The Last Letter: A Daughter’s Love for Her Mother

Posted on

Hi everyone, Before we get into the story, are there any of you who are curious about this short story? Losing someone we love is never easy, especially when it’s someone as important as a mother. In the emotional and touching story of Melinda, a high school girl trying to find her way in life after the heartbreaking loss of her mother, readers will experience an intense journey of grief, self-discovery, and the strength to move on.

Through every tear, every memory, and every small step forward, this story reminds us all of the power of resilience and the importance of healing after loss. If you’re looking for a story that resonates with the emotions, struggles, and beauty of real-life personal growth, keep reading!

(Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini?Kehilangan seseorang yang kita cintai tidak pernah mudah, terutama jika itu adalah seseorang yang sepenting seorang ibu. Dalam kisah Melinda yang emosional dan menyentuh, seorang gadis SMA yang mencoba menemukan jalan hidupnya setelah kehilangan ibunya yang memilukan, para pembaca akan mengalami perjalanan kesedihan yang intens, menemukan jati diri, dan kekuatan untuk terus maju. Melalui setiap air mata, setiap kenangan, dan setiap langkah kecil ke depan, kisah ini mengingatkan kita semua tentang kekuatan ketahanan dan pentingnya penyembuhan setelah kehilangan. Jika Anda mencari kisah yang selaras dengan emosi, perjuangan, dan keindahan pertumbuhan pribadi di kehidupan nyata, teruslah membaca!)

 

A Daughter’s Love for Her Mother

The Storm Within

(Badai di Dalam Diri)

The rain was pouring down that afternoon, its rhythmic sound on the window mimicking the pounding of my heart. It felt like the world was crying with me. The darkness outside seemed to mirror the chaos inside my head. I stood there, frozen, watching the raindrops slam against the glass. I couldn’t stop thinking about her, the one person who was always there for me, the one person whose love was unwavering. My mother.

I never thought it would be like this. Never thought I’d be standing here, all alone.

I was Melinda, the loud, outspoken, and always surrounded by friends. At school, everyone knew me as the girl who was always on top of things, always smiling, always keeping up appearances. But beneath that facade, there was a hole in my chest that nothing could fill.

It had been two weeks since she died. Two weeks since I had to watch my mother, my superhero, take her last breath. I thought I could handle it. I thought I was strong enough to get through it, to keep going like I always did. But now, every moment felt heavy. Every corner of my room seemed to echo with her absence. Her perfume, her laugh, the sound of her humming in the kitchen as she cooked the little things that made her who she was, were now memories that stabbed at my heart every time I thought of her.

I took a shaky breath and turned away from the window. The house felt too quiet without her. It wasn’t just the noise that was missing; it was the warmth, the comfort, the safety. The walls felt like they were closing in on me.

“Melinda, you need to come out of your room. You can’t keep hiding from the world,” my best friend Karen had said on the phone earlier. I didn’t want to talk to anyone, not now. Not when I was still trying to come to terms with what had just happened. I didn’t know if I could bear to hear the words “I’m sorry” again. I was tired of pretending to be okay, smiling when all I wanted to do was curl up in bed and let the world forget about me.

I pulled my knees to my chest and buried my face in my hands, letting the tears flow. I had always been the strong one. The one everyone turned to when they needed a smile or a laugh. But now? Now I just feel lost.

“Why did you have to leave me, Mom?” I whispered into the emptiness around me, my voice shaking. “Why did you leave me alone?”

I should have been the one taking care of her, not the other way around. She was always there for me, picking me up when I fell, wiping away my tears when I cried, and showing me the kind of strength I never thought possible. Now, I’m the one left to pick up the pieces of a life that feels shattered beyond repair.

I stood and paced around my room, my mind racing. I couldn’t think straight. The weight of everything like the funeral, the condolences, the silence after everyone had left was crushing me. I hated this feeling. I hated that I couldn’t control my grief, that I couldn’t stop my tears. I wanted to be the Melinda everyone knew, funny, energetic, and full of life. But how could I be that girl again when the person who had been my whole world was gone?

As the night wore on, I felt the storm outside begin to ease, the rain slowing to a light drizzle. But inside, the storm raged. The emptiness, the sadness, the guilt I couldn’t escape.

I reached for my phone, its familiar weight comforting in my hand. Karen had texted me again: “I’m coming. You’re not alone, Mel. Let me be there for you.”

I stared at the message for a long moment, my fingers hovering over the keys. I knew she meant well. She was my best friend, the only person who understood me, the only person who never judged. But could I let her in? Could I let anyone see how broken I really was?

I set my phone down on the table and turned back to the window. The rain had stopped, and the sky had cleared. There were stars now, tiny dots of light scattered across the black canvas above. I remembered what my mother always told me when I was upset, “Look at the stars, Melinda. They’re always there, even when you can’t see them.” I closed my eyes, letting the memory of her words wash over me. For the first time in days, I felt a glimmer of peace. Maybe the storm inside me will finally pass. Maybe the pieces of my shattered heart will slowly begin to mend. But for now, all I can do is take one breath at a time. One moment at a time. And maybe, just maybe, I will be able to find my way one step, one memory, and one bit of strength at a time.

(Hujan turun deras sore itu, bunyinya yang berirama di jendela menirukan debaran jantungku. Rasanya seperti dunia ikut menangis bersamaku. Kegelapan di luar sana seakan mencerminkan kekacauan di dalam kepalaku. Aku berdiri di sana, membeku, menyaksikan tetesan hujan mengalir deras di kaca. Aku tak bisa berhenti memikirkannya, satu-satunya orang yang selalu ada untukku, satu-satunya orang yang cintanya tak tergoyahkan. Ibuku.

Aku tak pernah menyangka akan seperti ini. Tak pernah menyangka akan berdiri di sini, sendirian.

Aku Melinda yang lantang, blak-blakan, dan selalu dikelilingi teman-teman. Di sekolah, semua orang mengenalku sebagai gadis yang selalu berada di atas segalanya, selalu tersenyum, selalu menjaga penampilan. Namun di balik kepura-puraan itu, ada lubang di dadaku yang tak dapat diisi apa pun.

Sudah dua minggu sejak ia meninggal. Dua minggu sejak aku harus menyaksikan ibuku, pahlawan superku, mengembuskan napas terakhirnya. Kupikir aku bisa mengatasinya. Kupikir aku cukup kuat untuk melewatinya, untuk terus maju seperti yang selalu kulakukan. Namun kini, setiap momen terasa berat. Setiap sudut kamarku seakan bergema dengan ketidakhadirannya. Parfumnya, tawanya, suara senandungnya di dapur saat memasak hal-hal kecil yang membuatnya menjadi dirinya, kini menjadi kenangan yang menusuk hatiku setiap kali aku memikirkannya.

Aku menghela napas gemetar dan berpaling dari jendela. Rumah terasa terlalu sunyi tanpanya. Bukan hanya kebisingan yang hilang; tetapi kehangatan, kenyamanan, rasa aman. Dinding-dinding terasa seperti menutupku.

“Melinda, kau harus keluar dari kamarmu. Kau tidak bisa terus bersembunyi dari dunia,” kata sahabatku, Karen, sebelumnya di telepon. Aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun, tidak sekarang. Tidak saat aku masih terus mencoba untuk bisa memahami apa yang baru saja terjadi. Aku tidak tahu apakah aku sanggup mendengar kata-kata “Maafkan aku” lagi. Aku lelah berpura-pura baik-baik saja, tersenyum ketika yang ingin kulakukan hanyalah meringkuk di tempat tidur dan membiarkan dunia melupakan keberadaanku.

Aku menarik lututku ke dada dan membenamkan wajahku di antara kedua tanganku, membiarkan air mataku mengalir. Aku selalu menjadi orang yang kuat. Orang yang dituju semua orang saat mereka butuh senyum atau tawa. Tapi sekarang? Sekarang aku hanya merasa kehilangan arah.

“Mengapa Ibu harus meninggalkanku, Bu?” bisikku pada kekosongan di sekelilingku, suaraku bergetar. “Mengapa Ibu meninggalkanku sendiri?”

Aku seharusnya menjadi orang yang merawatnya, bukan sebaliknya. Dia selalu ada untukku, menopangku saat aku jatuh, menghapus air mataku saat aku menangis, dan menunjukkan kepadaku jenis kekuatan yang kupikir tidak mungkin. Sekarang, akulah yang tertinggal untuk mengambil kembali kepingan-kepingan kehidupan yang terasa hancur tak dapat diperbaiki.

Aku berdiri dan mondar-mandir di sekitar kamarku, pikiranku berpacu. Aku tidak dapat berpikir jernih. Beban dari semua hal seperti pemakaman, belasungkawa, keheningan setelah semua orang pergi menghancurkanku. Aku benci perasaan ini. Aku benci karena aku tidak dapat mengendalikan kesedihan, bahwa aku tidak dapat menghentikan air mataku. Aku ingin menjadi Melinda yang dikenal semua orang, lucu, energik, dan penuh kehidupan. Namun, bagaimana aku bisa menjadi gadis itu lagi ketika orang yang telah menjadi seluruh duniaku telah pergi?

Saat malam semakin larut, aku merasakan badai di luar mulai mereda, hujan melambat hingga hanya gerimis ringan. Namun, di dalam, badai di dalam diriku mengamuk. Kekosongan, kesedihan, dan rasa bersalah tak dapat kuhindari.

Aku meraih ponselku, beratnya yang familiar terasa menenangkan di tanganku. Karen mengirimiku pesan lagi: “Aku akan datang. Kau tidak sendirian, Mel. Biarkan aku ada untukmu.”

Aku menatap pesan itu lama, jariku sedang melayang di atas tuts-tuts. Aku tahu dia bermaksud baik. Dia adalah sahabatku, satu-satunya orang yang mengerti aku, satu-satunya orang yang tidak pernah menghakimi. Namun, bolehkah aku mengizinkannya masuk? Bolehkah aku membiarkan siapa pun melihat betapa hancurnya aku sebenarnya?

Aku meletakkan ponselku di atas meja dan kembali ke jendela. Hujan telah berhenti, dan langit telah cerah. Sekarang ada bintang-bintang, titik-titik cahaya kecil tersebar di kanvas hitam di atas. Aku teringat apa yang selalu dikatakan ibuku saat aku kesal, “Lihatlah bintang-bintang, Melinda. Mereka selalu ada, bahkan saat kau tak bisa melihatnya.” Aku memejamkan mata, membiarkan kenangan akan kata-katanya menyelimutiku. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, aku merasakan sedikit kedamaian. Mungkin badai di dalam diriku akhirnya akan berlalu. Mungkin kepingan hatiku yang hancur perlahan akan bisa mulai pulih. Namun untuk saat ini, yang bisa kulakukan hanyalah menarik napas satu per satu. Satu momen demi satu momen. Dan mungkin, mungkin saja, aku akan mampu menemukan jalanku melalui satu langkah, satu kenangan, dan sedikit kekuatan pada satu waktu.)

 

Broken Heart

(Hati yang Patah)

The days passed in a haze of endless thoughts, blank stares, and restless nights. It had been three weeks since Mom’s funeral. Three weeks since I said goodbye to the only person who loved me unconditionally, the only person who made everything in my life feel safe. And now? Now, everything was different.

I dragged myself out of bed, feeling the weight of the blankets as if they were chains. Morning light filtered through the curtains, casting a soft glow across the room. I should have been grateful for the sunlight, for the warmth it brought into the house. But all it did was remind me of how empty everything felt now. I reached for my phone on my nightstand, half expecting a text from Karen, but I found none. She had been texting me every day since Mom died, trying to get me to open up. But I couldn’t. How could I talk to her when every word felt like a lie?

I sighed and checked the time. I had class in an hour. I hadn’t been going to school much lately. I couldn’t. I didn’t have the energy to pretend anymore. Pretending to be the girl everyone knew, the one with the loudest laugh, the one who was always ready to hang out with her friends after school. That girl had died with my mother.

But today… today felt different.

I threw back the covers and slowly stood up, the familiar ache in my chest making it hard to breathe. I grabbed my school uniform and put it on, the fabric stiff and uncomfortable against my skin. I glanced at myself in the mirror, and I almost didn’t recognize the person staring back at me. My eyes were bloodshot from lack of sleep, my hair was tangled, my face pale, almost sickly. I used to be so confident, so proud of my appearance. Now, I didn’t care about any of that.

“Calm down, Melinda,” I whispered to myself, trying to gather the strength to move forward. I couldn’t stay locked in my room forever.

But as I stepped outside, the cold air hit me like a slap in the face. I shivered, pulling my jacket tighter. The sky was overcast, like my mood, as I walked towards school. Each step felt heavy, like I was walking through thick mud. My heart felt like it was being held in place, refusing to let go of the sadness that had wrapped itself around me like a suffocating blanket.

The schoolyard was as bustling as ever, filled with the chatter of students catching up, laughing, and gossiping. I walked past them all, my head down, trying not to make eye contact. I didn’t want to be noticed. I didn’t want anyone to ask me how I was, because the truth was, I didn’t know. I didn’t know how to answer that question without crying in front of everyone.

Karen caught up to me just as I entered the school building.

“Mel, wait!” Her voice was bright, full of energy, as usual. But when she saw me, her smile faded a little. “Are you okay?”

I didn’t answer. Instead, I forced a smile. “I’m okay, Karen. Really. Just… tired.”

“Are you sure? You’ve alienated everyone,” she said softly, her voice filled with worry.

I looked away, trying to hide the tears that threatened to spill. “I’m okay. I just need to focus on school right now.”

Karen didn’t press further, but I could see the worry in her eyes. She was the one who had always encouraged me to open up, to stop pretending. But I couldn’t. I couldn’t let anyone in. Not yet. Not when I still felt like I was drowning in this sea of ​​sadness.

The bell rang, signaling the start of class, and I walked to my seat, barely paying attention to the people around me. Everything felt distant, like I was floating above it all, unable to really connect with anyone. The teacher continued to talk, but my mind wasn’t on the lesson. My thoughts were on my mother, the empty space where she used to be. Her voice, her laughter, her presence, it all felt like a dream now, a beautiful, heartbreaking dream.

By lunchtime, I was exhausted. I hadn’t eaten anything since breakfast, but my stomach felt like a bottomless pit, empty and aching. I sat alone in the back of the cafeteria, staring at the untouched food in front of me. It had been a long time since I’d felt hungry. It had been a long time since I’d felt anything but sadness.

Karen found me again, sitting next to me. “You have to eat, Mel. You can’t keep skipping meals. It’s not healthy.”

I stared at her for a long moment, anger building inside me. “I don’t care about that, Karen. You don’t understand.” I pushed the plate aside, the clatter echoing in the silence between us.

Karen looked hurt, but she didn’t give up. “I don’t understand what, Mel? That you’re sad? That you’re hurting? We all are. But pushing everyone away isn’t going to help you. You have to let someone in. You don’t have to go through this alone.”

Her words hit me like a blow to the gut. I felt the weight of everything that was weighing me down: the loneliness, the emptiness, the pain. But I couldn’t let it show. Not here. Not now.

“I’m not ready to talk about it,” I whispered, my voice barely audible.

Karen nodded slowly, her gaze softening. “I understand. But when you’re ready, I’ll be here. You don’t have to carry this burden alone.”

I wanted to believe her. I wanted to feel like I could lean on someone, that I could let go of the mask of strength I’d ​​built around myself. But every time I tried to let go, to let myself feel the pain, it felt like I was losing control. Like I was falling apart.

As the days went by, I couldn’t shake the feeling that I was on the brink of something. Something that could destroy me or bring me back. But for now, all I could do was take one step at a time, pretending that everything was okay, even though inside, I felt like I was falling apart.

I couldn’t face the world, not yet. But somehow, I knew I had to. For her. For Mom.

(Hari-hari berlalu begitu saja dalam kabut pikiran yang tak berujung, tatapan kosong, dan malam-malam yang gelisah. Sudah tiga minggu sejak pemakaman Ibu. Tiga minggu sejak aku mengucapkan selamat tinggal kepada satu-satunya orang yang mencintaiku tanpa syarat, satu-satunya orang yang membuat segalanya dalam hidupku terasa aman. Dan sekarang? Sekarang, semuanya berbeda.

Aku menyeret diriku keluar dari tempat tidur, merasakan berat selimut seolah-olah itu adalah rantai. Cahaya pagi menyusup masuk melalui tirai, memancarkan cahaya lembut ke seluruh ruangan. Seharusnya aku bersyukur atas sinar matahari, atas kehangatan yang dibawanya ke dalam rumah. Namun, yang dilakukannya hanyalah mengingatkanku betapa hampanya segalanya sekarang. Aku meraih ponselku di meja samping tempat tidur, setengah berharap akan ada pesan dari Karen, tetapi aku tidak menemukannya. Dia telah mengirimiku pesan teks setiap hari sejak Ibu meninggal, mencoba membuatku terbuka. Namun, aku tidak bisa. Bagaimana aku bisa berbicara dengannya ketika setiap kata terasa seperti kebohongan?

Aku mendesah dan memeriksa waktu. Aku ada kelas satu jam lagi. Akhir-akhir ini aku jarang pergi ke sekolah. Aku tidak bisa. Tidak ada lagi tenaga untuk berpura-pura. Berpura-pura menjadi gadis yang dikenal semua orang, yang tertawa paling keras, yang selalu siap untuk nongkrong dengan teman-teman sepulang sekolah. Gadis itu telah meninggal bersama ibuku.

Namun hari ini… hari ini terasa berbeda.

Aku menyingkap selimut dan perlahan berdiri, rasa sakit yang familiar di dadaku membuatku sulit bernapas. Aku meraih seragam sekolahku dan memakainya, kainnya kaku dan tidak nyaman di kulitku. Aku melihat sekilas diriku di cermin, dan aku hampir tidak mengenali orang yang menatapku. Mataku merah karena kurang tidur, rambutku kusut, wajahku pucat, hampir seperti orang sakit. Dulu aku begitu percaya diri, begitu bangga dengan penampilanku. Sekarang, aku tidak peduli dengan semua itu.

“Tenangkan diri, Melinda,” bisikku pada diriku sendiri, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melangkah maju. Aku tidak bisa terus-terusan terkunci di kamarku.

Namun saat aku melangkah keluar, udara dingin menghantamku seperti tamparan di wajah. Aku menggigil, menarik jaketku lebih erat. Langit mendung, seperti suasana hatiku, saat aku berjalan menuju sekolah. Setiap langkah terasa berat, seperti aku sedang berjalan di lumpur tebal. Hatiku terasa seperti tertahan, tidak mau melepaskan kesedihan yang telah membungkusku seperti selimut yang menyesakkan.

Halaman sekolah tetap ramai seperti biasanya, dipenuhi celoteh siswa yang mengejar ketinggalan, tertawa, dan bergosip. Aku berjalan melewati mereka semua, menundukkan kepala, berusaha untuk tidak melakukan kontak mata. Aku tidak ingin diperhatikan. Aku tidak ingin ada yang bertanya bagaimana keadaanku, karena sebenarnya, aku tidak tahu. Aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu tanpa menangis di depan semua orang.

Karen menyusulku tepat saat aku memasuki gedung sekolah.

“Mel, tunggu!” Suaranya cerah, penuh energi, seperti biasa. Namun saat dia melihatku, senyumnya sedikit memudar. “Kau baik-baik saja?”

Aku tidak menjawab. Sebaliknya, aku memaksakan senyum. “Aku baik-baik saja, Karen. Sungguh. Hanya… lelah.”

“Kau yakin? Kau telah mengucilkan semua orang,” katanya lembut, suaranya dipenuhi kekhawatiran.

Aku mengalihkan pandangan, mencoba menyembunyikan air mata yang mengancam akan tumpah. “Aku baik-baik saja. Aku hanya perlu fokus pada sekolah sekarang.”

Karen tidak mendesak lebih jauh, tetapi aku bisa melihat kekhawatiran di matanya. Dialah yang selalu mendorongku untuk terbuka, untuk berhenti berpura-pura. Tetapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkan siapa pun masuk. Belum. Tidak saat aku masih merasa seperti tenggelam dalam lautan kesedihan ini.

Bel berbunyi, menandakan dimulainya kelas, dan aku berjalan ke tempat dudukku, nyaris tidak memperhatikan orang-orang di sekitarku. Semuanya terasa jauh, seperti aku melayang di atas semuanya, tidak dapat benar-benar terhubung dengan siapa pun. Guru itu terus berbicara, tetapi pikiranku tidak tertuju pada pelajaran. Pikiranku tertuju pada ibuku, ruang kosong tempat ia dulu berada. Suaranya, tawanya, kehadirannya, semuanya terasa seperti mimpi sekarang, mimpi yang indah dan memilukan.

Menjelang makan siang, saya sudah kelelahan. Saya belum makan apa pun sejak sarapan, tetapi perut saya terasa seperti lubang tanpa dasar, hampa dan sakit. Saya duduk sendirian di bagian belakang kafetaria, menatap makanan yang belum tersentuh di depan saya. Sudah lama sejak saya merasa lapar. Sudah lama sejak saya merasakan sesuatu selain kesedihan.

Karen menemukan saya lagi, duduk di sebelah saya. “Kamu harus makan, Mel. Kamu tidak bisa terus-menerus melewatkan makan. Itu tidak sehat.”

Saya menatapnya lama, kemarahan membuncah dalam diri saya. “Saya tidak peduli tentang itu, Karen. Kamu tidak mengerti.” Saya menyingkirkan piring itu, suara gemerincing bergema di ruang sunyi di antara kami.

Karen tampak terluka, tetapi dia tidak menyerah. “Saya tidak mengerti apa, Mel? Bahwa kamu sedih? Bahwa kamu terluka? Kita semua begitu. Tetapi menjauhkan semua orang tidak akan membantumu. Kamu harus membiarkan seseorang masuk. Kamu tidak harus melalui ini sendirian.”

Kata-katanya menghantamku bagai hantaman ke ulu hati. Aku merasakan beban dari segala hal yang menimpaku: kesepian, kekosongan, rasa sakit. Namun, aku tidak bisa membiarkannya terlihat. Tidak di sini. Tidak sekarang.

“Aku belum siap untuk membicarakannya,” bisikku, suaraku nyaris tak terdengar.

Karen mengangguk pelan, tatapannya melembut. “Aku mengerti. Tapi saat kau siap, aku akan ada di sini. Kau tidak harus menanggung beban ini sendirian.”

Aku ingin memercayainya. Aku ingin merasa bisa bersandar pada seseorang, bahwa aku bisa melepaskan kedok kekuatan yang telah kubangun di sekelilingku. Tapi setiap kali aku mencoba untuk menyerah, membiarkan diriku merasakan sakit, rasanya seperti aku kehilangan kendali. Seperti aku hancur berkeping-keping.

Seiring berlalunya hari, aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa aku berada di ambang sesuatu. Sesuatu yang bisa menghancurkanku atau menghidupkanku kembali. Tapi untuk saat ini, yang bisa kulakukan hanyalah melangkah selangkah demi selangkah, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, meskipun di dalam, aku merasa seperti hancur berkeping-keping.

Aku belum bisa menghadapi dunia, belum. Tapi entah bagaimana, aku tahu aku harus melakukannya. Demi dia. Demi Ibu.)

 

Finding the Strength to Breathe

(Menemukan Kekuatan untuk Bernapas)

The days felt like they had no beginning or end. They were all tangled up in a whirlwind of emotions I couldn’t control. I woke up every morning with a tightness in my chest, a feeling of something heavy pressing down on my heart, and I went to bed every night hoping that maybe, just maybe, tomorrow would be different. But it never was.

I walked through school like a ghost. Not literally, but it felt like one. The hallways were bustling with students, loud chatter, laughter, the hustle and bustle of everyday life. But none of it reached me. Nothing could penetrate the walls I had built around myself. I was numb. I didn’t feel anything, or at least, that’s what I told myself. If I didn’t feel anything, maybe it wouldn’t hurt so much.

Karen kept reaching out to me. I could see the worry in her eyes, the way her hands twitched as if she wanted so badly to comfort me, to make me feel better. But I couldn’t let her in. Not yet. I wasn’t ready to show her the mess I had made. I didn’t want anyone to see how broken I was, how broken I was inside. So I pushed her away, like I had pushed everyone else away.

But something had changed inside me. Something had changed in the last few days, something I couldn’t ignore anymore. My mother’s absence was like an open wound in my heart, and every time I tried to ignore it, it hurt more. I knew I couldn’t keep pretending forever. I had to face this. I had to find a way to move forward, even if it meant stumbling along the way.

That day, after school, Karen invited me to hang out at her house. I didn’t want to go. I didn’t want to be around anyone, especially her. But for some reason, something inside me told me to go. Maybe it was because I couldn’t stand the silence in my own house anymore. Maybe it was because I knew I couldn’t do this alone.

I arrived at Karen’s house and was greeted by her mother, who smiled warmly at me. “Melinda, it’s good to see you. I’m so glad you came,” she said as she invited me in.

I smiled weakly, though it felt strange on my face. It wasn’t that I didn’t like Karen’s family, but being here felt wrong. It felt like I didn’t belong anywhere anymore.

Karen led me upstairs to her room, and we sat on her bed, the familiar comfort of her place helping me relax a little. Karen sat down next to me, her eyes soft but full of worry.

“Mel, you can’t keep running from this,” she said softly, her voice low. “I know it’s hard. I can’t even imagine what you’re going through, but you don’t have to do it alone.”

I could feel my throat tighten as her words hit me harder than I expected. I wanted to scream, wanted to tell her that I wasn’t ready, that I couldn’t handle it, but I didn’t. Instead, I closed my eyes and let the tears fall. They weren’t tears for my mother anymore. They were tears for guilt, for sadness, for everything I’d bottled up inside me, telling myself that I could handle it on my own.

Karen didn’t say anything else. She just sat there, letting me cry, holding me. I haven’t cried like this since the funeral, not letting myself feel anything. But the dam inside me finally broke, and I couldn’t stop the flood.

“I’m so sorry, Karen,” I whispered through my tears. “I didn’t mean to shut you out. I didn’t mean to push you away, but I… I just don’t know how to deal with this.”

Karen pulled me closer, rubbing my back gently. “It’s okay, Mel. It’s okay to feel this way. You don’t have to act strong all the time. It’s okay to lean on someone, to let someone in.”

Her words were like balm to the raw wound in my heart. For the first time in weeks, I didn’t feel completely alone. But that didn’t make it any better. It didn’t take away the pain.

The next few days were tough. The sadness didn’t just go away because I cried or because Karen was there for me. That’s not how it works. But slowly, I began to feel the weight of my sadness lessen, if only a little. I started going to school again, forcing myself to interact with people, pretending I was okay. But I wasn’t lying anymore. I was healing, little by little.

And as the days went by, I started remembering things about my mom that I’d kept to myself—the way she sang while she cooked, how she always made me laugh even when I was upset, how she held me close to her like she could protect me from everything.

I realized that I didn’t have to carry this burden alone. She had taught me so much, but the most important lessons she left me were to love myself, to not be afraid of the world, and to always find the strength to keep moving forward. She had lived her life that way, and now, it was my turn to carry on her legacy.

It wouldn’t be easy. Sometimes, the sadness would come back, and I had to remind myself that it was okay to feel broken. But I have learned something important: I don’t have to do it alone. I have Karen, I have my friends, and most importantly, I have the memory of my mother, who still guides me, still loves me, even though she is gone.

And in the quiet moments, when the world around me feels silent and the grief feels unbearable, I will close my eyes, take a deep breath, and try to hold on to the one truth that has kept me going: My mother loved me, and I will love myself enough to keep going, no matter what.

I am not done. I am not done. Not at all.

(Hari-hari terasa seperti tidak berawal dan berakhir. Semuanya bercampur aduk dalam pusaran emosi yang tidak dapat saya kendalikan. Saya terbangun setiap pagi dengan sesak di dada, perasaan ada sesuatu yang berat menekan jantung saya, dan saya tidur setiap malam sambil berharap mungkin, mungkin saja, semuanya akan berbeda besok. Namun, itu tidak pernah terjadi.

Saya berjalan di sekolah seperti hantu. Tidak secara harfiah, tetapi rasanya seperti itu. Lorong-lorong sekolah ramai dengan siswa, obrolan keras, tawa, hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Namun, semua itu tidak sampai kepada saya. Tidak ada yang dapat menembus dinding yang telah saya bangun di sekeliling diri saya. Saya mati rasa. Saya tidak merasakan apa pun, atau setidaknya, itulah yang saya katakan kepada diri saya sendiri. Jika saya tidak merasakan apa pun, mungkin itu tidak akan begitu menyakitkan.

Karen terus berusaha mengulurkan tangan kepada saya. Saya dapat melihat kekhawatiran di matanya, cara tangannya berkedut seolah-olah dia sangat ingin menghibur saya, untuk membuatnya lebih baik. Namun, aku tidak bisa membiarkannya masuk. Belum saatnya. Aku belum siap menunjukkan padanya kekacauan yang telah kubuat. Aku tidak ingin siapa pun melihat betapa hancurnya diriku, betapa hancurnya diriku di dalam. Jadi, aku mendorongnya menjauh, seperti aku telah mendorong semua orang.

Namun, ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Sesuatu telah berubah dalam beberapa hari terakhir, sesuatu yang tidak bisa kuabaikan lagi. Ketidakhadiran ibuku seperti luka terbuka di hatiku, dan setiap kali aku mencoba mengabaikannya, rasanya semakin sakit. Aku tahu aku tidak bisa terus berpura-pura selamanya. Aku harus menghadapi ini. Aku harus menemukan cara untuk terus melangkah maju, meskipun itu berarti tersandung di sepanjang jalan.

Hari itu, sepulang sekolah, Karen mengajakku untuk nongkrong di rumahnya. Aku tidak ingin pergi. Aku tidak ingin berada di dekat siapa pun, terutama dia. Namun, entah mengapa, ada sesuatu dalam diriku yang menyuruhku untuk pergi. Mungkin karena aku tidak tahan lagi dengan kesunyian di rumahku sendiri. Mungkin karena aku tahu aku tidak bisa melakukan ini sendirian.

Saya tiba di rumah Karen dan disambut oleh ibunya, yang tersenyum hangat kepada saya. “Melinda, senang bertemu denganmu. Aku sangat senang kamu datang,” katanya sambil mempersilakanku masuk.

Aku tersenyum lemah, meskipun terasa aneh di wajahku. Bukannya aku tidak menyukai keluarga Karen, tetapi berada di sini terasa salah. Rasanya seperti aku tidak lagi diterima di mana pun.

Karen menuntunku ke atas ke kamarnya, dan kami duduk di tempat tidurnya, kenyamanan tempatnya yang sudah kukenal membantuku sedikit rileks. Karen duduk di sebelahku, matanya lembut, tetapi penuh dengan kekhawatiran.

“Mel, kamu tidak bisa terus-menerus lari dari ini,” katanya lembut, suaranya rendah. “Aku tahu ini sulit. Aku bahkan tidak bisa membayangkan apa yang sedang kamu alami, tetapi kamu tidak harus melakukannya sendirian.”

Aku bisa merasakan tenggorokanku tercekat saat kata-katanya menghantamku lebih keras dari yang kuduga. Aku ingin berteriak, ingin mengatakan padanya bahwa aku belum siap, bahwa aku tidak sanggup mengatasinya, tetapi tidak kulakukan. Sebaliknya, aku memejamkan mata dan membiarkan air mataku jatuh. Air mataku bukan lagi air mata untuk ibuku. Air mataku adalah air mata untuk rasa bersalah, untuk kesedihan, untuk semua yang telah kupendam dalam diriku, mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku bisa mengatasinya sendiri.

Karen tidak mengatakan apa pun lagi. Dia hanya duduk di sana, membiarkanku menangis, memelukku. Aku tidak pernah menangis seperti ini sejak pemakaman, tidak membiarkan diriku merasakan apa pun. Tetapi bendungan di dalam diriku akhirnya jebol, dan aku tidak bisa menghentikan banjirnya.

“Aku sangat menyesal, Karen,” bisikku di antara air mataku. “Aku tidak bermaksud mengucilkanmu. Aku tidak bermaksud menjauhimu, tetapi aku… aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi semua ini.”

Karen menarikku lebih dekat, mengusap punggungku dengan lembut. “Tidak apa-apa, Mel. Tidak apa-apa untuk merasa seperti ini. Kamu tidak harus berpura-pura kuat sepanjang waktu. Tidak apa-apa untuk bersandar pada orang lain, untuk membiarkan seseorang masuk.”

Kata-katanya seperti balsem untuk luka mentah di hatiku. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, aku merasa tidak sepenuhnya sendirian. Namun, itu tidak membuat semuanya lebih baik. Itu tidak menghilangkan rasa sakit.

Beberapa hari berikutnya terasa berat. Kesedihan itu tidak hilang begitu saja karena aku menangis atau karena Karen ada untukku. Tidak seperti itu cara kerjanya. Namun, perlahan-lahan, aku mulai merasakan beban kesedihanku berkurang, meski hanya sedikit. Aku mulai bersekolah lagi, memaksakan diri untuk berinteraksi dengan orang lain, berpura-pura baik-baik saja. Namun, aku tidak berbohong lagi. Aku mulai pulih, sedikit demi sedikit.

Dan seiring berlalunya hari, aku mulai mengingat hal-hal tentang ibuku yang telah kupendam caranya bernyanyi saat memasak, bagaimana ia selalu membuatku tertawa bahkan saat aku kesal, bagaimana ia memelukku erat-erat seolah ia bisa melindungiku dari segalanya.

Aku menyadari bahwa aku tidak harus menanggung beban ini sendirian. Ibu telah mengajarkanku banyak hal, tetapi pelajaran terpenting yang ia tinggalkan untukku adalah mencintai diriku sendiri, tidak takut pada dunia, dan selalu menemukan kekuatan untuk terus melangkah maju. Ia telah menjalani hidup seperti itu, dan sekarang, giliranku untuk meneruskan warisannya.

Itu tidak akan mudah. Kadang-kadang, kesedihan itu datang lagi, dan saya harus mengingatkan diri sendiri bahwa tidak apa-apa untuk merasa hancur. Namun, saya telah belajar sesuatu yang penting: Saya tidak harus melakukannya sendirian. Saya memiliki Karen, saya memiliki teman-teman, dan yang terpenting, saya memiliki kenangan tentang ibu saya, yang masih membimbing saya, masih mencintai saya, meskipun ia telah tiada.

Dan di saat-saat yang tenang, ketika dunia di sekitar saya terasa sunyi dan kesedihan terasa tak tertahankan, saya akan memejamkan mata, bernapas dalam-dalam, dan mencoba berpegang teguh pada satu kebenaran yang telah membuat saya terus bertahan: Ibu saya telah mencintai saya, dan saya akan cukup mencintai diri saya sendiri untuk terus bertahan, apa pun yang terjadi.

Saya belum selesai. Saya belum selesai. Sama sekali belum.)

 

Strength to Move Forward

(Kekuatan untuk Melangkah Maju)

The days are still hard. The weight of my grief has never really left me, but with each passing day, I find myself more and more aware of the tiny cracks of light that break through the dark fog that once clouded my mind. It’s not easy, not at all. At times, the pain will come rushing back as if it had never left. But there are also rare but precious moments when I can breathe without feeling like the weight of the world is pressing down on me.

It’s in those moments that I realize: I’m not just surviving anymore. I’m learning how to live again.

One morning the alarm went off, and I dragged myself out of bed, as I had every morning since Mom died. It was still strange to wake up without her voice calling me to breakfast, still strange to walk through a house that felt so empty without her presence. But today, something felt very different. There was a glimmer of hope inside me. Maybe it was because I had let myself feel the pain. Maybe it was because I had let Karen and my other friends in, something I had long refused to do.

I was not alone anymore. And somehow, that made the world seem a little less scary.

Karen had been my rock. She was always there for me, always asking how I was, always understanding when I couldn’t speak. She never pushed me, but she was there when I needed her most. It wasn’t just her—my other friends were incredible, too. They didn’t know the depth of my pain, but they showed me what it meant to be there for someone, to love them unconditionally even when things weren’t perfect.

It wasn’t perfect, not by any means. I still had days when I couldn’t stop the tears from flowing, days when the emptiness in my chest felt unbearable. But little by little, I learned how to breathe again.

I remember one day, about a week after my breakdown at Karen’s house. We were sitting in the cafeteria, and for the first time in a long time, I laughed. It wasn’t forced or obligatory. It was real. Karen had made one of her terrible jokes, and before I knew it, I was laughing. Her voice echoed in my ears, and I realized it had been a long time since I’d heard that sound. The feeling of joy, even if it was fleeting, made me realize something important.

I could still feel joy. I could still find happiness in the little things.

The next few days passed with the normal rhythm of teenage life. The morning rush, the late night study sessions, the laughter with friends, and the occasional argument about schoolwork. It was still hard at times, there were still times when I found myself reaching for my phone, trying to call my mom about something trivial, only to remember that I couldn’t.

But slowly, I began to find myself again. I began to pay more attention to the things I had put aside after my heartbreak. My love of painting, drawing, expressing myself through art that had always been my escape. I didn’t know it yet, but those quiet moments of creativity would be my salvation.

One night, I sat on my bedroom floor, soft music filling the room around me. I had just finished a small sketch of a simple tree, with branches reaching upward, as if trying to touch the sky. The pencil strokes were messy, not smooth, but they felt good in my hand. It felt like something I hadn’t done in a long time: living.

I leaned against the wall and stared at the picture, silent tears falling once more. But this time, the tears were different. They weren’t tears of defeat. They were tears of acceptance. I wasn’t angry at the world anymore. I wasn’t fighting the grief. I finally understood that it was a part of me now, woven into the fabric of who I was.

I wasn’t just the girl who lost her mother. I was Melinda, the girl who had learned to feel again, to laugh, to love, to forgive herself. I was more than my pain.

That night, I sat in the dark, my heart full of emotions I hadn’t known how to process before. The sadness hadn’t gone away, not by a long shot, but I had learned how to let it exist alongside the joy, alongside the laughter, alongside the love I still had to give.

It was in those quiet, intimate moments that I realized: Mom wasn’t really gone. Not in the way I thought. Her love, her strength, her lessons, they all lived on inside me. And I would carry them with me, wherever life took me.

The next morning, I stood in front of the mirror, my reflection staring back at me with new strength. I wasn’t the same girl I’d been when this all began, and maybe that was okay. I was different, but I was still here. And that in itself was a victory.

I wasn’t ready to let go of the past, not completely. But I was learning how to move forward. One step at a time.

And with each step, I knew I was getting closer to finding the right person for me.

(Hari-hari masih terasa berat. Beban kesedihan tak pernah benar-benar hilang dariku, tetapi setiap hari berlalu, aku mendapati diriku semakin menyadari celah-celah cahaya kecil yang menerobos kabut gelap yang pernah menyelimuti pikiranku. Itu tidak mudah, sama sekali tidak. Pada saat-saat tertentu, rasa sakit itu akan kembali berdesakan seolah-olah tak pernah hilang. Namun, ada juga saat-saat yang langka tetapi berharga ketika aku bisa bernapas tanpa merasa seperti beban dunia menekanku.

Pada saat-saat itulah aku menyadari: Aku tidak hanya bertahan hidup lagi. Aku belajar bagaimana untuk hidup kembali.

Suatu pagi alarm berbunyi keras, dan aku menyeret diriku keluar dari tempat tidur, seperti yang telah kulakukan setiap pagi sejak Ibu meninggal. Masih aneh untuk bangun tanpa mendengar suaranya memanggilku untuk sarapan, masih aneh untuk berjalan melewati rumah yang terasa begitu kosong tanpa kehadirannya. Namun hari ini, ada sesuatu yang sangat terasa berbeda. Ada secercah harapan di dalam diriku. Mungkin karena aku telah membiarkan diriku merasakan sakit itu. Mungkin karena saya telah mengizinkan Karen dan teman-teman saya yang lain masuk, sesuatu yang telah lama saya tolak.

Saya tidak sendirian lagi. Dan entah bagaimana, hal itu membuat dunia tampak sedikit tidak menakutkan.

Karen telah menjadi sandaran saya. Dia selalu ada untuk saya, selalu menanyakan keadaan saya, selalu mengerti ketika saya tidak dapat berbicara. Dia tidak pernah memaksa saya, tetapi dia ada di sana ketika saya sangat membutuhkannya. Bukan hanya dia—teman-teman saya yang lain juga luar biasa. Mereka tidak tahu seberapa dalam rasa sakit saya, tetapi mereka menunjukkan kepada saya apa artinya berada di sana untuk seseorang, mencintai mereka tanpa syarat bahkan ketika keadaan tidak sempurna.

Itu tidak sempurna, sama sekali tidak. Saya masih memiliki hari-hari ketika saya tidak dapat menghentikan air mata mengalir, hari-hari ketika kekosongan di dada saya terasa tak tertahankan. Tetapi sedikit demi sedikit, saya belajar cara bernapas lagi.

Saya ingat suatu hari, sekitar seminggu setelah saya mengalami gangguan mental di rumah Karen. Kami sedang duduk di kafetaria, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, saya tertawa. Itu bukan karena terpaksa atau karena kewajiban. Itu nyata. Karen telah melontarkan salah satu leluconnya yang buruk, dan tanpa kusadari, aku tertawa. Suaranya bergema di telingaku, dan aku sadar, sudah lama sekali aku tidak mendengar suara itu. Perasaan gembira, meskipun itu hanya sesaat, membuatku menyadari sesuatu yang penting.

Aku masih bisa merasakan kegembiraan. Aku masih bisa menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil.

Beberapa hari berikutnya berlalu dengan irama kehidupan remaja yang normal. Kesibukan pagi, sesi belajar larut malam, tawa bersama teman-teman, dan sesekali pertengkaran tentang pekerjaan sekolah. Kadang-kadang masih sulit, masih ada saat-saat ketika aku mendapati diriku meraih ponselku, mencoba menelepon ibuku tentang sesuatu yang sepele, hanya untuk mengingat bahwa aku tidak bisa.

Namun perlahan, aku mulai menemukan diriku lagi. Aku mulai lebih memperhatikan hal-hal yang telah aku kesampingkan setelah kesedihanku. Kecintaanku pada lukisan, menggambar, mengekspresikan diriku melalui seni yang selalu menjadi pelarianku. Saya belum mengetahuinya, tetapi saat-saat tenang penuh kreativitas itu akan menjadi penyelamat saya.

Suatu malam, saya duduk di lantai kamar tidur saya, alunan musik lembut memenuhi ruangan di sekeliling saya. Saya baru saja menyelesaikan sketsa kecil pohon yang sederhana, dengan cabang-cabang yang menjulang ke atas, seolah-olah mencoba menyentuh langit. Goresan pensilnya berantakan, tidak halus, tetapi terasa nyaman di tangan saya. Rasanya seperti sesuatu yang sudah lama tidak saya lakukan: hidup.

Saya bersandar ke dinding dan menatap gambar itu, air mata yang tenang jatuh sekali lagi. Namun kali ini, air mata itu berbeda. Itu bukan air mata kekalahan. Itu adalah air mata penerimaan. Saya tidak lagi marah pada dunia. Saya tidak berjuang melawan kesedihan. Saya akhirnya mengerti bahwa itu adalah bagian dari diri saya sekarang, terjalin dalam jalinan jati diri saya.

Saya bukan hanya gadis yang kehilangan ibunya. Saya adalah Melinda, gadis yang telah belajar untuk merasakan lagi, tertawa, mencintai, dan memaafkan dirinya sendiri. Saya lebih dari sekadar rasa sakit saya.

Malam itu, aku duduk dalam kegelapan, hatiku penuh dengan emosi yang sebelumnya tidak kuketahui bagaimana mengolahnya. Kesedihan itu belum hilang, sama sekali tidak, tetapi aku telah belajar bagaimana membiarkannya ada di samping kebahagiaan, di samping tawa, di samping cinta yang masih harus kuberikan.

Pada saat-saat yang tenang dan intim itulah aku menyadari: Ibu tidak benar-benar pergi. Tidak seperti yang kupikirkan. Cintanya, kekuatannya, pelajarannya, semuanya hidup dalam diriku. Dan aku akan membawanya bersamaku, ke mana pun kehidupan membawaku.

Keesokan harinya, aku berdiri di depan cermin, pantulan diriku menatapku dengan kekuatan baru. Aku bukan gadis yang sama seperti saat semua ini dimulai, dan mungkin itu tidak masalah. Aku memang berbeda, tetapi aku masih di sini. Dan itu sendiri merupakan sebuah kemenangan.

Aku belum siap untuk melepaskan masa lalu, tidak sepenuhnya. Tetapi aku sedang belajar bagaimana melangkah maju. Selangkah demi selangkah.

Dan dengan setiap langkah, aku tahu aku semakin dekat untuk menemukan orang yang tepat untukku.)

 

So, how about you all, are there any of you who can summarize the short story above? Melinda’s journey is one of courage, heartbreak, and a slow but strong road to healing. Her story reminds us that, no matter how deep the pain, there is always hope on the other side. If you have ever experienced loss or faced a struggle that seemed too much to bear, Melinda’s story can bring you comfort and strength. As we close this chapter, remember that healing takes time, but with each small step forward, we are closer to peace. Don’t forget to share this story with others who may need a little hope in their lives. Thank you for joining us on this emotional and inspiring journey.

(Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Perjalanan Melinda adalah perjalanan keberanian, patah hati, dan jalan yang lambat namun kuat menuju penyembuhan. Kisahnya mengingatkan kita bahwa, tidak peduli seberapa dalam rasa sakitnya, selalu ada harapan di sisi lain. Jika Anda pernah mengalami kehilangan atau menghadapi perjuangan yang tampaknya terlalu berat untuk ditanggung, kisah Melinda dapat memberi Anda penghiburan dan kekuatan. Saat kita menutup bab ini, ingatlah bahwa penyembuhan membutuhkan waktu, tetapi dengan setiap langkah kecil ke depan, kita semakin dekat dengan kedamaian. Jangan lupa untuk berbagi kisah ini dengan orang lain yang mungkin membutuhkan sedikit harapan dalam hidup mereka. Terima kasih telah bergabung dengan kami dalam perjalanan yang emosional dan inspiratif ini.)

Leave a Reply