Cerpen Romansa Cinta Tak Terbalas: Belajar Menerima dan Melepaskan Perasaan

Posted on

Hai, siapa yang nggak pernah ngerasain suka sama orang yang nggak nyadar, kan? Atau malah, lebih parahnya, dia cuek banget sama kita? Ya, itu dia, cerita Dewi—seorang cewek yang udah lama ngerasain gimana rasanya punya perasaan tanpa bisa didapetin.

Tapi, di sini Dewi ngajarin kita semua, kadang melepaskan itu jauh lebih baik daripada terus berjuang untuk hal yang nggak pasti. Siapa tahu, kebahagiaan ternyata datang dari tempat yang nggak kita duga! Langsung aja dibaca ceritanya!!

 

Cerpen Romansa Cinta Tak Terbalas

Pesona yang Tak Tergapai

Dewi duduk di bawah pohon rindang di taman kampus, mengamati sekelompok mahasiswa yang lalu-lalang dengan buku tebal di tangan. Pandangannya kemudian tertuju pada seorang pria berambut hitam, tinggi, dan berkulit agak gelap yang sedang berjalan sambil sesekali menyesap kopinya. Rayhan. Sosok yang menarik perhatiannya sejak pertemuan pertama mereka.

Rayhan tidak pernah terlihat sama seperti orang lain. Wajahnya hampir selalu tanpa ekspresi, tidak pernah tampak tergesa-gesa atau ceroboh. Pria ini selalu punya cara untuk membuat suasana di sekitarnya terasa hening. Dan itu yang justru membuat Dewi penasaran. Rasa ingin tahu yang perlahan berubah jadi rasa suka, meski ia sendiri merasa konyol dengan perasaannya.

“Aku cuma pengen ngobrol, kenalan, dan ya… siapa tahu kita bisa dekat,” Dewi bergumam pada dirinya sendiri sambil menatap Rayhan yang kini sudah duduk sendirian di bangku dekat danau buatan.

Dewi menimbang-nimbang sebentar. Rasa takut akan ditolak tentu ada, tapi keinginannya untuk sekadar bisa berbicara dengan Rayhan mengalahkan semuanya. Ia mengambil napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin berdebar.

“Bismillah…” Dewi berbisik pelan sebelum akhirnya melangkah mendekat.

Rayhan sedang tenggelam dalam layar laptopnya, sepertinya mengerjakan sesuatu yang serius. Dewi berjalan pelan-pelan, lalu berhenti tepat di depannya. “Hai, Rayhan,” sapanya dengan suara yang terdengar ceria, berusaha mencairkan suasana.

Rayhan mengangkat wajahnya. “Hai,” jawabnya singkat, sekilas menatap Dewi, lalu kembali fokus pada layar laptop.

Dewi tersenyum, walaupun sedikit kikuk. “Hmm… sibuk, ya? Lagi ngerjain tugas?”

Rayhan mengangguk. “Iya, tugas modul besok. Kamu gimana? Ada perlu, ya?” Suaranya tetap datar, seolah-olah pertemuan ini sama sekali tidak membuatnya tertarik.

Dewi tergelak, berusaha mengendalikan suasana. “Enggak, sih… ya cuma mau ngobrol aja. Eh, itu… kamu suka kopi, ya?” tanya Dewi, menunjuk ke gelas kertas di sebelah laptop Rayhan.

Rayhan mengangguk, kali ini sambil menatap Dewi sedikit lebih lama. “Iya, suka. Kenapa?”

Dewi mengangkat bahu. “Iseng aja, aku juga suka kopi.” Ia menarik napas dalam-dalam, berharap ada reaksi dari Rayhan, mungkin sekadar senyum atau tawa kecil. Tapi Rayhan hanya mengangguk, tanpa ekspresi tambahan.

“Oh…” Dewi terdiam sejenak, merasa bingung harus berbicara apa lagi. Namun ia tidak menyerah begitu saja. “Kamu sering duduk di sini, ya? Aku sering lihat kamu di taman ini.”

Rayhan mengangguk lagi, lalu berkata, “Aku suka tempat ini. Sepi. Bisa fokus.”

Dewi tersenyum kecil, mengagumi kesederhanaannya. “Iya, ya. Tenang banget di sini,” balasnya, berharap pembicaraan bisa lebih mengalir. Tapi suasana hening kembali.

Setelah beberapa saat, Dewi mengeluarkan botol minuman dari tasnya, menyodorkannya pada Rayhan. “Mau, nggak? Aku bawa minuman dingin, lumayan buat ngilangin rasa panas siang ini.”

Rayhan memandang botol yang disodorkan Dewi, sedikit terkejut. “Oh, enggak, makasih. Aku udah ada ini,” jawabnya sambil mengangkat kopinya.

Dewi tertawa kecil, sedikit menertawakan diri sendiri karena dianggap terlalu bersemangat. “Ya udah, nggak apa-apa. Aku pikir kamu mungkin suka.”

Dia mencoba menyembunyikan rasa kecewanya di balik senyum, tapi hatinya masih terasa berat. Semua usaha ini sepertinya tak berarti bagi Rayhan, tapi Dewi berusaha tidak terlalu memikirkannya. Satu hal yang membuatnya bertahan adalah, mungkin ini memang bagian dari sifat Rayhan yang tidak mudah terbuka.

“Kamu di jurusan teknik, ya?” tanya Dewi mencoba mengalihkan suasana.

Rayhan mengangguk singkat, masih tampak tidak tertarik untuk memperpanjang obrolan. “Iya, semester lima. Kamu sendiri?”

“Aku sastra. Semester empat,” jawab Dewi, berharap itu bisa memancing ketertarikan Rayhan. “Tapi kadang aku suka penasaran sama jurusan kamu. Kayaknya teknik itu… apa ya… rumit banget, gitu.”

Rayhan tersenyum tipis, pertama kalinya dia menunjukkan reaksi yang lebih dari sekadar anggukan atau kata singkat. “Ya, lumayan. Biasa aja, sih. Mungkin karena aku udah terbiasa, jadi nggak terlalu rumit.”

Dewi merasa senang akhirnya mendapat sedikit senyuman dari Rayhan, meskipun hanya sekilas. Tapi percakapan kembali mengalir, dan kali ini lebih ringan. Mereka membicarakan jurusan masing-masing, hobi, dan hal-hal ringan lainnya. Dewi mencoba untuk lebih banyak mendengarkan, sementara Rayhan mulai menunjukkan sisi yang lebih santai.

Namun, percakapan itu tidak berlangsung lama. Rayhan tiba-tiba melirik jam tangannya, lalu mulai membereskan barang-barangnya. “Aku harus balik ke lab. Tugas ini harus selesai sebelum sore.”

“Oh… ya udah, kalau gitu,” ucap Dewi sambil berusaha tersenyum, walau hatinya merasa sedikit kecewa.

Rayhan berdiri, menatap Dewi sebentar. “Thanks, ya. Udah nyempetin ngobrol.” Kalimat singkat itu sebenarnya cukup manis, tapi sayangnya diucapkan dengan nada datar yang seakan tanpa perasaan. Setelah itu, Rayhan berjalan pergi, meninggalkan Dewi yang masih duduk di bangku taman, memandangi punggungnya yang semakin menjauh.

Dewi tersenyum kecil, berusaha meresapi perasaannya sendiri. Meski obrolan itu jauh dari apa yang ia harapkan, setidaknya ia merasa lebih mengenal sosok Rayhan yang dingin dan cuek. Ada sedikit rasa puas di hatinya, walaupun sebagian besar masih terselubung keraguan.

“Aku nggak ngerti… kenapa suka sama kamu, Rayhan,” Dewi bergumam pelan, menertawakan dirinya sendiri.

Namun, di balik senyum kecil itu, tersimpan sedikit harapan. Mungkin hari ini ia hanya berhasil membuka percakapan yang ringan, tapi di lain waktu, mungkin dia bisa membuat Rayhan membuka hatinya lebih dalam lagi. Dewi sadar, Rayhan bukan orang yang mudah diajak akrab. Tapi bagi Dewi, justru itu yang membuatnya ingin mencoba lebih keras.

Ia berdiri dari bangku, merapikan tasnya, dan berjalan pelan meninggalkan taman. Langkahnya terasa lebih ringan, seolah-olah pertemuan sederhana tadi sudah menjadi momen yang berharga baginya.

 

Hati yang Terluka Diam-diam

Beberapa minggu berlalu sejak percakapan singkat itu. Dewi mulai terbiasa dengan jadwal Rayhan yang penuh dengan tugas lab, rapat proyek, dan sesekali turnamen catur antar fakultas yang jadi hobinya. Walau Rayhan tetap terlihat dingin dan sering menghindar, Dewi tak pernah lelah untuk mencari celah masuk ke hidupnya, meski sekadar menyapa atau berbicara singkat saat bertemu di taman kampus.

Suatu sore, saat Dewi sedang menyusun skripsinya di perpustakaan, tanpa sengaja ia melihat Rayhan di pojok ruangan dengan buku-buku teknik tebal berserakan di sekitarnya. Dewi merenung sebentar, berusaha mengendalikan degup jantungnya yang selalu saja melonjak setiap kali melihat pria itu. Kali ini ia tak ingin terburu-buru, takut kalau Rayhan merasa terganggu seperti sebelumnya. Tapi, entah kenapa, keinginan untuk mendekat selalu lebih kuat dari rasa malunya.

Dewi memberanikan diri melangkah, lalu berdiri di sisi meja Rayhan. “Hai, sibuk banget kelihatannya.”

Rayhan mengangkat kepala, tampak sedikit kaget tapi langsung menutupinya dengan ekspresi datar seperti biasa. “Oh, Dewi… iya, lagi belajar buat ujian akhir. Banyak banget materi yang harus dipelajarin.”

Dewi tersenyum kecil, mencoba menyeimbangkan suasana. “Aku ngerti, teknik kan materinya berat banget. Kamu nggak capek?”

Rayhan menatapnya sekilas lalu mengangkat bahu. “Sudah biasa, sih. Kalau capek juga tetap harus dijalani. Kamu sendiri ngapain ke sini?”

“Lagi ngerjain skripsi. Lagi-lagi… kayak nggak ada habisnya,” jawab Dewi, tertawa kecil untuk menutupi rasa gugupnya.

Rayhan tersenyum tipis, meski hanya sejenak. “Semangat, ya. Skripsi memang butuh waktu. Aku juga pernah ngerasain capeknya dulu.”

Mendengar Rayhan mengucapkan kata-kata penyemangat, Dewi merasa ada harapan. Rasanya seperti secercah cahaya dalam kesulitan yang ia hadapi. Tapi, ia sadar untuk tidak terlalu berharap tinggi. Bagi Rayhan, mungkin semua ini hanya obrolan ringan tanpa makna khusus. Tapi bagi Dewi, ini adalah momen yang akan ia simpan dalam ingatannya.

Beberapa saat kemudian, Rayhan kembali fokus pada bukunya. Dewi hanya duduk diam, memperhatikannya dari samping, sambil sesekali membaca bukunya sendiri. Suasana hening antara mereka seakan berbicara lebih dari sekadar kata-kata, namun tetap terasa hampa.

Tak lama kemudian, seorang gadis dengan rambut panjang dan gaya berpakaian yang rapi menghampiri mereka. Dewi mengenalinya sebagai Intan, mahasiswi jurusan kedokteran yang sering terlihat bersama Rayhan belakangan ini. Wajah Dewi sedikit tegang, tapi ia mencoba untuk tetap bersikap tenang.

“Rayhan, eh aku udah dapetin buku referensinya,” ujar Intan sambil tersenyum manis pada Rayhan.

“Oh, makasih, Tan,” balas Rayhan sambil menatap Intan dengan pandangan yang jauh lebih hangat daripada biasanya.

Dewi merasa jantungnya terhenti sejenak melihat pandangan itu. Belum pernah sekali pun Rayhan memandangnya dengan tatapan seperti itu. Ada sesuatu di sana yang terasa asing, sesuatu yang menunjukkan perhatian lebih yang tak pernah ia dapatkan. Dewi berusaha menenangkan diri, berpura-pura sibuk dengan bukunya.

“Aku pergi dulu ya, Dewi,” kata Rayhan tiba-tiba, seolah-olah kehadiran Dewi terlupakan dalam sekejap.

Dewi tersenyum samar, berusaha menguatkan dirinya. “Iya, silakan… semangat ya belajarnya,” ucapnya dengan nada yang sedikit bergetar, berusaha keras menahan perasaan kecewa yang mulai merayap di dadanya.

Rayhan dan Intan berjalan menjauh, meninggalkan Dewi yang masih terduduk di perpustakaan dengan buku-buku di depannya. Perasaan asing itu semakin terasa mengganggu. Rasa kecewa yang menyelinap dan perlahan menenggelamkan harapan yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Bayangan wajah Rayhan yang tersenyum pada orang lain seperti berputar-putar di pikirannya, membuat hatinya berdenyut perih.

Dewi mencoba kembali fokus pada skripsinya, namun kata-kata di depan matanya kini seakan kehilangan arti. Pandangannya mulai kabur, dan ia sadar bahwa air matanya hampir jatuh. Di dalam hatinya, ia mulai bertanya-tanya, “Apa aku ini cuma sekadar teman ngobrol di waktu senggang buat Rayhan?”

Malam itu, Dewi memutuskan untuk pulang lebih awal. Dalam perjalanan menuju kosnya, langkah kakinya terasa berat. Bayangan Rayhan dan Intan terus menghantui pikirannya. Hatinya berdebar aneh setiap kali mengingat bagaimana Rayhan tersenyum pada gadis itu. Ia sadar bahwa rasa suka ini sudah terlalu jauh, tapi ia juga tak tahu bagaimana caranya untuk mundur.

Sesampainya di kamar, Dewi terbaring di atas tempat tidur, menatap langit-langit dengan kosong. Ia mencoba berpikir jernih, mengurai perasaan yang bercampur aduk dalam hatinya. Kenyataan bahwa Rayhan mungkin punya seseorang yang lebih dekat dengannya terasa begitu menyesakkan.

Beberapa pesan dari teman-temannya masuk, tapi Dewi tak punya energi untuk membalas. Di kepalanya, hanya ada bayangan Rayhan dan Intan. Tanpa sadar, air matanya menetes perlahan, meluapkan kekecewaan yang sejak tadi ditahan.

Esok paginya, Dewi memutuskan untuk memberi jarak. Mungkin ini waktu yang tepat untuk berhenti berharap, berhenti memikirkan seseorang yang tak pernah benar-benar melihatnya. Di kampus, Dewi berusaha menghindari Rayhan, tak lagi datang ke taman atau perpustakaan di waktu yang sama. Ia tahu ini sulit, tapi baginya, ini adalah cara untuk menyelamatkan hatinya yang sudah terlalu rapuh.

Namun, seminggu setelahnya, Rayhan tiba-tiba muncul di depan kelas Dewi. Dengan wajah datar khasnya, ia memanggil Dewi yang sedang berbicara dengan teman-temannya.

“Dewi, kamu sekarang sibuk nggak?” tanyanya tanpa basa-basi.

Dewi menatapnya kaget, tak menyangka Rayhan akan mencarinya. “Enggak sih… ada apa?” tanyanya pelan.

“Aku butuh bantuan kamu buat cari buku di perpustakaan. Nggak ada yang bisa bantu selain kamu,” jawab Rayhan dengan nada yang tenang.

Dewi terdiam sejenak, antara senang dan cemas. Meskipun ia sudah berusaha menghindar, tapi entah kenapa mendengar Rayhan membutuhkannya seperti ini tetap membuat hatinya berdebar. Ia menarik napas dalam-dalam dan berusaha mengendalikan emosinya.

“Oke… boleh. Kita ke perpustakaan sekarang?” tanyanya, mencoba terlihat biasa.

Mereka pun berjalan menuju perpustakaan, hanya berdua. Dewi berusaha menjaga percakapan tetap ringan, berusaha agar tak terlihat bahwa dirinya sudah melangkah terlalu jauh dalam perasaannya. Namun, setiap kali Rayhan tersenyum atau menyapa ramah, harapan itu kembali menyelinap. Perasaan hangat itu tak mau hilang begitu saja, meski Dewi tahu betul bahwa Rayhan tak pernah benar-benar memberi isyarat lebih dari sekadar teman.

Sepanjang sore itu, Dewi menyadari bahwa meskipun ia ingin menyerah, hatinya tak bisa berhenti merasakan perasaan yang dalam. Perasaan suka pada pria yang tak pernah benar-benar bisa ia gapai.

Di akhir hari, setelah membantu Rayhan, Dewi menatap langit sore dengan senyum kecil yang bercampur rasa getir. Cinta ini mungkin seperti langit senja—indah, tapi sementara. Dan ia tahu, mungkin sudah waktunya berhenti mengejar sesuatu yang tak pernah benar-benar bisa ia raih.

 

Berjalan Tanpa Beban

Minggu demi minggu berlalu dengan cepat, dan Dewi mulai merasa bahwa luka yang ia rasakan perlahan-lahan mengering. Meskipun perasaan itu tidak serta-merta hilang, Dewi merasa semakin kuat dalam menerima kenyataan bahwa cintanya pada Rayhan memang tidak bisa diraih. Namun, entah kenapa, kali ini ia merasa lebih lega—seperti melepaskan beban yang selama ini mengekangnya.

Ia kembali menikmati kesehariannya dengan lebih santai. Dewi kini lebih sering berada di sekitar teman-temannya, tertawa, bercanda, dan menjalani hari-hari dengan rasa bahagia yang lebih bebas. Entah kenapa, meski jarang bertemu dengan Rayhan, rasanya seperti ada ruang kosong yang mulai terisi dengan hal-hal baru yang lebih menyenangkan. Ia merasa menemukan dirinya kembali, seperti setelah lama hilang dalam kabut perasaan yang tak pernah ia pilih.

Suatu hari, Dewi sedang duduk di taman kampus, memandangi langit biru yang cerah sambil menulis beberapa hal di buku catatannya. Tiba-tiba, suara seseorang menyapanya dari belakang.

“Dewi, kamu lagi ngapain?” suara itu terdengar familiar, dan Dewi pun menoleh.

Rayhan berdiri di sana, dengan senyum tipis yang agak canggung. Dewi sedikit terkejut, namun ia berusaha tetap tenang. “Oh, Rayhan, kamu? Aku lagi nulis-nulis aja, lagi mikirin beberapa ide buat skripsi,” jawab Dewi, mencoba bersikap biasa.

Rayhan duduk di bangku sampingnya, agak kikuk. “Aku cuma mau bilang… makasih, ya, atas bantuan kamu kemarin. Aku bener-bener nggak bisa ngumpulin referensinya tanpa kamu.”

Dewi tersenyum kecil, kali ini senyumnya terasa tulus. “Nggak masalah, Rayhan. Aku senang bisa bantu.”

Namun, di dalam hatinya, Dewi tahu ada perasaan yang berbeda kali ini. Bukan perasaan yang menggebu seperti dulu, bukan pula perasaan kecewa. Hanya… rasa nyaman yang mulai ia pahami. Ia merasa tidak terbebani lagi dengan perasaan yang tidak pernah berbalas itu. Tentu saja, perasaan itu tetap ada, namun kini ia bisa melihatnya dengan cara yang lebih dewasa.

“Mungkin aku yang harus berterima kasih juga,” lanjut Rayhan, menunduk sejenak sebelum melanjutkan, “aku udah nggak nyadar kalau selama ini kamu pasti udah ngerasain hal yang nggak mudah buat kamu.”

Dewi terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Rayhan bisa berpikir seperti itu, namun kalimat itu justru membuatnya merasa lebih tenang. “Aku udah lama ngerti kok, Rayhan… kalau memang aku nggak bisa jadi lebih dari sekadar teman buat kamu.”

Rayhan menatap Dewi dengan ekspresi yang agak bingung. “Kamu… pasti tahu ya?”

“Ya, aku tahu,” jawab Dewi dengan senyuman yang kini terasa lebih ringan. “Aku nggak marah, kok. Aku cuma belajar untuk menerima semua ini, tanpa harus memaksakan apa yang nggak bisa aku dapatkan.”

Rayhan terdiam, seolah mencerna kata-kata Dewi. Sesaat kemudian, ia menghela napas dan tersenyum dengan nada yang lebih lembut. “Aku… salut sama kamu, Dewi. Kamu bener-bener keren. Kamu kuat, dan kamu bisa ngelakuin ini semua dengan cara yang luar biasa.”

Dewi hanya tertawa kecil, sedikit kikuk, namun hatinya terasa lega. “Terima kasih, Rayhan.”

Sejak saat itu, hubungan mereka menjadi lebih cair. Tidak ada lagi rasa canggung yang berlebihan, hanya sekadar percakapan santai antara teman. Dewi mulai merasa bahwa ia bisa berteman dengan Rayhan tanpa ada lagi bayangan perasaan yang mengganggu. Ia tahu, meskipun cinta itu tak bisa ia miliki, persahabatan ini bisa memberikan kebahagiaan yang berbeda.

Suatu hari, Dewi duduk di bangku taman yang sama, memandang orang-orang yang berlalu-lalang, dan menyadari sesuatu yang penting. Terkadang, melepaskan adalah hal yang paling menyembuhkan. Ia merasa seperti burung yang akhirnya bisa terbang bebas setelah sekian lama terjebak di dalam sangkar.

Saat itu, Dewi tersenyum pada dirinya sendiri. Mungkin cinta itu tak selalu berakhir bahagia seperti dalam dongeng, tapi hidup tetap harus dilanjutkan. Dan kali ini, ia merasa siap untuk melangkah ke depan, dengan atau tanpa Rayhan di sisinya.

Dewi bangkit dari bangkunya dan melangkah dengan langkah yang lebih ringan. Seperti pepatah yang sering ia dengar, “Cinta memang nggak selalu bisa dimiliki, tapi hidup selalu memberi kesempatan untuk bahagia dengan cara yang berbeda.”

Dan Dewi, dengan segala kebijaksanaan yang ia peroleh dari perasaan yang pernah ia pertaruhkan, berjalan ke masa depan yang penuh kemungkinan, tanpa beban lagi.

 

Jadi, kadang kita perlu melepaskan apa yang nggak bisa kita punya, bukan karena kita menyerah, tapi karena kita ngerti kalau kebahagiaan nggak harus datang dari orang lain.

Dewi mungkin nggak bisa dapetin Rayhan, tapi dia justru nemuin sesuatu yang lebih penting: kebebasan untuk jadi diri sendiri dan menerima segala hal dengan ikhlas. Mungkin, cintanya nggak terbalas, tapi hidup tetap berjalan, dan dia udah siap melangkah ke arah yang lebih baik.

Leave a Reply