Daftar Isi
Terkadang, perasaan yang kita miliki bisa lebih dalam dari lautan, dan perpisahan bisa terasa lebih menyakitkan daripada apa pun yang pernah kita rasakan. Cinta, yang datang begitu cepat, bisa pergi dalam sekejap, meninggalkan jejak yang sulit dihapus.
Cinta Tenggelam Bersama Senja adalah cerita tentang dua hati yang saling bertemu di waktu yang salah, dan bagaimana kenangan itu terus menghantui, bahkan ketika senja menghilang. Gak ada yang bisa kembali, tapi ada perasaan yang tetap bertahan, meski kita udah berusaha melepaskan. Jadi, siap-siap, ya, untuk dibawa hanyut ke dalam kisah yang penuh perasaan ini.
Cinta Tenggelam Bersama Senja
Senja Pertama di Pantai
Lazu melangkah pelan di sepanjang bibir pantai. Udara senja di pantai itu selalu membuatnya betah berlama-lama. Matahari yang mulai turun, menciptakan warna jingga lembut yang membias di atas laut. Setiap kali senja tiba, seolah-olah langit dan laut sedang berbicara dalam bahasa yang hanya mereka mengerti, dan Lazu selalu tertarik mendengarnya. Namun, hari itu terasa berbeda, ada sesuatu di udara yang membuatnya ingin duduk lebih lama, menikmati hembusan angin yang menyapu wajahnya.
Tak jauh darinya, seorang gadis duduk sendirian di atas pasir, menatap jauh ke arah cakrawala. Rambutnya yang hitam panjang tergerai, bergoyang halus diterpa angin. Ia duduk dalam diam, pandangannya kosong namun tenang, seolah terikat pada sesuatu di ujung langit. Pemandangan itu membuat Lazu merasa aneh, seperti ada magnet yang menariknya untuk mendekat.
Lazu tak bisa menahan diri. Di sela-sela suara ombak yang menghantam karang, ia berjalan mendekati gadis itu. Bukan niatnya untuk mengganggu, hanya saja ada sesuatu dalam cara gadis itu memandang senja yang membuatnya penasaran. Ia berhenti beberapa langkah dari tempat gadis itu duduk dan berdiri canggung, berusaha mencari kata-kata yang tepat.
“Kamu… sering datang ke sini juga?” tanyanya akhirnya, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak.
Gadis itu menoleh, menatap Lazu dengan sepasang mata hitam yang dalam dan misterius. “Aku… suka tempat ini,” jawabnya singkat. Nada suaranya tenang, tapi ada sesuatu yang menggantung dalam kalimat itu, seolah menyimpan sesuatu yang tak ingin ia ungkapkan.
Lazu mengangguk, meskipun sebenarnya ia masih belum tahu harus bicara apa. Namun, gadis itu tersenyum tipis, membuat suasana sedikit mencair. Ia lalu menepuk pasir di sampingnya, mengisyaratkan Lazu untuk duduk.
“Jadi… kamu suka senja?” tanya Lazu, membuka percakapan yang lebih akrab.
Gadis itu mengangguk. “Aku merasa senja itu seperti… jembatan antara hari dan malam. Seperti titik temu antara dua dunia yang berbeda,” katanya sambil menatap cakrawala yang mulai berubah warna, dari jingga ke ungu.
Lazu mengamati ekspresinya yang penuh penghayatan. Ia tak biasa mendengar orang berbicara seperti itu, seolah senja adalah sesuatu yang hidup dan memiliki perasaan. “Kenapa kamu suka senja?” tanyanya lagi, lebih penasaran.
Gadis itu tertawa pelan, sebuah tawa yang lebih mirip desahan. “Aku suka hal-hal yang singkat tapi indah,” jawabnya pelan. “Senja itu hanya ada sebentar. Kita mungkin akan selalu bisa bertemu matahari terbit, tapi senja? Sekali ia lewat, kamu nggak bisa mengulangnya.”
Lazu terdiam, mencerna kalimat itu. Kata-kata gadis itu terkesan sederhana, tapi ada makna yang mendalam di dalamnya. Seolah ia sedang berbicara tentang sesuatu yang lebih dari sekadar senja, sesuatu yang lebih dalam dan menyentuh.
“Senja itu… sementara ya?” Lazu mencoba memahami maksudnya. “Kayak hidup?”
Gadis itu mengangguk perlahan. “Ya… sesuatu yang nggak abadi,” ia berkata sambil tersenyum pahit. “Mungkin itu yang membuat senja istimewa, karena kita tahu ia akan pergi.”
Diam-diam, Lazu merasa ada kesedihan di balik senyum gadis itu, seolah senja adalah sesuatu yang punya makna pribadi baginya. Ada misteri yang tak bisa ia pahami, tapi ia merasa bahwa bertemu gadis ini bukan sekadar kebetulan.
Lazu memandang gadis itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. “Kamu tinggal di sekitar sini?”
Gadis itu menggeleng pelan. “Aku hanya berkunjung sebentar. Mungkin… untuk beberapa waktu saja.” Pandangannya kembali tertuju ke laut, suaranya merendah seiring desiran angin yang membawa aroma asin laut.
“Aku Lazu,” katanya akhirnya, memperkenalkan diri.
“Aruna,” jawab gadis itu, menatapnya sekilas sebelum kembali menatap ke arah cakrawala.
Dalam keheningan yang singkat itu, Lazu merasa ada sesuatu yang mengalir di antara mereka. Bukan sekadar perkenalan biasa, tapi lebih seperti janji yang tak terucapkan, janji yang tersembunyi dalam tatapan mereka pada senja yang hampir tenggelam.
Waktu berlalu, dan mereka berbincang tentang banyak hal—tentang hidup, mimpi, bahkan tentang senja. Aruna banyak bercerita tentang langit, tentang bagaimana ia ingin menggapai bintang yang berkilauan di atas sana. Ia berbicara dengan nada yang begitu tenang, hampir seperti seseorang yang sedang bersiap mengucapkan selamat tinggal.
Lazu mendengarkan setiap kata, terpesona oleh gadis ini yang begitu berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui. Namun, di balik setiap cerita Aruna, ada perasaan aneh yang merambat ke dalam hati Lazu, seperti firasat akan perpisahan yang belum ia mengerti.
Sampai akhirnya, ketika senja benar-benar menghilang dan langit berubah menjadi gelap, Aruna menatap Lazu dengan senyum yang lembut. “Lazu,” katanya, suaranya lirih. “Kalau kita nggak bisa ketemu lagi… tetap ingat malam ini, ya?”
Lazu menatapnya dengan bingung. “Kenapa ngomong kayak gitu, Aruna? Kita bisa ketemu lagi, besok, atau kapan pun kamu mau.”
Aruna hanya tersenyum tipis. “Kadang, nggak semua hal bisa kita ulang. Tapi kalau kamu ingat… mungkin kenangan ini akan tetap hidup.”
Lazu ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-katanya terhenti. Ada kekosongan yang mendalam dalam tatapan Aruna, seolah ia telah menerima sebuah kenyataan yang hanya ia sendiri yang tahu.
Saat itu, Lazu tak tahu bagaimana meresponsnya. Ia hanya duduk di samping Aruna, membiarkan malam datang tanpa suara, sementara hatinya berdebar tanpa alasan yang pasti.
Di malam itu, dalam senyuman samar dan pandangan yang perlahan menjauh, Aruna menjadi kenangan pertama yang tak pernah Lazu lupakan. Senja yang ia cintai telah mempertemukan mereka, tapi di bawah langit malam yang semakin pekat, ada janji yang tertinggal dalam diam.
Aruna lalu berdiri, mengucapkan selamat tinggal dengan bisikan yang lembut sebelum menghilang di kegelapan pantai. Sementara itu, Lazu masih duduk sendirian, dengan sebuah perasaan hampa yang baru ia rasakan.
Dalam hatinya, Lazu berjanji akan kembali ke pantai ini setiap senja, berharap bahwa Aruna akan menepati janjinya. Meski ia tahu, ada kemungkinan senja pertama itu adalah juga senja terakhir mereka.
Janji di Bawah Langit Jingga
Lazu kembali ke pantai itu, lagi dan lagi. Setiap senja, ia berdiri di tempat yang sama, menatap cakrawala yang berubah warna dari jingga menjadi ungu, berharap Aruna akan muncul. Meskipun ia tahu pertemuan itu mungkin hanya sekali, entah kenapa ia tak bisa mengusir bayangannya. Setiap hembusan angin yang lewat, setiap ombak yang menghantam karang, seolah mengingatkannya pada janji yang tertinggal.
Dia tidak tahu apa yang dicari—mungkin hanya ingin merasakan kehadiran Aruna sekali lagi, atau mungkin berharap akan ada keajaiban yang bisa membawa mereka kembali ke malam itu, malam pertama mereka berbicara tentang senja, tentang impian, tentang kehidupan yang tak pasti.
Namun, hari demi hari berlalu, dan Aruna tak pernah kembali. Setiap kali Lazu melangkah menuju pantai, ada rasa cemas yang tumbuh di hatinya. Ada kekosongan yang menggerogoti, seperti ada bagian dari dirinya yang hilang dan ia tak tahu bagaimana menemukannya lagi.
Di hari keempat setelah pertemuan mereka, Lazu duduk di pasir, menatap matahari yang mulai terbenam. Sambil meremas pasir di tangannya, pikirannya melayang jauh. “Kenapa aku harus menunggu?” pikirnya. “Kenapa aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang hilang jika tidak ada Aruna di sini?”
Dia menatap laut yang tenang, berusaha menenangkan pikiran yang terus berlarian. Tapi tiba-tiba, suara langkah kaki di atas pasir menghentikan lamunannya. Lazu menoleh, dan jantungnya langsung berdebar begitu melihat sosok yang ia kenal. Aruna.
Ia berdiri beberapa langkah darinya, mengenakan gaun putih yang terlihat ringan tertiup angin laut. Wajahnya sedikit berbeda dari yang ia ingat, seperti ada kesedihan yang tersirat, namun matanya tetap memancarkan sesuatu yang dalam.
“Aruna…” Lazu berbisik, hampir tidak percaya bahwa gadis itu ada di depannya.
Aruna tersenyum tipis, senyum yang sama yang Lazu lihat pertama kali di malam mereka bertemu. Senyum itu, meskipun lembut, terasa jauh. “Lazu,” katanya pelan, “aku pikir… kamu nggak akan datang lagi.”
Lazu berdiri, langkahnya ragu. “Aku nggak bisa melupakan pertemuan itu. Kita cuma berbicara sedikit, tapi… rasanya ada sesuatu yang tertinggal, Aruna. Sesuatu yang belum selesai.”
Aruna mengangguk, tapi ada kesan kosong dalam gerakan itu. Ia tampak seperti orang yang sedang berjuang melawan perasaan sendiri. “Aku juga nggak tahu kenapa aku bisa kembali ke sini. Mungkin aku hanya ingin memastikan… kalau kamu nggak akan menganggap semuanya hanya mimpi.”
Lazu menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik kata-kata Aruna. Ada kesedihan yang jelas terlihat di matanya, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa rindu.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Aruna?” tanya Lazu dengan hati-hati. “Kenapa kamu bisa pergi begitu saja tanpa penjelasan?”
Aruna menunduk sejenak, seolah mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Aku… aku nggak bisa terus di sini, Lazu,” jawabnya akhirnya, suara seraknya nyaris hilang diterpa angin. “Ada banyak hal yang aku nggak bisa bagi sama kamu. Ada alasan kenapa aku nggak bisa tinggal.”
Lazu merasa hatinya seperti terkoyak. Ada ketegangan yang tak bisa ia jelaskan, rasa sakit yang datang begitu mendalam. “Tapi kita kan bisa menghadapinya bersama. Aku nggak peduli apa pun itu, Aruna. Aku ingin tahu. Aku ingin ada untuk kamu.”
Aruna menatap Lazu dengan pandangan yang sulit dimengerti, seolah berusaha menilai apakah dia benar-benar serius. “Terkadang, ada hal-hal yang harus kita lepaskan, meski kita nggak ingin,” kata Aruna, suara hatinya makin berat. “Aku sudah memutuskan untuk pergi, Lazu. Itu adalah jalan terbaik.”
Lazu menggenggam tangan Aruna, mencoba mencegahnya untuk pergi. “Jangan bilang itu, Aruna. Kita bisa bertemu lagi. Kita bisa mulai dari sini, dari sekarang. Aku akan menunggumu. Aku janji.”
Aruna menarik tangannya perlahan, menghindari tatapan Lazu. “Lazu, kamu nggak mengerti. Aku nggak bisa memberi kamu apa yang kamu inginkan. Aku bukan orang yang bisa kamu harapkan. Mungkin, aku lebih baik pergi dan membiarkan semuanya berlalu.”
Lazu merasa seperti seluruh dunia mendadak runtuh. Ada kegelapan yang menelan segala harapannya, dan ia merasa terjebak dalam perasaan yang tak bisa ia kendalikan. “Jadi ini perpisahan?” tanyanya, suara tergetar.
Aruna hanya diam, tak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulutnya. Hanya sebuah anggukan pelan, yang membuat hati Lazu semakin retak.
Lazu menatapnya untuk beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam. Semua kata-kata yang ingin ia ucapkan terasa kosong. Ia tahu, perpisahan ini sudah ditentukan. Aruna bukan untuknya, setidaknya bukan dalam waktu yang sekarang. Mungkin, nanti. Tapi waktunya bukan sekarang.
“Aku akan ingat ini, Aruna,” ujar Lazu dengan suara serak. “Aku akan ingat janji yang kita buat di senja itu. Aku akan selalu ingat pertemuan pertama kita, meskipun aku tahu kita nggak akan pernah bertemu lagi.”
Aruna menatapnya untuk terakhir kalinya, dan senyum tipis itu muncul kembali. “Semoga kamu menemukan kebahagiaan, Lazu,” kata Aruna sebelum berbalik dan berjalan menjauh.
Lazu berdiri mematung, menatap sosok Aruna yang semakin jauh, hingga akhirnya hilang di balik bayang-bayang senja yang mulai menggelap. Dia tahu, pertemuan ini adalah yang terakhir, dan kenangan tentang Aruna akan tetap terukir dalam hatinya, terperangkap dalam waktu yang tak bisa diulang.
Cinta yang Tenggelam Bersama Senja
Senja itu seperti kenangan yang tak pernah bisa disingkirkan, tak peduli seberapa keras usaha Lazu untuk menghapusnya. Waktu berlalu, namun luka itu tetap ada—tidak hilang meskipun sudah berbulan-bulan berlalu. Setiap kali Lazu melangkah, dunia seolah tetap berputar di sekitar kenangan yang pernah ada bersama Aruna.
Hari demi hari, ia kembali menjalani rutinitas yang sama, berusaha untuk tampak baik-baik saja, tapi hatinya masih terluka. Lazu tidak tahu kapan ia akan merasa utuh lagi. Apakah ada waktu yang bisa menyembuhkan perasaan ini? Setiap detik yang berlalu hanya mengingatkannya bahwa Aruna sudah menjadi bagian dari masa lalu, sebuah cerita yang sudah usai. Tapi apakah perasaan itu bisa hilang begitu saja?
Lazu sering kali menatap langit senja, mengenang setiap detik yang pernah mereka habiskan bersama. Ada semacam ironi dalam pikirannya. Saat senja tiba, ia merasa semakin dekat dengan Aruna, meskipun kenyataannya mereka sudah tidak lagi bersama. Senja yang indah itu menjadi simbol dari perasaan yang selalu ia pendam—harapan yang tidak pernah terwujud.
Suatu sore, ketika Lazu kembali ke pantai tempat terakhir kali mereka bertemu, ia duduk sendiri di tepi air, merasakan angin laut yang menyejukkan. Tidak ada lagi Aruna di sampingnya. Tidak ada lagi tawa yang mengisi udara. Hanya ada dirinya yang kini merasa sepi dalam kesendirian.
Lazu merasakan air matanya mulai menggenang, tapi ia tak menangis. Entah kenapa, perasaan itu seperti sudah mati—ia tidak lagi punya cukup energi untuk menangis. Semua rasa itu hanya membekas sebagai kenangan yang tak bisa ia lupakan.
Dia berbisik pelan, meski hanya angin yang bisa mendengarnya. “Aruna, aku berharap bisa kembali ke saat itu, saat pertama kali kita bertemu. Di sana, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku tidak tahu kalau aku akan jatuh begitu dalam. Tapi aku ingin kita kembali ke sana, kembali ke malam itu… seandainya waktu bisa diputar kembali.”
Senja semakin gelap. Lautan tampak luas dan kosong, menyatu dengan langit yang mulai kehilangan warna. Lazu terdiam, menatap gelapnya horizon yang tidak memberi jawaban.
Saat itulah, Lazu menyadari sesuatu yang sangat sederhana—cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Cinta adalah waktu yang hadir di tempat yang tepat, pada saat yang tepat. Cinta adalah saat dua orang merasa satu. Namun, terkadang cinta datang terlambat, dan yang bisa dilakukan hanyalah melepaskan, meskipun itu terasa seperti tenggelam dalam lautan kesedihan.
Lazu bangkit perlahan dari tempat duduknya, menatap pantai terakhir kali. Ia mengambil satu napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hati yang terluka. “Aku akan baik-baik saja,” katanya pada dirinya sendiri. Meski suara itu terdengar lemah, ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa suatu saat, semuanya akan berlalu.
Hari itu, Lazu pulang tanpa membawa sesosok tubuh yang ia rindukan, tanpa ada lagi langkah Aruna di sampingnya. Hatinya tetap terasa kosong, namun ia tahu satu hal—seperti halnya senja yang selalu tenggelam, begitu juga dengan perasaan ini. Ia harus belajar melepaskan, karena kadang, cinta memang hanya bisa menjadi kenangan yang tenggelam bersama senja.
Langit akhirnya sepenuhnya gelap, dan Lazu tahu, meskipun malam itu sunyi, ada harapan yang tetap bisa ditemukan, bahkan setelah perpisahan yang tak terelakkan.