Cinta Tak Memandang Wajah: Perjalanan Romantis yang Menyentuh dan Lucu

Posted on

Kalau kata orang, cinta itu harus sempurna, kan? Tapi, gimana kalau cinta justru datang dari orang yang nggak sesuai harapan orang-orang? Di cerpen ini, kamu bakal diajak masuk ke dunia Atar dan Kila!

Dua orang yang awalnya mikir kalau mereka nggak cocok, tapi siapa sangka, cinta itu justru datang dengan cara yang konyol, lucu, dan kadang bikin kamu mikir cinta itu emang aneh, ya. Penasaran? Yuk, baca dan siap-siap ketawa, baper, dan nyesek barengan!

 

Cinta Tak Memandang Wajah

Kaset Kuno dan Pertemuan Tak Terduga

Atar bersandar santai di balik meja kayu tua yang sudah mulai lapuk, sambil memandangi deretan kaset-kaset lawas yang tersusun rapi di rak. Toko kaset milik pamannya ini sepi, hampir tak pernah ada pembeli sejak musik digital menguasai dunia. Terkadang ia merasa heran, kenapa masih bertahan di tempat ini? Tapi entah kenapa, ia nyaman saja di sini. Suasana toko yang tenang, debu yang menempel di kaset-kaset lawas, bahkan suara samar putaran piringan hitam di sudut toko—semua itu bikin dia merasa seperti punya dunia kecil yang tak bisa diganggu gugat.

Lalu, sore itu, pintu kaca di depan berderit pelan, tanda ada seseorang masuk. Langkah kaki terdengar mendekat, dan tanpa mengangkat kepala, Atar menyiapkan diri dengan kalimat sambutan standar yang sudah biasa ia ucapkan.

“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?”

Suara tawa kecil terdengar dari arah rak kaset, membuat Atar langsung mengangkat kepala. Di depan rak kaset itu, berdiri seorang gadis dengan rambut sebahu, memakai sweater oversized, dan senyum lebar yang entah kenapa terasa menenangkan. Dia sedang melihat-lihat kaset dengan serius, sampai-sampai menempelkan wajahnya ke kaca rak, seperti lagi memeriksa sesuatu yang berharga.

Gadis itu tertawa lagi dan berbalik, “Kamu yakin toko ini masih jualan kaset, kan? Bukan sekadar pajangan museum?”

Atar nyengir, nggak menyangka pertanyaan seperti itu. “Percaya deh, masih bisa diputer kok. Emang kaset mana yang kamu cari?”

Gadis itu mengangkat satu kaset dengan tulisan “The Wonders” di sampulnya, terlihat puas.

“Kaset ini. Favorit aku dari dulu, tapi entah kenapa udah langka di mana-mana,” katanya, matanya berbinar-binar.

Atar tertawa kecil. “Kamu salah satu yang masih dengerin ‘The Wonders’? Ini pertama kalinya ada yang tanya kaset ini di sini.”

Gadis itu tersenyum. “Kamu tahu mereka? Dikit banget yang tahu, lho, band ini. Bukan yang terkenal banget.”

“Atar tahu semuanya,” jawab Atar sambil menepuk rak kayu di sebelahnya. “Kalau soal musik lawas, di sini gudangnya.”

Gadis itu tertawa, kali ini lebih lepas, suaranya ringan tapi berkesan. “Wah, bagus juga. Jadi, kapan terakhir kali kaset-kaset ini laku?”

Atar mengangkat bahu, berpura-pura berpikir keras. “Hmm… mungkin… dua bulan lalu? Waktu itu cuma ada bapak-bapak nyari kaset dangdut.”

Mereka berdua tertawa, lalu gadis itu mengulurkan tangan. “Aku Kila. Nggak nyangka ada yang jaga toko kaset yang bisa diajak ngobrol santai kayak kamu.”

Atar menjabat tangan Kila, merasa ada kehangatan dalam genggaman tangannya yang kecil. “Aku Atar. Dan ini toko kaset, bukan tempat penitipan barang kuno, kok. Kaset-kaset ini semua masih bisa diputar, termasuk yang kamu pegang itu.”

Mereka berdua terdiam sejenak, merasa ada kecocokan yang aneh namun menyenangkan. Entah kenapa, pertemuan di toko tua itu nggak terasa canggung sama sekali, malah lebih mirip reuni teman lama.

“Aku bayar kasetnya, ya?” Kila mengeluarkan dompet kecil dari tasnya.

Atar menggeleng, masih dengan senyum di wajahnya. “Gratis aja buat kamu. Kaset ini emang udah ngumpulin debu lebih lama dari umur aku.”

“Beneran nih?” Kila mengernyitkan alis, kelihatan agak ragu.

Atar mengangguk. “Hitung-hitung buat kenang-kenangan dari toko kaset ini. Mungkin kamu bakal inget-inget lagi, kalau toko kuno ini pernah ada.”

Kila mengangguk pelan, dan menerima kaset itu dengan wajah yang penuh rasa terima kasih. “Makasih, Atar. Aku pasti bakal ingat.”

Mereka terdiam sebentar, saling pandang tanpa kata. Kila menggigit bibirnya, kelihatan ingin bilang sesuatu, tapi kemudian memilih tersenyum lagi.

“Oh ya, lain kali, kalau aku mau nambah koleksi kaset, boleh mampir lagi, kan?” tanya Kila sambil mengayunkan kaset itu ke arah Atar.

“Nggak ada larangan untuk balik lagi ke sini, kok. Kamu bisa datang kapan aja,” jawab Atar, dengan senyum yang lebih lebar dari biasanya. Dalam hati, dia merasa nggak keberatan kalau gadis ini sering-sering datang ke tokonya.

Kila melambaikan tangan, lalu berjalan keluar dengan langkah yang ringan, meninggalkan aroma khas parfumnya yang samar-samar manis. Atar memandangi kepergiannya dengan perasaan aneh yang menggelitik dadanya. Sebenarnya nggak ada yang spesial dari pertemuan ini. Tapi, entah kenapa, perasaan yang ia rasakan nggak biasa. Seperti ada benih rasa yang tumbuh diam-diam di sela-sela rak kaset tua.

Beberapa hari kemudian, sore yang tenang di toko kaset itu kembali dipecahkan oleh suara derit pintu. Kali ini, Atar langsung menoleh dan melihat Kila masuk dengan senyum lebar, seolah dia memang biasa datang ke tempat ini.

“Kamu balik lagi?” tanya Atar, agak terkejut.

Kila mengangguk. “Yup, ada yang ketinggalan.”

Atar bingung. “Emang ada yang kamu tinggal?”

“Yap. Percakapan kita,” jawab Kila sambil mengedipkan mata, sebelum meledak tertawa sendiri. “Serius, aku nggak bisa nemuin orang yang asyik ngobrol kayak kamu. Makanya, aku pikir kenapa nggak mampir lagi?”

Atar menggaruk kepala, nggak tahu harus merespons bagaimana. Biasanya, toko ini jadi tempat sepi yang bikin dia merasa damai, tapi sekarang dia malah suka kalau Kila datang dan memenuhi tempat ini dengan tawa cerianya. Rasanya toko ini jadi nggak terlalu sepi.

Mereka pun menghabiskan waktu ngobrol panjang lebar, dari hal-hal serius sampai obrolan aneh yang membuat mereka tertawa. Di sela-sela percakapan, Atar nggak bisa menahan diri buat mengamati Kila lebih lama. Bukan karena dia merasa Kila cantik dalam pengertian standar orang-orang. Kila memang nggak seperti gadis yang bisa bikin orang terpesona dalam sekali pandang. Tapi, ada sesuatu di dalam dirinya yang membuat Atar nyaman.

Kila tiba-tiba berhenti berbicara dan menatap Atar, sadar bahwa dirinya sedang diperhatikan. “Eh, kenapa kamu lihat aku terus?”

Atar tersipu, mencoba menyembunyikan perasaan canggung. “Nggak, aku cuma mikir… nggak banyak orang yang punya rasa penasaran kayak kamu soal kaset-kaset kuno. Biasanya, orang-orang malah aneh ngeliat aku masih kerja di sini.”

Kila mengangguk, tersenyum kecil. “Aku ngerti. Kadang, hal-hal yang kita suka nggak selalu sama dengan orang kebanyakan. Tapi ya, itu justru bikin kita jadi kita, kan?”

Atar mengangguk setuju. Malam mulai merambat, dan toko sudah seharusnya tutup. Tapi, Atar membiarkan Kila tetap tinggal, dan mereka terus bercengkerama dalam kehangatan yang sederhana.

Saat akhirnya Kila berpamitan, Atar merasa ada yang hilang. Baru kali ini, ia merasa toko kasetnya terlalu sepi ketika Kila pergi. Tanpa sadar, ada perasaan yang semakin kuat di dadanya.

Dalam hati, Atar bertanya-tanya: mungkinkah ada orang yang nggak akan pernah menilai wajah sebagai ukuran utama dalam cinta? Karena kalau ada, Kila mungkin salah satunya.

 

Balada Dua Hati Tak Sempurna

Beberapa minggu berlalu, dan kunjungan Kila ke toko kaset Atar sudah jadi pemandangan yang akrab. Setiap sore, ketika toko mulai sepi, Atar sering mendengar derit pintu yang sudah ia kenal baik. Lalu, di ambang pintu, akan muncul senyum lebar Kila, membawa energi yang seperti langsung menyebar di antara rak-rak kaset yang berdebu. Kadang-kadang, Kila datang hanya untuk sekadar ngobrol tanpa tujuan. Kadang, dia membawa makanan ringan—sering kali donat, roti isi, atau minuman yang dijajakan pedagang kaki lima di sekitar.

Hari ini, seperti biasa, Kila datang dengan membawa dua gelas es kopi dari kedai kecil di ujung jalan. Ia menyerahkan salah satunya pada Atar, yang sedang sibuk mengelap rak dengan kain lap yang sudah kumal.

“Eh, jangan protes ya. Ini kopi untuk kamu,” ujar Kila sambil menyodorkan gelas plastik itu ke tangan Atar. “Gue minum es kopi, kamu juga harus. Aturan mainnya begitu.”

Atar tersenyum kecil, menerima gelas kopi itu. “Makasih. Sekarang kamu yang ngatur-ngatur, ya?”

Kila mengangkat bahu dengan gaya sok santai. “Yah, harus ada yang bantuin kamu menikmati hidup. Kamu udah kayak simpanan toko kaset, nggak pernah keluar dari sini.”

Atar tertawa pelan. Ada benarnya juga. Sejak kenal Kila, rutinitasnya yang biasa datar dan sepi jadi lebih berwarna. Tapi bukan berarti dia mau mengakuinya. Lagipula, Atar memang bukan tipe yang suka banyak omong.

Kila, sebaliknya, dengan semangat bercerita soal kejadian-kejadian kecil di sekelilingnya. Mulai dari supir ojek yang lucu, kucing liar yang sering muncul di sekitar kost-nya, sampai cerita-cerita soal teman kuliahnya yang nggak pernah habis. Meskipun kadang ceritanya ngalor ngidul, Atar malah menikmati setiap cerita Kila. Ada semacam kesederhanaan dan ketulusan dalam caranya berbicara yang membuat Atar merasa… nyaman.

“Aku selalu penasaran, Atar, kamu sendiri nggak pernah cerita banyak tentang diri kamu,” ujar Kila, meletakkan gelas kopinya di atas meja kasir. “Kamu tuh, ya, misterius banget. Beda sama cowok lain yang suka banget cerita soal dirinya sendiri.”

Atar mengerutkan dahi, mencoba merangkai jawaban. “Yah, nggak ada yang menarik buat diceritain. Lagian, aku nggak punya kehidupan se-penuh warna kayak kamu.”

Kila menyipitkan matanya, kelihatan nggak puas dengan jawaban itu. “Iya, iya. Tapi, pasti ada satu dua hal yang bikin kamu beda. Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyiin, sesuatu yang orang lain nggak tahu.”

Atar hanya tersenyum kecil dan mengangkat bahu. “Kalau diceritain semua, nanti nggak ada misteri lagi dong?”

Kila mendengus. “Yah, udah tahu susah ngobrol sama kamu.”

Mereka terdiam sejenak, menikmati suasana toko yang sepi dan suara hujan rintik di luar sana. Hujan tipis itu mengaburkan kaca jendela, menciptakan suasana yang sendu namun hangat. Entah bagaimana, suasana itu membuat mereka merasa lebih dekat. Kila menatap jari-jarinya yang saling menggenggam di atas meja, kelihatan bingung dengan perasaannya sendiri.

“Hey, Atar,” suara Kila terdengar lebih lembut dari biasanya. “Kalau kamu diizinkan untuk jadi siapa aja… kamu bakal jadi siapa?”

Atar berpikir sejenak. Pertanyaan itu sederhana, tapi buatnya, rasanya berat. Selama ini, dia sudah nyaman dengan dirinya yang sekarang—seorang penjaga toko kaset yang tak banyak bicara. Tapi di balik kenyamanan itu, ada mimpi-mimpi kecil yang ia simpan sendiri, terlalu malu untuk diungkapkan pada siapa pun. Ia menatap Kila, lalu berkata dengan tenang, “Aku bakal tetap jadi aku. Mungkin, versi yang lebih berani buat mimpi.”

“Berani gimana?” Kila tersenyum penuh rasa penasaran.

Atar berpikir keras, merasa terjebak. “Mungkin… aku bakal berani bilang sama orang yang aku suka.”

Kalimat itu terlontar begitu saja, dan suasana langsung terasa berubah. Kila tampak terkejut, tapi dia tetap tersenyum, mungkin sedikit gugup. Atar menyesal karena berkata terlalu jauh, tapi ia mencoba mengalihkan perhatian dengan mengambil kaset dari rak.

“Eh, kamu tahu nggak, ada album lawas di sini. Koleksi terbatas, lho,” ujar Atar cepat, menunjukkan kaset lain seolah-olah itu hal yang sangat penting.

Kila mengambil kaset itu dengan senyum kecil di wajahnya, masih menatap Atar dengan sorot mata yang susah ditebak. “Loh, serius? Kamu kasih aku koleksi langka kayak gini? Nggak sayang?”

Atar hanya tertawa kecil. “Anggap aja sebagai bonus buat pelanggan tetap.”

Kila tertawa, sambil memandang kaset di tangannya. “Aku jadi penasaran, Atar. Orang yang kamu suka itu… tipikal yang kayak gimana?”

Pertanyaan itu membuat Atar terdiam lagi. Kali ini, dia merasa bingung harus menjawab apa. Di hadapannya, Kila masih tersenyum, namun matanya memperhatikan setiap gerak-gerik Atar.

“Nggak tau, sih,” jawab Atar akhirnya, berusaha netral. “Dia nggak harus cantik atau menonjol. Mungkin… dia cuma harus ada di sana, di saat yang tepat. Mungkin… kayak sekarang.”

Kila mengangguk, tersenyum tipis. Tapi dari sorot matanya, ada sedikit harapan yang tergantung di sana, seolah menanti sesuatu yang belum terlontar. Hujan di luar masih mengguyur, makin deras. Kila melirik ke luar jendela, lalu menatap Atar dengan ragu.

“Kalau hujannya makin deras, kayaknya aku nggak bisa pulang cepat,” ujar Kila sambil tersenyum kecil.

“Nggak masalah, kamu bisa tunggu di sini sampai reda. Aku temenin, kok.”

Kila menatap Atar dengan tatapan lembut, lalu tanpa berkata-kata, ia duduk di lantai beralaskan karpet kecil yang dipakai Atar untuk tiduran kalau toko sedang sepi. Di sebelahnya, Atar ikut duduk, membiarkan keheningan mengisi ruang kecil di antara mereka. Kila menatap ke arah kaset-kaset di rak dengan wajah penuh minat.

“Eh, Atar. Kamu pernah mikir nggak? Di dunia yang serba digital ini, cinta mungkin udah kayak kaset-kaset ini—barang langka yang cuma bisa ditemuin di tempat-tempat tersembunyi.”

Atar menoleh, melihat wajah Kila yang tampak serius. Kata-katanya membuat Atar berpikir. Ya, cinta mungkin memang seperti itu sekarang. Banyak orang lebih memilih sesuatu yang instan, nggak lagi menghargai hal-hal sederhana yang butuh waktu dan kesabaran.

“Ya, bisa jadi. Tapi, bukan berarti nggak ada, kan? Kaset-kaset ini masih ada, dan cinta juga mungkin masih ada di tempat-tempat yang nggak kita sangka,” jawab Atar dengan suara pelan, matanya terpaku pada Kila.

Kila tersenyum dan mengangguk. “Semoga kita salah satu yang bisa nemuin cinta yang ‘nggak lekang waktu’ itu, ya?”

Atar hanya mengangguk pelan, dan mereka kembali terdiam. Mungkin, bagi orang lain, ini momen yang membosankan, duduk berdua dalam kesunyian dengan kaset-kaset lawas di sekeliling. Tapi bagi mereka, ini adalah kebahagiaan kecil yang nggak bisa diganti.

Ketika hujan mulai reda, Kila akhirnya berdiri, mengembuskan napas panjang. “Oke, aku kayaknya harus pulang sekarang, sebelum hujan turun lagi.”

Atar mengangguk, meski dalam hati ada keengganan yang sulit dijelaskan. Dia mengikuti Kila ke pintu, melihatnya melangkah keluar dengan payung yang terbuka. Tapi sebelum Kila benar-benar pergi, ia berbalik.

“Atar,” Kila memanggil sambil tersenyum. “Makasih, ya. Kamu nggak cuma bikin aku tertarik sama kaset lawas, tapi juga… sesuatu yang nggak pernah aku kira.”

Atar hanya tersenyum. “Sampai ketemu, Kila.”

Kila mengangguk, lalu melangkah pergi, meninggalkan toko yang kini terasa lebih sunyi dari biasanya. Atar menatap pintu yang tertutup, merasa ada sesuatu yang tertinggal di sana. Ada sesuatu yang tak terucap, tapi mulai tumbuh di hati mereka masing-masing.

Dan di toko kaset yang sepi itu, Atar menyadari, mungkin, cinta bisa datang dari hal-hal sederhana. Dari tawa, dari tatapan, bahkan dari kaset-kaset lawas yang tak pernah dia sangka bisa menjadi saksi bisu perasaan yang mulai tumbuh.

 

Panggung yang Tertunda

Beberapa hari setelah Kila meninggalkan toko kaset itu dengan senyum yang terus terngiang di kepala Atar, suasana sepi kembali menguasai toko. Atar kembali tenggelam dalam rutinitasnya—mengelap rak-rak, menyusun kaset, dan menunggu pelanggan yang jarang datang. Namun, ada yang berbeda kali ini. Setiap kali pintu toko terbuka, Atar berharap itu Kila, dengan wajah cerahnya dan cerita-cerita konyol yang selalu membuatnya tersenyum.

Namun Kila tidak datang.

Hari itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Angin berhembus lembut melalui celah-celah jendela. Toko kaset yang biasanya gelap dan sepi kini terasa lebih hidup, meskipun hanya untuk sementara. Atar sedang berdiri di belakang kasir, menatap beberapa kaset lama yang baru saja dia terima dari seorang kolektor. Rasa bosan mulai merayap masuk, hingga akhirnya dia mendengar suara derit pintu yang khas.

Saat dia menoleh, hatinya berdebar. Itu Kila.

Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Kila masuk dengan langkah cepat, wajahnya sedikit cemas, tidak seperti biasanya yang selalu riang. Atar segera menutup rak kaset yang sedang dia periksa dan mendekatinya.

“Kila, ada apa? Kenapa buru-buru gitu?” tanya Atar, mencoba membaca ekspresi Kila yang agak terkejut.

Kila menghela napas panjang, tampak ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. “Aku… aku baru saja diomelin sama orang tuaku. Lagi-lagi soal kuliah. Mereka nggak suka sama pilihan aku untuk nggak ngikutin jejak kakak-kakak aku yang kerja di perusahaan besar. Mereka nggak ngerti, Atar.”

Atar terdiam sejenak, memikirkan apa yang bisa dia katakan. Ia tahu, Kila bukan tipe orang yang mudah menunjukkan sisi rapuhnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang membuatnya ingin mendengarkan lebih.

“Jadi, kamu memutuskan untuk cabut sebentar, kan? Datang ke sini, biar bisa sedikit melepaskan penat?” tanya Atar, mencoba membuka percakapan dengan cara yang lembut.

Kila mengangguk. “Iya. Aku nggak tahu kenapa, tapi… setiap kali aku ke sini, rasanya ada yang bisa ngeredain semua tekanan itu. Mungkin karena kamu, Atar.” Kila tersenyum miris, namun ada sedikit kegelapan yang masih menutupi matanya.

Atar menatap Kila, merasakan kehangatan yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Mungkin inilah saatnya. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk berbicara soal perasaan yang sudah lama mengendap, yang seharusnya sudah dia ungkapkan sejak lama.

Namun, sebelum Atar bisa membuka mulut, Kila melanjutkan, seolah tahu apa yang sedang dipikirkannya. “Aku nggak ngerti kenapa aku bisa nyaman banget di sini. Padahal, aku tahu kamu bukan orang yang suka ngomong banyak. Tapi entah kenapa, aku nggak pernah ngerasa canggung. Kamu, Atar, kayak… kayak tempat pelarian yang aneh buat aku.”

Atar tersenyum samar, sedikit malu. Tapi hatinya mulai merasa lebih ringan. “Aku juga ngerasa hal yang sama, Kila. Mungkin karena kita nggak perlu berpura-pura di sini. Gak perlu jadi orang lain. Cuma jadi diri sendiri.”

Kila menatap Atar, seolah mencari kepastian lebih dalam dari kata-katanya. Suasana tiba-tiba terasa lebih intim. Ada sesuatu yang mengalir antara mereka, sesuatu yang belum pernah mereka ungkapkan sebelumnya. Perasaan yang bahkan keduanya belum siap untuk mengakui.

Kila mengalihkan pandangannya, menatap rak kaset dengan pandangan kosong. “Atar… kadang aku merasa, apa yang aku inginkan itu… nggak pernah sejalan sama apa yang diinginkan orang lain. Itu bikin aku bingung. Aku jadi takut kalau aku ngambil keputusan yang salah. Aku nggak mau mengecewakan mereka.”

Atar mendekat, mencoba menyentuh lengan Kila dengan lembut. “Kila, kamu nggak bisa terus hidup buat orang lain. Kamu harus bisa hidup buat diri kamu sendiri. Jangan takut buat ngambil keputusan, apapun itu. Aku tahu kamu kuat.”

Kila tersenyum tipis, namun ada air mata yang mulai menggenang di matanya. “Tapi, kadang aku merasa aku nggak cukup kuat, Atar. Aku cuma… merasa kosong.”

Atar merasakan hatinya tercekat. Dia tahu, Kila bukan orang yang mudah mengungkapkan perasaannya. Jika dia sampai bercerita tentang rasa kosong yang ia rasakan, berarti beban yang ia bawa jauh lebih berat dari yang bisa dia bayangkan.

“Kila,” Atar memanggil dengan lembut. “Gak ada yang sempurna. Kita semua punya kelemahan dan keraguan. Tapi aku yakin, kamu bukan orang yang mudah menyerah. Kamu cuma butuh waktu untuk menemukan tempat yang tepat.”

Kila menatap Atar dengan mata yang berkaca-kaca, dan untuk pertama kalinya, dia merasa diberi ruang untuk menangis tanpa merasa takut akan dihakimi. Suasana di toko itu, meskipun masih sederhana, terasa sangat akrab dan penuh pengertian.

“Atar, makasih,” Kila berkata dengan suara gemetar. “Mungkin aku nggak akan bisa langsung ngerubah semua, tapi… aku tahu, setidaknya aku nggak sendirian.”

Atar tersenyum lebar, walaupun hatinya juga terasa berat. “Nggak akan pernah sendirian, Kila. Aku di sini.”

Kila mengangguk pelan, lalu menunduk sejenak. “Aku janji, aku bakal coba lebih banyak lagi buat ngikutin kata hati aku. Bahkan kalau itu berarti mengecewakan orang lain.”

Atar mengangguk setuju. “Itu keputusan yang tepat. Kita cuma hidup sekali, Kila. Kalau terus-terusan mikirin apa kata orang lain, kita nggak bakal bisa ngerasain hidup kita yang sebenarnya.”

Kila tersenyum, sedikit lebih lega. “Kamu itu orang yang nggak pernah gagal bikin aku ngerasa lebih baik. Gila, kamu udah kayak dokternya hati aku.”

Atar tertawa kecil, berusaha mengalihkan suasana. “Mudah-mudahan gue nggak perlu ngasih resep mahal buat itu.”

Kila tertawa, meski sedikit terisak. “Aku cuma butuh temen, Atar. Itu aja. Kamu udah lebih dari cukup.”

Mereka berdua duduk dalam keheningan, menikmati momen itu tanpa kata-kata berlebihan. Kila menatapnya, dan meskipun tak ada kata-kata yang diucapkan, ada sesuatu yang menghubungkan mereka lebih dalam dari yang bisa mereka jelaskan. Sesuatu yang terasa nyaman, meskipun keduanya tahu, jalan yang mereka pilih tak akan pernah mudah.

Namun, satu hal yang pasti, saat itu—di toko kaset yang sederhana itu—perasaan mereka sudah tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kebersamaan biasa. Sesuatu yang lebih berarti, meskipun mereka belum siap untuk menyebutnya dengan nama.

 

Langkah yang Tidak Lagi Sendiri

Hari-hari berlalu dengan cara yang tak terduga. Atar dan Kila, meskipun tidak pernah secara gamblang mengungkapkan apa yang ada di hati masing-masing, mulai merasakan perubahan yang begitu jelas dalam kebersamaan mereka. Keakraban yang dulu hanya sebatas percakapan singkat di toko kaset, kini berubah menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Lebih mendalam. Lebih tulus.

Namun, ada satu hal yang masih menghantui pikiran Atar. Kila. Keputusan yang harus dia ambil tentang hidupnya—keputusan yang bukan hanya tentang dirinya, tapi juga tentang bagaimana dia melihat dirinya sendiri di mata orang lain. Di mata orang tuanya.

Hari itu, Kila datang lagi ke toko kaset, seperti biasa. Namun kali ini, tidak seperti sebelumnya. Dia datang dengan langkah yang lebih pasti, lebih mantap. Mata Kila tidak lagi dipenuhi keraguan yang sering kali menghantui hari-harinya. Wajahnya lebih cerah, lebih ringan. Atar yang sedang menyusun kaset di belakang meja kasir, menatapnya dengan sedikit terkejut, tapi senyumnya langsung merekah begitu melihat Kila.

“Kila, kamu… kelihatan berbeda,” kata Atar sambil melangkah mendekat.

Kila tersenyum, sedikit malu, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di matanya. “Iya, Atar. Aku ngerasa ada sesuatu yang berubah. Aku baru aja dari rumah, ngomong sama orang tuaku. Aku bilang kalau aku nggak mau jadi apa yang mereka mau, aku mau jalani hidup aku sendiri.”

Atar terdiam sejenak, kagum dengan keberanian yang Kila tunjukkan. “Aku bangga sama kamu, Kila. Itu bukan keputusan yang gampang.”

Kila mengangguk. “Iya, aku tahu. Tapi aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang harapan orang lain. Aku harus jadi diri aku sendiri. Dan, aku rasa itu juga berarti aku harus menerima diri aku yang sebenarnya.”

Atar tersenyum hangat, merasa sangat bahagia mendengar kata-kata itu. “Kamu nggak akan pernah sendirian dalam perjalanan ini, Kila. Aku di sini. Kita berdua.”

Kila menatap Atar dengan tatapan yang penuh arti. Ada rasa hangat yang mengalir di antara mereka, bukan hanya sekedar perasaan yang muncul karena kebersamaan, tapi lebih ke arah pengertian yang saling mendalam. Mereka sudah melalui banyak hal bersama, meski dalam diam dan perasaan yang tak pernah diungkapkan secara langsung.

“Kamu tahu, Atar,” kata Kila, suara lembutnya kini penuh keyakinan. “Aku nggak pernah merasa sesenang ini sebelumnya. Dulu aku selalu mikir kalau aku harus jadi seperti yang orang lain inginkan. Tapi sekarang, aku merasa bebas. Aku nggak takut lagi buat jadi diri sendiri. Dan, aku berterima kasih sama kamu. Kamu ngajarin aku itu.”

Atar mengangkat alis, terkejut. “Gue? Aku nggak ngapa-ngapain, kok.”

“Tapi kamu ada. Itu aja sudah cukup,” jawab Kila dengan tulus.

Di luar toko, angin sore mulai berhembus sepoi-sepoi, membawa udara yang lebih segar. Atar dan Kila hanya duduk diam, menikmati keheningan itu, sementara dalam hati mereka masing-masing, perasaan mulai menemukan bentuk yang lebih jelas. Perasaan yang bukan hanya tentang kenyamanan, tapi juga tentang perjalanan yang harus ditempuh bersama, meskipun penuh ketidakpastian.

“Kila…” Atar membuka percakapan lagi, suara beratnya kali ini lebih serius. “Aku nggak tahu gimana perasaan kamu sekarang, tapi aku rasa aku juga mulai ngerasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman. Aku nggak bisa ungkapin dengan kata-kata, tapi aku ngerasa…”

Kila menatapnya, dan sepertinya dia tahu apa yang akan Atar katakan. “Aku tahu, Atar,” jawabnya pelan, namun matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata yang diucapkan. “Aku juga ngerasa hal yang sama.”

Atar terdiam sejenak, merasa sedikit canggung. Namun, Kila hanya tertawa kecil, membuat suasana menjadi lebih ringan. “Jadi, kita nggak perlu ngomongin apa yang kita rasain, kan?” katanya sambil tersenyum.

Atar mengangguk, merasa sedikit lega. “Iya. Aku rasa kita cukup saling tahu.”

Dan di situlah mereka, duduk berdua di toko kaset yang sederhana, tidak lagi dengan rasa canggung, tapi dengan kenyamanan yang terus tumbuh, perlahan tapi pasti. Tidak ada kata-kata romantis yang terucap, tidak ada pengakuan cinta yang dramatis. Hanya dua orang yang saling mengerti, berusaha melangkah bersama dalam hidup yang penuh dengan ketidakpastian. Mereka tahu, hidup tidak selalu harus penuh dengan rencana besar dan harapan tinggi—kadang, kebahagiaan datang dari hal-hal kecil yang sederhana, seperti berani menjadi diri sendiri dan menerima orang lain apa adanya.

Keputusan Kila untuk memilih jalannya sendiri, meski berat, ternyata adalah awal dari langkah baru dalam hidupnya—bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Atar. Dan siapa tahu, mungkin keduanya baru saja memulai perjalanan panjang yang penuh tawa, canda, dan perasaan yang tidak lagi disembunyikan. Sesuatu yang jauh lebih berarti daripada sekadar kata-kata.

Karena kadang, cinta memang tidak memandang wajah—tapi hanya hati yang bisa benar-benar melihat.

 

Jadi, gimana menurut kamu? Terkadang cinta nggak datang dengan cara yang kita bayangin, tapi justru dari tempat yang paling nggak terduga. Atar dan Kila cuma ngasih kita satu pelajaran sederhana: kadang, cinta itu nggak perlu dicari, dia datang begitu aja, dengan segala keanehannya.

Semoga kamu bisa menemukan cinta yang nggak sempurna tapi justru bikin kamu merasa lengkap. Dan siapa tahu, kisah ini bisa bikin kamu percaya kalau cinta itu nggak pernah salah, meskipun keliatannya konyol. 🙂

Leave a Reply