Daftar Isi
Hei, pernah nggak sih kamu naksir temen deket sendiri tapi malah cuma bisa diem? Gimana kalau perasaan yang dipendam itu akhirnya jadi penyesalan?
Cerita ini bakal bawa kamu balik ke masa SMA—waktu semuanya seru tapi juga bikin deg-degan. Yuk, siap-siap kebawa suasana sama kisah cinta yang nggak pernah diungkapin tapi nggak bisa dilupain. Selamat baca, dan hati-hati ya… siapa tahu kamu jadi inget seseorang!
Cinta Terpendam di SMA
Tatapan di Lorong Sekolah
Langit mendung sejak pagi, mengirimkan sinyal bahwa hari ini mungkin akan diiringi gerimis tipis. Lorong-lorong sekolah mulai ramai, para siswa berlalu-lalang dengan langkah cepat, mempersiapkan diri untuk kelas pertama. Di antara kerumunan itu, Shana berdiri sendiri, tak terlalu peduli dengan kehebohan di sekitarnya. Pandangannya terpaku ke arah satu sosok yang berjalan di sisi lain lorong, seorang pria dengan rambut hitam sedikit acak, memakai seragam yang terkesan agak longgar namun tetap terlihat rapi.
Seno – cowok pendiam yang selalu tampak tenang, seolah punya dunianya sendiri. Ada sesuatu tentang Seno yang membuat Shana tak pernah bisa mengalihkan pandangan, sesuatu yang lebih dari sekadar penampilan atau caranya berjalan. Sebuah misteri yang membuat Shana penasaran, bahkan lebih dari rasa penasaran terhadap rumus matematika yang biasa ia pecahkan dengan mudah.
Saat Seno berbelok dan menghilang ke dalam kelas, Shana masih berdiri di lorong itu, tanpa sadar tersenyum tipis. Ia tak mengerti mengapa dirinya selalu tertarik untuk melihat Seno setiap pagi. Mungkin karena tatapan mata itu – tatapan yang terkadang seperti mengatakan sesuatu, namun tak pernah benar-benar terucap. Rasanya seolah ada sekat di antara mereka, sebuah dinding tak terlihat yang membuatnya takut untuk mendekat.
Di tengah lamunannya, bel masuk berbunyi, mengingatkan Shana bahwa ia masih berada di sekolah, bukan di dunia khayalnya sendiri.
Pagi itu, kelas berjalan seperti biasa. Shana duduk di barisan tengah, tepat di belakang Seno. Dari posisinya, ia bisa mengamati rambut hitam Seno yang terkadang bergoyang sedikit saat pria itu menunduk untuk menulis. Ada hal-hal kecil yang membuat Shana semakin tertarik – seperti caranya memegang pensil, ekspresi seriusnya saat mendengarkan guru, atau sesekali kerutan di dahinya ketika ia mencoba memahami materi yang dijelaskan.
Di sela-sela pelajaran, Shana beberapa kali mencuri pandang ke arah Seno, berharap setidaknya pria itu menoleh dan menyadari keberadaannya. Tapi, seperti biasa, Seno tetap fokus pada apa yang ada di depannya, tak menyadari kehadiran Shana yang terus memperhatikannya. Keheningan di antara mereka seakan menjadi tembok yang semakin tebal, membuat perasaan Shana semakin dalam terpendam.
Saat pelajaran selesai, Shana melihat kesempatan untuk berbicara dengan Seno. Dengan perlahan, ia mendekati meja Seno yang masih sibuk membereskan bukunya. Hatinya berdebar, tangannya berkeringat, tetapi ia berusaha tenang.
“Eh, Seno,” Shana membuka suara, mencoba terdengar santai.
Seno menoleh perlahan. Sorot matanya tenang, namun ada sesuatu yang sulit diungkapkan di balik tatapan itu. “Iya, ada apa?”
Shana tersenyum, berusaha menutupi kegugupannya. “Kamu ngerti materi tadi? Jujur aja, aku agak kesulitan nangkepnya.”
Seno mengangguk singkat. “Lumayan ngerti sih. Kalau mau, aku bisa bantu jelasin nanti di perpustakaan.”
Perasaan senang berdesir di dada Shana. Ia hampir tak percaya Seno menawarinya bantuan. “Beneran? Eh, iya-iya. Terima kasih, ya. Aku butuh banget sih penjelasan tambahan.”
Seno tersenyum tipis, ekspresinya tetap tenang. “Sama-sama. Aku juga sekalian pengin belajar lebih mendalam. Jadi, nanti aja habis pulang sekolah?”
Shana mengangguk antusias. “Setuju! Nanti ketemu di perpustakaan, ya.”
Mereka pun berpisah, meninggalkan kelas dengan perasaan berbeda di dada masing-masing. Bagi Shana, ini adalah awal dari kesempatan untuk lebih dekat dengan Seno, mungkin membuka sedikit tabir misteri yang selalu menyelimutinya. Bagi Seno, ia hanya melihatnya sebagai kesempatan belajar bersama – atau setidaknya begitulah yang terlihat dari caranya bersikap.
Sore harinya, Shana menunggu di perpustakaan. Jantungnya kembali berdebar saat melihat sosok Seno masuk, dengan langkah yang mantap dan sikap yang tetap tenang. Mereka memilih meja di sudut ruangan, jauh dari pandangan orang lain. Seiring dengan keheningan perpustakaan, Shana merasa detak jantungnya makin cepat.
“Aku bawa beberapa catatan tambahan. Mungkin bisa bantu kamu juga,” ujar Seno sambil mengeluarkan buku catatannya.
Shana tersenyum penuh semangat. “Kamu rajin banget, ya. Aku nggak se-teratur ini nyatatnya.”
“Kalau nggak rajin, susah buat ngertiin pelajaran,” jawab Seno santai.
Obrolan mereka berjalan pelan. Seno menjelaskan materi dengan sabar, dan Shana mendengarkan dengan perhatian penuh. Di tengah-tengah penjelasan, sesekali tatapan mereka bertemu. Setiap kali itu terjadi, Shana merasakan ada yang bergetar di dadanya. Meski mereka tak mengatakan apa-apa tentang perasaan, suasana di antara mereka terasa berbeda, seperti ada yang terpendam di sana.
Ketika selesai belajar, suasana berubah menjadi hening. Shana memandangi Seno yang tengah membereskan bukunya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya terasa kelu. Ada begitu banyak kata yang ingin ia ucapkan, namun rasa takut akan respons Seno menahan semuanya. Cinta yang ia rasakan begitu nyata, namun terlalu dalam untuk sekadar diucapkan.
“Kalau ada yang dipendam lama-lama, nggak takut jadi beban?” tanya Seno tiba-tiba, suaranya pelan namun terdengar jelas.
Shana terdiam sejenak, kaget dengan pertanyaan itu. Ia mencoba mencari makna di balik kata-kata Seno, bertanya-tanya apakah pria itu menyadari perasaannya.
“Kadang, beberapa perasaan memang lebih baik dipendam,” jawab Shana dengan suara yang hampir berbisik.
Seno menatapnya dalam-dalam, seolah berusaha membaca sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya. “Mungkin,” ucapnya singkat.
Di luar, langit mulai berubah warna, senja yang mulai menutup hari. Mereka berdua keluar dari perpustakaan dengan langkah yang perlahan, tanpa kata-kata tambahan, hanya keheningan yang seakan bicara sendiri.
Di saat seperti ini, Shana tahu bahwa ada sesuatu yang tak mungkin ia miliki. Perasaan itu tetap akan tertinggal sebagai rahasia, cinta yang ia simpan sendiri, tanpa pernah tahu apakah Seno merasakan hal yang sama atau tidak.
Di lorong sekolah yang sepi, hanya ada bayangan mereka yang perlahan menjauh. Shana sadar, meski perasaan itu akan terus terpendam, ia takkan pernah benar-benar mampu melupakan senyum tipis dan tatapan hangat yang pernah ia terima di perpustakaan sore itu.
Perasaan yang tak terucap, cinta yang tak tersampaikan, namun tetap ada – seperti bayangan yang tak pernah lepas dari ingatan.
Bisikan di Perpustakaan
Pagi yang cerah menyambut hari berikutnya. Suara riuh rendah siswa yang tengah mengobrol memenuhi lorong-lorong sekolah, namun di tengah keramaian itu, ada satu sosok yang terlihat tenggelam dalam pikirannya sendiri. Shana berjalan dengan tatapan kosong, pikirannya terus berputar mengingat momen di perpustakaan sore kemarin. Kata-kata Seno, “Kalau ada yang dipendam lama-lama, nggak takut jadi beban?” berulang di benaknya.
Shana menghela napas panjang. Ia tak tahu bagaimana harus menghadapinya hari ini, seakan percakapan kecil kemarin sudah cukup membuatnya bingung setengah mati. Ia menahan diri untuk tidak berpikir terlalu jauh, mencoba menenangkan debaran hatinya setiap kali membayangkan mata Seno yang tenang namun misterius. Tapi bagaimana bisa? Seno seakan punya tempat tersendiri di pikirannya, sebuah ruang yang tak bisa ia kosongkan begitu saja.
Pikiran Shana melayang kembali pada saat-saat mereka belajar bersama. Walaupun hanya percakapan biasa, ada kehangatan yang berbeda saat Seno berbicara dengannya. Seno selalu tampak tenang dan sederhana, tapi justru kesederhanaan itu yang membuatnya semakin sulit dilupakan.
Saat pelajaran pertama dimulai, Shana berusaha memusatkan perhatian pada buku pelajarannya, tapi pandangannya terus teralih pada punggung Seno yang duduk tak jauh di depannya. Sesekali, Seno tampak menoleh ke arah jendela, memperlihatkan profil wajahnya yang teduh di bawah sinar matahari pagi. Shana hanya bisa memperhatikan dari kejauhan, menyadari bahwa jarak di antara mereka bukan hanya sekadar beberapa langkah – melainkan jarak yang lebih dalam, sebuah dinding tak kasatmata yang tak mungkin ia lewati.
Saat istirahat, Shana duduk sendirian di bangku taman belakang sekolah. Di antara keramaian, taman itu memang tempat favoritnya untuk menyendiri, mencari ketenangan. Namun kali ini, perasaan tenang itu tak benar-benar hadir. Di kepalanya, hanya ada sosok Seno yang terus-menerus menghantui.
“Eh, Shana!” suara yang familiar membuyarkan lamunannya.
Ia mendongak dan melihat Rina, sahabatnya yang sedang tersenyum lebar. “Sendirian aja di sini? Lagi mikirin siapa sih?” Rina menggodanya, matanya menyipit penuh rasa penasaran.
Shana tertawa kecil, berusaha menutupi kegelisahannya. “Nggak ada. Lagi… santai aja, cari udara.”
“Ah, udahlah, ngaku aja,” ujar Rina sambil menatapnya dengan tatapan usil. “Lagian, kamu tuh udah lama banget diem-diem aja. Teman-teman pada bilang kamu kayak suka murung gitu belakangan.”
Shana tersenyum tipis. Ia tahu, Rina sebenarnya hanya bercanda, tapi kata-katanya seperti mengungkapkan hal yang selama ini ia coba sembunyikan. Apakah begitu terlihat dari luar? Apa perasaan itu terlalu nyata hingga orang-orang mulai menyadarinya?
Rina menggoyang-goyangkan bahunya, seolah ingin menuntut jawaban. “Ayo dong cerita. Aku penasaran deh, siapa yang bisa bikin Shana jadi kayak gini.”
Shana akhirnya menghela napas panjang, mencoba berbicara tanpa terlalu banyak mengungkapkan. “Enggak, Rin, aku cuma… lagi bingung aja. Ada seseorang yang, ya… sulit buat dijelasin.”
Rina menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. “Hmm, mungkin kamu cuma takut buat ngomong. Tapi kalau dipendam terus, ya makin nggak enak sendiri.”
Kata-kata Rina mengingatkan Shana akan perkataan Seno kemarin. Lagi-lagi, seperti ada bisikan yang mengarahkannya untuk jujur pada perasaannya sendiri. Tapi jujur bagaimana? Rasa ini seperti ilusi – tak terjangkau dan tak mungkin ia wujudkan.
Sore itu, Shana kembali ke perpustakaan, meskipun kali ini bukan untuk belajar dengan Seno. Ia hanya ingin mencari kedamaian, atau mungkin mencari jejak sisa-sisa percakapan kemarin. Duduk di meja yang sama, Shana menatap buku-buku di hadapannya tanpa benar-benar membacanya. Hatinya justru sibuk mengingat kembali kata-kata yang ia simpan sendiri.
Namun tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Shana menoleh dan menemukan Seno berdiri di sana, membawa beberapa buku di tangannya. Mereka bertatapan sejenak, dan Shana merasa seolah dunia di sekitarnya berhenti.
“Kamu… lagi belajar sendiri?” tanya Seno sambil duduk di kursi sebelahnya, nada suaranya terdengar akrab, seperti sore kemarin.
Shana mengangguk, mencoba menyembunyikan debaran jantungnya yang makin cepat. “Iya… cuma ngulang-ngulang pelajaran aja. Lagi nggak ada kegiatan lain.”
Seno membuka salah satu bukunya dan mulai membaca. Di sisi lain, Shana merasa canggung. Ia tak tahu harus berbicara apa atau bertanya apa. Tapi ia ingin, setidaknya, berbagi sesuatu yang lebih dari sekadar kesunyian ini.
“Kamu suka perpustakaan, ya?” Shana akhirnya berbicara, memecah keheningan.
Seno mengangguk pelan, tanpa menoleh. “Ya, suka aja. Tenang di sini. Nggak banyak gangguan.”
“Kalau ada sesuatu yang bikin kamu gelisah, biasanya kamu ke sini, gitu?”
Seno tertawa kecil, suaranya nyaris tak terdengar. “Kamu mulai tahu banyak soal aku, ya?”
Shana tersenyum, meskipun sedikit malu. “Enggak juga… cuma tebak-tebakan aja.”
Mereka kembali tenggelam dalam keheningan, hanya suara lembaran buku yang dibalik yang terdengar samar. Ada perasaan nyaman yang aneh di situ, seolah-olah tak perlu ada kata-kata lagi. Namun, di balik itu, hati Shana semakin penuh. Ia tahu bahwa perasaan ini tak akan pernah benar-benar hilang.
Seno menutup bukunya dan menghela napas pelan, mengalihkan pandangannya pada jendela perpustakaan yang menghadap ke luar. “Kamu pernah ngerasa kayak ada sesuatu yang pengin banget kamu ucapin, tapi nggak tahu gimana caranya?”
Shana menatap Seno, kaget dengan pertanyaan itu. Ia hampir merasa seolah Seno bisa membaca pikirannya. “Iya… sering malah.”
Seno tersenyum kecil. “Aku juga gitu. Ada hal-hal yang aku pendam sendiri, nggak ada yang tahu.”
Mendengar pengakuan itu, hati Shana semakin kacau. Ia ingin tahu apa yang dipendam oleh Seno, apa yang selalu membuat pria itu tampak menyendiri dan penuh rahasia. Tapi ia tak punya keberanian untuk bertanya lebih jauh.
“Hm… menurut kamu, kalau ada hal yang terpendam terlalu lama, suatu hari bakal jadi lebih mudah buat diungkapin atau malah makin sulit?” Seno melanjutkan pertanyaannya, kali ini menatap Shana dengan mata yang dalam.
Shana terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia tahu, perasaan yang ia simpan ini hanya akan semakin menyakitkan jika tak terucap. Tapi di saat yang sama, ia terlalu takut untuk mengungkapkannya, takut akan jawaban yang mungkin ia dapatkan.
“Mungkin… makin sulit,” jawabnya pelan. “Soalnya kita selalu mikir, ‘Nanti aja. Suatu saat.’ Tapi akhirnya, kita sendiri yang nyesel.”
Seno mengangguk, tatapannya kembali ke jendela, seolah tenggelam dalam pemikirannya sendiri. “Mungkin kamu benar,” katanya pelan.
Di saat itu, Shana merasakan sebuah kedekatan yang berbeda. Meski tak ada yang benar-benar diungkapkan, ada perasaan yang terhubung di antara mereka – perasaan yang tak terucap, tapi saling memahami. Hatinya ingin berteriak, ingin mengakui semuanya, tapi ia tetap memilih diam, memendam perasaan itu di dalam hatinya sendiri.
Mereka berpisah di perpustakaan sore itu, masing-masing menyimpan rahasia dan beban yang hanya mereka tahu. Saat Shana berjalan keluar, ia menyadari bahwa mungkin, perasaan yang ia pendam ini akan tetap menjadi misteri yang tak pernah terungkap, cinta yang hanya ia rasakan dalam diam.
Dan Seno, yang melangkah pergi, tampak seperti sosok yang semakin jauh. Jarak itu tak hanya fisik, tapi juga di hati – sebuah dinding yang semakin tebal seiring berjalannya waktu.
Keheningan yang Menghantui
Pagi itu, Shana merasakan sesuatu yang berbeda. Biasanya, ia bisa memulai hari dengan langkah ringan, meskipun kepala terasa sedikit berat karena tidur yang tak cukup, tapi hari ini, entah mengapa, ada perasaan yang mengganggu. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati, perasaan yang sudah terlalu lama ia pendam tapi tetap tak bisa dikeluarkan. Seno masih ada di pikirannya, seperti bayangan yang tak bisa menghilang meskipun ia mencoba menepisnya.
Di sekolah, segala sesuatu berjalan seperti biasa, tapi Shana merasa terjebak dalam rutinitas yang sama. Setiap kali ia melangkah, pikirannya kembali ke Seno. Kepercayaan dirinya terguncang setiap kali berpapasan dengan pria itu. Seno, yang kini semakin tampak dingin dan jauh. Tidak ada lagi senyum kecil seperti dulu. Mereka hanya saling mengangguk atau sekadar berinteraksi dalam percakapan singkat yang tak pernah membahas lebih jauh. Seolah-olah mereka sudah kembali menjadi dua dunia yang terpisah.
Shana berjalan ke kelas dengan langkah tergesa. Pikirannya kosong, tapi hatinya terasa penuh. Setiap sudut sekolah terasa asing. Ia tahu sesuatu sedang berubah. Tidak hanya dalam dirinya, tapi juga dalam hubungan yang tak pernah mereka beri nama itu. Tidak ada lagi percakapan panjang. Tidak ada lagi saat-saat yang membuat jantung Shana berdebar. Yang ada hanyalah kebisuan yang mengisi setiap ruang di antara mereka.
Namun, saat bel masuk berbunyi, dan ia melangkah masuk ke ruang kelas, matanya langsung menangkap sosok Seno yang duduk di bangkunya, seperti biasa, namun kali ini ia merasakan sesuatu yang berbeda. Seno tidak memandang ke arahnya, tidak seperti sebelumnya. Matanya tertuju pada buku di depannya, dengan ekspresi yang sama sekali tidak menggambarkan kehangatan yang dulu selalu ia rasakan. Ada jarak. Ada kebekuan di sana. Shana merasa cemas.
Kelas dimulai, dan pelajaran berlangsung seperti biasa. Semua siswa tampak fokus pada pelajaran, tapi Shana tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menghantuinya. Hatinya terus bertanya, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Seno begitu berbeda? Apakah ia merasakan hal yang sama, ataukah semuanya hanya ada dalam pikirannya saja?
Setelah pelajaran selesai, Shana mendapati dirinya duduk sendirian di bangkunya. Teman-temannya sudah beranjak pergi, meninggalkan ruang kelas yang kosong. Ia menatap layar ponselnya yang tiba-tiba bergetar, sebuah pesan dari Rina yang mengatakan, “Kamu udah ketemu Seno? Ngobrol, dong. Lama banget nggak kelihatan ngobrol berdua.”
Shana membaca pesan itu dengan perasaan yang campur aduk. Ia ingin membalas, ingin mengatakan bahwa ia rindu suasana seperti dulu, rindu kebersamaan yang kini terasa seperti kenangan jauh. Tapi kata-kata itu terasa berat untuk diungkapkan, terlalu besar untuk dibiarkan keluar. Perasaan itu bagaikan beban yang terus menekan, tapi ia tidak tahu bagaimana cara melepaskannya.
Melangkah keluar dari kelas, Shana berjalan menuju taman belakang sekolah. Ia ingin mencari kedamaian, menjauh dari keramaian yang hanya membuat pikirannya semakin kacau. Langkah kakinya terasa lambat, seakan setiap detik berlalu terlalu cepat, menyisakan waktu yang terlalu sedikit untuk bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaannya.
Taman belakang yang biasanya sepi, kini tampak sedikit lebih ramai dengan beberapa siswa yang sedang bersantai. Namun, Shana tidak mencari mereka. Ia duduk di bangku yang sama, di tempat yang biasa ia jadikan tempat untuk berpikir. Dari sini, ia bisa melihat langit yang biru, angin yang menyapu lembut daun-daun di sekitar. Suasana yang seharusnya menenangkan, justru semakin memperburuk keadaan. Pikiran Shana kembali berputar, berusaha mencari jalan keluar dari kebingungannya.
Beberapa saat kemudian, langkah kaki yang dikenal membuat Shana mendongak. Seno. Ia berjalan mendekat, matanya menatap ke depan, menghindari tatapan Shana. Hatinya berdegup kencang, dan seolah tubuhnya membeku sejenak. Apa yang harus ia katakan? Apa yang bisa ia ungkapkan setelah segala kebisuan ini?
Seno berhenti tepat di depan bangku Shana, masih dengan ekspresi yang tidak bisa Shana baca. “Shana,” panggilnya pelan, seolah kata-kata itu terasa berat di bibirnya.
Shana menatapnya, sedikit terkejut. “Seno…” jawabnya, suaranya nyaris tidak terdengar.
Mereka berdua hanya terdiam dalam kebisuan yang canggung. Angin berhembus pelan, membuat suasana terasa semakin hampa. Shana ingin berbicara, ingin melepaskan semua yang ada di hatinya, tapi rasanya kata-kata itu tidak cukup untuk menggambarkan semua yang ia rasakan.
Seno akhirnya duduk di bangku di sebelahnya. “Aku… maaf kalau aku jadi nggak seperti dulu,” ujarnya dengan suara serak. “Aku cuma… butuh waktu. Banyak hal yang sedang aku pikirkan.”
Shana menatapnya, hatinya mencelos. Seno… mengakuinya? Bahwa dia juga merasa ada yang berubah? Tapi, kenapa harus ada jarak yang semakin lebar? Kenapa harus ada waktu yang begitu panjang untuk bisa berbicara seperti ini?
“Kenapa kamu nggak bilang, Seno?” tanya Shana, suaranya hampir tak terdengar. “Kenapa kita harus diam-diam saja? Kenapa nggak langsung?”
Seno memandangnya dengan tatapan yang penuh kebingungan. “Aku takut. Aku takut kalau aku bilang sesuatu, malah akan merusak semuanya.”
Shana mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. “Kita sudah terlalu lama diam, Seno. Aku… aku nggak bisa lagi. Aku merasa seperti kita… semakin menjauh.”
Seno menunduk, seakan menyesali kata-katanya sendiri. “Aku tahu. Aku juga merasa begitu. Tapi kadang, aku takut, Shana. Takut kalau apa yang aku rasakan cuma sementara, atau kalau aku bikin kamu makin bingung.”
Shana menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai meluap. “Kenapa semuanya selalu terasa seperti penyesalan? Kenapa kita nggak bisa bilang apa yang kita rasakan dari awal? Kenapa harus ada waktu yang lama seperti ini?” kata Shana, suaranya bergetar.
Seno hanya diam, menatapnya tanpa kata. Ia tahu, ini bukan hanya tentang waktu, ini tentang ketakutan yang selama ini mereka pendam dalam hati masing-masing. Mereka berdua, sama-sama takut akan perasaan yang tak terucap.
Dan di tengah kebisuan itu, Shana merasa seperti waktu berhenti. Ia tahu bahwa apa yang mereka rasakan tidak bisa diputar kembali. Tidak ada kata-kata yang bisa mengembalikan semuanya ke keadaan semula. Tidak ada lagi ruang untuk bertanya-tanya, hanya ada kenyataan yang semakin membingungkan.
Seno akhirnya menghela napas panjang, kemudian berdiri. “Aku… mungkin kita harus berhenti sebentar. Pikirkan semuanya, sebelum melangkah lebih jauh.”
Shana hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya terasa terluka. Ia tahu, mungkin inilah saat yang paling sulit – saat di mana mereka harus berhenti sebelum memulai, saat di mana mereka harus membiarkan cinta yang terpendam ini tetap mengendap di dalam hati, tak terucap, tak tergapai.
Dan Seno, yang melangkah pergi, membiarkan jarak di antara mereka semakin melebar.
Kembali Menjadi Diri Sendiri
Waktu terus berjalan, meskipun perasaan yang belum tuntas itu tetap menggantung. Hari-hari di sekolah terasa semakin lama, dan setiap kali Shana menatap langit, ada rasa hampa yang datang menyusup. Ia tak tahu apakah Seno juga merasakannya. Sejak pertemuan terakhir di taman belakang, tak ada lagi kata-kata yang keluar. Keduanya memilih untuk berjalan dalam diam, seolah bersepakat bahwa waktu akan memberi jawaban. Namun, semakin lama mereka diam, semakin terasa bahwa jarak yang tercipta di antara mereka semakin sulit untuk dijembatani.
Shana mulai kembali fokus pada dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu banyak memberi ruang untuk perasaan yang tak terucap, terlalu banyak waktu yang terbuang hanya untuk menunggu sesuatu yang tak pasti. Dia kembali pada rutinitasnya—belajar, bertemu teman-temannya, dan menjalani hidup seperti biasa. Meski begitu, ada perasaan kosong yang ia bawa kemana-mana. Perasaan yang tak bisa diisi oleh apapun, selain Seno. Namun, semakin ia mencoba untuk menenangkan diri, semakin Seno terasa seperti kenangan yang tak bisa ia sentuh lagi.
Suatu pagi, di hari yang cerah, Shana melangkah keluar dari rumah dengan perasaan yang lebih ringan. Ia memutuskan untuk pergi ke taman kota setelah sekolah, untuk sekadar menghirup udara segar dan melepaskan kepenatan. Jalanan cukup ramai, namun hatinya terasa lebih tenang. Keputusan untuk tidak terlalu memikirkan Seno, meskipun sulit, mulai memberi dampak. Perlahan, ia merasa kembali menjadi dirinya sendiri. Tanpa Seno, tanpa bayangan-bayangan yang selama ini mengaburkan penglihatannya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rina: “Shana, kamu bisa ketemu Seno sebentar nggak? Ada yang pengen dia omongin.”
Shana terdiam, membaca pesan itu dengan hati yang mulai berdebar. Ia sempat ragu. Selama ini, ia sudah mencoba untuk menjalani hidup tanpa memikirkan Seno terlalu banyak. Tapi kini, pesan itu membuat perasaannya terombang-ambing. Apakah ini kesempatan untuk menyelesaikan semua yang tertunda, ataukah hanya akan membuat semuanya semakin rumit?
Tanpa berpikir panjang, Shana membalas pesan itu: “Oke, aku akan ke sana.”
Keputusan itu datang begitu saja, seperti aliran sungai yang tidak bisa dihentikan. Dengan langkah sedikit lebih cepat, Shana menuju ke taman sekolah, tempat yang dulu sering menjadi saksi bisu obrolan ringan dan tawa mereka. Taman itu tampak sepi, hanya ada beberapa siswa yang duduk di bangku jauh di sudut taman.
Dan di sana, di bawah pohon besar, berdirilah Seno. Kali ini, ia terlihat berbeda. Tidak ada kecanggungan, tidak ada keraguan dalam langkahnya. Dia hanya berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, menatap ke arah Shana dengan mata yang lebih dalam dari sebelumnya.
Shana menghampirinya dengan hati yang berdebar. Tidak ada kata-kata yang langsung keluar, hanya ada keheningan yang mengisi ruang di antara mereka.
Seno membuka mulutnya, akhirnya. “Shana, aku ingin minta maaf. Aku nggak pernah tahu gimana caranya ngomong ini, tapi… aku rasa aku salah.” Suaranya terdengar lebih tenang dari yang Shana bayangkan, namun ada kejujuran yang begitu kuat dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya.
Shana hanya menatapnya, mencoba menenangkan diri. “Kenapa baru sekarang kamu bilang itu? Kita udah lama diam, Seno. Terlalu lama.”
Seno mengangguk perlahan, matanya masih tertuju pada Shana. “Aku tahu. Aku takut, Shana. Aku takut kalau aku bilang sesuatu yang salah, atau malah bikin kamu nggak nyaman. Tapi aku nggak bisa lagi hidup dengan penyesalan ini. Aku nggak bisa lagi terus-menerus menyembunyikan perasaan yang sebenarnya udah ada sejak lama.”
Shana menunduk, perasaannya campur aduk. Ia ingin marah, ingin meluapkan semua kekesalannya. Tapi entah kenapa, ia juga merasakan hal yang sama. Perasaan itu, yang selama ini dia coba untuk hindari, kini muncul begitu jelas. Ia ingin berbicara, ingin mengungkapkan semua yang selama ini terpendam.
“Jadi, kamu… kamu juga merasa seperti itu?” tanya Shana dengan suara lembut. “Kamu juga merasa ada sesuatu yang tak terucap antara kita?”
Seno tersenyum tipis. “Iya, Shana. Aku rasa kita berdua sudah tahu jawabannya. Kita sudah lama saling pendam, dan sekarang, aku nggak mau lagi. Aku nggak mau kita terus berlarut-larut dalam ketidakpastian.”
Shana terdiam, memikirkan kata-kata itu. Ia bisa merasakan keringat dingin di telapak tangannya. “Tapi, Seno… apa yang terjadi kalau kita nggak bisa lagi kembali seperti dulu? Apa yang terjadi kalau kita tetap terjebak dalam perasaan yang nggak terucap ini?”
Seno menghela napas panjang, berjalan mendekat. “Aku nggak tahu. Tapi aku nggak ingin kita menyesal. Kita punya pilihan sekarang, Shana. Kita bisa mencoba untuk melihat apa yang bisa terjadi, atau kita bisa tetap terjebak dalam kebisuan ini selamanya.”
Shana menatap Seno dalam-dalam, merasakan detak jantung yang semakin cepat. Ini adalah pilihan yang sulit, namun juga merupakan pilihan yang paling nyata. Perasaan yang sudah terlalu lama terpendam, kini harus dihadapi, untuk akhirnya menemukan jawaban. Ia mengangguk pelan, meskipun hati masih penuh keraguan.
“Kalau kita benar-benar mencoba, apa yang akan terjadi, Seno?” Shana bertanya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Seno tersenyum, kali ini senyum yang tulus. “Aku nggak bisa janji banyak, Shana. Tapi aku janji aku akan berusaha. Kita berdua akan berusaha.”
Shana merasakan beban di hatinya sedikit terangkat. Ia tahu, ini bukan akhir, tapi mungkin adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang tidak pasti, namun penuh harapan. Sesuatu yang mungkin akan membawa mereka lebih dekat, atau mungkin justru membuat mereka semakin jauh. Namun, satu hal yang pasti: mereka tidak akan lagi terjebak dalam kebisuan itu. Tidak ada lagi kata-kata yang tak terucap.
Dengan langkah kecil, Shana berjalan mendekat, menyandarkan kepalanya di bahu Seno. Mereka berdua terdiam, menikmati saat yang penuh arti, yang tak terucap dalam kata-kata, namun begitu jelas terasa di hati.
Dan dalam keheningan itu, mereka tahu bahwa ini adalah pilihan yang tepat. Sesuatu yang harus mereka perjuangkan, meskipun mereka tak tahu bagaimana jalan ke depan akan terbentuk. Tapi yang penting, sekarang mereka tidak lagi merasa asing satu sama lain.
Akhirnya, mereka menemukan kembali diri mereka.
Jadi, gimana rasanya? Kadang, yang terpendam itu justru paling ngena, ya? Karena nggak semua perasaan bisa diungkap, tapi juga nggak semuanya hilang gitu aja. Buat kamu yang pernah, atau lagi ngerasain cinta yang nggak sempat terucap, ingat aja: mungkin ada waktunya nanti—atau mungkin, justru yang tak terucap itu yang paling indah untuk disimpan. Makasih udah baca sampai akhir, semoga kamu juga nemuin jawabannya, entah dengan orang itu… atau dengan diri sendiri.