Daftar Isi
Siap-siap ya, karena kamu bakal dibawa ke dunia penuh kekonyolan dan tawa dengan cerpen ini! Cerita ini tentang Nizar, cowok yang sering dibuat bingung sama cewek aneh bernama Rara. Gak cuma soal tugas sekolah yang bikin kepala pusing, tapi juga soal perasaan yang datang tiba-tiba, tanpa warning!
Di sini, kamu bakal nonton kisah cinta ala remaja yang campur aduk, lucu, dan pastinya bikin kamu senyum-senyum sendiri. Jadi, siap-siap aja, karena cerita ini bakal ngasih kejutan-kejutan manis yang nggak disangka-sangka!
Cinta Konyol Remaja
Trik Sihir yang Gagal
Jam pertama di kelas matematika selalu menjadi saat yang paling sulit ditahan. Terutama saat guru datang dengan ekspresi serius dan segudang soal yang seolah-olah datang dari dimensi lain. Nizar duduk di bangku pojok, di dekat jendela, pandangannya melayang jauh ke luar, mencoba menenangkan otaknya yang merasa terlalu penuh. Ujian, tugas, soal-soal yang tak kunjung selesai, semuanya berputar di kepalanya.
“Kalau aku bisa lari ke bulan sekarang juga, aku pasti akan pergi,” gumamnya dalam hati. Namun, dia tahu, itu hanya khayalan belaka. Lagi pula, siapa yang ingin pergi jauh-jauh kalau harus meninggalkan kelas ini?
Tiba-tiba, suara tertawa yang familiar mengalihkan perhatian Nizar. Itu suara Rara, teman sekelas yang selalu ada di sampingnya. Gadis itu tidak pernah absen mengusik Nizar, apalagi di kelas yang penuh kebosanan seperti ini.
“Eh, Nizar, ngelamun lagi? Seperti biasa, ya,” kata Rara, sambil menggoyang-goyangkan bukunya di depan wajah Nizar.
Nizar mengalihkan pandangannya dari jendela, menatap Rara yang sedang duduk di sampingnya. Rara adalah tipe orang yang selalu hadir dengan kejutan. Dari penampilan yang selalu nyentrik hingga tingkah lakunya yang tidak pernah bisa ditebak. Hari itu, dia mengenakan kaos biru dengan gambar dinosaurus yang tampak konyol, lengkap dengan jeans robek yang seolah sengaja dibuat begitu. Namun, entah kenapa, bagi Nizar, keanehan itu justru mengundang senyum.
“Kenapa sih, kamu selalu gangguin aku?” tanya Nizar dengan nada cemas namun sedikit tersenyum. Dia mencoba berusaha tetap fokus, tapi sulit sekali saat Rara ada di dekatnya.
“Karena kamu itu terlalu serius, Nizar. Harusnya kamu bisa sedikit santai, kan? Kalau nggak, nanti bisa-bisa kepalamu meledak,” jawab Rara sambil menyeringai. “Tunggu, aku punya trik baru nih. Mau lihat?”
Nizar mengerutkan dahi. “Trik apa lagi, Ra? Jangan bilang kamu mau ngajarin aku cara ‘menghilangkan’ soal ujian yang udah numpuk itu?” ujarnya dengan nada setengah serius.
“Tentu saja nggak,” jawab Rara sambil menggelengkan kepala. “Aku cuma mau kasih lihat trik sihir yang akan membuat dunia ini lebih cerah, lebih hidup! Kamu siap nggak?” Rara pun mulai beraksi dengan gaya teatrikal, tangannya melambai-lambai ke udara, seolah sedang mempersiapkan sesuatu yang besar.
Nizar tertawa kecil. “Ra, kalau kamu bilang ada trik sihir yang bisa bikin aku paham soal matematika, aku bakal percaya. Tapi kalau nggak, kamu akan semakin konyol di mataku.”
Rara menatap Nizar dengan tatapan serius sejenak, seolah-olah sedang menilai apakah dia bisa meneruskan aksinya atau tidak. “Oke deh, kalau gitu,” katanya, lalu tiba-tiba meraih buku matematika Nizar yang terbuka di meja dan melompat dari kursinya. “Lihat ya! Dalam hitungan ketiga, aku akan membuat soal-soal ini menghilang dari dunia ini! Satu, dua, tiga!”
Nizar terkejut. “Ra, jangan!!” teriaknya, tetapi Rara sudah lari ke depan kelas sambil mengangkat buku itu tinggi-tinggi, membuat seluruh kelas menoleh dengan bingung. Rara yang berbicara dengan penuh percaya diri itu membuat semuanya jadi lebih konyol.
“Cih! Lihat! Semua soal-soal matematika yang bikin pusing itu hilang, kan?!” teriak Rara sambil melompat-lompat gembira di depan papan tulis. “Aku adalah penyihir yang tak terkalahkan!”
Kelas mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Nizar dan Rara. Suasana yang tadinya penuh ketegangan kini berubah menjadi momen yang sangat lucu. Bahkan guru yang ada di depan kelas pun tidak bisa menahan tawa melihat aksi Rara yang begitu nekat dan absurd.
Nizar menunduk, merasakan wajahnya memerah. “Ra, ini… bener-bener nggak lucu,” katanya dengan suara pelan, berusaha menutupi rasa malu yang mulai menyelimutinya. Tapi, dia tahu dia tidak bisa menahan tawa. Tidak mungkin. Ini terlalu konyol untuk tidak ditertawakan.
Rara mendekat lagi, tersenyum lebar, lalu dengan santainya meletakkan buku matematika itu di meja Nizar. “Lihat kan? Aku sudah kasih kamu hiburan gratis. Kalau nggak ada yang bisa bikin kamu senyum, aku ada kok, Nizar,” katanya, mengedipkan mata dengan percaya diri.
“Aduh, Ra, kamu tuh gimana sih?” Nizar mencoba untuk tidak tertawa, meskipun susah sekali menahan diri. “Tapi makasih deh, kalau nggak karena kamu, mungkin aku bakal mati bosan di kelas ini.”
Rara memutar bola matanya dramatis. “Masa sih? Aku kira kamu anaknya pintar, Nizar. Tapi ternyata kamu bisa segitu gampangnya dibikin ketawa.”
Nizar hanya menggelengkan kepala. Dia masih bingung, tapi untuk beberapa alasan yang tak bisa dijelaskan, dia merasa senang. Ada kehangatan dalam dirinya, sesuatu yang datang dari kehadiran Rara yang selalu tak terduga.
Namun, tanpa diduga, bel tanda akhir jam pelajaran berbunyi, dan Rara menepuk pundaknya. “Oke, aku rasa misiku selesai di sini. Tapi ingat, Nizar, trik sihirku belum selesai. Ada lebih banyak yang akan aku tunjukkan. Siap-siap aja,” kata Rara dengan senyum nakal sebelum berlari keluar kelas dengan gaya konyol.
Nizar duduk terpaku di bangkunya, masih terbayang betapa aneh dan lucunya kejadian barusan. Mungkin dia harus mulai terbiasa dengan kehadiran Rara yang penuh kejutan, meski entah kenapa, hati Nizar justru merasa sedikit lebih hangat setiap kali gadis itu muncul dengan segala keanehannya.
Dan entah kenapa, kali ini, dia tidak merasa seburuk yang dia kira. Bahkan, dia merasa ada sesuatu yang aneh—yang mungkin saja akan mengubah hari-harinya yang sebelumnya biasa-biasa saja.
Cinta yang Tertawa
Hari-hari setelah kejadian konyol di kelas matematika itu, Nizar mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Tidak ada yang berubah secara drastis—tapi ada perasaan aneh yang perlahan tumbuh, seperti bunga yang mulai mekar tanpa dia sadari. Mungkin itu hanya perasaan kagum yang tumbuh karena keanehan Rara. Atau mungkin, hanya mungkin, ada sedikit rasa lain yang lebih dari sekadar teman.
Pagi itu, di kantin sekolah, Nizar duduk sendirian di meja sudut. Rara belum datang, dan itu membuat suasana kantin terasa agak sepi meskipun teman-teman sekelasnya sudah mulai ramai. Nizar mengambil roti dan sedikit sayur, namun pikirannya melayang ke kejadian tadi pagi. Saat Rara tiba-tiba muncul dengan gaya berlari konyol, membawa karung berisi camilan untuk mereka berdua.
“Kenapa selalu datang dengan cara seperti itu?” Nizar bergumam, tanpa sadar menggumamkan nama Rara.
Belum selesai dia berpikir, Rara tiba-tiba duduk di depannya dengan gerakan teatrikal, seolah baru saja memenangkan lomba lari maraton.
“Duh, aku telat ya?” katanya, menarik napas panjang dan langsung menyandarkan punggungnya ke kursi. “Aku sudah bawa camilan nih, siapkan dirimu, karena hari ini kita akan punya sesi makan siang yang luar biasa!”
Nizar tersenyum melihat sikap Rara yang tak pernah berubah. “Kamu itu pasti nggak tahu waktu, Ra. Kamu nggak takut kalau guru melihat kamu kabur dari kelas?”
Rara melirik Nizar dengan senyuman nakal. “Gak usah khawatir. Selama aku masih punya trik sihir, dunia ini nggak akan menghukum aku. Lagian, aku cuma pergi sebentar kok. Cuman bawa camilan dan sedikit… kejutan!”
Kali ini, Nizar benar-benar penasaran. “Kejutan apa lagi?” dia bertanya, setengah ragu tapi juga merasa tertarik.
“Rahasia!” jawab Rara sambil mengedipkan mata, seolah dia benar-benar menyembunyikan sesuatu yang sangat penting. Dia kemudian membuka karung camilan yang dibawanya dan menyodorkan satu kantong kecil berisi kacang goreng ke arah Nizar. “Tapi sebelum itu, kamu harus janji nggak akan ketawa.”
“Loh? Kenapa?” tanya Nizar, seiring dengan rasa ingin tahunya yang meningkat. “Gak ada yang lucu kok dari kacang goreng.”
Rara terkekeh kecil, lalu menatap Nizar dengan serius, namun jelas ada gurauan di matanya. “Karena kalau kamu ketawa, itu akan merusak ‘mood’ makan siang kita. Siap-siap deh!”
Nizar mengangkat alis. “Bentar, kamu serius banget sih?” Dia memeriksa wajah Rara, tapi tak menemukan tanda-tanda bahwa dia sedang bercanda.
Dengan penuh semangat, Rara merogoh ke dalam tasnya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil yang terlihat sangat biasa. “Tadaaaa! Ini dia!” katanya dengan gaya dramatis, sambil membuka kotak itu dan menunjukkan isinya.
Nizar menatap benda di dalam kotak itu. “Ini… apa, Ra?” dia bingung.
“Ini adalah… batu-batu kecil dari luar angkasa!” jawab Rara, seolah dia baru saja mengungkapkan penemuan ilmiah terbesar sepanjang sejarah. “Kamu harus coba! Itu bisa meningkatkan kekuatan fisik dan mental kita.”
Nizar menatap batu-batu itu dengan pandangan skeptis. Mereka terlihat seperti batu biasa yang bisa ditemukan di mana saja. “Batu luar angkasa, huh?” gumamnya, merasa tidak yakin.
“Yap!” Rara menjawab tanpa ragu, seolah meyakinkan dirinya sendiri. “Aku dapat ini dari internet. Katanya sih, kalau kamu punya batu ini, kamu bisa lebih jago ngitung, bahkan lebih jago bikin orang tertawa!”
Nizar menahan tawa. “Ra, kamu beneran percaya sama itu?”
“Percaya! Aku nggak pernah salah soal ini!” jawab Rara, sembari membuka mulut dan mencoba memasukkan batu itu ke dalam mulutnya. “Ayo, cobain!”
“Ra, kamu gila ya?” Nizar terkekeh, sambil menahan gelak tawa. “Kamu mau makan batu, seriusan?”
Rara berhenti sejenak, lalu tertawa kecil. “Iya juga sih, kalau dipikir-pikir lagi… mungkin ini agak gila ya. Tapi aku pikir, kalau kita nggak coba, gimana bisa tahu hasilnya?”
Nizar terdiam sejenak, lalu ikut tertawa. Tawa itu seakan menghilangkan segala beban yang ada dalam dirinya. Ada sesuatu tentang Rara yang begitu mudah membuatnya tersenyum, bahkan di tengah kekacauan. Mungkin itu yang membuatnya merasa sedikit aneh, tapi juga nyaman.
“Yah, ya udah deh,” Nizar berkata, sambil mengambil batu itu dari tangan Rara. “Aku coba, deh. Tapi kalau besok kamu beneran jadi jago ngitung, aku bakal ngira kamu punya kekuatan super.”
Rara tertawa keras, sampai seluruh orang di sekitar meja mereka melihat dengan heran. “Oke! Tapi kalau aku jadi lebih jago dari kamu, kamu harus ngajarin aku cara main game yang kamu suka!”
“Deal,” jawab Nizar cepat. “Tapi kalau nggak ada yang berubah setelah makan batu ini, kamu yang harus bayar semua camilan minggu depan.”
Mereka saling bertukar senyum, dan meski Rara masih merasa seperti sedang membawa trik sihir yang aneh, Nizar merasakan ada kehangatan di dalam dirinya yang jarang dia rasakan sebelumnya. Ada tawa, ada kebahagiaan kecil yang datang begitu saja.
Dan mungkin, hanya mungkin, keanehan Rara itu adalah apa yang dibutuhkan Nizar untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Mungkin itu adalah permulaan dari sesuatu yang lebih.
Kejutan di Balik Lensa
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Nizar semakin merasa seperti tenggelam dalam rutinitas konyol yang selalu dihadirkan oleh Rara. Setiap pertemuan dengan Rara selalu menyimpan kejutan baru yang tak pernah terduga. Seperti hari itu, ketika mereka berdua memutuskan untuk pergi ke tempat les bersama. Alih-alih belajar serius, mereka malah lebih sering berbincang tentang hal-hal yang tak ada kaitannya dengan pelajaran.
Kedua tangan Rara sibuk memainkan smartphone-nya di depan mereka. “Nizar, kamu lihat ini nggak? Viral banget nih!” Rara menunjukkan video yang sedang diputar di layar ponselnya. “Ini lucu banget, deh!”
Nizar melirik sekilas. Video itu memperlihatkan seseorang yang sedang memamerkan kemampuannya melempar pisang ke ember dari jarak yang sangat jauh. “Ra, ini lucu, tapi kayaknya kamu nggak bosen liat hal kayak gini terus?” tanyanya, masih setengah malas, tapi dia tidak bisa menahan senyum.
“Bosen? Enggak, lah!” jawab Rara dengan semangat, lalu membuka beberapa video lucu lainnya. “Lihat deh, ini lebih gila lagi!” video kali ini memperlihatkan seorang pria yang tersandung dan jatuh ke dalam kolam renang sambil membawa anjing.
“Tapi kenapa semua video viral selalu ada yang jatuh atau nggak sih?” Nizar berkomentar sambil menahan tawa, merasa bahwa apa yang mereka tonton semakin lama semakin tidak masuk akal.
“Tuh kan, kamu ketawa juga! Itu kan yang bikin lucu!” Rara tertawa terbahak-bahak, kemudian menatap Nizar penuh kemenangan. “Pokoknya, kalau ketawa gitu, kamu sudah kena, Niz.”
“Apa? Nggak ah, aku cuma geli aja. Itu jatuhnya bukan lucu, itu konyol!” jawab Nizar sambil menahan pipinya yang mulai memerah. Rara, seperti biasa, berhasil membuatnya terjebak dalam suasana konyol yang tak terduga.
Namun, seperti biasa juga, Nizar merasa aneh dengan perasaan yang semakin sering muncul saat bersama Rara. Perasaan yang tak bisa dijelaskan. Mungkin itu hanya perasaan senang karena dia bisa berbicara dengan Rara tanpa perlu berpura-pura menjadi seseorang yang lain. Dia merasa seolah mereka sudah terlalu lama saling mengenal, meskipun kenyataannya baru beberapa bulan mereka berteman.
“Eh, ngomong-ngomong,” kata Rara tiba-tiba, mengalihkan perhatian Nizar. “Aku punya kejutan lagi buat kamu.”
Nizar melirik, tampak lebih penasaran dari biasanya. “Kejutan apalagi, Ra? Jangan-jangan ada batu ajaib lagi nih?”
Rara menggelengkan kepala, dengan senyum penuh teka-teki. “Bukan, kali ini bukan batu-batuan. Tapi sesuatu yang lebih… beda.”
Tiba-tiba, Rara membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kacamata hitam yang tampak terlalu besar untuk wajahnya. “Tadaa! Kacamata keren, kan? Ini punya kamu sekarang!”
Nizar menatap kacamata itu dengan tatapan bingung. “Loh, kok tiba-tiba kamu bawa kacamata hitam buat aku? Kenapa? Aku nggak butuh kacamata.”
“Tapi kamu kan harus punya gaya! Kamu terlalu sering pakai kacamata yang polos, jadi kali ini, aku beliin yang lebih… keren!” jawab Rara dengan nada sangat serius, meskipun wajahnya terlihat tidak bisa menahan tawa. “Mau nggak? Jangan bilang nggak, soalnya ini sudah jadi milik kamu.”
Nizar tertawa kecil, mengingat betapa konyolnya situasi ini. “Ra, kamu tahu nggak sih kalau kacamata ini lebih gede dari wajah aku?”
“Gak apa-apa, yang penting keren! Kamu harus percaya padaku, Niz.” Rara tertawa ngakak, akhirnya membiarkan kacamata itu dipakai oleh Nizar, meskipun tampaknya itu lebih cocok untuk orang dengan wajah jauh lebih besar dari miliknya.
Setelah beberapa detik mencoba menyesuaikan diri dengan kacamata yang terlalu besar, Nizar akhirnya menyerah. “Okay, okay, ini memang aneh, tapi kalau itu yang kamu mau…” Dia menyerah dan menghadap ke kaca jendela di samping mereka. “Ini sih lebih kayak pahlawan super, ya.”
Rara menertawakan Nizar yang tampak seperti seorang bocah dengan kacamata kekinian. “Aduh, tapi kamu lucu banget sih pake gituan. Gak apa-apa, Nizar. Percaya deh, dengan kacamata ini kamu bakal kelihatan lebih keren. Kamu siap jadi seleb?”
“Aduh, ya sudah deh,” Nizar menggelengkan kepala, tapi hatinya terasa hangat. Ia tak tahu kenapa, tapi kadang-kadang, kejutan-kejutan konyol yang diberikan Rara itu malah membuatnya merasa seperti bagian dari dunia yang penuh warna dan kebahagiaan.
Seperti biasa, percakapan mereka berlanjut dengan lelucon konyol dan gurauan ringan yang tak ada habisnya. Namun, tiba-tiba ada satu kalimat dari Rara yang membuat Nizar berhenti sejenak.
“Jadi, gimana? Kamu mulai suka sama kacamata itu, atau masih merasa jadi pahlawan super yang aneh?”
Nizar menatap Rara dan tersenyum, mengangkat bahu. “Mungkin aku nggak terlalu yakin, tapi satu hal yang pasti—aku senang punya teman kayak kamu, Ra.”
Rara meliriknya dengan ekspresi kaget, lalu tersenyum lebar. “Tuh kan, kamu bisa juga ngomong gitu, Nizar.” Kemudian dia kembali melanjutkan percakapan mereka dengan candaan-candaan lainnya, tapi kali ini Nizar merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kekonyolan yang mereka buat. Ada sebuah perasaan aneh yang mulai tumbuh, semakin besar seiring berjalannya waktu.
Namun, seiring berjalannya hari, satu hal yang jelas—keanehan Rara memang menjadi dunia baru yang Nizar mulai nikmati.
Momen di Ujung Waktu
Hari itu terasa berbeda. Tak ada video lucu yang menggoda tawa mereka, tak ada kejutan kacamata hitam atau lelucon absurd yang mengubah suasana. Rara dan Nizar hanya duduk berdua di sebuah kafe sederhana yang mereka temui secara tak sengaja setelah keluar dari tempat les. Suasana sekitar sepi, hanya ada mereka dan beberapa orang yang tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing.
Nizar menatap ke luar jendela, melihat matahari sore yang mulai meredup, memberi nuansa hangat yang tak biasa. Hati Nizar sedikit gelisah. Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Entah itu karena perasaan yang terus tumbuh setiap kali berada dekat dengan Rara, atau karena kegelisahan yang tak bisa dia ungkapkan. Sesuatu yang rasanya seperti tak terucapkan, tapi sangat terasa.
Di seberang meja, Rara menatap Nizar dengan ekspresi serius—sesuatu yang jarang sekali terlihat pada dirinya yang biasanya selalu ceria dan penuh kejutan. “Kenapa, Niz? Kamu lagi mikirin apa?”
Pertanyaan itu memecah keheningan, dan Nizar merasa matanya bertemu dengan mata Rara, seperti ada sesuatu yang saling menghubungkan mereka dalam momen ini. Rara mungkin tidak tahu, tetapi Nizar merasa aneh—lebih dari sekadar teman, lebih dari sekadar tawa konyol yang mereka bagi.
“Nggak ada, Ra,” jawab Nizar pelan, berusaha menyembunyikan perasaannya. “Cuma lagi mikir… gimana kalau semuanya tiba-tiba berubah, gitu?”
Rara mengerutkan kening, sedikit bingung, tapi kemudian senyum ringan muncul di wajahnya. “Maksudnya gimana, sih?”
Nizar menghela napas, dan ada keheningan lagi yang terasa cukup panjang. “Ya, kamu tahu kan, kita selalu begini—ngobrol tanpa beban, ketawa konyol, dan semuanya terasa ringan. Tapi, aku merasa seperti ada hal yang lebih, Ra. Aku nggak tahu apa itu, tapi rasanya kayak aku mulai… nyambung sama kamu lebih dari sekadar teman. Bahkan, aku mulai ngerasa kalau aku… suka sama kamu.”
Suasana di sekitar mereka seakan berhenti sejenak. Hati Nizar berdebar, matanya menghindari pandangan Rara. Mungkin dia baru saja mengatakannya lebih terang dari sebelumnya. Mungkin Rara takkan mengerti. Mungkin juga dia cuma menganggap itu sekadar lelucon lagi. Tetapi Rara tidak tertawa.
Rara terdiam beberapa detik, seperti mencerna kata-kata Nizar. Lalu, dia tersenyum tipis. “Tapi, kamu juga tahu kan, Niz, kalau aku sering banget bikin kejutan aneh, bikin kamu bingung dan malah ketawa. Kamu bisa nggak serius sama aku yang kayak gini?”
“Ra…” Nizar menatapnya, sedikit terkejut. “Kamu kira aku serius tentang ini?”
“Tentu saja, kamu serius, Nizar,” jawab Rara pelan, lalu melanjutkan dengan nada lembut, “Tapi aku juga pengen tahu, kalau kamu benar-benar suka, apa kamu siap hadapi semua kekonyolanku? Apa kamu siap ada di sisi aku meskipun segala hal nggak selalu mudah?”
Nizar merasa sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Mungkin, baru kali ini Rara berbicara dengan begitu tulus, tanpa kehebohan dan kebodohan yang biasanya menjadi ciri khasnya. Perasaan aneh itu kembali muncul, kali ini lebih kuat. “Ra, aku nggak peduli seberapa aneh atau konyolnya kamu. Aku tahu kamu bukan orang yang sempurna, dan aku juga nggak sempurna. Tapi aku nggak mau lagi takut dengan perasaan ini. Aku senang ada di dekat kamu. Kalau itu cukup untuk kita, kenapa nggak?”
Rara menatap Nizar dengan mata yang agak berbinar, seperti terkejut, tetapi ada kehangatan di sana. “Jadi, kamu nggak takut, ya?”
“Kenapa harus takut? Kita bisa berjalan bersama, nggak perlu sempurna, yang penting kita ada buat satu sama lain,” jawab Nizar, sedikit lebih percaya diri kali ini.
Di luar, hujan turun perlahan, seolah merayakan momen mereka yang saling memahami. Rara tertawa pelan, lalu tanpa sengaja menjentikkan ujung jarinya ke kacamata besar yang masih menempel di wajah Nizar. “Aku nggak tahu kenapa, Niz, tapi kalau aku sama kamu, rasanya dunia ini jadi lebih lucu.”
Nizar tertawa, mengangguk. “Ya, benar. Dunia ini memang lebih lucu, kalau aku sama kamu.”
Mereka saling diam sejenak, merasakan ketenangan yang baru. Ada sesuatu yang berbeda dalam keheningan ini—sebuah kenyamanan yang tak pernah mereka temui sebelumnya. Mungkin ini bukan akhir dari cerita mereka, tapi awal dari sebuah perjalanan yang penuh warna.
Nizar menatap Rara dengan senyum tipis. “Ra, kamu siap untuk cerita kita selanjutnya?”
Rara hanya mengangguk dengan senyum yang tak pernah pudar. “Tentu aja. Selalu siap untuk kejutan berikutnya, Niz.”
Dengan begitu, mereka berdua berjalan keluar dari kafe itu. Langkah mereka ringan, dan hati mereka terasa lebih ringan dari sebelumnya. Dunia memang kadang aneh, penuh kejutan dan kekonyolan. Tapi bersama Rara, Nizar merasa siap untuk menghadapi setiap langkah ke depan—meskipun penuh tawa, dan sedikit kekonyolan.
Dan begitu, cerita ini pun berakhir—tapi siapa bilang perjalanan mereka udah selesai? Nizar dan Rara baru aja mulai nyelami dunia yang lebih seru, penuh kejutan, dan pastinya nggak lepas dari kekonyolan.
Mereka bakal terus jalan bareng, nggak peduli seaneh apa pun itu. Kalau kamu suka banget sama cerita ini, siapa tahu bakal ada kisah mereka yang lebih seru di masa depan. Jadi, jangan pernah takut jatuh cinta sama hal yang nggak terduga—karena cinta kadang memang datang dengan cara yang paling lucu.