Selamat Tinggal Ibu: Sepenggal Kisah Kehilangan Lola

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Bagaimana rasanya menjalani hidup setelah kehilangan seseorang yang paling dicintai? Cerpen “Mengikhlaskan yang Tak Terikhlaskan” membawa kita dalam perjalanan emosional seorang gadis remaja yang mencoba berdamai dengan kehilangan ibunya.

Kisah ini tidak hanya tentang rasa sedih, tapi juga tentang menemukan kekuatan baru, cinta yang tak berkesudahan, dan cara mengikhlaskan kepergian orang tersayang. Cerita yang penuh emosi ini akan membawa pembaca merasakan setiap langkah perjuangan, hingga akhirnya menemukan cara untuk melanjutkan hidup dengan cinta yang tetap abadi.

 

Sepenggal Kisah Kehilangan Lola

Kenangan di Balik Senja

Langit mulai berwarna jingga, perlahan berubah menjadi ungu pekat saat mentari menyentuh cakrawala. Sore itu, seperti sore-sore biasanya, Lola duduk bersama ibunya di teras depan rumah. Ibunya tersenyum hangat sambil menyeruput teh hangat yang masih mengepulkan asap tipis.

Lola merasakan ketenangan yang luar biasa setiap kali menghabiskan waktu bersama ibunya. Ibunya bukan hanya sosok ibu yang penuh kasih sayang, tetapi juga sahabat dan pelindung baginya. “Bu, senja ini cantik, ya?” kata Lola sambil menatap langit yang mulai berubah warna. Ibunya hanya mengangguk pelan, lalu mengusap rambut Lola. “Iya, Nak. Senja selalu mengingatkan ibu kalau semua hal di dunia ini ada akhirnya. Tapi, justru itu yang membuatnya indah.”

Percakapan-percakapan kecil seperti itu selalu terpatri dalam hati Lola. Meskipun Lola memiliki banyak teman dan dikenal sebagai sosok yang gaul di sekolah, ia merasa ada ruang yang tidak bisa diisi oleh siapa pun kecuali ibunya. Hanya di hadapan ibunya, Lola bisa menjadi dirinya sendiri tanpa berpura-pura.

Namun, Lola tak pernah menyadari bahwa di balik senyum dan kasih sayang yang selalu ibunya berikan, tersimpan rasa sakit yang selama ini ditahannya. Awalnya, Lola hanya merasa ibunya menjadi sedikit lebih pendiam, terkadang terbatuk pelan saat malam tiba. Namun, setiap kali Lola menanyakan apakah ibunya sakit, ia selalu mendapat jawaban yang sama, “Ibu baik-baik saja, Lola. Jangan khawatir, ya.”

Tapi Lola merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Setiap kali ibunya terbatuk, ada rasa sesak di dada Lola yang sulit dijelaskan. Meski ibunya pandai menyembunyikan rasa sakitnya, Lola tetap bisa melihat sorot kelelahan di mata ibunya yang sayu, dan itu membuat hati Lola terasa semakin khawatir.

Suatu malam, Lola terbangun karena mendengar suara batuk keras dari kamar ibunya. Dengan napas tertahan, ia mendekati pintu kamar ibunya. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat ibunya memegang dadanya sambil menahan sakit. Lola ingin masuk, namun ia merasa ragu. Ketakutan menghantui pikirannya ia takut melihat kenyataan bahwa ibunya memang benar-benar sakit.

Namun, meskipun rasa takut itu semakin kuat, Lola mencoba untuk tetap berpura-pura tidak tahu. Baginya, jika ia tidak mengakui sakit yang dialami ibunya, mungkin kenyataan pahit itu tidak akan terjadi. Tetapi dalam hatinya, ia tahu, ia tidak bisa terus menghindari kenyataan.

Di sekolah, Lola tetap tampil ceria dan aktif. Bersama teman-temannya, ia menjadi sosok yang selalu membawa keceriaan di setiap kesempatan. Dia memimpin tim teater, aktif di ekskul basket, dan bahkan terpilih sebagai ketua panitia acara festival sekolah. Semua orang mengenal Lola sebagai anak yang tak pernah kehabisan semangat. Namun, di tengah kesibukannya itu, ada saat-saat di mana Lola merasa sangat sendirian, terutama ketika bayangan ibunya yang sakit tiba-tiba terlintas dalam pikirannya.

Suatu sore, setelah pulang dari latihan teater, Lola menemukan ibunya duduk terdiam di sofa ruang tamu. Wajah ibunya terlihat lebih pucat dari biasanya, dengan lingkaran hitam di bawah mata. Lola merasa ada sesuatu yang harus ia katakan, meskipun perasaan takutnya masih menyelimuti hati. “Bu, Lola boleh tanya sesuatu?” ucapnya sambil duduk di samping ibunya.

Ibunya tersenyum kecil dan mengangguk, meski Lola bisa melihat sedikit kecemasan di mata ibunya. “Iya, Nak. Ada apa?”

“Bu… kenapa Ibu sering sakit belakangan ini? Lola tahu Ibu selalu bilang kalau Ibu baik-baik saja, tapi Lola bisa melihatnya,” katanya dengan suara lirih, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh.

Ibunya hanya terdiam sejenak, kemudian menggenggam tangan Lola dengan lembut. “Maafkan ibu, Nak, karena ibu belum bisa menjawab pertanyaan itu. Ada hal-hal yang kadang ibu juga tidak ingin kamu ketahui. Tapi, ingat satu hal, ya? Ibu selalu ada untuk kamu. Apa pun yang terjadi, ibu tidak akan pernah berhenti menyayangi kamu.”

Kata-kata ibunya membuat hati Lola semakin sesak. Ada perasaan bersalah yang menghantui, mengapa ia tidak bisa berbuat lebih untuk ibunya? Malam itu, Lola menangis di balik pintu kamar, mendoakan agar ibunya segera pulih. Ia berjanji dalam hatinya, apa pun yang terjadi, ia akan selalu ada untuk ibunya, seperti ibunya selalu ada untuknya.

Namun, janji itu menjadi berat ketika semakin hari kondisi ibunya semakin memburuk. Di sekolah, Lola sering terdiam di tengah pelajaran, pikirannya melayang pada ibunya yang mungkin sedang kesakitan di rumah. Setiap sore, ia berusaha pulang lebih cepat, berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama ibunya.

Pada suatu senja yang lain, ketika mereka duduk berdua di teras rumah, ibunya memeluk Lola erat. “Ibu selalu bangga padamu, Lola. Kamu adalah anak yang kuat dan hebat,” bisik ibunya dengan suara yang terdengar sedikit lemah. Lola terisak di dalam pelukan ibunya, merasa ketakutan yang semakin nyata.

Hari-hari berlalu, dan Lola semakin sering menemani ibunya. Setiap sore, mereka menikmati senja bersama, meskipun Lola tahu senja itu mungkin akan menjadi salah satu yang terakhir baginya bersama ibunya. Ia tak pernah menyangka bahwa setiap senja yang mereka nikmati, adalah saat-saat terakhirnya berbagi kenangan bersama ibu yang begitu ia cintai.

Dalam hati Lola, ia tahu bahwa perjuangan untuk menghadapi kenyataan akan segera datang. Meski berat, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu kuat, seperti yang ibunya ajarkan, meski harus melalui hari-hari yang mungkin tak lagi sama setelah ini.

 

Tangis di Hari Terakhir

Pagi itu, Lola terbangun dengan firasat yang berat. Matahari bahkan belum muncul, dan rumah masih diselimuti keheningan. Ada ketidaknyamanan yang entah dari mana, seakan ada yang salah. Namun, Lola mencoba mengabaikannya. Ia bangun, bersiap-siap ke sekolah, dan berusaha melanjutkan harinya seperti biasa.

Di meja makan, ayahnya duduk dengan wajah lesu. Ia mencoba menyapa Lola dengan senyum, tapi Lola melihat gurat kesedihan di matanya. Pagi itu, ibunya tak terlihat. Biasanya, ibunya bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan atau sekadar menyapa Lola dan ayahnya sebelum mereka pergi beraktivitas. “Ayah, Ibu mana?” tanya Lola pelan, merasa cemas.

Ayahnya menunduk sejenak, kemudian menjawab dengan suara serak, “Ibu masih istirahat, Nak. Belakangan ini, dia sering merasa lelah.” Ada keheningan yang aneh setelah jawaban itu. Lola menatap ayahnya dengan tatapan ragu, merasakan firasat yang semakin buruk.

“Ibu baik-baik saja, kan, Yah?” tanyanya lagi, berharap mendengar jawaban yang bisa meredakan hatinya.

Ayahnya tersenyum kecil, tapi senyum itu hanya menambah rasa khawatir di hati Lola. “Iya, Lola. Ibu akan baik-baik saja,” ucapnya, seakan menguatkan dirinya sendiri. Lola mengangguk pelan, meski hatinya tetap tak tenang. Dengan berat hati, ia berangkat ke sekolah, mencoba mengabaikan perasaan gelisah yang terus menyelimutinya.

Di sekolah, Lola berusaha mengalihkan pikirannya. Ia bergabung dengan teman-temannya di kelas, bercanda, dan tertawa seolah tak ada beban. Namun, ada sesuatu yang mengganggunya setiap kali ia teringat senyuman lelah ayahnya pagi tadi. Rasa gelisah itu tak kunjung hilang, malah semakin menguat seiring berjalannya waktu.

Di tengah-tengah pelajaran, ponselnya bergetar di dalam tas. Lola mengeluarkannya dengan hati-hati, dan melihat sebuah pesan dari ayahnya: Lola, cepat pulang sekarang juga. Ibu…

Kata-kata itu membuat hati Lola berhenti berdetak sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia meminta izin pada guru untuk meninggalkan kelas. Ia berlari keluar sekolah, tak peduli pada tatapan bingung teman-temannya. Perasaan gelisah yang tadi ia rasakan kini berubah menjadi rasa takut yang mencekam.

Sepanjang perjalanan, bayangan ibunya terus terlintas dalam pikirannya. Hatinya dipenuhi doa yang tak henti-hentinya ia ucapkan dalam hati, berharap ibunya masih bertahan, berharap ia masih punya waktu untuk bersama ibunya, untuk mengatakan semua hal yang belum sempat ia ungkapkan.

Setibanya di rumah, Lola melihat beberapa tetangga sudah berkumpul di depan rumah. Ada yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca, sementara yang lain menunduk dalam diam. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya gemetar saat ia melangkah masuk ke dalam rumah.

Di ruang tamu, ia melihat ayahnya berdiri di samping tubuh ibunya yang terbaring diam di sofa. Air mata sudah membasahi wajah ayahnya, dan Lola langsung tahu ibunya telah pergi. Tubuhnya melemas, dunia seakan runtuh di hadapannya. Ia terjatuh di samping ibunya, memegang tangan ibunya yang kini terasa dingin. Tubuhnya gemetar, dan isak tangis yang selama ini ia tahan akhirnya pecah.

“Ibu… kenapa?” isaknya, suaranya parau dan lemah. “Kenapa Ibu harus pergi sekarang?”

Ayahnya menepuk bahu Lola pelan, berusaha menenangkan, meski Lola tahu ia sendiri juga terpuruk dalam kesedihan. “Ibu sudah berjuang keras, Nak. Dia selalu ingin kamu bahagia,” ujar ayahnya pelan, suaranya terdengar berat menahan tangis.

Di samping tubuh ibunya yang terdiam abadi, Lola merasakan sakit yang begitu dalam. Seakan ada bagian dari dirinya yang ikut pergi bersama kepergian ibunya. Betapa banyak hal yang belum sempat ia lakukan bersama ibunya. Ia bahkan belum sempat mengucapkan betapa ia sangat mencintai dan menghargai setiap momen bersama ibunya.

Teman-teman Lola datang satu per satu ke rumah, membawa bunga dan pelukan untuknya. Namun, semua simpati yang datang terasa tak cukup untuk mengobati rasa sakit di hatinya. Lola tahu, tidak ada yang bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan ibunya. Ia merasa hampa, seperti kehilangan arah dan tujuan.

Hari itu terasa panjang, penuh dengan kesedihan yang menguras seluruh tenaga dan perasaannya. Lola hanya bisa menatap tubuh ibunya dengan pandangan kosong, merasakan rasa kehilangan yang begitu besar. Teman-temannya mencoba menguatkan Lola dengan kata-kata penghiburan, namun tak ada yang mampu menggantikan sosok ibunya.

Malam harinya, saat rumah mulai sepi dan semua tamu sudah pulang, Lola duduk di samping ayahnya. Mereka hanya saling menatap, tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kesedihan yang mereka rasakan. Di tengah keheningan itu, ayahnya memeluk Lola erat, dan untuk pertama kalinya, Lola membiarkan dirinya menangis tanpa menahan apa pun.

“Kamu harus kuat, Lola. Ibu pasti ingin melihatmu bahagia,” bisik ayahnya pelan. Lola hanya mengangguk sambil terisak. Ia tahu, ibunya ingin melihatnya bahagia, tapi bagaimana caranya ia melanjutkan hidup tanpa sosok yang begitu berarti dalam hidupnya?

Hari-hari setelah kepergian ibunya adalah perjuangan yang sangat berat bagi Lola. Setiap pagi ia terbangun dengan perasaan kosong, berharap menemukan ibunya di meja makan, namun hanya mendapati kursi kosong yang selalu diisi ibunya. Setiap sore, ketika langit berwarna jingga, Lola duduk sendiri di teras, memandangi senja yang dulu selalu ia nikmati bersama ibunya. Kenangan-kenangan itu mengalir seperti luka yang tak pernah sembuh, mengingatkan Lola betapa kehilangan itu begitu menyakitkan.

Meskipun begitu, Lola mencoba tetap bertahan. Ia tahu, ibunya tidak ingin melihatnya terpuruk. Ia ingat pesan terakhir ibunya: “Jangan pernah berhenti tersenyum, Nak.” Kata-kata itu menjadi pengingat bagi Lola untuk tetap melanjutkan hidup, meskipun terasa begitu sulit.

Di sekolah, teman-temannya tetap mendukungnya, berusaha membuat Lola kembali tersenyum. Mereka memahami betapa beratnya hari-hari Lola sekarang. Meski hatinya masih terluka, Lola tahu ia tidak sendirian. Ayahnya, teman-temannya, semuanya ada untuknya, memberi dukungan dan cinta yang membantunya melangkah meski berat.

Perlahan-lahan, Lola mulai menerima kenyataan bahwa ibunya memang telah pergi. Ia belajar untuk mengatasi rasa sakit itu sedikit demi sedikit. Meski luka di hatinya tak akan pernah benar-benar sembuh, Lola tahu ia harus tetap berjuang, menjalani hidup sesuai keinginan ibunya, dan menemukan kekuatan di tengah kesedihan yang mendalam.

Di setiap senja yang ia pandangi, Lola merasa ibunya masih ada, bersama dalam ingatan dan kenangan indah yang akan selalu ia simpan di dalam hatinya. Ia berjanji, suatu hari nanti, ia akan menemukan kebahagiaan seperti yang diinginkan ibunya meskipun untuk itu ia harus melewati perjuangan panjang dan penuh air mata.

 

Melawan Sepi dalam Kenangan

Hari-hari setelah kepergian ibu berlalu dengan berat. Lola menjalani hidupnya dengan perasaan kosong yang terus mengikutinya. Setiap sudut rumah menyimpan bayangan ibunya, setiap kenangan tercium di udara, dan setiap suara di rumah membawa ingatan yang membuat hatinya perih. Meski ia mencoba untuk tegar, perasaan sepi sering kali menguasainya, memaksanya untuk menangis dalam kesunyian kamarnya. Ia merasa kehilangan arah, seolah hidupnya kini hanyalah bayang-bayang tanpa tujuan.

Ayahnya selalu berusaha menghibur Lola, meskipun dirinya sendiri masih terpuruk dalam kesedihan yang sama. Setiap malam, ayahnya masuk ke kamar Lola, memeluknya, dan mengatakan bahwa mereka akan melewati semua ini bersama. Tetapi, meski mendengar kata-kata ayahnya, Lola merasa seolah ada dinding di antara mereka dinding kesedihan yang tak pernah bisa benar-benar dihancurkan.

Di sekolah, Lola mencoba untuk terlihat biasa. Ia ingin menunjukkan pada teman-temannya bahwa ia kuat, bahwa ia bisa menjalani hari-hari tanpa tenggelam dalam kesedihan. Namun, setiap kali ia mencoba tersenyum atau tertawa bersama mereka, ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyusup. Ia merasa seolah-olah sedang mengkhianati ibunya, menikmati hidup sementara ibunya telah pergi. Teman-temannya berusaha menghiburnya, tapi Lola selalu merasa ada jarak yang tak bisa dijembatani. Ia kehilangan bagian penting dari dirinya, dan tak ada yang bisa menggantikan kekosongan itu.

Satu hari, setelah pulang sekolah, Lola memutuskan untuk merapikan kamar ibunya yang selama ini tak ia sentuh. Setiap kali melewati pintu kamar itu, hatinya merasa sakit, tetapi hari itu, ia merasa terdorong untuk masuk dan menata kembali barang-barang ibunya. Ia berjalan pelan-pelan, menahan air mata yang mulai menggenang, lalu membuka pintu dengan perlahan.

Aroma khas ibunya masih tersisa di kamar itu aroma lembut yang selalu membuat Lola merasa tenang. Di atas meja, ada buku harian ibunya yang tertinggal, dan Lola meraihnya dengan hati-hati. Dengan jemari yang gemetar, ia membuka halaman-halaman buku itu, menelusuri kata-kata yang ditulis ibunya. Air mata mulai mengalir deras ketika ia membaca tulisan-tulisan sederhana penuh cinta, cerita-cerita kecil tentang keseharian mereka.

Lola menemukan halaman yang ditulis ibunya beberapa hari sebelum ia jatuh sakit. Tulisan itu bercerita tentang betapa bangganya sang ibu pada Lola, tentang harapannya agar Lola bisa menjalani hidup dengan bahagia, meski suatu hari ia tak lagi berada di sisinya. “Hidup ini akan sulit, Nak, tetapi kamu harus percaya bahwa kamu kuat. Kamu mampu melalui semua ini, dan aku akan selalu ada di dalam hatimu.”

Pesan itu membuat hati Lola remuk. Ia menangis sejadi-jadinya, membiarkan semua emosi yang selama ini ia pendam tumpah. Tangisnya memenuhi kamar itu, menyatu dengan kenangan dan perasaan yang membanjiri setiap sudut ruang. Ia menyadari betapa ibunya telah memberinya kekuatan bahkan dari jauh, memberikan keyakinan bahwa ia bisa bangkit.

Sejak saat itu, Lola membawa buku harian ibunya ke mana-mana. Di setiap halaman, ia menemukan semangat baru, seolah ibunya masih membimbingnya dari balik kata-kata di dalam buku itu. Ia mulai mencatat perasaannya sendiri di buku yang sama, membagikan kisah harian pada sosok yang kini hanya bisa ia temui dalam ingatan.

Namun, meski ada sedikit semangat baru, perjuangan Lola untuk bangkit tak pernah mudah. Ia sering terjebak dalam kesedihan, merasa rindu yang tak terhingga pada ibunya. Ada hari-hari di mana ia tak bisa menahan air mata saat mengingat momen-momen kecil yang dulu terasa biasa namun kini sangat berharga. Ketika ia makan sendiri di meja makan, saat ia menonton film sendirian, bahkan saat ia melihat senja dari jendela kamarnya, Lola merasakan kehadiran ibunya dalam setiap hal kecil di hidupnya.

Malam itu, saat ia sedang duduk di tepi jendela kamarnya, menatap langit malam yang penuh bintang, Lola berbicara dengan dirinya sendiri, atau lebih tepatnya, ia berbicara pada ibunya yang tak lagi di sisinya. “Bu, aku kangen. Aku nggak tahu harus gimana tanpa Ibu. Semua hal terasa berat, sepi, dan kadang aku merasa nggak sanggup,” ujarnya, suaranya parau.

Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tetapi kenangan demi kenangan terus mengalir. Kenangan tentang senyum ibunya, pelukan hangat yang selalu membuatnya merasa aman, dan suara lembut yang selalu bisa mengusir rasa takutnya. Tapi Lola tahu, ia harus belajar untuk melepaskan, meski sulit dan menyakitkan.

Malam itu, ia menuliskan lagi di buku harian ibunya, menuliskan perasaannya, kegelisahannya, dan ketakutannya. Ia merasa seolah-olah sedang berbicara dengan ibunya, meski hanya melalui tulisan. Dengan begitu, ia merasa sedikit lebih kuat, seakan ada kekuatan yang mengalir dari kata-kata ibunya yang tercatat di buku itu, seakan ada pelukan tak terlihat yang membantunya menghadapi hari-harinya.

Hari demi hari, Lola mulai mencoba bangkit dengan perlahan. Ia belajar untuk kembali tersenyum, kembali menikmati hidup, meski kesedihan masih menghantuinya. Ia tahu, ibunya ingin melihatnya bahagia, dan ia ingin melakukan itu sebagai tanda cintanya pada ibunya. Lola berusaha menjalani hidup seperti yang diharapkan ibunya ia mulai fokus pada sekolah, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, dan bahkan mendekatkan diri dengan teman-temannya.

Meski perjalanan ini terasa berat, Lola menyadari bahwa dengan berjuang, ia bisa merasakan kehadiran ibunya di dalam hatinya. Setiap hari adalah perjuangan, setiap langkahnya adalah pengorbanan, tetapi Lola mulai menemukan harapan di balik semua rasa sakit itu. Ia mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda, menghargai setiap momen, dan mengisi hari-harinya dengan hal-hal yang ia yakini akan membuat ibunya bangga.

Di sekolah, teman-temannya menyadari perubahan pada diri Lola. Mereka melihat Lola yang lebih tenang, lebih berusaha untuk tetap hadir di tengah mereka. Meskipun ada kalanya Lola masih tenggelam dalam kesedihan, teman-temannya selalu mendukungnya. Mereka adalah bagian dari kekuatan Lola, membantu mengangkatnya saat ia terjatuh, memberi dorongan yang ia butuhkan untuk terus melangkah.

Lola tahu, jalan di depannya masih panjang. Ia tahu bahwa luka di hatinya mungkin tak akan pernah benar-benar sembuh, tetapi ia mulai menerima bahwa itu adalah bagian dari hidupnya. Ia memilih untuk membawa kenangan ibunya bukan sebagai beban, tetapi sebagai sumber kekuatan. Meski ibunya telah tiada, Lola merasa bahwa cinta mereka tidak akan pernah hilang.

Setiap malam, sebelum tidur, Lola menulis di buku harian ibunya, melanjutkan kisah mereka yang masih belum selesai. Dan saat ia menutup mata, ia tahu, di dalam mimpi, ia masih bisa merasakan kehadiran ibunya, membisikkan semangat dan keyakinan yang membuatnya merasa utuh, meski hanya dalam kenangan.

 

Mengikhlaskan yang Tak Terikhlaskan

Waktu terus berjalan, namun kenangan akan ibu tetap bertahan kuat di hati Lola. Meski ia mencoba menguatkan dirinya, ada malam-malam tertentu saat kesedihan menyeruak, memenuhi hatinya dengan kerinduan yang hampir tak tertahankan. Ia sering terjaga di tengah malam, memeluk erat buku harian ibunya, seolah benda itu adalah jembatan antara mereka. Lola tahu bahwa hidupnya harus terus berlanjut, tetapi setiap langkah yang ia ambil tanpa ibunya terasa berat, seolah ia berjalan di atas jalan berbatu tajam yang melukai setiap inci jiwanya.

Satu sore sepulang sekolah, saat Lola memasuki rumah, ia mendapati ayahnya duduk termenung di ruang tamu. Wajah ayahnya penuh dengan garis-garis lelah dan kesedihan yang tersimpan. Lola mendekati ayahnya perlahan, duduk di sebelahnya, berharap bisa memberikan sedikit ketenangan.

“Lola, apa kamu masih ingat kebun bunga kecil yang dulu sering kita datangi bersama Ibu?” tanya ayahnya dengan suara berat, matanya menerawang ke arah jendela yang menghadap ke taman kecil di luar rumah.

Lola mengangguk. Kebun itu adalah tempat favorit ibunya, tempat di mana mereka sering duduk bersama sambil menikmati keindahan bunga-bunga yang bermekaran. Kebun itu juga menyimpan kenangan saat-saat terakhir ibunya, saat ia masih sehat dan ceria, penuh tawa dan cinta.

“Ayah berpikir… mungkin kita bisa pergi ke sana lagi, mengenang Ibu, dan belajar untuk mengikhlaskannya,” lanjut ayahnya, suaranya serak menahan emosi yang telah lama tertahan.

Mendengar permintaan itu, Lola merasakan dadanya sesak. Ia tahu bahwa ia perlu merelakan kepergian ibunya, tetapi membayangkan pergi ke tempat yang penuh dengan kenangan itu terasa begitu menyakitkan. Namun, Lola juga menyadari bahwa mungkin inilah saatnya untuk benar-benar merelakan, untuk melepaskan beban yang selama ini ia simpan sendiri.

Akhirnya, beberapa hari kemudian, Lola dan ayahnya memutuskan untuk mengunjungi kebun bunga itu. Mereka berdua berjalan perlahan, melangkah di antara bunga-bunga yang bermekaran, dan keindahan pemandangan itu membangkitkan kenangan-kenangan indah tentang ibunya. Lola merasakan kehadiran ibunya di setiap helai bunga, seolah ibunya hadir melalui keharuman dan kelembutan warna-warni bunga yang tersebar di sekitarnya.

Setiap langkah yang diambil Lola di kebun itu terasa seperti perjalanan menyusuri kenangan. Ia ingat bagaimana ibunya selalu memeluknya di bawah sinar matahari yang hangat, mengajarinya tentang jenis-jenis bunga dengan senyum penuh kasih. Di tempat itu, ibunya terasa begitu dekat, namun sekaligus begitu jauh.

Di tengah kebun, Lola berhenti. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasakan beban di hatinya begitu berat, perasaan kehilangan yang selama ini ia tahan. Ayahnya menyentuh pundaknya pelan, memberi dukungan tanpa kata-kata, karena mereka berdua tahu bahwa kata-kata tak akan pernah cukup untuk menenangkan kesedihan yang begitu mendalam.

“Aku nggak tahu harus gimana tanpa Ibu, Ayah. Hidup rasanya kosong, dan aku selalu merasa… aku nggak akan pernah bisa bahagia lagi,” bisik Lola dengan suara yang pecah, menahan tangis yang sejak lama ia pendam.

Ayahnya mengusap air matanya sendiri, lalu menatap Lola dengan mata yang penuh kehangatan. “Lola, rasa kehilangan itu akan selalu ada. Tapi kita bisa belajar untuk mengenang Ibu dengan senyuman, bukan dengan air mata. Dia pasti ingin kita berbahagia. Ibu selalu bilang bahwa kita harus menghargai setiap momen, bukan?”

Lola terdiam. Ia tahu ibunya adalah sosok yang selalu menghargai hidup dan berusaha membuat setiap hari berarti. Kata-kata ayahnya membawa sedikit ketenangan dalam dirinya, seolah ada sebuah cahaya kecil di tengah kesedihan yang selama ini menguasai hatinya.

Malam itu, saat mereka kembali ke rumah, Lola masuk ke kamarnya dengan perasaan yang sedikit berbeda. Ia merasakan kehangatan ibunya dalam kenangan-kenangan yang ia pegang erat, bukan sebagai kesedihan yang menjeratnya. Ia membuka buku harian ibunya dan menemukan sebuah pesan yang pernah ia baca namun kini terasa sangat berbeda:

“Lola, hidup ini tidak selalu mudah, tapi selama kamu memiliki cinta dalam hatimu, kamu akan selalu punya alasan untuk bangkit. Jangan pernah menyerah, karena kebahagiaan yang sesungguhnya akan kamu temukan dalam perjalanan yang kamu tempuh dengan tulus.”

Kata-kata itu seolah menjadi penuntun bagi Lola. Ia tersenyum sambil mengelap air mata yang kembali mengalir. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak ibunya pergi, Lola berdoa dengan ikhlas, berharap ibunya tenang di alam sana. Ia memejamkan mata, merasakan kehangatan cinta yang pernah diberikan ibunya, dan perlahan, ia merasakan ketenangan yang sudah lama hilang.

Hari-hari setelah itu, Lola mulai menemukan cara untuk hidup dengan kenangan ibunya. Ia mulai mengikuti kata-kata ibunya, menjalani hidup dengan sepenuh hati. Lola terjun ke berbagai kegiatan di sekolah, mencoba hal-hal baru yang dulu ia pikir tak bisa ia lakukan. Ia bahkan mulai belajar merawat tanaman di kebun belakang rumahnya, sebuah cara untuk mengenang ibunya dengan sesuatu yang nyata.

Teman-temannya melihat perubahan pada diri Lola. Mereka melihat Lola yang lebih kuat, lebih dewasa, dan lebih menghargai setiap momen. Di antara mereka, Lola menjadi sumber kekuatan, seseorang yang selalu memberi semangat dan cinta pada orang-orang di sekitarnya, seperti ibunya yang dulu selalu melakukannya.

Setiap kali Lola merasa rindu pada ibunya, ia kembali membuka buku harian itu, berbicara pada sosok yang kini hanya hidup dalam ingatannya. Ia menulis kisah-kisah hidupnya, berbagi cerita seperti saat ibunya masih ada di sisinya. Dalam setiap goresan pena, ia merasakan cinta yang tak pernah hilang, yang selalu ada dalam dirinya.

Dan meski kehilangan itu tak pernah benar-benar hilang, Lola belajar untuk hidup berdampingan dengannya, merasakan kehadiran ibunya dalam setiap langkah yang ia ambil. Bagi Lola, ibunya mungkin telah pergi, tetapi cinta mereka akan selalu hidup tak terpisahkan oleh ruang atau waktu.

Lola tahu, inilah cara terbaik untuk mengenang ibunya: menjalani hidup dengan cinta dan ketulusan, seperti yang selalu diajarkan oleh ibu yang takkan pernah ia lupakan.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Lola dalam “Mengikhlaskan yang Tak Terikhlaskan” adalah pengingat bagi kita semua bahwa kehilangan bukan akhir dari segalanya. Meski terasa sulit, ada kekuatan besar dalam kenangan dan cinta yang kita simpan di hati. Lola berhasil menemukan jalan untuk terus maju dengan memeluk kenangan indah bersama ibunya, mengubah rasa sakit menjadi kekuatan baru. Cerpen ini mengajarkan kita tentang arti ikhlas yang sebenarnya, bahwa cinta sejati tidak pernah hilang—hanya berubah bentuk menjadi kekuatan yang selalu ada di dalam diri kita.

Leave a Reply