Daftar Isi
Hai, pernah nggak sih kamu ngerasain cinta yang nggak pernah sempat terucap? Cinta yang cuma bisa disimpen, dilawan, tapi akhirnya kamu cuma bisa merelakan aja?
Cerita ini tentang itu—tentang perasaan yang dipendam lama, tentang segala penyesalan yang datang telat, dan akhirnya, tentang bagaimana kita belajar merelakan sesuatu yang sebenarnya pengen kita miliki. Kalau kamu lagi pernah ngerasain hal kayak gitu, mungkin cerpen ini bakal nyentuh banget.
Cinta Terpendam yang Mengharukan
Mengubur Senja
Langit sore di pantai berpendar lembut dengan semburat warna oranye dan ungu yang memudar pelan-pelan. Ombak bergulung dengan ritme tenang, menyapu pasir dengan suara berbisik seakan memanggil kembali kenangan yang tersimpan di tepi hati. Atlas berdiri di sana, dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya, menatap laut yang luas di hadapannya seolah mencari jawaban yang tak pernah ada.
Di sisinya, Seraphine tampak menikmati hembusan angin senja. Dengan rambut terurai dan gaun putih sederhana yang tertiup angin, dia terlihat seperti sosok dari cerita dongeng. Atlas menatapnya diam-diam, menghirup udara pelan-pelan sambil menahan kata-kata yang sudah terlalu lama terkubur di hati. Setiap gerakan Seraphine, setiap senyum kecil di wajahnya, seakan memperdalam rasa yang dipendam Atlas selama bertahun-tahun.
“Aku senang kamu bisa datang ke sini lagi, Atlas,” kata Seraphine tiba-tiba, mengalihkan pandangannya ke arah Atlas. Suaranya lembut, hampir seperti bisikan yang dibawa angin.
Atlas tersenyum, mengangguk perlahan. “Aku selalu suka tempat ini, Sera. Ada sesuatu di sini yang bikin hati… tenang.” Dia melirik Seraphine, melihat bagaimana matanya memandang lautan yang membentang.
Seraphine tersenyum kecil, menggenggam sejumput pasir di tangannya dan membiarkannya jatuh kembali ke bumi. “Dulu, kita selalu datang ke sini, ya?” gumamnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Rasanya, seperti baru kemarin. Tapi ternyata, waktu terus aja jalan.”
Atlas hanya diam. Dia mendengarkan, menikmati suara Seraphine yang membawa kehangatan di hatinya. Senyumnya pudar perlahan. Dia tahu, setiap detik yang ia habiskan dengan Seraphine hanyalah detik-detik yang ia kumpulkan dengan hati-hati, disimpan di sudut hatinya yang terdalam. Karena ia tahu, mungkin suatu hari nanti, detik-detik ini akan menjadi kenangan yang paling berharga.
“Kenapa kamu diem, Atlas?” tanya Seraphine, menatapnya dengan senyum yang sedikit bercanda. “Kamu biasanya selalu punya cerita aneh buat diceritain.”
Atlas tertawa kecil, mengangkat bahu. “Mungkin sekarang aku lebih suka dengerin kamu cerita, Sera. Kadang, aku mikir… aku udah dengerin kamu ribuan kali, tapi tetap aja belum cukup.”
Seraphine tertawa kecil, lalu menggeleng. “Kamu memang aneh,” katanya sambil tertawa. Tapi tawa itu mereda dengan cepat, berganti menjadi tatapan yang penuh arti. “Kamu tahu, Atlas? Aku selalu merasa nyaman tiap kita ngobrol begini. Kayak… aku bisa ngomongin apa aja sama kamu.”
Atlas mengangguk, menahan diri untuk tidak meluapkan perasaannya. Hatinya penuh dengan kata-kata yang tak terucap. Rasanya ingin berkata, “Aku ada di sini bukan cuma buat dengerin kamu, Sera. Aku ada di sini… karena aku mencintaimu.” Tapi kalimat itu tak pernah keluar. Ia hanya bisa tersenyum, menahan semua yang ingin ia katakan.
“Dulu, waktu aku lagi patah hati sama Zeno, kamu yang selalu ada buat aku,” lanjut Seraphine, mengingat masa-masa di mana Atlas selalu menjadi sandaran saat ia hancur. “Kamu tahu kan, aku selalu gak pernah ngerti kenapa kamu mau repot-repot ngurusin aku yang berantakan.”
Atlas mendengarkan sambil tersenyum. Tentu dia ingat. Zeno—nama itu selalu memercikkan rasa sakit kecil di dadanya. Atlas ingat bagaimana dia melihat Seraphine menangis untuk Zeno, berkali-kali. Dan ia hanya bisa ada di sana, menenangkan Seraphine sambil menahan perasaan yang semakin menyesakkan.
“Aku pikir… karena aku cuma pengen kamu bahagia,” jawab Atlas, sambil berusaha menyembunyikan nada getir dalam suaranya.
Seraphine memandang Atlas, mengernyitkan alisnya dengan penuh keingintahuan. “Kamu selalu bilang begitu, tapi aku tahu kamu gak pernah benar-benar ngomong apa yang kamu rasain, Atlas.” Dia menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan sahabatnya itu.
Atlas tertawa kecil, mengalihkan pandangan ke arah laut. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata di dalam dadanya seakan mengeras, tak mau terucap, seolah terperangkap dalam ketakutan akan perubahan. “Kadang… aku ngerasa, lebih baik begini, Sera,” gumamnya pelan. “Kadang, ada hal-hal yang lebih baik gak pernah diungkapin.”
Mata Seraphine masih memandangnya, mencari-cari sesuatu yang tak pernah ia sadari. “Atlas… apa kamu pernah… maksudku… pernah ngerasa kalau kita ini bisa lebih dari sekedar sahabat?” tanyanya pelan.
Atlas terdiam. Pertanyaan itu menghantamnya seperti ombak yang menghantam karang, keras dan tidak terduga. Hatinya bergemuruh, tapi dia tahu, jawaban yang jujur hanya akan menghancurkan segalanya. Akhirnya, dia hanya tersenyum tipis, senyum yang dipaksakan.
“Kamu udah punya Zeno, Sera,” jawabnya dengan suara yang hampir berbisik. “Dan aku… aku cuma sahabatmu.”
Seraphine menunduk, seolah-olah kecewa pada jawaban itu, atau mungkin pada dirinya sendiri. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan sesuatu yang mungkin juga tak ingin ia katakan. “Iya, kamu benar… kamu memang sahabatku,” katanya pelan, hampir tak terdengar.
Keduanya terdiam, membiarkan angin pantai mengisi keheningan yang mendadak terasa terlalu berat. Ada kata-kata yang terselip di antara mereka, kata-kata yang terlontar tanpa suara, dan perasaan yang membaur dengan lautan.
Malam perlahan merayap, menggantikan sinar senja dengan kegelapan yang hening. Atlas tahu, ia harus pergi. “Aku harus pulang, Sera,” katanya dengan berat hati. “Besok masih ada kerjaan yang harus diselesaikan.”
Seraphine tersenyum samar, mencoba menyembunyikan sedikit kekecewaan. “Iya, aku ngerti. Makasih udah nemenin aku sore ini.”
Atlas mengangguk, memberikan satu senyum terakhir sebelum ia berbalik meninggalkan Seraphine di pantai itu, membawa perasaan yang tak terucap bersamanya. Sambil berjalan menjauh, ia melirik ke belakang, melihat Seraphine yang tetap berdiri di tepi laut, tatapannya menembus lautan yang luas.
Di dalam hati, ia tahu, rasa ini hanya akan semakin menumpuk, semakin terkubur. Cinta yang tak pernah terucap, terperangkap di antara dirinya dan Seraphine, seperti sebuah kenangan yang tersembunyi di balik senja yang perlahan menghilang.
Atlas melangkah, menjauh dari pantai, meninggalkan secuil harapan yang takkan pernah ia ungkapkan. Di saat yang sama, ia tahu bahwa cintanya akan tetap tinggal di sana, di pantai itu, menunggu di antara butiran pasir dan hembusan angin senja yang tak pernah selesai bercerita.
Surat yang Tak Pernah Sampai
Malam itu, Atlas duduk di tepi jendela kamarnya, menatap hamparan bintang yang bertaburan di langit. Pikiran tentang Seraphine masih menggema, menghantamnya seperti gelombang yang tak henti-hentinya menghantam pantai. Dia menggenggam sebuah buku catatan tua di tangannya—tempat ia menyimpan semua perasaan yang tak pernah terucapkan.
Atlas sudah lama berhenti berharap bahwa Seraphine akan menyadari perasaannya sendiri. Dia tahu, gadis itu selalu menganggapnya sebagai teman terbaik, sebagai sahabat yang selalu ada. Dan ia pun… selalu memainkan peran itu, meski dalam hatinya, ia ingin lebih dari sekadar sahabat. Namun, tak pernah sekalipun ia berani mengatakannya.
Dengan hati-hati, ia membuka lembaran pertama buku itu. Di sana, tertulis kata-kata pertama yang pernah ia tuliskan untuk Seraphine. “Aku mencintaimu, tapi tak akan pernah cukup hanya dengan kata-kata.” Tulisan itu terlihat rapuh, hampir seperti sebuah rahasia kecil yang siap memudar kapan saja. Dia tersenyum pahit, mengingat malam-malam di mana ia menuliskan surat-surat yang ia tahu tak akan pernah sampai ke tangan Seraphine.
Tangannya bergetar saat ia menuliskan surat yang baru di halaman kosong, mencoba menyampaikan semua yang tersembunyi di hatinya. Setiap kata yang tergores adalah hasil dari perasaan yang lama ia pendam. Ia tahu, mungkin inilah satu-satunya cara untuk meluapkan perasaannya—menulis, meski hanya untuk dirinya sendiri.
“Seraphine,
Aku menulis ini karena aku merasa, jika tidak, aku mungkin akan hancur oleh perasaan yang tak pernah aku ungkapkan. Aku telah jatuh cinta padamu sejak lama, dan aku tahu ini bukan rahasia yang besar… setidaknya, bagiku. Mungkin sudah bertahun-tahun aku menahan diri untuk tidak mengatakan apa-apa, untuk tetap menjadi ‘sahabatmu’ seperti yang selalu kau inginkan.
Ada saat-saat di mana aku berharap kau bisa melihatku dengan cara yang berbeda, melihat diriku lebih dari sekadar teman. Tapi aku tahu, aku tak pernah bisa memaksamu untuk merasakan hal yang sama. Jadi aku tetap di sini, di sampingmu, mendengarkan ceritamu, dan menyimpan semua luka yang kau tinggalkan di dalam hatiku.
Jika kau membaca ini, aku harap kau tahu bahwa aku mencintaimu bukan hanya sebagai sahabat, tapi sebagai seseorang yang ingin berada di sisimu, di kehidupanmu. Tapi aku tahu, mimpi ini tak pernah untukku.
Selamat malam, Seraphine. Aku mungkin hanya bisa mencintaimu dari jauh.
Atlas.”
Atlas menghela napas panjang setelah menuliskan kata terakhir. Ia menatap tulisannya dengan perasaan campur aduk. Surat itu mungkin akan tetap berada di buku catatan itu, tak pernah ia serahkan pada Seraphine. Hanya sebuah rahasia yang ia simpan rapat-rapat, seperti debu yang bersembunyi di sudut-sudut kamar yang gelap.
Ia menutup buku catatan itu dengan hati-hati, seolah menutup babak hidup yang ia tahu tak akan pernah terbuka. Ia berdiri dan memasukkan buku itu ke dalam laci meja, mengunci kenangan yang terlalu berbahaya untuk dibiarkan terbuka.
Atlas berpikir untuk menelepon Seraphine, mungkin sekadar memastikan bahwa ia baik-baik saja. Namun, ponselnya bergetar lebih dulu, dan ia melihat sebuah pesan masuk di layar.
Sera: Hei, masih bangun?
Atlas menatap layar ponsel itu cukup lama sebelum mengetik balasan. Hatinya berdebar, dan jari-jarinya terasa kaku. Atlas: Iya, kenapa?
Sera: Kamu ingat pantai tadi? Aku kepikiran sesuatu.
Atlas menggigit bibirnya. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi akhirnya hanya membalas singkat. Atlas: Kepikiran apa?
Sera: Kita udah lama kenal ya. Aku cuma mikir, kok rasanya kita selalu bisa balik lagi ke satu sama lain. Kayak… entah kenapa, kamu selalu di sana.
Atlas berhenti, menahan napas. Seraphine tidak pernah mengatakan hal seperti ini sebelumnya. Rasanya ada harapan kecil yang tumbuh dalam dadanya, namun ia berusaha menekan rasa itu jauh-jauh.
Atlas: Karena aku sahabatmu, Sera.
Sera: Cuma sahabat?
Atlas terdiam. Kata-kata itu seperti menguncinya dalam dilema yang tak berujung. Ia tahu, inilah kesempatan untuk membuka segalanya, untuk jujur tentang perasaannya. Tapi ia juga tahu, jika ia mengatakannya dan Seraphine tak merasa hal yang sama, semua yang mereka miliki akan hancur.
Jarinya bergerak di layar, menuliskan kata-kata yang hampir seperti pengakuan. Tapi, sebelum ia mengirimkan pesan itu, ia terdiam lagi, merenungkan keputusannya.
Akhirnya, ia menghapus pesannya dan hanya menulis, Atlas: Iya, sahabat selamanya.
Lama tak ada balasan dari Seraphine. Atlas berpikir mungkin ia sudah tertidur, mungkin ia tak akan lagi membuka percakapan ini. Namun, tiba-tiba, ponselnya bergetar lagi.
Sera: Kamu tahu gak, Atlas? Aku kadang mikir, gimana kalau kita gak cuma sahabatan. Gimana kalau… kamu ngerti maksudku?
Atlas hampir tak percaya dengan apa yang dibacanya. Hatinya berdebar keras. Perasaannya seolah membludak, dan ia menatap layar itu lama sekali, membiarkan kemungkinan baru itu menghampirinya.
Namun, meski seluruh tubuhnya ingin mengatakan “iya,” hatinya tertahan oleh satu pikiran: Zeno. Meskipun mereka tak lagi bersama, ia tahu, nama itu masih menjadi bagian dari hidup Seraphine. Dan, seberapa besar pun Atlas ingin lebih, ia tak ingin menjadi sekadar pelarian bagi Seraphine. Ia tak ingin menjadi seseorang yang hanya diinginkan saat hati sedang kosong.
Atlas: Mungkin… kita memang lebih baik tetap begini, Sera. Aku gak pengen nyakitin kamu atau bikin kamu bingung. Lagipula, aku tahu kamu masih… belum sepenuhnya lepas dari masa lalu.
Ada jeda panjang sebelum Seraphine membalas.
Sera: Mungkin kamu benar. Maaf ya, aku mungkin terlalu banyak mikir. Aku gak tahu lagi apa yang aku rasain…
Atlas tahu bahwa Seraphine sedang berusaha. Gadis itu sedang mencari tahu apa yang ia inginkan, siapa yang ia butuhkan dalam hidupnya. Namun, Atlas merasa tak punya kekuatan untuk menunggu jawaban itu. Selama bertahun-tahun, ia sudah menunggu, berharap, dan memendam perasaannya sendiri.
Malam itu, Atlas merasa hatinya semakin tertutup, semakin terkubur dalam kebisuan. Ia hanya bisa berharap bahwa suatu hari, entah bagaimana, perasaan ini akan berubah menjadi kenangan yang tidak terlalu menyakitkan.
Saat matanya perlahan tertutup, ia tahu, surat yang baru saja ia tulis tadi akan tetap di sana—tak pernah sampai ke tangan Seraphine, seperti cinta yang hanya tinggal sebagai bayangan di masa lalu.
Sehelai Foto yang Tersimpan di Antara Kenangan
Pagi itu, cahaya matahari mengintip malu-malu di balik tirai kamarnya, membangunkan Atlas dari malam yang penuh kegelisahan. Ia bangkit dengan kepala terasa berat, masih memikirkan percakapan yang terjadi dengan Seraphine semalam. Sering kali ia membayangkan bagaimana rasanya melepaskan perasaan ini, merelakan, dan menerima bahwa ia hanya akan berada di sisi Seraphine sebagai sahabat. Namun, semakin keras ia mencoba, semakin kuat perasaan itu menjeratnya.
Sambil duduk di ujung ranjang, Atlas meraih ponselnya, berharap ada pesan dari Seraphine. Tetapi, kosong. Tak ada apa pun yang muncul di layarnya. Ia menarik napas panjang, berusaha mengalihkan pikirannya. Hari ini, ia sudah berjanji akan membantu ibunya membersihkan gudang di lantai bawah.
Setelah beberapa jam memilah dan membersihkan barang-barang yang sudah berdebu, ia menemukan sebuah kotak tua di sudut gudang. Di dalamnya, ada tumpukan album foto keluarga. Di sela-sela membuka album itu, selembar foto kecil jatuh ke lantai. Atlas mengambilnya, terkejut ketika melihat gambar itu—sebuah foto yang ia ambil bersama Seraphine beberapa tahun yang lalu, saat mereka masih SMA.
Di foto itu, Seraphine tertawa lepas sambil menggamit lengannya, dan Atlas tersenyum kikuk. Ia ingat, hari itu adalah saat mereka mendaki bukit kecil di pinggir kota, tempat mereka sering datang untuk menikmati senja. Saat itu, Seraphine sedang patah hati, dan Atlas mengajaknya ke sana untuk menghibur. Tanpa sadar, Atlas tersenyum kecil mengingat kenangan itu. Betapa saat itu ia sudah begitu jatuh cinta pada Seraphine, tapi tetap memilih menjadi tempatnya bersandar, hanya untuk melihat gadis itu tersenyum lagi.
Atlas menatap foto itu cukup lama, sampai ibunya tiba-tiba datang dan menegurnya.
“Atlas, kenapa bengong di situ?” Ibunya tersenyum sambil melihat ke arah foto di tangannya. “Oh… itu Seraphine, kan? Gadis yang selalu kamu ceritakan waktu SMA?”
Atlas terdiam, sedikit gugup. “Iya, Bu. Ini foto lama.”
Ibunya menatapnya penuh arti. “Dia masih sering main ke sini?”
Atlas menggeleng sambil tersenyum tipis. “Sudah jarang, Bu. Kami sama-sama sibuk, dan dia… dia punya dunia sendiri sekarang.”
Ibunya menepuk bahunya pelan. “Kamu tahu, Nak, terkadang cinta memang butuh pengorbanan. Tapi jangan sampai kamu mengorbankan dirimu sendiri hanya demi perasaan yang tak terbalas.”
Kata-kata ibunya seolah menjadi tamparan yang halus, namun nyata. Atlas tahu, ibu mungkin sudah lama menyadari perasaan yang ia simpan untuk Seraphine, bahkan sejak lama. Namun, ibu juga tahu, Atlas tak pernah benar-benar bisa melepaskan diri dari perasaan itu.
Setelah menyimpan kembali kotak itu, Atlas merasa semakin gelisah. Perasaannya pada Seraphine kini terasa semakin berat, semakin menyakitkan. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membaca, berjalan-jalan, tetapi setiap sudut kotanya selalu mengingatkannya pada gadis itu. Ke mana pun ia pergi, seolah ada jejak Seraphine yang tertinggal di sana.
Sore itu, ia berjalan sendirian di taman, tempat mereka biasa duduk bersama saat sore hari. Ia duduk di bangku yang sama, memandangi langit yang mulai berubah warna. Sejenak, ia membayangkan jika suatu hari mereka bisa duduk di sana lagi, bukan sebagai sahabat, tapi sebagai dua orang yang saling mencintai.
Namun, lamunannya terhenti ketika ia melihat Seraphine berjalan ke arahnya. Ia tak tahu apakah ini hanya ilusi atau kenyataan, tetapi gadis itu semakin mendekat. Atlas segera berdiri, dan jantungnya berdetak lebih cepat.
“Hey,” sapa Seraphine dengan senyum yang tampak ragu. “Aku gak sangka ketemu kamu di sini.”
Atlas tersenyum, menyembunyikan perasaan gugupnya. “Aku cuma lagi jalan-jalan. Gak nyangka juga kamu di sini.”
Seraphine duduk di bangku, dan Atlas mengikutinya, merasakan ketegangan yang aneh di antara mereka. Biasanya, mereka akan tertawa dan berbicara tanpa henti. Tapi kali ini, ada keheningan yang mengisi udara di antara mereka.
“Aku kepikiran soal obrolan kita semalam,” Seraphine akhirnya bicara, suaranya pelan. “Aku… gak tahu apa yang harus aku rasain. Selama ini, aku pikir kamu cuma sahabat terbaikku, orang yang selalu ada buat aku. Tapi… aku mulai merasa, mungkin aku egois.”
Atlas menatapnya, menunggu kata-kata berikutnya. Ia tahu, inilah saatnya bagi Seraphine untuk jujur pada dirinya sendiri, meskipun jawabannya bisa jadi akan menghancurkannya.
“Aku… tahu kamu mungkin pernah ngerasain sesuatu buat aku, Atlas,” lanjutnya dengan suara lirih, matanya menatap lurus ke depan. “Dan aku takut, mungkin aku udah menyakiti kamu tanpa sadar.”
Atlas menghela napas dalam-dalam, berusaha meredakan gejolak di hatinya. “Kamu gak perlu minta maaf, Sera. Aku… memilih untuk tetap di samping kamu, apapun yang terjadi.”
“Kenapa?” Seraphine bertanya, menatapnya dengan tatapan yang penuh tanya, seolah ingin memahami semua yang ada di dalam hati Atlas. “Kenapa kamu masih bertahan, meskipun kamu tahu aku mungkin gak akan pernah bisa… merasakan hal yang sama?”
Atlas tertawa pelan, meski dalam hatinya terasa perih. “Karena aku gak pernah bisa berhenti sayang sama kamu, Sera. Mungkin terdengar bodoh, tapi aku merasa, selama aku bisa berada di dekat kamu, itu sudah cukup.”
Seraphine terdiam, dan kali ini air mata perlahan mengalir di pipinya. “Maaf, Atlas… aku gak pernah bermaksud buat menyakitimu. Aku cuma takut kehilangan kamu. Dan mungkin, karena aku tahu kamu selalu ada di sini… aku jadi terlalu bergantung sama kamu.”
Atlas mengangguk, meskipun hatinya mulai hancur. Ia tahu, apa pun yang ia katakan sekarang tak akan mengubah perasaan Seraphine. Ia juga tahu, ia mungkin hanya menjadi seseorang yang Seraphine jadikan tempat bersandar di saat-saat rapuhnya, tanpa pernah menyadari bahwa ia juga memiliki hati yang rentan.
“Aku janji, Atlas, aku akan mencoba untuk… memberi ruang buat kamu. Mungkin aku gak seharusnya selalu datang padamu setiap aku merasa hancur. Aku akan belajar untuk kuat sendiri,” kata Seraphine, berusaha tersenyum meski wajahnya masih terlihat sendu.
Atlas hanya bisa tersenyum. “Apapun yang bikin kamu bahagia, Sera, aku selalu mendukung. Kalau kamu butuh aku, aku masih di sini.”
Kali ini, Seraphine hanya menunduk, menghapus air mata di pipinya. Setelah itu, ia berdiri, memberi Atlas satu pelukan singkat namun begitu erat. “Terima kasih… untuk segalanya.”
Atlas membalas pelukannya dengan hati yang terasa berat. Ia tahu, mungkin inilah akhir dari semua harapan yang ia simpan. Setelah ini, ia akan mencoba melepaskan, menerima bahwa perasaan itu harus ia simpan sendiri, tanpa pernah berharap lebih.
Seraphine pergi, meninggalkan Atlas sendirian di bangku taman itu. Sore semakin gelap, dan angin malam mulai berhembus pelan, membawa pergi bayangan Seraphine bersamanya. Di dalam hatinya, Atlas berjanji untuk merelakan, meski ia tahu perasaan ini tak akan pernah benar-benar hilang.
Dengan langkah berat, ia berjalan pulang, membawa kembali cinta yang terpendam, yang mungkin akan selamanya menjadi kenangan tak terucap.
Merelakan
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah pertemuan itu. Waktu seolah-olah mengubah segalanya menjadi kabut yang perlahan menghilang, menyisakan hanya kenangan yang terpinggirkan oleh rutinitas yang harus dijalani. Atlas tidak tahu apakah ia sudah sepenuhnya siap, tetapi ia mulai merasakan keheningan yang berbeda dalam hatinya, keheningan yang tidak lagi dihiasi dengan harapan atau kebingungannya.
Seraphine tidak menghubunginya lagi. Tidak ada pesan atau panggilan yang datang, dan Atlas, meskipun hatinya terkadang meronta, mencoba untuk menerima kenyataan itu. Ia tahu, setelah semua yang terjadi, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Tidak ada kata-kata yang bisa mengubah perasaan Seraphine, tidak ada tindakan yang bisa membalikkan keadaan.
Malam itu, Atlas duduk di balkon kamarnya, memandang langit yang mulai berhiaskan bintang. Sejak kecil, langit malam selalu menjadi tempat ia merenung, tempat ia menyimpan semua perasaan yang sulit diungkapkan. Sekarang, ia hanya melihat kegelapan yang sama, tetapi dengan mata yang berbeda. Sesuatu yang dulu tampak terang dan penuh harapan kini terasa buram dan penuh penyesalan.
Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa sedikit lebih tenang. Cinta itu memang terkadang bukan untuk dimiliki, melainkan untuk dibiarkan tumbuh tanpa ikatan. Ia memutuskan untuk berhenti mencari jawaban atau alasan dari semua yang terjadi. Cinta terpendam bukan berarti tak ada nilai—cinta itu tetap ada, meski tak pernah terucap.
Beberapa bulan kemudian, Atlas duduk kembali di bangku taman itu—tempat yang dulu menjadi saksi bisu dari segala perasaan yang ia simpan untuk Seraphine. Ia datang sendirian, tidak lagi dengan hati yang penuh kerinduan, melainkan dengan perasaan yang lebih lapang. Ia mulai berdamai dengan dirinya sendiri, dengan kenyataan bahwa cinta yang ia simpan harus diberi ruang untuk tumbuh menjadi kenangan, bukan harapan yang tidak akan pernah tercapai.
Tiba-tiba, ia mendengar suara yang familiar. Seraphine muncul di depannya, dengan senyum yang tampak lebih dewasa, lebih damai. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—sesuatu yang menunjukkan bahwa dia telah melalui perjalanan panjangnya sendiri.
“Aku nggak nyangka kamu masih suka datang ke sini,” kata Seraphine sambil duduk di sebelahnya.
Atlas hanya tersenyum tipis, tak ada rasa canggung, hanya keheningan yang nyaman di antara mereka. “Aku pikir, ini tempat yang tepat buat merenung.”
Seraphine mengangguk, matanya yang dulu penuh kebingungan kini terlihat lebih tenang. “Aku… ingin bilang terima kasih. Karena selama ini kamu selalu ada, bahkan ketika aku nggak sadar betapa kamu berarti.”
Atlas memandangnya, merasa ada kelegaan dalam kata-kata itu. “Aku nggak butuh terima kasih, Sera. Aku cuma ingin kamu bahagia. Itu aja.”
Seraphine terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. “Aku ingin kamu tahu, meskipun kita nggak bersama, aku tetap akan mengingat kamu sebagai seseorang yang sangat berarti. Mungkin kita nggak ditakdirkan untuk bersama, tapi aku nggak pernah menyesali apapun tentang kita.”
Atlas menatapnya, matanya tak lagi berbinar dengan harapan yang sama. Ia tahu, inilah saatnya untuk merelakan. “Aku juga nggak menyesali apa pun, Sera. Aku cuma berterima kasih karena pernah ada di hidupku.”
Seraphine tersenyum, lalu perlahan berdiri. “Aku harus pergi sekarang,” katanya, sedikit terhenti, sebelum melangkah menjauh. “Semoga kita bisa bahagia dengan cara kita sendiri.”
Atlas menatap punggungnya yang semakin menjauh, merasakan perasaan yang entah kenapa, jauh lebih ringan. Cinta itu memang tak pernah terucap dengan kata-kata, tetapi ia merasa cukup dengan perasaan yang telah ia berikan. Tidak ada penyesalan, hanya rasa syukur karena telah mencintai seseorang dengan tulus.
Saat Seraphine menghilang di balik pohon-pohon di taman, Atlas duduk kembali dengan tenang, menatap langit malam yang kini terasa lebih terang. Cinta itu, meskipun tak pernah terwujud sebagaimana yang ia inginkan, telah memberikan pelajaran berharga tentang ketulusan, pengorbanan, dan akhirnya, tentang merelakan.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk melangkah maju, meninggalkan kenangan itu, dan menyambut masa depan dengan hati yang terbuka.
Jadi, kalau kamu ngerasa hati kamu berat atau lagi terjebak dalam cinta yang nggak pernah terucap, ingat deh, merelakan itu bukan berarti menyerah. Kadang, itu cuma cara kita buat move on dan kasih ruang buat hal-hal yang lebih baik datang.
Cinta itu aneh, kadang nggak selalu harus jadi milik kita, tapi selalu ada pelajaran yang bisa diambil dari setiap detiknya. Semoga cerita ini bisa ngebantu kamu buat ngelewatin semua itu, dan siapa tahu, mungkin nanti ada cinta yang lebih indah buat kamu. Jadi, sampai jumpa di cerita berikutnya, siapa tahu nanti kita ketemu lagi di jalan cerita yang berbeda, kan?