik yang berlalu bersama Qadar penuh dengan arti. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi pertanyaan. Aku hanya ingin berada di sini, di dekatnya, membiarkan semua yang terjadi mengalir dengan sendirinya.
Namun, aku tahu, bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti—aku ingin berjalan bersamanya, apapun itu.