Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya pernahkah kamu merasa terjebak dalam sebuah hubungan yang sulit, seperti Shela, seorang gadis SMA yang menghadapi kenyataan pahit tentang ibu tiri yang kejam? Dalam cerpen ini, kita akan diajak menyelami emosi dan perjuangan Shela, yang berusaha menemukan cahaya dalam kegelapan hidupnya.
Meskipun dikelilingi oleh rasa sakit, Shela berusaha untuk bangkit dan melawan rasa terasingnya, mencari harapan di tengah dunia yang terasa begitu tidak adil. Cerita ini bukan hanya tentang kesedihan, tetapi juga tentang kekuatan untuk bertahan dan menemukan kebahagiaan dalam perjuangan hidup yang tak mudah.
Ibu Tiri yang Kejam
Awal Kehidupan yang Terkoyak
Shela selalu tahu bahwa hidupnya tak akan selalu sempurna. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan hidup sederhana bersama ayahnya dan ibunya yang sudah lama meninggal. Ayahnya, meski tak selalu banyak bicara, selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Shela. Mereka berdua seperti dunia yang penuh dengan kebahagiaan meski hanya berdua, cukup untuk merasa lengkap.
Namun, segalanya berubah pada saat ayahnya mengumumkan bahwa ia akan menikah lagi. Shela tidak pernah menduga bahwa sebuah pernikahan akan menghancurkan kedamaian yang selama ini mereka miliki. Awalnya, ia merasa cemas tapi juga penasaran. Mungkin ini kesempatan untuk merasakan kembali kebahagiaan keluarga utuh yang ia bayangkan, mungkin saja ibu tiri yang datang akan membawa perubahan baik dalam hidup mereka.
Namun, kenyataan jauh dari harapan.
Hari pertama mereka bertemu, ibu tiri Shela, yang bernama Ibu Rina, tampak seperti seseorang yang sangat sempurna di mata orang luar. Wanita muda yang terlihat ramah, cantik, dan selalu membawa senyum di wajahnya. Tetapi Shela sudah merasakan sesuatu yang aneh sejak pertama kali melihatnya. Ada sesuatu yang tidak beres dalam cara Ibu Rina memandangnya sebuah pandangan dingin yang hampir tak terdeteksi, namun cukup untuk membuat Shela merasa tak diterima. Meskipun ia tak bisa memaksa dirinya untuk menyukai wanita itu, ia berusaha untuk menjadi baik dan memberi kesempatan.
Hari-hari awal setelah pernikahan itu terasa aneh. Meskipun mereka tinggal bersama, Shela merasa seperti seorang tamu yang hanya tinggal di rumah orang lain. Ibu Rina tidak pernah berbicara banyak padanya. Jika Shela mencoba untuk sekadar menyapa, jawaban Ibu Rina hanya datang dalam satu kata atau bahkan hanya anggukan. Bahkan saat Shela dengan senang hati membawa makanan favorit Ibu Rina, jawaban yang ia terima hanyalah, “Aku tidak suka itu.”
Saat itu, Shela mulai merasa sakit hati, tetapi ia berusaha untuk bertahan. Ayahnya, yang sering pulang larut malam karena pekerjaannya, tidak banyak membantu. Shela merasa seperti sedang berjuang sendirian.
Suatu sore, saat Shela sedang duduk di ruang tamu membaca buku, Ibu Rina masuk dengan ekspresi muram. “Shela, apa kamu nggak bisa bantu di rumah? Bukankah kamu anak yang besar? Seharusnya kamu lebih mandiri dan membantu aku di rumah,” kata Ibu Rina dengan nada yang begitu dingin, seolah-olah segala tugas rumah tangga menjadi beban bagi dirinya.
Shela terkejut. Ia merasa selama ini sudah cukup mandiri dan berusaha mengatur waktu antara sekolah dan pekerjaan rumah. “Aku sudah selesai dengan PR, Bu. Aku siap bantu kok,” jawab Shela dengan canggung, mencoba menjaga ketenangan dalam suara dan sikapnya.
Namun, tanggapan Ibu Rina justru lebih menusuk. “Hah, hanya itu yang kamu bisa? Tidak ada yang lebih dari itu? Ayahmu pasti tidak tahu betapa tidak bergunanya kamu di rumah. Cobalah lihat teman-temanmu, mereka lebih berguna daripada kamu,” ujarnya dengan nada yang semakin tajam.
Kata-kata itu menghantam hati Shela begitu keras. Tidak ada kasih sayang, tidak ada perhatian, hanya penolakan. Shela merasa tertampar oleh kata-kata itu, seperti seolah-olah dirinya tidak ada artinya sama sekali. Semua upayanya untuk menciptakan hubungan yang baik dengan ibu tirinya tampak sia-sia. Setiap kali ia mencoba, semakin dalam luka itu menganga.
Malam itu, Shela terbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang gelap. Hatinya dipenuhi perasaan yang sulit dijelaskan—cinta yang patah, harapan yang hancur, dan kebingungan yang semakin mendalam. Mengapa ibu tirinya begitu kejam? Mengapa perasaan Shela yang penuh harapan harus dihancurkan begitu saja?
Keesokan harinya, di sekolah, Shela berusaha untuk tetap tampil ceria, seperti biasanya. Teman-temannya melihatnya sebagai sosok yang kuat dan selalu penuh semangat. Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyuman manis itu, Shela sedang berperang dengan perasaannya sendiri. Setiap tawa yang dia lepaskan hanya untuk menyembunyikan kepedihan yang semakin dalam di hatinya.
Saat di kelas, teman-teman sering mengajaknya untuk bergaul, dan Shela tidak pernah menolak. Di mata mereka, Shela adalah gadis yang selalu aktif, selalu siap untuk memberikan semangat. Namun, hanya di malam hari, saat semua orang terlelap, Shela akan menahan tangisnya, merasakan sepi yang menyesakkan di dadanya. Kehidupan sosialnya mungkin cerah, tetapi hatinya gelap oleh luka yang tak kunjung sembuh.
Setiap malam, Shela duduk di meja belajarnya, menulis di jurnal yang sering dia isi dengan berbagai pemikiran dan perasaannya. Namun kali ini, kata-kata yang keluar dari hatinya lebih pedih. Mengapa aku selalu berusaha untuk dicintai oleh seseorang yang tidak pernah peduli? Mengapa aku selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, jika pada akhirnya aku hanya dianggap sebagai beban?
Namun, meski terluka, Shela tahu satu hal: dia tidak akan menyerah. Tidak pada dirinya sendiri. Tidak pada impian-impian yang dia miliki. Shela tidak akan membiarkan ibu tirinya merenggut kebahagiaan yang seharusnya dia dapatkan. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berjuang, meskipun dunia sekitarnya tampak tak bersahabat.
Harapan yang Tak Pernah Terbalas
Malam itu, Shela tidak bisa tidur. Suara hujan yang jatuh di atap rumahnya seolah menambah beban yang sudah menyesakkan dadanya. Dalam kegelapan kamarnya, ia terbaring merenung, memikirkan perasaannya yang semakin terkoyak. Seharusnya, rumah adalah tempat untuk beristirahat, tempat di mana seseorang merasa dicintai dan diterima. Tapi di sini, di rumah yang dulu penuh dengan tawa dan cinta bersama ayahnya, Shela merasa seperti orang asing.
Bukan hanya kata-kata Ibu Rina yang terus terngiang di kepala, tetapi juga sikapnya yang semakin tak bersahabat. Hari demi hari, Shela semakin merasakan jarak yang semakin besar antara mereka berdua. Ibu Rina lebih banyak menghindarinya, seolah-olah Shela bukan bagian dari keluarga ini.
Keinginan Shela untuk diterima, untuk merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang baru saja datang itu semakin lama semakin memudar. Seharusnya, Shela bisa merasa bahagia dengan keluarga barunya. Tapi kenyataannya, ia merasa seperti diasingkan, merasa tak berguna.
Keesokan harinya, saat di sekolah, Shela mencoba untuk tetap bertahan. Ia datang lebih awal ke sekolah, berharap bisa menghilangkan sedikit rasa sesak yang ada di dadanya dengan berbicara dengan teman-temannya. Mereka selalu menyambutnya dengan hangat, tetapi Shela tahu, mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi di rumah. Mereka tidak tahu betapa kesepian dan terluka hatinya.
Teman-temannya sering mengajaknya untuk bergaul, untuk pergi ke kafe, atau sekadar jalan-jalan ke mall. Meski Shela sering kali ikut, hatinya terasa kosong. Setiap tawa dan canda yang mereka bagi tidak pernah benar-benar mengisi kekosongan yang ia rasakan. Hatinya terlalu terluka, terlalu lelah. Tapi ia tak bisa memberitahu mereka, karena ia tak ingin menjadi beban bagi orang lain.
Di tengah-tengah kebisingan pergaulan itu, Shela sering merasa sepi. Seolah dunia ini terus berjalan, sementara dirinya terhenti di tempat yang sama, terkunci dalam perasaan yang tidak bisa diungkapkan. Ia merasa harus kuat di depan teman-temannya, harus menjaga citranya sebagai gadis ceria yang tak pernah tersentuh masalah. Tapi di dalam dirinya, ada perasaan yang terus tumbuh—perasaan yang kian hari semakin menguasai pikirannya.
Siang itu, saat jam pelajaran istirahat, Shela duduk sendirian di pojok kantin, memainkan sendok makan di piringnya, menatap kosong ke luar jendela. Teman-temannya yang lain sibuk berbicara dengan riang, tapi Shela merasa terasing. Ia ingin pergi jauh, menghilang dari keramaian ini. Menghindari kenyataan yang ada di rumah. Namun, apalah gunanya? Di manapun ia berada, perasaan itu akan selalu menghantuinya.
Sekitar dua minggu setelah kejadian malam itu, sesuatu yang lebih buruk terjadi. Ayah Shela pulang lebih terlambat dari biasanya, dan ketika ia masuk ke rumah, wajahnya terlihat kusut dan lelah. Shela yang sedang duduk di ruang tamu dengan buku di tangan, memandang ayahnya yang tampak berbeda.
“Shela, ikut aku ke kamar sejenak,” kata ayahnya, suaranya terdengar berat dan tidak biasa.
Shela mengangguk, meski hatinya mulai cemas. Ada yang tidak beres. Sesampainya di kamar ayah, Shela duduk di kursi di hadapan ayahnya, menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut ayahnya.
“Ayah… ada apa, Pa?” Shela bertanya dengan suara lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Ayah Shela mendesah panjang. “Ibu Rina… dia… dia marah besar hari ini, Shela. Katanya kamu sering meninggalkan tugas rumah. Katanya kamu nggak pernah membantu di rumah. Ayah minta kamu lebih peka, Shela. Kalau ayah tahu kamu butuh waktu lebih banyak, ayah pasti bisa bantu. Tapi tolong, jangan bikin ibu semakin kecewa.”
Kata-kata itu terasa seperti petir yang menyambar kepala Shela. Ayahnya seolah tidak memahami dirinya. Shela berusaha menjelaskan, berusaha memberitahu bahwa dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk membantu, meskipun sering kali Ibu Rina tidak memberinya kesempatan untuk membuktikan dirinya. Tapi, ia tahu, ayahnya lebih memilih untuk mendengar sisi cerita ibu tiri. Ibu Rina selalu bisa mengendalikan ayahnya dengan cara yang tak pernah Shela mengerti.
“Ayah… aku sudah berusaha. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Tapi Ibu Rina, dia… dia nggak pernah memberi aku kesempatan, Pa,” kata Shela, suaranya bergetar, namun ayahnya tetap menatapnya dengan wajah penuh ketegasan.
“Shela, jangan begitu. Ibu Rina bukan orang yang jahat, kamu harusnya lebih sabar,” ujar ayahnya lagi, tidak menyadari betapa dalam luka yang dirasakan oleh Shela.
Setiap kata ayahnya seperti sebuah belati yang menembus hatinya. Shela merasa terjebak di antara dua pilihan yang sulit. Di satu sisi, ia ingin ayahnya bahagia dengan pernikahan barunya, tetapi di sisi lain, ia merasa seperti tidak ada tempat untuk dirinya di rumah ini. Apa yang harus ia lakukan? Bertahan dengan rasa sakit ini atau melepaskan segala harapannya?
Sepulang dari sekolah, Shela merasakan kelelahan yang tak hanya fisik, tetapi juga mental. Rumah yang dulu terasa nyaman kini berubah menjadi tempat yang penuh dengan ketegangan. Setiap langkahnya terasa berat, dan setiap pandangan Ibu Rina seolah menghakimi setiap tindakan yang ia lakukan. Shela merasa seperti terperangkap dalam dunianya sendiri, tidak tahu ke mana harus melangkah.
Malam itu, ketika ia kembali ke kamar, Shela menatap cermin dengan mata yang penuh air mata. Ia merasa sangat kecil, sangat tak berarti. Namun, dalam hatinya, ada satu tekad yang perlahan mulai terbentuk: dia tidak bisa terus begini. Dia harus kuat, meski dunia sekitarnya terasa hancur. Untuk dirinya sendiri, untuk masa depannya, Shela tahu, ia harus terus berjuang.
Di Balik Senyuman yang Terluka
Setelah percakapan yang mengiris hati dengan ayahnya malam itu, Shela merasa dirinya semakin terjebak. Seperti ada dua dunia yang hidup dalam dirinya dunia luar yang penuh dengan senyuman dan pergaulan yang riang, dan dunia dalam dirinya yang terluka, penuh keraguan, kebingungan, dan kesepian. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat. Seperti ada beban tak terlihat yang menghimpit dadanya, membuatnya merasa terjebak dalam rutinitas yang tak bisa ia lewati.
Hari-hari setelah perbincangan itu terasa seperti berjalan di atas tali yang tipis. Shela terus berusaha menjaga citranya sebagai anak SMA yang ceria, aktif, dan memiliki banyak teman. Tapi, semakin ia berusaha, semakin terasa ada sesuatu yang hilang sesuatu yang tak bisa ia cari di luar, namun semakin sulit ia temukan di dalam dirinya sendiri.
Di sekolah, teman-temannya mungkin tidak tahu apa yang terjadi di rumah. Mereka hanya tahu bahwa Shela adalah gadis yang selalu siap sedia untuk tertawa, untuk menghibur, dan untuk mendengarkan. Tapi tidak ada yang tahu betapa besarnya rasa kosong dalam dirinya. Tidak ada yang tahu betapa ia terpaksa memendam perasaan yang semakin menggerogoti hatinya.
Pagi itu, saat teman-temannya mengajaknya untuk pergi ke kafe setelah pelajaran, Shela merasa tidak ada semangat dalam dirinya. Ia berjalan di samping mereka, sesekali tersenyum, namun senyuman itu terasa semakin palsu. Mungkin hanya di hadapan mereka, ia bisa menutupi perasaan kesepian yang terus mendera.
Saat mereka duduk di sudut kafe yang ramai, Shela hanya bisa menatap layar ponselnya dengan kosong. Semua orang tertawa dan bercanda, tetapi dia merasa seperti tidak berada di sana. Teman-temannya mungkin mengira ia hanya kelelahan, atau mungkin sedang galau karena tugas yang menumpuk, namun Shela tahu bahwa itu bukan hanya tentang tugas. Itu adalah tentang rasa terasing yang semakin membebani hatinya setiap hari.
“Ayo, Shela, cerita dong! Kok kelihatan jauh banget?” tanya Ria, sahabat dekatnya, dengan penuh perhatian. Shela menatap Ria, mencoba tersenyum, namun senyuman itu terasa canggung.
“Nggak apa-apa, kok, Ri. Lagi capek aja,” jawab Shela, berusaha terdengar santai meski hatinya terasa pecah. Ria terlihat ragu sejenak, namun akhirnya kembali tertawa bersama teman-temannya. Shela mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap langit yang mendung, merenung tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya.
Malamnya, saat pulang ke rumah, Shela merasa hatinya semakin kosong. Ia ingin berbicara dengan ayahnya, ingin sekali memberitahu betapa berat perasaannya, betapa ia merasa dikecewakan. Namun, setiap kali ia mencoba mendekat, ayahnya selalu sibuk dengan pekerjaan atau bahkan lebih banyak berbicara dengan Ibu Rina. Seolah-olah ada dinding yang memisahkan mereka dinding yang semakin tinggi dan tidak bisa ditembus.
Di rumah, Ibu Rina semakin terlihat berbeda. Tidak hanya karena sikapnya yang semakin dingin, tetapi juga karena kehadirannya yang semakin terasa dominan. Shela merasa seperti tidak ada ruang lagi untuk dirinya di rumah ini. Makan malam yang dulu selalu menjadi momen kebersamaan keluarga kini menjadi sesi formal, di mana mereka hanya berbicara tentang hal-hal biasa, tanpa ada rasa hangat yang dulu ada.
Malam itu, setelah makan malam, Shela duduk sendirian di ruang tamu, merenung dalam keheningan. Ia memandang foto keluarga kecilnya yang terpajang di dinding. Di foto itu, ayah dan ibunya tersenyum bahagia, sementara Shela kecil memeluk mereka dengan ceria. Tapi sekarang, foto itu terasa seperti kenangan yang jauh, kenangan tentang masa lalu yang tak bisa ia raih lagi.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Shela menoleh dan melihat Ibu Rina yang berdiri di ambang pintu. Wajahnya tampak keras, seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan. Shela menahan napas, berharap kali ini Ibu Rina akan mengajaknya berbicara, mengajaknya untuk berbaikan. Namun, saat Ibu Rina membuka mulut, yang keluar hanyalah kata-kata yang lebih menyakitkan.
“Shela, kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini. Ayah kamu sudah cukup sabar, tapi kamu harus berubah. Kamu nggak bisa terus-menerus berharap semuanya berjalan sesuai keinginan kamu,” kata Ibu Rina dengan nada yang dingin. “Kamu nggak usah banyak mengeluh. Semua orang punya masalah, termasuk aku. Jadi berhenti menyalahkan orang lain.”
Kata-kata itu menusuk hati Shela, lebih tajam daripada yang ia bayangkan. Ia ingin membalas, ingin mengatakan bahwa ia tidak tahu harus berbuat apa lagi, bahwa ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk diterima. Tetapi ia hanya bisa diam, menelan amarah dan kecewa yang meluap-luap dalam dirinya.
Ibu Rina berbalik dan pergi, meninggalkan Shela dalam keheningan yang semakin menyesakkan. Seluruh tubuh Shela terasa lemas. Dia ingin berteriak, ingin melepaskan semua yang ada di dalam hatinya, namun bibirnya seolah terkunci. Setiap kali ia mencoba membuka diri, setiap kali ia mencoba mencari kenyamanan, Ibu Rina selalu ada di sana dengan sikap yang membuatnya merasa semakin tidak dihargai.
Di kamar, Shela terjatuh di tempat tidurnya, menutupi wajahnya dengan bantal, mencoba menahan tangis yang mulai pecah. Mengapa harus seperti ini? Mengapa ia merasa seperti tidak ada tempat untuknya di dunia ini?
Namun, meskipun segala perasaan itu membebani dirinya, Shela tahu satu hal: dia tidak bisa menyerah. Meski dunia terasa begitu gelap, meski ia merasa tidak dihargai dan terasing, Shela tahu dia masih punya harapan harapan yang tak ingin ia lepaskan begitu saja. Ia harus bertahan, harus menemukan caranya untuk keluar dari kegelapan ini. Dan meski harus berjuang seorang diri, Shela bertekad untuk bangkit. Untuk dirinya sendiri.
Harapan yang Tak Pernah Terbalas
Malam itu, Shela tidak bisa tidur. Suara hujan yang jatuh di atap rumahnya seolah menambah beban yang sudah menyesakkan dadanya. Dalam kegelapan kamarnya, ia terbaring merenung, memikirkan perasaannya yang semakin terkoyak. Seharusnya, rumah adalah tempat untuk beristirahat, tempat di mana seseorang merasa dicintai dan diterima. Tapi di sini, di rumah yang dulu penuh dengan tawa dan cinta bersama ayahnya, Shela merasa seperti orang asing.
Bukan hanya kata-kata Ibu Rina yang terus terngiang di kepala, tetapi juga sikapnya yang semakin tak bersahabat. Hari demi hari, Shela semakin merasakan jarak yang semakin besar antara mereka berdua. Ibu Rina lebih banyak menghindarinya, seolah-olah Shela bukan bagian dari keluarga ini.
Keinginan Shela untuk diterima, untuk merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang baru saja datang itu semakin lama semakin memudar. Seharusnya, Shela bisa merasa bahagia dengan keluarga barunya. Tapi kenyataannya, ia merasa seperti diasingkan, merasa tak berguna.
Keesokan harinya, saat di sekolah, Shela mencoba untuk tetap bertahan. Ia datang lebih awal ke sekolah, berharap bisa menghilangkan sedikit rasa sesak yang ada di dadanya dengan berbicara dengan teman-temannya. Mereka selalu menyambutnya dengan hangat, tetapi Shela tahu, mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi di rumah. Mereka tidak tahu betapa kesepian dan terluka hatinya.
Teman-temannya sering mengajaknya untuk bergaul, untuk pergi ke kafe, atau sekadar jalan-jalan ke mall. Meski Shela sering kali ikut, hatinya terasa kosong. Setiap tawa dan canda yang mereka bagi tidak pernah benar-benar mengisi kekosongan yang ia rasakan. Hatinya terlalu terluka, terlalu lelah. Tapi ia tak bisa memberitahu mereka, karena ia tak ingin menjadi beban bagi orang lain.
Di tengah-tengah kebisingan pergaulan itu, Shela sering merasa sepi. Seolah dunia ini terus berjalan, sementara dirinya terhenti di tempat yang sama, terkunci dalam perasaan yang tidak bisa diungkapkan. Ia merasa harus kuat di depan teman-temannya, harus menjaga citranya sebagai gadis ceria yang tak pernah tersentuh masalah. Tapi di dalam dirinya, ada perasaan yang terus tumbuh perasaan yang kian hari semakin menguasai pikirannya.
Siang itu, saat jam pelajaran istirahat, Shela duduk sendirian di pojok kantin, memainkan sendok makan di piringnya, menatap kosong ke luar jendela. Teman-temannya yang lain sibuk berbicara dengan riang, tapi Shela merasa terasing. Ia ingin pergi jauh, menghilang dari keramaian ini. Menghindari kenyataan yang ada di rumah. Namun, apalah gunanya? Di manapun ia berada, perasaan itu akan selalu menghantuinya.
Sekitar dua minggu setelah kejadian malam itu, sesuatu yang lebih buruk terjadi. Ayah Shela pulang lebih terlambat dari biasanya, dan ketika ia masuk ke rumah, wajahnya terlihat kusut dan lelah. Shela yang sedang duduk di ruang tamu dengan buku di tangan, memandang ayahnya yang tampak berbeda.
“Shela, ikut aku ke kamar sejenak,” kata ayahnya, suaranya terdengar berat dan tidak biasa.
Shela mengangguk, meski hatinya mulai cemas. Ada yang tidak beres. Sesampainya di kamar ayah, Shela duduk di kursi di hadapan ayahnya, menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut ayahnya.
“Ayah… ada apa, Pa?” Shela bertanya dengan suara lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Ayah Shela mendesah panjang. “Ibu Rina… dia… dia marah besar hari ini, Shela. Katanya kamu sering meninggalkan tugas rumah. Katanya kamu nggak pernah membantu di rumah. Ayah minta kamu lebih peka, Shela. Kalau ayah tahu kamu butuh waktu lebih banyak, ayah pasti bisa bantu. Tapi tolong, jangan bikin ibu semakin kecewa.”
Kata-kata itu terasa seperti petir yang menyambar kepala Shela. Ayahnya seolah tidak memahami dirinya. Shela berusaha menjelaskan, berusaha memberitahu bahwa dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk membantu, meskipun sering kali Ibu Rina tidak memberinya kesempatan untuk membuktikan dirinya. Tapi, ia tahu, ayahnya lebih memilih untuk mendengar sisi cerita ibu tiri. Ibu Rina selalu bisa mengendalikan ayahnya dengan cara yang tak pernah Shela mengerti.
“Ayah… aku sudah berusaha. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Tapi Ibu Rina, dia… dia nggak pernah memberi aku kesempatan, Pa,” kata Shela, suaranya bergetar, namun ayahnya tetap menatapnya dengan wajah penuh ketegasan.
“Shela, jangan begitu. Ibu Rina bukan orang yang jahat, kamu harusnya lebih sabar,” ujar ayahnya lagi, tidak menyadari betapa dalam luka yang dirasakan oleh Shela.
Setiap kata ayahnya seperti sebuah belati yang menembus hatinya. Shela merasa terjebak di antara dua pilihan yang sulit. Di satu sisi, ia ingin ayahnya bahagia dengan pernikahan barunya, tetapi di sisi lain, ia merasa seperti tidak ada tempat untuk dirinya di rumah ini. Apa yang harus ia lakukan? Bertahan dengan rasa sakit ini atau melepaskan segala harapannya?
Sepulang dari sekolah, Shela merasakan kelelahan yang tak hanya fisik, tetapi juga mental. Rumah yang dulu terasa nyaman kini berubah menjadi tempat yang penuh dengan ketegangan. Setiap langkahnya terasa berat, dan setiap pandangan Ibu Rina seolah menghakimi setiap tindakan yang ia lakukan. Shela merasa seperti terperangkap dalam dunianya sendiri, tidak tahu ke mana harus melangkah.
Malam itu, ketika ia kembali ke kamar, Shela menatap cermin dengan mata yang penuh air mata. Ia merasa sangat kecil, sangat tak berarti. Namun, dalam hatinya, ada satu tekad yang perlahan mulai terbentuk: dia tidak bisa terus begini. Dia harus kuat, meski dunia sekitarnya terasa hancur. Untuk dirinya sendiri, untuk masa depannya, Shela tahu, ia harus terus berjuang.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerita Shela mengajarkan kita bahwa meskipun hidup penuh tantangan dan rasa sakit, ada selalu harapan di ujung jalan. Melalui perjuangannya menghadapi ibu tiri yang kejam, Shela menemukan kekuatan dalam dirinya yang selama ini ia sembunyikan. Setiap langkah kecil yang ia ambil adalah bagian dari perjalanan menuju pemulihan dan kebahagiaan. Jika kamu juga sedang berjuang dengan masalah pribadi, ingatlah bahwa kamu tidak sendiri seperti Shela, kamu pun bisa menemukan jalan keluar dan meraih kebahagiaan yang pantas untukmu. Jangan biarkan kesulitan menghalangi mimpi dan kebahagiaanmu!