Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu merasa semuanya terlambat? Kayak ada momen yang kamu tahu kalau kamu nggak bisa balik lagi ke situ, tapi kamu tetap berharap bisa. Cerpen ini tentang itu—tentang kehilangan yang nggak pernah bisa terobati, tentang penyesalan yang datang terlambat, dan akhirnya, belajar untuk merelakan. Ya, kadang kita harus melepaskan meskipun hati nggak siap. Jadi, siap-siap bawa tisu, karena ini bakal ngena banget.
Cerpen Cinta yang Ditinggal Mati
Malam yang Tak Terlupakan
Hujan malam ini terasa lebih berat dari biasanya. Setiap tetesnya berdebur di jendela kaca kamar seperti bisikan yang tak pernah berhenti. Aku duduk di pinggir tempat tidur, memandang luar jendela yang kabur, bingung, dan cemas. Ada yang hilang, sesuatu yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Aku merasa seolah-olah ada yang menguras habis semua semangatku, dan hanya kesedihan yang tersisa. Lima bulan sudah berlalu sejak kepergian Alina. Lima bulan yang penuh dengan penyesalan, yang tak bisa aku atasi.
Aku mengingat malam pertama kami bertemu, malam yang seharusnya menjadi awal dari segalanya. Aku masih ingat betul bagaimana suasana di peluncuran buku itu. Penuh dengan orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, dan aku hanya ada di sana karena rasa bosan yang tak tertahankan. Aku tidak benar-benar tertarik dengan acara itu. Buku-buku itu tidak pernah menarik perhatianku. Tapi ketika aku melihat Alina untuk pertama kalinya, semuanya berubah.
Matanya yang tajam dan penuh rasa ingin tahu, senyum tipis di bibirnya yang membuat dunia seakan berhenti sejenak. Waktu seperti melambat ketika dia berjalan melewatiku, seolah-olah aku baru saja ditemukan dalam keramaian itu. Tanpa sadar, aku berdiri dan menghampirinya. Aku tidak tahu kenapa, rasanya seperti ada magnet yang menarikku ke arahnya.
“Hey,” kataku, merasa bodoh. “Kamu suka buku ini juga?”
Alina menoleh, sedikit terkejut, tapi senyumnya tetap terjaga. “Mungkin,” jawabnya pelan. “Tapi aku lebih suka yang tentang manusia daripada yang tentang buku.”
Aku tertawa kecil. “Jadi, kamu lebih suka cerita tentang orang-orang di kehidupan nyata?”
Dia mengangguk pelan. “Ya. Mereka lebih menarik daripada fiksi.”
Aku merasa terjebak dalam percakapan itu. Tiba-tiba, aku merasa seperti ada ikatan yang tak terlihat di antara kami. Alina membuatku merasa seperti aku bukan hanya sekadar seorang pria yang datang ke acara itu tanpa tujuan. Dia membuatku merasa penting. Aku ingin terus berbicara dengannya, ingin mengenalnya lebih jauh.
Kami berdua berjalan keluar dari gedung itu, larut dalam percakapan ringan, tetapi ada sesuatu di dalam diriku yang menganggap ini lebih dari sekadar percakapan biasa. Aku merasa ini adalah kesempatan yang tidak boleh aku sia-siakan. Namun, aku masih mempertahankan jarak. Aku merasa, dengan sikap dingin dan pintar yang selalu kutunjukkan, aku bisa membuat kesan yang lebih kuat. Aku terlalu banyak berpikir tentang diriku sendiri, tentang bagaimana aku ingin dia melihatku.
Malam itu berakhir dengan keheningan yang berbeda. Aku memikirkan apa yang sudah terjadi. Alina, dengan segala sikap dan kata-katanya, telah mengubah cara pandangku terhadap hidup. Namun, aku tidak mengerti itu waktu itu. Aku terlalu sibuk dengan egoku untuk melihat kenyataan bahwa dia bukanlah orang yang bisa aku kendalikan, bukan seseorang yang bisa aku buat terkesan hanya dengan penampilanku.
Ke esokan harinya, aku memutuskan untuk menghubunginya. Tapi bukannya merasa cemas atau ingin tahu lebih banyak, aku malah merasa ragu. “Apakah aku terlalu cepat?” pikirku. “Apakah aku terlalu terlihat ingin tahu?” Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku merasa nyaman berbicara dengannya. Hanya itu yang aku rasakan.
Hari-hari berlalu, dan kami mulai saling mengenal lebih dalam. Tapi anehnya, aku tidak pernah benar-benar membuka diri. Aku lebih suka menjaga jarak, merasa bahwa itu adalah cara terbaik untuk tetap memiliki kontrol. Alina selalu mencoba menembus dinding yang kubangun, dengan segala cara. Tetapi aku selalu menghindar. Selalu ada alasan kenapa aku tidak bisa terlalu dekat dengannya, kenapa aku tidak bisa terlalu terikat. Aku merasa itu adalah cara terbaik untuk menjaga keseimbanganku. Dan aku terus meyakini itu.
Tapi ada satu malam, di sebuah kafe kecil yang kami kunjungi bersama, ketika semuanya mulai berubah. Kami berbicara lebih banyak, tertawa lebih banyak, dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar nyaman. Alina, dengan cara yang tidak aku duga, menatapku serius, seolah-olah melihat lebih dalam dari sekadar apa yang tampak di luar.
“Kamu tahu, aku bukan tipe orang yang suka berbicara tentang perasaan,” kataku, mencoba menghindari tatapannya.
“Tapi kamu lebih suka berbicara tentang dunia luar, kan?” jawabnya dengan lembut. “Tentang buku-buku, tentang hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan apa yang kita rasakan sebenarnya. Kenapa begitu?”
Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Itu adalah momen pertama kali aku merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan kosong. Sesuatu yang bisa menghubungkan kami lebih jauh. Namun, aku merasa tersudut. Rasanya aku seperti dipaksa untuk mengungkapkan bagian dari diriku yang tidak ingin aku tunjukkan.
“Sebenarnya, aku…” aku mulai, tapi kata-kataku terhenti begitu saja. Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela. Alina diam, seolah memberi ruang untuk aku berpikir.
“Kenapa kamu selalu menyembunyikan dirimu, Dylan?” akhirnya Alina bertanya dengan lembut. “Kenapa kamu selalu merasa bahwa kamu harus menjadi orang yang tidak pernah terlihat lemah?”
Aku terdiam, dan untuk pertama kalinya, aku merasa sangat bodoh. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengikatku, tetapi aku tidak tahu apa itu. Alina menunggu jawabanku, tetapi aku tidak bisa memberi jawaban yang tepat. Aku terlalu terjebak dengan pikiranku sendiri untuk bisa membuka diri sepenuhnya.
Malam itu berakhir dengan ketegangan yang tak terucapkan. Aku tahu ada sesuatu yang mulai retak dalam hubungan kami, tapi aku tidak bisa merasakannya dengan jelas. Aku tetap terjebak dalam diriku sendiri, dalam egoku yang terus menguasai pikiranku. Dan pada malam itu, aku membuat keputusan yang salah. Aku berpikir aku bisa mengatur semuanya, aku berpikir aku bisa menghindari semua masalah itu. Tapi ternyata, aku hanya merusaknya.
Aku merasa bodoh. Bodoh karena tidak mendengarkan kata-kata Alina, bodoh karena tidak menyadari bahwa dia sudah mulai menjauh. Aku merasa kehilangan, meski saat itu aku belum menyadarinya sepenuhnya.
Ego yang Memisahkan
Sudah beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, namun aku merasa seolah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Hari-hari terasa lebih berat tanpa Alina di dekatku. Ada sesuatu yang hilang, meski aku tak sepenuhnya sadar apa itu. Aku berusaha untuk tetap tenang, berusaha mengendalikan diri, tetapi perasaan itu terus menghantui. Entah kenapa, aku merasa cemas dan gelisah, meskipun aku tak tahu kenapa aku merasa seperti ini. Aku terlalu banyak berpikir, dan setiap pemikiran itu berputar-putar di dalam kepalaku.
Alina tiba-tiba menjadi sangat jarang menghubungiku. Aku tahu, dia merasa aku menjauh. Setiap pesan yang kutunggu tak kunjung datang, dan setiap kali aku berusaha menghubunginya, jawabannya selalu terasa dingin. Tidak ada kata-kata hangat seperti sebelumnya. Aku mencoba untuk mengabaikannya, tetapi hatiku tidak bisa berhenti bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Aku terus berusaha menyembunyikan perasaanku, karena aku merasa itu adalah cara terbaik untuk tetap bertahan.
Namun, satu malam, ketika aku sedang duduk di kafe kecil itu sendirian, dia datang. Wajahnya tampak berbeda, ada sesuatu yang suram di sana. Dia duduk di depanku tanpa berkata-kata, hanya diam. Aku merasa cemas, tapi aku mencoba tetap tenang.
“Aku tahu kamu menghindar,” kata Alina akhirnya, memecah keheningan yang sudah terlalu lama menggantung di antara kami.
Aku menatapnya, berusaha mencari-cari kata yang tepat. “Aku nggak menghindar, aku cuma…” Aku terdiam, sadar bahwa aku tidak punya alasan yang masuk akal.
“Tapi kamu melakukannya,” dia menyela dengan lembut, namun ada ketegasan dalam suaranya. “Kamu melakukannya dengan cara yang lebih halus, Dylan. Kamu berpikir kamu bisa mengendalikan segalanya, tapi itu nggak benar.”
Aku merasa seperti ada sesuatu yang menimpa dada, sebuah beban yang sulit dijelaskan. Aku menghindar, ya. Aku terlalu banyak berpikir tentang bagaimana aku harus bertindak, bagaimana aku harus terlihat, dan itu malah membuat semuanya semakin jauh. Aku merasa seperti ada jarak yang semakin lebar, yang aku buat sendiri, dengan ego yang terus menghalangiku.
“Aku tidak pernah bilang aku ingin mengubahmu,” lanjut Alina. “Aku cuma ingin kamu jadi diri kamu sendiri. Tapi kamu… kamu selalu merasa harus mengendalikan semuanya, sampai-sampai kamu melupakan hal yang paling penting—kami.”
Kata-katanya menusuk, seperti pisau yang menembus kulitku. Aku merasa bodoh. Bodoh karena selama ini aku terlalu sibuk dengan egoku. Bodoh karena tidak melihat bahwa dia sudah ada di sana, memberikan semua yang dia punya, sementara aku terlalu sibuk memikirkan diri sendiri. Aku seharusnya lebih terbuka, lebih jujur tentang apa yang kurasakan, tetapi aku malah membiarkan perasaan itu terkubur dalam kebisuan.
“Aku nggak tahu harus gimana lagi, Dylan,” Alina melanjutkan, suaranya mulai bergetar. “Aku capek merasa sendirian dalam hubungan ini. Aku capek berusaha sendirian.”
Aku menundukkan kepala, merasa bersalah. Aku bisa melihat bagaimana matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak pernah berniat bikin kamu merasa seperti itu,” kataku pelan, hampir seperti bisikan. “Aku hanya… aku hanya takut.”
“Takut?” Alina menatapku, hampir tidak percaya. “Kamu takut apa? Takut kalau aku nggak suka sama kamu? Takut kalau kamu nggak cukup baik buat aku? Kamu nggak perlu takut, Dylan. Aku di sini, aku nggak akan pergi. Tapi kamu yang menjauh.”
Aku terdiam. Kata-katanya masuk begitu dalam. Alina yang selalu terlihat kuat, yang selalu terlihat tak terbendung, ternyata juga merasakan hal yang sama. Dia takut, tapi dia tetap di sini, berusaha untuk tetap mengerti aku, meskipun aku tidak bisa memberikan apa yang seharusnya dia dapatkan. Aku yang terjebak dalam kepalaku sendiri, yang terbuai dengan ego dan kebanggaan yang salah tempat.
“Kenapa kamu nggak bisa lihat itu?” Alina berkata lagi, nada suaranya sedikit lebih keras, penuh dengan frustasi. “Kenapa kamu nggak bisa lihat bahwa aku berusaha bertahan, berusaha untuk kamu?”
Aku merasa dunia seakan berputar sangat cepat, dan aku hanya bisa diam, tidak tahu apa yang harus aku katakan. Aku ingin meminta maaf, ingin mengungkapkan betapa menyesalnya aku, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokanku. Aku terlalu takut kehilangan kendali, bahkan dalam perasaan ini.
Alina menghela napas panjang dan akhirnya berdiri dari tempat duduknya. “Aku nggak bisa terus begini, Dylan. Aku nggak bisa terus menunggu kamu menyadari bahwa aku ada. Aku lelah,” katanya dengan suara yang terdengar begitu rapuh.
“Alina… jangan pergi,” kata aku dengan suara yang hampir tidak terdengar, tetapi sudah terlambat. Alina sudah berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan meja itu dengan langkah pasti.
Aku merasa seperti semua yang kuperjuangkan untuk menjaga jarak, untuk tetap mengontrol, sekarang runtuh begitu saja. Semua yang ada dalam diriku, semua yang aku coba sembunyikan, akhirnya terungkap. Dan aku tahu, aku baru menyadari satu hal—bahwa aku telah kehilangan dia. Kehilangan kesempatan itu hanya karena ketakutanku untuk menunjukkan siapa aku sebenarnya. Ego yang membuatku merasa bisa mengatur segalanya justru mengacaukan segalanya.
Aku duduk kembali, merasa kosong. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa digantikan. Tapi saat itu aku baru sadar, aku sudah terlalu terlambat.
Menyesali Waktu yang Terlewat
Malam itu terasa seperti udara yang terlalu tebal untuk ditarik. Aku duduk di kamarku, menatap jendela yang terbuka sedikit, membiarkan angin malam yang dingin masuk. Tak ada suara lain kecuali deru kipas angin dan detak jam di dinding yang rasanya semakin melambat. Waktu seakan bergerak lebih lambat, seolah enggan melewatkan setiap detik yang kini terasa seperti siksaan.
Aku sudah beberapa kali memeriksa ponselku, berharap ada pesan dari Alina. Tapi tidak ada. Hanya sepi. Dan semakin lama, semakin menyiksa. Aku merasa seperti terjebak dalam ruang kosong, tanpa arah dan tujuan. Pikiranku kembali berputar ke saat-saat terakhir kami berbicara. Alina yang tampak begitu kecewa, begitu lelah, dan aku… aku yang hanya bisa diam. Aku merasa seperti sampah yang hanya bisa membiarkan dirinya dibuang, tanpa daya untuk melawan.
Esoknya, aku berusaha untuk kembali ke rutinitasku, mencoba menjalani hidup seolah semuanya baik-baik saja. Tapi aku tahu, dalam hati, aku sudah kehilangan lebih dari yang bisa aku bayangkan. Kurasakan sakit yang dalam, seperti ada lubang besar yang tak bisa ditutup. Bahkan dunia seakan terasa lebih gelap, lebih sepi tanpa kehadirannya.
Hari-hari berlalu begitu saja, seolah waktu yang telah berlalu tidak bisa diputar kembali. Aku mulai mencari cara untuk menghubungi Alina, mengirimkan pesan, menulis surat, mencoba segalanya. Tapi selalu ada jarak yang tak bisa aku jembatani. Setiap kali aku mencoba, rasanya seperti aku sedang berusaha menyentuh sesuatu yang jauh di luar jangkauan. Aku merasa bodoh. Bodoh karena terlalu lama menyia-nyiakan waktu, bodoh karena terlalu larut dalam egoku. Aku mencoba menenangkan diriku, tapi semakin aku melawan, semakin dalam rasa penyesalan itu menggerogoti.
Suatu malam, aku memutuskan untuk berjalan keluar. Aku tidak tahu ke mana tujuanku, hanya ingin menghindari kekosongan yang terus mengisi hari-hariku. Kaki-kakiku membawaku ke taman kecil di pinggir kota, tempat yang dulu sering kami kunjungi bersama. Tempat itu dulu penuh dengan tawa dan canda kami. Tapi sekarang… sekarang terasa sepi. Tidak ada lagi langkah kaki bersamanya, tidak ada lagi suara tawanya yang mengisi udara.
Aku duduk di bangku yang biasa kami duduki. Angin malam bertiup pelan, membawa aroma bunga yang masih tersisa dari taman. Aku menundukkan kepala, merasa semakin tenggelam dalam kesedihan. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Kenapa aku harus kehilangan semuanya untuk memahami betapa berharganya Alina dalam hidupku? Kenapa aku harus menyia-nyiakan kesempatan itu dengan kebodohanku sendiri?
Aku mengeluarkan ponsel dari saku dan melihat-lihat foto-foto kami. Foto-foto yang dulu selalu membuatku tersenyum. Kami berdua, berpose bodoh, tertawa bersama di tempat-tempat yang kami suka. Foto-foto itu sekarang hanya mengingatkanku pada semua yang telah hilang. Ada satu foto yang paling kusuka, yang diambil pada malam pertama kami bertemu. Wajah Alina yang cerah, dengan senyum lebar dan mata yang penuh semangat. Aku masih ingat betul betapa gugupnya aku saat itu, tapi dia… dia seperti tahu apa yang harus dilakukan. Dia membuat semuanya terasa mudah.
Tapi sekarang, aku hanya bisa menatap foto itu, merasa semakin hampa. Aku merindukannya lebih dari apapun, lebih dari yang bisa aku katakan. Aku ingin sekali kembali ke malam itu, kembali ke saat-saat ketika semuanya masih terasa sederhana. Jika saja aku tahu waktu itu akan pergi begitu cepat, aku akan lebih menghargainya. Jika saja aku tahu bahwa keegoisanku akan membawa kami ke sini, ke titik di mana aku harus menghadapinya sendirian, aku pasti akan memilih untuk mendengarkan dan memahami perasaannya.
Sambil menatap layar ponselku, aku mengetik sebuah pesan. Kata-kata itu mengalir begitu saja, meskipun aku tahu itu mungkin tidak akan cukup untuk mengubah apa yang sudah terjadi.
“Alina, aku nggak bisa terus begini. Aku menyesal. Aku tahu aku salah, dan aku nggak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi aku ingin kamu tahu, aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan untuk memperbaikinya, tapi aku ingin mencoba. Aku merindukanmu.”
Aku menatap pesan itu, ragu-ragu, sebelum akhirnya menekan tombol kirim. Dan saat itu, aku sadar. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa mengembalikan waktu, tidak ada pesan yang bisa memperbaiki semuanya. Semua yang tersisa hanyalah penyesalan yang mendalam dan rasa kehilangan yang semakin menggerogoti hatiku. Tapi setidaknya, aku bisa mengatakannya. Aku bisa mengatakan bahwa aku merindukannya, bahwa aku menyesal.
Aku duduk di sana, menunggu balasan, meskipun aku tahu, mungkin aku tidak akan mendapatkan apa-apa. Tapi di dalam hatiku, ada sedikit harapan yang masih bertahan. Sebuah harapan yang entah kenapa, tetap membara meskipun segala sesuatunya sudah terlambat.
Mengikhlaskan Perpisahan
Pagi datang dengan sepi, seperti biasanya. Tetapi ada yang berbeda hari ini. Aku terjaga lebih awal, lebih awal dari biasanya, dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Mungkin karena kemarin malam aku mengirim pesan kepada Alina, meskipun aku tahu itu tidak akan mengubah apapun. Tapi ada sesuatu dalam diriku yang merasa sedikit lega setelah akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini terpendam. Meskipun tahu, itu mungkin terlalu sedikit, terlalu terlambat.
Aku duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah lama dingin, tidak tahu harus berbuat apa. Alina masih tak menghubungiku. Tidak ada pesan balasan. Tidak ada apa-apa. Sesuatu dalam hatiku memberontak, ingin percaya bahwa ada harapan, tapi rasanya semakin jelas bahwa apa yang aku lakukan kemarin hanyalah sebuah penghiburan untuk diriku sendiri. Tidak ada yang bisa mengembalikan waktu yang telah terbuang begitu saja.
Hari itu berjalan seperti biasa, tetapi aku merasa ada bagian dari diriku yang kosong. Bahkan ketika aku bertemu teman-teman di kantor, aku tetap merasa seolah aku berada di dunia yang berbeda. Semua yang kulakukan terasa mekanis, seperti rutinitas yang terus berulang tanpa makna. Aku merasa tidak berada di tempat yang tepat, bahkan di tengah keramaian sekalipun. Hanya satu yang ada dalam pikiranku—Alina. Hanya dia.
Tiba-tiba, saat aku sedang duduk di mejaku, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. Aku membuka layar, dengan harapan meskipun kecil, ada balasan darinya.
“Dylan, aku baca pesanmu. Aku nggak tahu apa yang harus kukatakan. Terlalu banyak waktu yang sudah terlewat, dan aku juga nggak bisa memutar balik waktu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku nggak membencimu. Aku hanya… butuh waktu untuk diriku sendiri.”
Aku terdiam membaca pesan itu. Kata-kata itu berat, sangat berat. Tidak ada kata maaf, tidak ada janji untuk kembali. Tapi ada sesuatu yang terasa lebih baik daripada sebelumnya. Setidaknya, dia tidak membenciku. Setidaknya, dia tidak menutup pintu sepenuhnya. Namun, aku tahu, keputusan itu sudah diambil. Kami sudah berpisah dengan cara yang sulit. Dan meskipun ada perasaan yang masih saling mengikat, kami tidak bisa memaksakan waktu yang telah berlalu.
Aku menundukkan kepala, merasakan sebuah perasaan yang asing. Perasaan yang seperti ada sesuatu yang menghimpit dada, tetapi aku tahu itu adalah bagian dari proses. Perpisahan itu tidak bisa dihindari lagi. Kami tidak bisa terus terjebak dalam masa lalu yang hanya akan menghancurkan kami berdua. Kami harus belajar untuk melepaskan, meskipun itu adalah hal yang paling sulit.
Aku mengetik balasan untuknya, meskipun dengan tangan yang gemetar.
“Terima kasih sudah mengerti, Alina. Aku akan mencoba untuk melupakan semua ini, meskipun aku tahu itu tidak akan mudah. Aku akan mengingatmu, tapi aku akan mencoba untuk melepaskanmu. Aku berharap kamu bisa bahagia, di mana pun kamu berada.”
Aku menekan tombol kirim, dan setelah itu, aku merasa ada yang mengalir keluar dari diriku. Sebuah perasaan yang campur aduk—sepercik harapan yang sudah pudar, sebuah penyesalan yang tidak bisa kembali, dan sebuah keikhlasan yang meskipun berat, harus kuterima.
Hari-hari berikutnya terasa lebih hampa. Aku melangkah perlahan, mencoba menata hidupku kembali, meskipun rasanya seakan ada yang hilang. Ada banyak kenangan tentang Alina yang masih menghantui, kenangan tentang tawa, tentang malam-malam yang penuh cerita, tentang bagaimana kami saling berbagi mimpi. Semua itu kini hanya tinggal kenangan yang akan selalu ada, meski dalam bentuk yang berbeda.
Aku masih sering duduk di taman kecil itu, di bangku tempat kami pertama kali bertemu. Aku mengingat kembali bagaimana wajahnya saat itu, betapa cerahnya dunia seakan semuanya mungkin terjadi. Tapi aku sadar sekarang, dunia itu hanya ada dalam kenangan. Alina tidak akan kembali, dan aku tidak bisa terus menerus berharap pada sesuatu yang sudah berlalu.
Hidup harus terus berjalan, meskipun rasanya sangat sulit untuk melangkah tanpa dia. Aku harus menerima kenyataan, dan meskipun itu berat, aku belajar untuk melepaskan. Karena terkadang, melepaskan adalah cara terbaik untuk memberi ruang bagi diri sendiri, dan bagi dia untuk menemukan kebahagiaannya.
Aku berdiri dari bangku itu dan berjalan perlahan meninggalkan taman. Aku tahu, ada banyak hal yang harus kutempuh, banyak hal yang harus kupelajari, dan mungkin, aku akan bertemu dengan seseorang yang bisa membuatku merasa utuh lagi. Tapi untuk sekarang, aku hanya ingin mengenang Alina dengan senyum, bukan dengan penyesalan. Karena meskipun kami berpisah, kenangan tentangnya akan selalu hidup di dalam hatiku.
Dan aku tahu, itu sudah cukup.
Terkadang, kita harus menerima kenyataan bahwa beberapa hal memang tidak bisa kembali. Kehilangan, penyesalan, dan perpisahan adalah bagian dari hidup yang harus dihadapi. Namun, meskipun sulit, setiap momen itu mengajarkan kita tentang bagaimana cara berdamai dengan diri sendiri. Kenangan mungkin tetap ada, tetapi hidup terus berjalan, dan dengan waktu, kita belajar untuk melepaskan—mungkin tidak sepenuhnya, tapi cukup untuk terus melangkah ke depan.