Cinta Si Kaya dan Si Miskin: Cerpen Romansa Komedi yang Tak Terduga

Posted on

Siapa sangka, hubungan antara si kaya dan si miskin bisa sebegitu ribetnya? Kalau kamu kira cerita mereka cuma soal kaya vs miskin, coba deh baca ini. Si kaya yang tengil banget, si miskin yang gak kalah tengil.

Mereka nggak pernah ngakuin, tapi jelas ada sesuatu yang aneh di antara keduanya. Saling ngejek, saling ngalahin, tapi siapa yang tahu kalau itu justru bikin mereka makin deket? Yuk, simak cerita seru dan kocak ini, yang penuh dengan kejutan di setiap halamannya!

 

Cinta Si Kaya dan Si Miskin

Tas Desainer dan Jaket Kulit

Aku nggak tahu kenapa, tapi setiap kali Arah lewat, rasanya seperti ada magnet yang menarik perhatianku. Mungkin bukan hanya aku, semua orang di kampus pasti merasakannya juga. Kalau dia masuk ruangan, ada aura yang langsung mengisi, semacam kilau dari tas desainer yang ia bawa, atau rambutnya yang selalu rapi, mengkilap, seolah baru keluar dari iklan shampo premium. Semua orang di sekitar seperti menyembahnya, termasuk para cowok yang jelas-jelas berusaha tampil keren demi menarik perhatiannya.

Tapi bukan itu yang buat aku nggak bisa berhenti mikirin dia. Bukan tasnya, bukan rambutnya, bukan penampilannya yang sempurna itu. Itu semua cuma lapisan luar. Aku lebih suka memperhatikan cara dia bicara, cara dia bergerak, seperti ada sesuatu yang penuh dengan tantangan di setiap gerakannya. Sebuah pertanyaan yang tak terucapkan: apakah di balik keangkuhan itu ada sesuatu yang lebih?

Hari itu, seperti biasa, dia duduk di taman kampus, dikelilingi teman-temannya yang tak bisa lebih dari sekadar pengikut. Semua tahu kalau Arah itu ‘ratu’ di sini, yang tak pernah bisa disentuh oleh orang biasa sepertiku. Tentu saja, aku bukan orang yang ingin mengejar perhatian seseorang seperti dia. Tapi, ya, kadang ada kalanya kita tak bisa menahan diri untuk mengamati seseorang.

Aku sedang duduk sendiri di bangku taman yang agak jauh dari keramaian, sesekali memandangi langit yang mendung. Beberapa menit kemudian, mataku tertarik pada Arah yang sedang tertawa dengan teman-temannya. Biasa saja, sepertinya mereka sedang berbicara tentang hal-hal remeh yang aku nggak terlalu peduliin. Aku cuma suka mengamati dia—lebih tepatnya, sikapnya yang selalu tampak tak tergoyahkan.

Tanpa alasan yang jelas, aku bangkit dan berjalan mendekat ke meja tempat dia duduk. Tentu saja, bukan karena aku butuh teman atau ingin bergabung. Aku cuma merasa, entah kenapa, ingin memulai percakapan. Mungkin agak gila, tapi aku nggak peduli.

Arah masih belum menyadari kedatanganku, sampai akhirnya aku duduk tepat di sampingnya. Dia berhenti berbicara, dan seketika suasana menjadi sedikit hening. Teman-temannya menoleh ke arahku, dan aku bisa merasakan tatapan mereka, seolah mereka bertanya: “Apa yang dia lakukan di sini?”

Arah menatapku sekilas, lalu menyeringai. “Wow, jadi sekarang kamu punya keberanian duduk di sini? Jangan-jangan tas kamu nggak cukup berat, jadi kamu nyari beban tambahan?”

Aku mendengus, meskipun aku sedikit merasa terhina. “Aku cuma mau duduk, kok. Nggak ada niat lain.” Aku melirik ke tasnya yang ada di meja, tas desainer yang jelas-jelas lebih mahal dari jaket yang aku pakai. “Tapi, kelihatannya tas kamu lebih berat dari semua masalah yang ada di dunia ini, kan?”

Arah tertawa kecil, lalu menatapku dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Tentu saja, karena aku nggak akan kelihatan keren kalau bawa tas yang kayak punya kamu, yang mungkin harganya cuma bisa dibayar pake koin.”

Aku menatapnya dengan tatapan datar, mencoba menahan diri untuk tidak memberi tanggapan kasar. “Kamu ini memang nggak pernah bisa berhenti ngejek ya? Jangan khawatir, aku nggak akan jatuh cinta cuma karena kamu punya tas yang mahal.”

“Tapi kalau kamu jatuh cinta sama aku, aku nggak akan kaget,” jawab Arah sambil melipat tangan di depan dada, memberi kesan kalau dia merasa sangat yakin.

Aku mendecak, meskipun dalam hati, aku mulai berpikir kalau mungkin dia memang benar. Tapi bukan berarti aku akan mengakuinya. “Kamu terlalu percaya diri, Arah. Jangan harap aku bakal termakan omong kosong itu.”

Arah cuma tersenyum penuh kemenangan. “Ah, Sia, kamu ini selalu begitu. Kamu nggak pernah berubah. Selalu sok keren, sok nggak peduli. Tapi jangan salah, aku tahu dalam hati kamu pasti penasaran sama aku.”

Aku menahan napas. Apa yang dia bilang itu… aneh. Di satu sisi, aku merasa nggak mau terjebak dalam permainan ini. Tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam diriku yang tertarik, yang nggak bisa aku jelaskan. Aku, si miskin, dan dia, si kaya, kita berdua kayak dua kutub yang saling menabrak, tetapi entah kenapa, semakin dekat.

Aku memilih untuk diam sejenak, menatap langit yang semakin mendung. “Kenapa sih kamu selalu cari masalah sama aku? Aku nggak pernah ganggu kamu, kan?”

Arah menatapku dengan tatapan tajam. “Karena kamu itu menarik, Sia. Kamu… beda dari yang lain. Dan itu bikin aku penasaran. Tapi, nggak ada yang gratis di dunia ini. Kalau kamu mau tahu lebih banyak, harus bisa bersaing.”

Aku terkekeh. “Bersaing? Apa, kita sekarang harus bertarung untuk tahu siapa yang lebih menarik? Gitu?”

“Gitu,” jawab Arah dengan percaya diri, lalu dia menyandarkan tubuhnya di kursi, merasa seolah dia sudah memenangkan babak pertama.

Aku hanya menggelengkan kepala, sedikit bingung dengan cara berpikirnya. “Kamu aneh, tahu nggak sih?”

“Tapi kamu suka kan?” Arah membalas dengan nada yang lebih lembut, meskipun matanya masih penuh tantangan.

Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku. Ada rasa yang membuncah, tapi aku nggak tahu harus menganggapnya apa. Ini bukan cinta, bukan, kan? Atau, apakah memang begitu caranya cinta muncul? Penuh dengan sindiran, penuh dengan tantangan?

Sore itu berakhir begitu saja, tapi aku tahu, pertemuan yang nggak terduga ini pasti akan punya kelanjutannya. Sebuah pertempuran antara si kaya dan si miskin. Dan mungkin, hanya waktu yang akan memberitahu siapa yang akhirnya menang. Tapi satu hal yang pasti: aku nggak akan mudah menyerah begitu saja.

Arah, gadis kaya yang sombong itu, mungkin tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi aku, aku sudah siap untuk permainan yang lebih besar.

 

Kucing dan Tikus

Hari-hari setelah itu seperti film yang diputar berulang-ulang—terasa lama tapi selalu menarik. Arah dan aku seakan terjebak dalam lingkaran yang tidak pernah selesai, seperti kucing yang mengejar tikus, hanya untuk berputar-putar di tempat yang sama. Kami tidak pernah menghindar dari satu sama lain, malah sepertinya semakin terjerat dalam ketegangan yang tak bisa dijelaskan.

Aku tahu Arah suka meledekku. Aku tahu dia senang kalau bisa membuatku bingung, atau bahkan marah. Tapi anehnya, aku mulai menikmati permainan ini. Mungkin karena aku tahu dia juga menikmati setiap detik dari perdebatan kecil kami. Kami berdua tahu satu hal: meskipun kami terus saling melemparkan sindiran, ada sesuatu yang aneh yang menghubungkan kami—sesuatu yang lebih kuat daripada sekadar kebencian.

Minggu ini adalah minggu ujian, dan aku yang biasanya santai—karena memang nggak ada yang bisa diandalkan selain otak sendiri—tetap merasa sedikit tegang. Aku duduk di ruang belajar, berusaha menenangkan diri sebelum ujian matematika yang mengerikan itu. Tapi sepertinya ketenanganku terganggu oleh suara langkah kaki yang sangat khas. Aku sudah tahu siapa yang akan datang.

Arah masuk ke ruang belajar, dengan jaket kulit hitam dan tas desainer yang lebih besar dari tas aku yang entah sudah berapa kali robek di bagian saku. Semua orang langsung mengalihkan pandangan ke arahnya, seperti biasa. Semua pandangannya terpusat padanya, membuatku merasa sedikit aneh berada di sana, seakan ruang itu hanya ada untuk dia.

“Aduh, jadi Sia, kamu masih di sini? Kapan ujian dimulai? Atau kamu mau ikut belajar bareng aku?” Arah menghampiriku dengan senyum yang seakan-akan bisa menembus kepercayaan diri siapa saja.

Aku menatapnya dengan sinis, menahan diri untuk tidak menunjukkan betapa sebenarnya aku kesal. “Kalau kamu ngajak belajar, aku nggak yakin itu bakal jadi sesi belajar yang produktif. Apa kamu tahu apa itu belajar, Arah?”

Dia terkekeh, dan aku bisa melihat bibirnya yang sedikit melengkung—seperti kucing yang baru saja berhasil menangkap tikus. “Sia, kamu selalu begitu ya. Tapi jangan khawatir, aku cuma datang ke sini untuk ngasih tahu kamu kalau aku bakal menang lagi, ya.”

“Menang? Apa yang kamu maksud?” Aku sedikit mengerutkan dahi, tapi dalam hati aku tahu apa yang dia maksud. Dia selalu suka bilang begitu. Setiap ujian, dia pasti yakin dirinya akan menang, dan entah kenapa, itu selalu berhasil membuatku sedikit terprovokasi.

“Ya, tentu saja, aku kan selalu juara. Apa kamu pikir aku bakal kalah sama kamu, si ‘siswa misterius’ yang nggak pernah keliatan lagi kalau bukan waktu ujian?” Arah menyandarkan tubuhnya ke kursi sebelahku dengan santai, melemparkan pandangan tajam ke arahku.

Aku menahan napas. “Aku nggak peduli dengan posisi juara atau apapun itu. Aku cuma pengen lihat hasil akhirnya, dan kita lihat siapa yang akan tersenyum terakhir.”

Arah tersenyum puas, seperti dia tahu kalau dia sudah menang dalam perdebatan ini. Aku bahkan bisa merasakan ada ketegangan kecil di antara kami, yang entah kenapa mulai terasa lebih nyata dari sebelumnya.

Sekarang, bahkan saat dia duduk di sebelahku, suasana di ruangan itu terasa aneh. Semua orang sibuk mempersiapkan ujian, sementara kami berdua terjebak dalam percakapan yang hanya bisa dimengerti oleh kami berdua—permainan kata yang tak pernah selesai. Aku merasakan kegelisahan yang aneh di dada, tapi aku menahannya. Apa aku sebenarnya cemas? Atau hanya merasa sedikit tertantang?

“Jangan lupa, Sia,” Arah mulai berbicara lagi, suaranya lebih lembut sekarang, seolah dia sedang serius. “Aku bisa bantu kamu belajar, kok. Aku tahu kamu pasti butuh bantuan.”

Aku menoleh padanya, mencoba mencari-cari ekspresi yang bisa mengungkapkan perasaannya. Tapi wajahnya tetap tenang, penuh percaya diri. “Tentu saja. Kamu kan memang jagonya segala hal. Tapi aku lebih suka belajar dengan caraku sendiri.”

“Tapi bukankah kamu nggak akan menang tanpa bantuan aku?” Arah berkata dengan nada menggoda, sedikit nakal.

Aku tertawa kecil. “Jangan khawatir, Arah. Aku nggak butuh bantuan dari orang yang cuma tahu cara menang tanpa usaha.”

Dia mendengus dan kembali menyandarkan tubuhnya dengan santai. “Kamu memang keras kepala, Sia. Tapi aku suka itu. Cuma sayangnya, kamu nggak sadar kalau dalam permainan ini, aku selalu punya langkah satu di depanmu.”

Aku mendengus. “Lihat nanti aja.”

Lalu, saat ujian dimulai, aku dan Arah berpisah ke tempat masing-masing, tapi sepanjang ujian, rasanya seperti ada energi yang terus menarik kami berdua. Aku tahu dia menilai aku, seperti aku menilai dia. Tapi kami juga tahu, bahwa meskipun kami berbeda, kami tak bisa berhenti saling berhadapan. Seperti kucing dan tikus—permainan ini akan terus berlanjut, tanpa ada yang tahu siapa yang akan jadi pemenangnya.

Namun satu hal yang pasti, di balik semua permainan ini, aku mulai merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebencian atau persaingan. Ada perasaan aneh yang mulai muncul—dan mungkin itu yang membuat kami selalu berputar-putar dalam lingkaran ini.

 

Permainan yang Tak Pernah Berakhir

Minggu ujian berlalu seperti hujan deras yang datang dengan tiba-tiba, meninggalkan jejak-jejak kenangan yang sulit dihapus. Setelah ujian selesai, segala ketegangan antara Arah dan aku seperti tak kunjung hilang. Kami tidak pernah benar-benar menghindar satu sama lain, malah semakin dekat dengan cara yang tak kami pahami.

Hari itu, aku memutuskan untuk mengambil jalan pulang yang sedikit lebih lama. Aku tahu Arah sering lewat jalan yang sama untuk pulang, meskipun dengan mobil mewahnya—mobil yang tidak pernah gagal mencuri perhatian orang-orang. Tetapi, anehnya, aku merasa aneh jika tidak melihatnya di sana. Itu sudah menjadi rutinitas—permainan kami. Bahkan meskipun aku mencoba untuk tidak memikirkannya, pikiranku selalu berputar tentang Arah, tentang siapa dia sebenarnya, dan tentang ketegangan tak kasat mata yang selalu mengisi ruang di antara kami.

Aku berjalan menyusuri trotoar yang mulai gelap, berharap bisa berpikir jernih untuk sesaat, saat tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depanku. Arah muncul, seperti yang kuharapkan—dengan rambut terurai rapi dan ekspresi khas yang menunjukkan dia tidak ingin diganggu, tapi sepertinya juga tidak bisa menghindar dari aku.

“Hei, mau ikut pulang?” Arah membuka kaca mobilnya dengan santai, matanya memandangku dengan sedikit senyum yang sulit ditebak. “Aku pikir kamu pasti bakal lewat sini.”

Aku tertegun sejenak. Meskipun aku tidak suka mengakui bahwa aku juga sering berharap akan bertemu dengannya, aku tetap mencoba untuk tetap tenang. “Gak usah. Aku bisa jalan sendiri kok, gak perlu ditolong.”

Arah tertawa pelan, menggelengkan kepala seolah aku itu lucu. “Kamu ini, Sia. Selalu keras kepala. Kalau kamu terus kayak gitu, bisa-bisa kamu kecelakaan di jalan.”

“Aku gak takut kecelakaan, takutnya malah terjebak di dalam mobil mewah yang selalu bikin pusing,” balasku dengan nada mengejek.

Arah terkekeh. “Tapi kamu bisa belajar loh, kalau kamu mau. Jangan khawatir, gak ada yang bisa ganggu kamu di dalam mobilku.” Dia mengedipkan matanya, lalu melanjutkan, “Atau, kamu takut kalau nanti ketahuan sama teman-temanmu kalau kamu duduk di mobil mewah kayak gini?”

Aku mencibir, “Gak ada yang perlu tahu soal itu, Arah. Lagian, aku gak butuh nyupirin diri sendiri buat buktiin apapun.”

Namun, aku melihat Arah tetap menatapku dengan tatapan yang seperti menantang, seakan menguji batas kesabaran yang kupunya. “Jadi kamu gak mau? Oke deh, kalau gitu. Tapi jangan salahin aku kalau ada yang kurang enak di jalan.”

Aku hanya terdiam sesaat, lalu akhirnya menyerah. “Ya udah, kalau begitu. Tapi cepat, jangan lama-lama. Aku gak mau kelamaan ngabisin waktu dengan orang yang pedenya kayak kamu.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Arah membuka pintu mobilnya, dan aku masuk. Sesaat setelah pintu tertutup, aku bisa merasakan ketegangan antara kami berdua, seperti dua kutub yang saling tarik-menarik. Kami memang berbeda—terlalu banyak perbedaan antara kami yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Namun, di dalam mobil yang begitu mewah dan sunyi ini, ada sesuatu yang membuat aku merasa seperti sedang berada di tengah-tengah permainan yang sangat aneh.

Perjalanan kami diisi dengan kebisuan yang memadat. Arah mengemudi dengan tenang, tidak ada percakapan berarti selain sesekali dia melemparkan ledekan kecil. “Kamu masih percaya gak sama matematika yang bilang kalau Arah itu selalu menang?” katanya dengan senyum nakal.

Aku membalas dengan nada datar, “Masih. Tapi kali ini, kamu bisa kalah. Hanya karena kamu terlalu percaya diri.”

“Terlalu percaya diri itu artinya punya tujuan hidup yang jelas, Sia. Jadi kamu bisa santai, biar aku yang urus semuanya.” Arah menyandarkan diri ke kursinya dengan gaya santai yang aneh.

Kami melaju melewati beberapa jalan, dan entah kenapa aku merasa semakin tertarik pada setiap kata yang keluar dari mulut Arah. Mungkin, meskipun dia begitu sombong dan tampak selalu meremehkan, ada sesuatu yang benar-benar menarik tentang cara dia melihat dunia. Dia tak takut akan apapun. Bahkan dengan semua keberuntungannya, dia tak merasa ada yang bisa menghalangi jalannya.

“Kenapa kamu selalu seperti itu, Arah?” Tanyaku tanpa berpikir. Aku tak tahu kenapa, tapi aku merasa butuh jawaban.

Dia melirikku sejenak, lalu kembali fokus ke jalan. “Apa maksudmu?”

“Kamu selalu merasa lebih baik dari orang lain. Padahal kamu gak tahu apa yang ada di dalam hati mereka,” kataku dengan sedikit keras.

Arah tertawa ringan, tidak terpengaruh oleh kata-kataku. “Bukan lebih baik, Sia. Hanya lebih tahu apa yang aku inginkan. Kalau kamu gak tahu apa yang kamu mau, kamu gak bakal pernah bisa meraihnya.”

Aku mendengus, “Kamu pikir semua orang kayak kamu?”

“Tentu saja tidak. Tapi itu karena tidak semua orang berani untuk melawan. Banyak yang memilih untuk diam dan cuma terima kenyataan. Tapi aku gak mau begitu.”

Aku tidak tahu kenapa, tapi ada perasaan campur aduk yang menyeruak di dalam diriku. Ada semacam rasa hormat yang tumbuh, meski aku tak bisa menampakkannya. Sepertinya, Arah tahu lebih banyak dari yang aku kira—bukan hanya tentang dirinya, tapi juga tentang apa yang membuatku bisa merasa terikat dengan orang seperti dia.

Kami akhirnya sampai di depan rumahku. Suasana tiba-tiba terasa sangat hening, meski ada suara mesin mobil yang masih berdengung pelan. Arah menoleh ke arahku, seolah menunggu sesuatu. Mungkin sebuah jawaban. Tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.

Aku menatapnya, dan tanpa kusadari, senyum pun terbit di wajahku. “Makasih udah nyupirin aku,” kataku pelan.

Arah hanya mengangguk, ekspresinya tetap tidak berubah. “Kapan-kapan kita main lagi, Sia.”

Aku mengerutkan dahi. “Main? Kamu pikir kita ini anak-anak?”

Arah tertawa, dan aku tahu bahwa percakapan ini belum berakhir. Kami memang seperti kucing dan tikus, terus berputar-putar dalam lingkaran yang sama. Tapi, aku mulai merasa, bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua permainan ini.

 

Di Balik Permainan yang Tak Terlihat

Hari-hari berlalu begitu saja, meskipun ada ketegangan yang tak terucapkan di antara aku dan Arah. Kami kembali berputar dalam lingkaran yang sama—sesuatu yang aneh, tapi sudah menjadi kebiasaan kami. Jika aku jujur pada diriku sendiri, aku sudah mulai merasa lebih nyaman dengannya. Meskipun dia selalu menganggap dirinya lebih baik, selalu punya cara untuk mengalahkanku, aku tahu ada lebih banyak lapisan yang tersembunyi di balik ketenangan wajahnya. Begitu banyak hal yang aku ingin tahu, tapi sulit sekali untuk mencari waktu yang tepat untuk bertanya.

Malam itu, setelah aku kembali dari kafe, aku mendapati pesan singkat dari Arah yang masuk ke ponselku. Pesan yang biasa saja, namun cukup membuatku tertarik.

“Kalau kamu masih mau main-main, aku ada acara minggu depan. Ayo datang, tapi jangan nyasar ya.”

Aku tersenyum, membacanya berulang kali. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang membuatku ingin menjawab. Bukan hanya soal permainan atau ledekan, tapi lebih kepada apa yang Arah sembunyikan di balik kata-katanya. Aku ingin tahu. Penasaran itu seperti api yang terus membakar.

Aku tidak langsung membalas. Sebaliknya, aku hanya duduk termenung di depan layar ponsel. Mengapa rasanya ada ketegangan yang tidak bisa dijelaskan? Apa yang sebenarnya aku rasakan?

Esok harinya, aku memutuskan untuk datang ke acara yang Arah maksud. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi ada semacam dorongan yang memaksaku untuk datang—untuk tahu lebih banyak tentang Arah, tentang siapa dia sebenarnya. Bukankah aku selalu tertarik pada teka-teki?

Sampai di lokasi, suasana agak ramai, penuh dengan orang-orang yang aku tak kenal. Namun, tidak sulit untuk menemukan Arah di tengah keramaian. Dengan postur tubuhnya yang tegap dan cara dia berjalan, seolah-olah dia memimpin semua orang di sekitarnya. Begitu banyak orang yang menghormatinya, namun aku merasa ada jarak yang jauh antara dia dan mereka. Seperti ada ruang kosong yang dia ciptakan sendiri, ruang yang tak bisa dimasuki oleh siapapun.

Saat aku mendekat, matanya langsung tertuju padaku. Tidak ada ekspresi yang berubah. “Kamu datang juga akhirnya,” katanya, seakan tidak terkejut, meski jelas aku bisa merasakan ada kilatan senang di balik kata-katanya.

“Ya, apa aku harus datang dengan undangan resmi?” balasku santai, meskipun dalam hati ada sedikit gugup. Arah selalu bisa membuatku merasa seperti orang asing di dunia yang sepertinya tidak pernah aku pahami sepenuhnya.

“Aku tahu kamu bakal datang kok,” jawabnya, tanpa ragu. “Kamu selalu suka datang di saat yang tepat, meski kamu nggak mengakuinya.”

Aku tersenyum tipis. “Kamu ini benar-benar orang yang selalu tahu segalanya.”

Dia menatapku sejenak, lalu melirik sekelilingnya. “Satu hal yang aku tahu, Sia, adalah bahwa kita tidak akan pernah benar-benar mengerti satu sama lain. Tapi… siapa yang peduli soal itu?” katanya dengan nada yang lebih ringan, lebih santai daripada sebelumnya.

Aku hanya mengangguk, mencoba memikirkan kata-katanya yang terkesan ringan. Namun di balik itu, aku tahu Arah selalu menyembunyikan sesuatu. Mungkin rasa kesepian, atau rasa ingin diterima, yang dia sembunyikan di balik sikapnya yang angkuh dan tak pernah menunjukkan kerentanannya.

Malam itu, aku dan Arah akhirnya berbicara lebih banyak dari yang pernah kami lakukan sebelumnya. Kami berdiri di samping bar, berbincang tentang hal-hal kecil—tentang impian kami, tentang masa depan, dan bahkan tentang betapa anehnya hidup ini. Arah yang biasanya begitu serius tentang segalanya kini terlihat lebih santai, lebih terbuka.

“Jadi, kamu suka bilang kamu nggak butuh siapapun,” kataku sambil menatapnya dengan penasaran. “Tapi aku yakin, ada sesuatu yang hilang dalam hidupmu, kan?”

Arah terdiam sejenak. Lalu dia menatapku dengan serius. “Kamu benar, Sia. Ada banyak hal yang hilang. Tapi aku nggak tahu apa itu. Mungkin kamu, atau mungkin sesuatu yang lebih besar dari kita berdua.”

Aku terdiam, terkejut dengan keterbukaan Arah. Tidak seperti biasanya, dia tidak menutupi apa pun. Aku merasa seperti ada penghalang besar yang mulai runtuh antara kami. Arah, yang selama ini terlihat tidak bisa dijangkau, kini tampak lebih manusiawi.

“Arah, kadang-kadang aku bingung, kenapa kita selalu seperti ini. Ada rasa ingin bertarung, ada rasa ingin mengalahkan satu sama lain. Tapi… kenapa?”

Dia tertawa pelan. “Karena kita cuma manusia, Sia. Kita mencoba saling memahami dengan cara kita sendiri, bahkan jika itu berarti kita harus berperang dulu.”

Aku tersenyum, meski ada sedikit rasa kelegaan yang tak bisa dijelaskan. Mungkin inilah jawabannya—tentang Arah, tentang hubungan kami, tentang permainan yang tak pernah berakhir. Cinta memang aneh. Terkadang, itu datang dengan cara yang tidak kita duga, dengan cara yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mungkin, justru dalam kebingungannya, kita menemukan arti sejati dari apa yang disebut cinta.

Kami berdiri bersebelahan, saling menatap dalam diam. Tidak ada yang perlu diucapkan lagi, karena kami tahu bahwa meskipun kami saling meledek, saling mengalahkan, ada sesuatu yang lebih kuat yang menghubungkan kami. Dan entah kenapa, aku merasa, permainan ini baru saja dimulai.

“Ini belum selesai, Sia,” kata Arah dengan senyum nakal. “Kita masih punya banyak waktu untuk saling mengalahkan.”

Aku hanya tertawa kecil. “Siapa bilang aku akan mengalah padamu, Arah?”

Namun di dalam hati, aku tahu. Kami berdua sudah lebih dari sekedar permainan. Kami berdua sudah jatuh ke dalam permainan yang lebih besar, yang tak bisa dihindari.

 

Jadi, siapa yang bilang hubungan si kaya dan si miskin nggak bisa berakhir dengan bahagia? Mungkin, mereka berdua memang selalu bertarung, selalu saling ngejek dan cari-cari alasan buat nggak akur, tapi siapa yang tahu kalau di balik semua itu, cinta justru tumbuh tanpa disadari?

Kalau ada yang bilang cinta itu rumit, ya mungkin mereka belum ngalamin cinta yang aneh tapi manis kayak gini. Dan ya, mungkin kita bisa bilang, ini baru permulaan dari game mereka.

Leave a Reply