Daftar Isi
Jadi gini ceritanya, kamu pernah nggak sih naksir sama orang yang nggak jelas-jelas amat, tapi ujung-ujungnya malah bikin hidup kamu berantakan? Nah, ini cerita tentang dua orang yang nyangkut sama cinta, tapi alih-alih romantis ala film, kisah mereka lebih mirip… brokoli.
Pahit di awal, tapi lama-lama nagih! Kalau kamu lagi butuh bacaan yang bisa bikin senyum-senyum sendiri dan nyesek dikit, yuk, baca deh kisah kocak mereka. Siapa tau, cintamu juga bisa tumbuh dari hal-hal yang nggak terduga, kayak… sayur.
Cinta dan Brokoli
Lost in Translation
Pagi itu, langit cerah tanpa satu awan pun. Namun, aku merasa ada sesuatu yang gelap di hati. Satu perasaan yang datang dari kegelisahan, dari ketidakpastian. Itu adalah hari yang kutunggu-tunggu, dan aku ingin semuanya sempurna.
Aku menatap kertas putih yang tergeletak di meja belajarku. Surat yang sudah kubuat semalam dengan hati-hati, mencoba merangkai kata-kata terbaik. Aku ingin Elle tahu seberapa besar perasaanku padanya. Aku ingin dia tahu bahwa di balik semua candanya yang ceroboh dan tatapan matanya yang penuh kebingungan, ada seseorang yang menunggu untuk menyapanya dengan tulus.
Aku menulis dalam bahasa Inggris, karena aku tahu itu akan lebih mengesankan. Elle, meskipun dia lucu dan canggung, tidak terlalu paham bahasa Indonesia. Jadi, aku memilih untuk menulis dengan bahasa yang mungkin bisa dia mengerti, berharap surat ini akan membuatnya tersentuh.
Sebelum aku memberikannya, aku minta bantuan Alia, teman sekelasku, untuk memeriksa dan memastikan semua terjemahannya tepat. Alia sangat fasih bahasa Inggris, dan aku percaya dia bisa membantu aku. Tapi, ternyata… malah sebaliknya.
“Kamu yakin ini benar?” tanyaku saat Alia menyerahkan surat itu padaku.
Dia menatap surat itu dan mengangguk mantap. “Tentu saja. Ini sempurna, Mael. Bahkan aku rasa dia akan terkejut, kamu menulis seindah ini.”
Aku menghela napas lega. “Oke, kalau begitu. Terima kasih, Alia.”
Aku menggulung surat itu dengan hati-hati, meletakkannya di dalam amplop, dan pergi menuju ruang kampus tempat aku tahu Elle biasa duduk di sana. Jantungku berdegup kencang, hampir seperti aku akan menghadap ujian besar. Ada semacam ketegangan yang melingkupi diriku.
Saat aku memasuki ruang itu, pandanganku langsung mencari-cari Elle. Ada sesuatu tentangnya yang selalu berhasil membuatku terpesona. Meskipun dia tidak pernah sadar, dia selalu memiliki daya tarik tersendiri. Dari ujung rambutnya yang acak-acakan hingga celana jeans robek yang selalu dia kenakan, semua itu terlihat sempurna bagiku.
Aku mendekatinya, dan dia mengangkat wajahnya dari buku yang dia baca. Matanya berbinar seperti biasa, penuh rasa ingin tahu. “Ada apa, Mael? Ada tugas baru?” tanyanya, meskipun suaranya sedikit bingung.
Aku tersenyum gugup dan duduk di sebelahnya. “Eh, nggak. Aku cuma… mau kasih ini buat kamu,” kataku sambil menyerahkan amplop itu.
Elle menatap amplop itu sejenak, lalu melirikku dengan tatapan yang penuh kebingungan. “Buat aku?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit terkejut. “Tapi, Mael, ini surat cinta kan?”
“Eh, ya…” jawabku, merasa wajahku mulai memanas. “Tapi, itu… hanya kalau kamu mau membaca, sih.” Aku berusaha terlihat santai meskipun hatiku rasanya sudah terjatuh ke lantai.
Elle mulai membuka amplop itu perlahan, masih dengan tatapan bingung di wajahnya. Saat kertasnya terbuka, dia mulai membaca dengan suara lirih, matanya bergerak dari satu baris ke baris lainnya. Aku hanya menunggu, berusaha menenangkan detak jantungku yang berdebar-debar.
Namun, saat dia sampai pada satu kalimat yang kutulis dengan penuh perasaan, aku melihat raut wajahnya berubah. Ada kebingungan yang lebih jelas kali ini, lalu mulutnya terangkat sedikit ke atas, seolah hendak tertawa.
“Mael,” katanya, dengan nada yang sangat serius. “Aku nggak ngerti, deh. Apa maksudnya ini? ‘I love you, but I hate broccoli?'”
Aku hampir terjatuh dari kursi mendengarnya. “Apa?!” aku hampir berteriak. Aku segera meraih surat itu dari tangannya dan membacanya sendiri. Dan betapa kagetnya aku saat melihat kalimat yang seharusnya penuh perasaan itu malah berubah menjadi—kalimat yang sangat konyol. Aku tak bisa menahan diri untuk tertawa geli, meskipun itu terasa memalukan.
“Kenapa?” tanyanya lagi, masih memandangiku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, sedikit terkejut dan bingung. “Kamu suka aku, tapi kamu benci brokoli?”
Aku tidak tahu harus bagaimana. Kalau aku bilang aku benci brokoli, rasanya malah semakin aneh. “Nggak, nggak! Itu… bukan yang aku maksud,” jawabku buru-buru. “Aku… aku coba ngomong, ‘Aku cinta kamu lebih dari apapun.’ Tapi entah kenapa, kata-kata itu berubah gitu aja.”
Elle mulai tertawa. Tertawa dengan suara yang begitu khas, penuh kekonyolan, dan aku malah merasa ingin mengubur diriku di bawah meja. “Jadi, kamu cinta aku, tapi benci brokoli?” katanya lagi sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku meremas surat itu, tidak tahu harus bagaimana menghadapi semua ini. “Ya, aku cinta kamu,” jawabku jujur. “Tapi aku nggak benci brokoli, oke? Itu kesalahan terjemahan.”
Elle menghapus air mata yang keluar karena tertawa, dan menatapku dengan senyum lebar. “Aku nggak marah kok, Mael. Cuma, kamu bener-bener serius ya… cuma gara-gara brokoli.” Dia menggelengkan kepalanya, seolah tidak percaya.
Aku menghela napas panjang, lega tapi masih merasa sangat malu. “Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi, Elle. Aku cuma pengen bilang… aku suka kamu.”
Dan, pada akhirnya, Elle menatapku lagi dengan senyuman yang lebih lembut. “Aku tahu, Mael. Aku tahu kok. Tapi kamu memang harus belajar bahasa Inggris yang lebih baik, ya? Gak boleh ada brokoli lagi,” ujarnya dengan penuh canda, tapi ada sesuatu dalam matanya yang membuatku merasa sedikit lebih tenang.
Aku mengangguk, meski masih merasa sedikit konyol. “Aku janji, aku akan belajar lebih baik… dan nggak akan nyasar ke brokoli lagi.”
Elle tertawa lagi, dan aku merasa, meskipun aku baru saja mengacaukan segala sesuatunya, ada sesuatu yang lebih penting yang tumbuh di antara kami—sesuatu yang lebih nyata daripada sekedar kata-kata yang salah terjemahkan.
Brokoli dan Cinta
Beberapa hari setelah insiden surat yang memalukan itu, aku merasa seolah-olah aku harus melakukan sesuatu untuk menebus kebodohanku. Mungkin karena aku mulai terbiasa dengan tatapan konyol dari Elle setiap kali dia melihatku, atau mungkin karena—sadar atau tidak—aku merasa semakin dekat dengannya. Sesuatu tentang tawa itu, yang dulu mengganggu, kini terasa seperti obat penenang.
Elle sudah mulai mengenalkanku pada dunianya dengan cara yang sederhana. Kami sering menghabiskan waktu bersama, hanya berbicara tentang hal-hal remeh, tapi anehnya, obrolan itu terasa sangat berarti. Kami berbicara tentang kelas, tentang kegagalan, tentang makanan, tentang film favorit, dan bahkan tentang hal-hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Semua itu terasa ringan, tapi di sisi lain, aku merasa seperti menemukan bagian dari diriku yang hilang—meskipun aku tidak bisa menjelaskan kenapa.
Hari itu, kami bertemu di kafe kampus setelah jam kuliah. Seperti biasa, Elle sudah lebih dulu duduk dengan cangkir kopi di tangan dan matanya yang sibuk membaca sesuatu di ponsel. Aku menghampirinya dengan langkah malas, dan duduk di depan meja yang sudah tertata dengan rapi, seperti seorang ibu yang menata meja makan.
“Mael,” sapa Elle tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. “Ada yang lucu, nih. Gimana kalau kita bikin project bareng? Tentang… brokoli, misalnya.”
Aku menatapnya bingung. “Brokoli? Kenapa brokoli?”
Elle akhirnya menurunkan ponselnya dan tersenyum nakal. “Iya, brokoli. Karena, setelah kejadian itu, aku pikir kita harus tahu lebih banyak tentang brokoli. Jangan sampai ada lagi yang salah paham soal cinta dan brokoli.”
Aku nyaris tersedak, menahan tawa. “Kamu serius, Elle? Ini baru kali pertama aku denger orang ngajak project tentang brokoli.”
Elle mengangkat bahu. “Kenapa enggak? Brokoli itu penting, Mael. Banyak orang nggak tahu cara masaknya yang benar. Dan… aku rasa kita bisa buat eksperimen, lihat seberapa besar brokoli bisa berperan dalam hidup kita.”
Aku cuma bisa menggelengkan kepala, merasa semakin bingung dengan cara Elle berpikir. “Kamu pasti gila,” kataku sambil tertawa. “Tapi… aku setuju. Ayo kita buat eksperimen tentang brokoli.”
Elle tertawa mendengar jawabanku. “Deal! Tapi, aku tetap butuh kamu untuk kasih materi tentang brokoli. Karena kamu lebih paham bahasa Inggris kan, jadi kita butuh terjemahannya dalam bentuk ilmiah.”
Aku menatapnya dengan tatapan serius. “Sungguh? Aku masih pusing memikirkan terjemahan soal ‘I love you, but I hate broccoli.'”
Elle menyandarkan punggungnya pada kursi dan menyeringai. “Yah, kalau kamu udah nggak paham soal brokoli, kita bisa mulai dengan cinta dulu. Aku rasa kamu sudah belajar banyak soal itu, kan?”
Aku menatapnya, agak tersentak. “Kamu ini kenapa sih? Maksudnya… kita kan belum sampai ke tahap itu,” jawabku, sambil meraba-raba apa yang sebenarnya ingin aku katakan. Kenapa tiba-tiba topik itu muncul lagi?
Elle sepertinya menyadari sedikit kegugupanku, jadi dia langsung menambahkan, “Jangan khawatir, Mael. Aku cuma bercanda. Aku tahu kok kamu nggak bisa terjemahin cinta dan brokoli sekaligus. Tapi, siapa tahu, kalau kita coba, mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang menarik.”
Aku tertawa sambil mengangguk. “Mungkin kamu bener. Tapi, aku janji, Elle, aku nggak akan menulis surat cinta tentang brokoli lagi.”
Dia tersenyum penuh arti. “Itu baru Mael yang aku kenal. Kapan lagi kita bisa jadi seaneh ini, coba?”
Aku tertawa lagi, dan rasanya, semuanya mulai terasa lebih ringan. Mungkin, memang begini cara Elle berkomunikasi. Tidak selalu serius, sering kali penuh lelucon, dan terkadang meninggalkan kesan yang agak sulit dimengerti. Tapi aku mulai merasa, ada yang lebih dalam, sesuatu yang tak terucapkan, yang menggantung di antara kami.
Kami menghabiskan beberapa jam lagi di kafe itu, mencoba menyusun ide-ide gila kami tentang brokoli dan cinta. Tanpa sadar, jam sudah menunjukkan hampir pukul tujuh malam. Aku tidak ingin hari ini berakhir, tapi aku tahu, harus ada yang menyelesaikan proyek ini.
“Sampai kapan kamu akan membuat aku tersesat dalam topik brokoli ini?” kataku dengan tawa, menatap Elle yang sibuk mencatat di buku catatannya.
Elle berhenti sejenak, meletakkan pena dan menatapku dengan serius. “Sampai kamu bilang kalau kamu nggak bisa hidup tanpa aku, Mael.”
Aku terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Dia benar-benar membuatku merasa seperti ada sesuatu yang lebih dari sekedar proyek atau kebetulan.
“Elle, kamu… serius?” tanyaku, untuk memastikan apakah dia hanya bercanda ataukah dia mengatakan itu dengan tulus.
Elle tersenyum, dengan tatapan yang aku tak bisa mengerti sepenuhnya. “Siapa tahu. Cinta itu seperti brokoli, kan? Terkadang, kita nggak tahu kalau kita butuh sampai akhirnya kita mencobanya.”
Aku tertawa, tapi ada rasa hangat yang tumbuh di dada. Mungkin, aku tak tahu banyak tentang cinta, atau brokoli. Tapi dengan Elle, semuanya terasa lebih mudah untuk dipahami—meski ada banyak kebingungannya.
Kami keluar dari kafe itu bersama, melanjutkan obrolan kami tentang segala hal, tidak peduli seberapa gila topik yang kami pilih. Tapi entah kenapa, aku merasa bahagia. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa tidak perlu menterjemahkan cinta, karena kadang, cinta memang tak membutuhkan kata-kata yang sempurna.
Patah Hati Brokoli
Tiga hari setelah eksperimen brokoli kami, aku mulai merasa seperti masuk ke dunia yang penuh kejutan. Setiap kali bertemu Elle, aku merasa ada yang berbeda, tapi aku enggak bisa benar-benar menyebutnya sebagai perasaan cinta. Tidak, itu terlalu cepat. Mungkin aku hanya mulai terbiasa dengan kehadirannya, atau mungkin… mungkin ada sesuatu yang lebih, yang lebih dari sekedar persahabatan.
Hari itu, kami bertemu di ruang makan kampus, yang lebih mirip kantin besar dengan meja-meja kayu dan kursi-kursi plastik. Tempat yang tidak terlalu menyenangkan, tetapi kalau ada Elle, semuanya bisa terasa lebih nyaman. Dia duduk di tempat biasa, dengan cangkir kopi hitam yang sudah setengah habis dan wajah yang tampak serius—tidak seperti biasanya.
Aku mendekatinya, duduk di kursi seberang meja, dan langsung menggoda, “Ada apa? Lagi mikirin brokoli atau jatuh cinta sama seseorang?”
Elle mendongak, matanya tampak sedikit lebih gelap dari biasanya. “Bukan brokoli, Mael. Aku mikirin kamu.”
Aku terdiam, merasa seolah-olah ada semacam getaran halus yang menghantam dada. “Maksud kamu?” tanyaku pelan.
Elle menarik napas panjang, menatapku dengan mata yang berbeda dari biasanya. Tidak ada candaan kali ini, hanya kejujuran yang entah bagaimana terasa lebih berat. “Aku rasa… aku harus berhenti menggodamu,” katanya pelan.
Aku nyaris tertawa, merasa cemas. “Hah? Kenapa?”
Elle menatap cangkir kopinya, memutar-mutar gelas itu seakan sedang mencari jawaban di dalamnya. “Karena aku mulai merasa… lebih dari sekedar teman. Dan aku takut kalau aku terus begini, kamu malah nggak nyaman.”
Aku terdiam, bingung. “Apa maksudmu? Kamu merasa lebih dari teman? Maksudnya apa, Elle? Kamu bilang gitu karena kita ngomongin brokoli tadi ya?”
Elle menggelengkan kepala. “Bukan hanya soal brokoli. Ini soal kita. Aku merasa ada sesuatu di antara kita yang lebih dari sekedar persahabatan. Dan jujur aja, itu membuat aku takut.”
Aku merasa jantungku berdebar kencang. Sesuatu yang lebih? Kenapa, tiba-tiba aku merasa seolah-olah aku terperangkap di dalam percakapan yang aku sendiri nggak tahu ujungnya? Apa ini yang namanya cinta? Kenapa rasanya sesakit ini?
“Aku… aku nggak ngerti, Elle,” kataku, menahan kebingunganku. “Kita kan cuma teman, kan? Kenapa tiba-tiba semuanya jadi rumit?”
Elle diam sejenak, lalu mengangkat wajahnya untuk menatapku. “Kamu tahu kan, Mael, aku selalu tertawa. Aku selalu bercanda. Tapi itu bukan berarti aku nggak serius. Aku cuma nggak tahu bagaimana cara ngomongin hal-hal seperti ini tanpa kelihatan konyol.”
Aku meremas gelas yang ada di tanganku, merasa sedikit cemas. “Tapi aku juga nggak tahu gimana caranya. Kita kan udah nyaman gini. Kalau kita mulai ngomongin perasaan, itu cuma bikin semuanya aneh. Bikin… patah.”
Elle tersenyum tipis, yang rasanya lebih pahit daripada manis. “Brokoli pun, kalau dimasak salah, bisa jadi pahit, kan? Mungkin kita harus belajar cara yang tepat untuk masak semuanya, termasuk perasaan ini.”
Aku merasa seolah-olah ada sebuah dinding yang tiba-tiba terbentuk antara kami, meski kami masih duduk berhadap-hadapan. Sesuatu yang sebelumnya ringan dan penuh canda, kini berubah menjadi perbincangan yang serius, yang terasa sangat tidak nyaman.
Aku menghela napas, merasakan betapa berat kata-kata itu untuk keluar. “Elle, aku takut kehilanganmu. Itu yang aku tahu sekarang. Aku takut kalau kita terlalu jauh, kita malah jadi enggak tahu gimana caranya balik lagi.”
Elle menatapku lama, seakan mencoba mencari tahu apakah aku benar-benar serius. “Aku takut hal yang sama, Mael. Tapi aku juga nggak bisa terus hidup dalam ketakutan. Aku rasa, kita cuma perlu berani untuk mencoba, nggak perlu buru-buru ngasih label ke apa yang kita rasain.”
Aku mengangguk pelan, merasa bingung. Ada rasa lega, tapi juga rasa takut yang lebih besar. Kami belum sampai pada titik untuk benar-benar mengerti satu sama lain. Kami hanya baru memulai perjalanan yang bisa berakhir dengan banyak cara—baik atau buruk. Tapi ada satu hal yang pasti: perasaan ini tidak bisa lagi disembunyikan. Kami sudah terjebak dalam permainan perasaan yang terlalu dalam untuk dibalikan begitu saja.
“Kita coba dulu, ya?” kata Elle tiba-tiba, dengan tatapan yang lebih lembut dari sebelumnya. “Coba jalanin tanpa mikirin apa yang bakal terjadi. Mungkin, kita cuma perlu waktu.”
Aku menatapnya, merasa sedikit cemas, tapi juga terbuai oleh kenyamanan yang aku rasakan. “Coba aja, Elle. Tapi… kita mulai dengan yang lebih sederhana dulu, ya? Seperti… memutuskan makan brokoli bareng-bareng.”
Elle tertawa, akhirnya kembali ke kebiasaannya yang selalu bisa membuat suasana menjadi lebih ringan. “Deal! Tapi kali ini, kita bakal masak brokolinya dengan cara yang paling sempurna. Kalau enggak, aku bisa memutuskan hubungan kita… karena brokoli!”
Kami berdua tertawa, dan untuk sesaat, aku merasa segala kecemasan yang ada dalam diriku menghilang. Mungkin, kami memang harus mulai dari yang sederhana dulu. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku merasa… mungkin, kami sedang berada di jalur yang benar.
Cinta yang Tertunda
Seminggu berlalu sejak percakapan kami yang menegangkan di kantin itu. Sejak saat itu, suasana di antara kami terasa berbeda. Bukan canggung, tapi lebih seperti… ada sesuatu yang belum terucap, yang mengapung di antara tawa kami. Elle tetap sama, selalu penuh dengan candaan dan senyum, tetapi aku tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekedar gurauan itu. Begitu pula denganku, meskipun aku mencoba untuk menjaga semuanya tetap ringan, hatiku tahu betul bahwa aku tak bisa lagi menipu diri sendiri.
Pagi itu, aku sedang duduk di bangku taman kampus, mencoba menyelesaikan tugas yang sepertinya nggak ada habisnya. Namun, pikiranku terus melayang ke Elle. Entah mengapa, aku merasa gelisah. Aku tahu, aku sudah terlalu banyak menahan diri. Apa yang kami rasakan, apa yang mulai tumbuh di antara kami, tidak bisa lagi disembunyikan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki menyadarkanku. Aku mendongak, dan seperti yang sudah kutebak, Elle muncul dengan senyum khasnya yang selalu bisa mengubah hari-hariku.
“Hei,” sapanya, sambil duduk di bangku sebelahku.
Aku mengangguk dan tersenyum. “Hei juga. Udah makan brokoli pagi ini?”
Elle tertawa, matanya berbinar. “Aku nggak makan brokoli pagi ini, tapi aku bawa sesuatu yang lebih menarik.”
Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya, menyerahkannya padaku dengan ekspresi yang penuh harap. Aku membuka kotak itu, dan di dalamnya ada sebuah cincin kecil dengan ukiran halus yang berbentuk hati. Aku menatapnya dengan bingung.
“Apa ini, Elle?” tanyaku, merasa sedikit terkejut.
Elle hanya tersenyum tipis, lalu berkata pelan, “Aku tahu kita nggak bisa langsung memutuskan apa yang kita rasakan, dan aku tahu kita belum siap untuk memberi label pada semuanya. Tapi… ini adalah langkah pertama. Ini adalah sesuatu yang ingin aku bagi sama kamu. Karena aku nggak bisa terus menunggu tanpa berani mengambil langkah.”
Aku terdiam, mataku beralih dari cincin itu ke wajahnya. Rasanya seperti ada beban yang menghilang, dan aku tahu, meskipun kami belum punya jawaban pasti tentang masa depan, kami berdua sudah berani untuk mengambil langkah pertama. Aku merasa hangat, meski suasana pagi itu masih cukup sejuk.
“Elle,” kataku pelan, “Mungkin kita memang belum tahu apa yang bakal terjadi ke depannya. Tapi aku nggak mau lagi takut untuk mencoba. Kita coba, ya? Kita lihat apa yang bisa kita bangun dari sini.”
Elle menatapku dengan tatapan lembut, penuh harapan. “Jadi… kamu mau jalanin ini juga, kan?”
Aku mengangguk, mengambil cincin itu dan memegangnya dengan erat. “Iya, Elle. Kita coba.”
Kami saling berpandangan, ada senyuman yang muncul di wajah kami berdua. Sesuatu yang tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, karena kami sudah saling mengerti. Tidak ada kata-kata manis atau pernyataan cinta berlebihan. Hanya sebuah pemahaman yang tercipta di antara dua hati yang saling terbuka untuk kemungkinan. Cinta itu bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan, tetapi sebuah perjalanan yang harus dijalani perlahan, penuh dengan kejujuran dan langkah-langkah kecil yang penuh makna.
Elle tersenyum lebar. “Maka, kita mulai dari sini.”
Aku hanya bisa mengangguk, merasa lega sekaligus bahagia. Terkadang, cinta memang tidak datang dengan cara yang kita harapkan. Tapi mungkin, untuk kami, cinta itu adalah sesuatu yang tumbuh perlahan, seperti brokoli yang matang dengan cara yang sempurna.
“Kita mulai dengan ini dulu, ya?” kataku sambil menatap cincin kecil itu, “Satu langkah kecil, tapi penuh arti.”
Elle tertawa, dan aku bisa merasakan bahwa segala kecemasan yang selama ini menghalangi kami kini hilang. Kami berdua sudah siap. Mungkin, perjalanan ini akan penuh dengan kejutan dan rintangan. Tapi satu hal yang pasti, kami siap untuk menjalaninya—bersama.
Kadang, cinta nggak datang dengan drama besar atau pengakuan yang mewah. Kadang, cinta itu sederhana—tumbuh dari tawa, debat receh, dan hal-hal kecil yang bikin dua orang saling ngerti tanpa perlu dijelasin.
Kayak mereka, yang akhirnya sadar kalau cinta bukan soal besar-kecilnya perasaan, tapi keberanian buat saling ada. Dan meski jalan mereka mungkin nggak sempurna, setidaknya mereka udah berani mulai dari satu langkah kecil, yang penuh arti… Siapa tahu, kisah cinta kamu juga lagi nunggu langkah pertama itu, kan?