Cinta Sejati Seorang Playboy: Perjalanan Arsen Menuju Cinta yang Tulus

Posted on

Jadi gini, pernah nggak sih kamu ketemu sama orang yang awalnya kelihatan cuma main-main aja, tapi lama-lama malah bikin kamu mikir tentang hidup?

Nah, cerita ini tentang Arsen, seorang playboy yang nggak pernah serius sama cewek, tapi tiba-tiba ada satu orang yang bikin dia mulai berpikir, Cinta itu nggak cuma soal pacaran doang, ya? Ikutin deh perjalanannya, dari yang cuma mau cari kesenangan, jadi orang yang siap belajar soal cinta sejati!

 

Cinta Sejati Seorang Playboy

Godaan di Rak Buku

Kampus selalu ramai. Entah itu pagi, siang, atau malam, selalu ada saja orang-orang yang berkeliaran di antara gedung-gedung besar dan jalan setapak yang penuh debu. Di tengah hiruk-pikuk itu, aku lebih suka berada di tempat yang jauh dari kebisingan—perpustakaan. Tempat yang tenang, penuh buku, dan pastinya jauh dari dunia luar. Aku bukan tipe orang yang suka bersosialisasi, tapi bukan berarti aku nggak bisa berbicara dengan orang. Hanya saja, kebanyakan orang terlalu membosankan. Tidak ada yang menarik.

Hari itu, aku sedang duduk di salah satu sudut perpustakaan. Di depan meja, tumpukan buku sejarah yang tebalnya bikin pundak terasa berat. Aku lagi asyik dengan buku tentang Alexander Agung, mencoba memahami apa yang bisa dipelajari dari kegigihan sang raja besar itu. Aku selalu merasa lebih nyaman dengan buku daripada dengan orang-orang di luar sana. Tapi entah kenapa, perasaan itu terasa berbeda sore itu.

Seorang gadis masuk ke dalam perpustakaan. Dia melangkah dengan langkah tenang, rambutnya panjang terurai dan pakaian yang tampaknya lebih simpel dari yang biasa dipakai oleh cewek-cewek di kampus ini. Dia berjalan ke rak buku di dekatku, dan aku hanya menatapnya sejenak. Dapat kupastikan dia bukan tipe gadis yang mudah terkesan dengan senyuman manis atau pujian yang biasa aku lontarkan. Entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak.

Aku tidak bisa menahan diri. Aku tahu, mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi rasanya ada dorongan untuk mendekatinya. Dengan langkah pelan, aku mendekat. Sambil menatapnya, aku mulai membuka percakapan.

“Heh, Nadya kan?” Aku bertanya, meskipun aku sudah tahu jawabannya. Di kampus ini, nama Nadya cukup terkenal. Tapi siapa yang peduli dengan hal-hal seperti itu? Aku hanya ingin tahu apakah dia akan merasa tertarik dengan cara aku mendekatinya.

Dia menoleh, matanya yang cerdas menyapu wajahku sejenak, lalu dia tersenyum tipis. “Iya, aku Nadya. Kenapa, ada yang bisa dibantu?”

“Ah, nggak juga sih. Cuma… kalau kamu butuh teman bicara, aku ada.” Aku mencoba tersenyum, meskipun aku tahu itu terdengar seperti godaan murah. Aku sudah terbiasa dengan ekspresi wajah para cewek yang langsung klepek-klepek ketika mendengar kalimat seperti itu.

Tapi Nadya cuma mengangkat alis, menatapku dengan pandangan yang lebih penasaran daripada terpesona. “Kamu suka sejarah juga, ya? Mungkin bisa menjelaskan kenapa orang-orang di buku ini bisa begitu terobsesi dengan kekuasaan.”

Tentu saja, pertanyaan itu menambah rasa penasaran. Aku memang sudah banyak menghabiskan waktu untuk membaca tentang berbagai tokoh sejarah, tapi Nadya—dia tampaknya menganggap sejarah lebih dari sekadar informasi kering yang tertulis di buku.

“Yah, siapa yang nggak terobsesi dengan kekuasaan, kan?” jawabku sambil duduk di sampingnya. “Tapi menurutku, sejarah itu bukan cuma soal orang-orang yang besar dan berkuasa. Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari perjalanan hidup mereka.”

Nadya menatapku dengan tatapan yang lebih serius sekarang. “Jadi, kamu lebih suka sejarah karena pelajaran dari kekuasaan, bukan tentang bagaimana mereka menghadapinya? Aku kira kamu seorang playboy yang lebih tertarik sama cewek daripada sejarah.”

Aku terdiam sesaat. Bukan karena dia menyebutku playboy—itu sudah biasa. Tapi cara dia berbicara, seolah-olah dia bisa melihat lebih dalam dari sekadar penampilan luar, membuat aku merasa sedikit canggung. Biasanya, cewek-cewek di kampus ini hanya tahu satu hal: aku tampan, dan mereka jatuh begitu saja. Tapi Nadya, dia berbeda. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda kegugupan atau ketertarikan yang terlihat jelas di wajahnya.

“Well, aku memang playboy, itu benar,” aku mengakui dengan santai. “Tapi, ada hal-hal yang lebih menarik dari sekadar menggoda cewek, loh. Misalnya, sejarah ini. Rasanya seperti menjelajahi dunia yang berbeda, penuh dengan kejutan.”

Nadya tertawa pelan, dan aku merasa sedikit aneh. Tertawanya bukan seperti tawa cewek yang merasa diremehkan atau tersinggung, tapi lebih seperti dia yang tahu persis apa yang aku maksud.

“Jadi kamu tertarik sama sejarah, tapi bukan karena ingin jadi seperti Alexander atau Napoleon, kan?” Dia berkata, sembari menyandarkan punggungnya pada rak buku. “Apa tujuanmu sebenarnya?”

Aku mengangkat bahu, lalu menatap buku yang terbuka di depanku. “Tujuan? Mungkin cuma mencari tahu apa yang bikin orang-orang bisa jadi legenda. Mungkin itu… atau mungkin juga karena aku ingin belajar lebih banyak tentang bagaimana orang-orang itu bisa menangani masalah, bukan hanya untuk menaklukkan dunia, tapi untuk menghadapinya dengan cara yang berbeda.”

Nadya menatapku sejenak, seperti sedang mempertimbangkan kata-kataku. Dia kemudian berdiri dan meraih buku yang ada di rak di depannya. “Aku rasa kamu lebih dari sekadar playboy yang suka berpura-pura jadi pintar. Tapi, kalau kamu benar-benar ingin tahu lebih banyak, kamu harus belajar lebih dari sekadar menggoda. Sejarah itu tentang lebih dari sekadar kemenangan dan kekuasaan.”

Aku terkekeh, meskipun sedikit merasa terkejut. Nadya ini, dia bukan cewek biasa. Bukan cewek yang jatuh cinta dengan kata-kata manis, tapi dia tahu apa yang dia inginkan. Aku, di sisi lain, merasa tertantang. Mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang lebih dari sekadar permainan ini.

“Nanti aku ajarin kamu lebih banyak tentang sejarah, kalau kamu mau,” kata Nadya dengan senyum tipis. “Tapi kamu harus berjanji, nggak cuma baca buku sejarah untuk dapetin perhatian cewek, ya?”

Aku mengangkat tangan, pura-pura seperti seorang tentara yang patuh pada perintah. “Deal, Nadya. Kalau itu yang kamu mau, aku siap.”

Dia hanya tersenyum dan berjalan pergi, meninggalkan aku dengan perasaan yang sedikit aneh. Aku sudah terbiasa dengan perhatian cewek-cewek yang datang dan pergi, tapi dengan Nadya, aku merasa ada sesuatu yang lebih. Mungkin ini bukan sekadar tantangan biasa. Mungkin, untuk pertama kalinya, aku harus benar-benar berubah.

Namun, aku tahu satu hal pasti: ini baru permulaan dari permainan yang lebih rumit.

 

Antara Buku dan Cinta

Hari-hari setelah pertemuan itu, rasanya ada sesuatu yang berbeda. Aku kembali ke rutinitasku, duduk di perpustakaan, berpura-pura tenggelam dalam buku-buku sejarah yang biasa ku baca. Namun, kali ini aku tidak hanya memikirkan tokoh-tokoh besar dalam buku. Nadya—gadis yang suka menatap buku dengan serius dan penuh pertanyaan—masuk ke pikiranku lebih sering dari yang aku inginkan.

Dia muncul di depan mata setiap kali aku membuka halaman. Tak jarang, aku memikirkan kata-kata terakhirnya di pertemuan itu: “Sejarah itu bukan cuma tentang kekuasaan dan kemenangan.” Itu kalimat sederhana, tapi mengusik pikiranku. Aku yang biasanya hanya tertarik dengan hasil akhir—entah itu kemenangan, atau sekadar jadi yang terbaik di antara yang lain—jadi mulai bertanya-tanya, apakah ada yang lebih dari sekadar itu?

Seiring waktu, aku mendekati Nadya lebih sering. Aku jadi sering mencari alasan untuk bertemu dengannya. Bukan hanya sekadar berbicara tentang sejarah, tapi juga berbicara tentang dunia lain yang lebih rumit, yang tidak bisa dipahami hanya dengan melihat permukaannya. Seperti dia, yang selalu tampak serius dan penuh pertanyaan, namun tetap penuh kejutan.

Suatu hari, aku tiba lebih awal di perpustakaan, berencana untuk menyelesaikan beberapa tugas yang terus menumpuk. Tapi ketika aku memasuki ruangan, aku melihat Nadya sudah duduk di meja yang biasa aku tempati. Aku menatapnya sebentar. Dia sedang membaca, asyik dengan bukunya, tak terganggu oleh kehadiranku. Aku berdiri beberapa detik di depan pintu, mencoba memikirkan apa yang akan aku katakan. Tapi akhirnya, aku memilih untuk tidak mengubah kebiasaan.

Aku duduk di meja yang agak jauh, memutuskan untuk membaca buku lagi. Namun, aku merasa seolah ada sesuatu yang terus menarikku untuk memperhatikannya. Tanpa sadar, aku akhirnya berjalan menuju mejanya, mendekat dengan hati-hati.

“Hari ini kelihatan serius banget, ya?” kataku, mencoba memecah keheningan yang terbangun.

Nadya menoleh, dan kali ini, ekspresinya lebih santai daripada sebelumnya. “Oh, ini. Aku lagi baca tentang Renaisans.” Dia menunjuk buku yang ada di depannya, lalu menatapku dengan tatapan yang sulit ditebak. “Kamu masih tertarik sama sejarah, kan? Atau sekarang malah mulai tertarik sama aku?”

Aku terkekeh. Nadya nggak pernah kekurangan keberanian dalam berbicara. Aku tahu, dia pasti sudah sering menghadapi orang yang berusaha mendekatinya dengan cara-cara yang biasa, tapi aku ingin sesuatu yang lebih. Aku ingin membuktikan bahwa aku bukan cuma playboy biasa yang hanya menggoda.

“Yah, mungkin keduanya,” jawabku sambil duduk di kursi sebelahnya. “Tapi aku jujur, lebih tertarik sama sejarah yang kamu baca ini. Aku nggak terlalu paham soal Renaisans.”

Nadya melirikku dengan senyum tipis. “Jadi, kamu siap jadi muridku, ya?” Dia berkata sambil menutup bukunya dengan hati-hati. “Tapi, kamu harus tahu kalau itu nggak mudah. Bukannya aku suka ngajarin orang, tapi kamu, mungkin kamu berbeda.”

Aku mengangkat alis. “Beda gimana maksudnya?”

Nadya menatapku lebih dalam. “Aku tahu, kamu selalu punya cara untuk membuat cewek-cewek kagum. Tapi aku nggak tertarik sama itu. Aku cuma mau ngobrol tentang hal yang aku suka. Dan kalau kamu mau belajar, harus ada lebih dari sekadar senyum atau kata-kata manis.”

Aku menatapnya lebih serius. Ternyata, dia benar-benar nggak mudah terpesona. Itu, entah kenapa, membuatku tertarik lebih. Biasanya, aku akan berhenti kalau cewek sudah mulai menunjukkan sikap cuek atau nggak tertarik. Tapi Nadya, dia menunjukkan ketertarikan dalam bentuk yang berbeda. Ketika orang lain mungkin akan mengatakan bahwa dia tidak peduli, aku malah merasa dia sedang mencoba untuk menantangku. Dan aku suka tantangan.

“Jadi, aku harus belajar dengan cara yang nggak biasa?” aku bertanya, merangkul ide itu, meskipun aku sedikit bingung. “Sejarah itu apa, sih, yang membuat kamu sangat tertarik?”

“Sejarah itu tentang orang-orang yang mengubah dunia,” jawabnya pelan, seolah memikirkan kata-katanya. “Mereka nggak cuma berjuang untuk diri mereka sendiri. Tapi ada yang lebih dari itu. Mereka berjuang untuk sesuatu yang lebih besar.”

Aku terdiam. Kata-katanya menggelitik pikiranku. Aku selalu berpikir bahwa hidup ini soal memenangkan pertandingan, mencuri perhatian, dan menjadi yang terbaik. Tapi Nadya, dengan cara yang sederhana, membuka mataku. Mungkin, aku harus berhenti berfokus hanya pada kemenangan. Mungkin ada hal-hal lebih besar yang perlu dipikirkan.

“Kalau begitu, apa yang menurutmu bisa mengubah dunia?” Aku bertanya dengan serius, mencoba menangkap intinya.

Dia tersenyum, dan untuk pertama kalinya, aku melihat senyum yang lebih hangat dari biasanya. “Mungkin… sedikit perhatian lebih. Dari seseorang yang benar-benar peduli, bukan sekadar tertarik dengan tampang atau popularitas.”

Ada secercah perasaan yang datang begitu saja, entah apa itu. Rasanya seperti aku mendengar kata-kata yang seharusnya aku dengar sejak dulu. Aku mulai menyadari bahwa mungkin, aku nggak cuma ingin tahu tentang sejarah. Tapi aku juga ingin belajar untuk peduli lebih banyak—terutama tentang seseorang yang telah berhasil membuatku mempertanyakan banyak hal.

Sejak saat itu, aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama Nadya. Tidak hanya untuk membahas sejarah, tetapi juga untuk mengenal lebih dalam siapa dia sebenarnya. Aku mulai membuka diriku, meskipun itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Dalam perjalanan ini, aku tidak hanya belajar tentang tokoh-tokoh sejarah yang aku kagumi, tetapi juga tentang diriku sendiri.

Dan meskipun aku masih sering menggoda, senyum Nadya yang membuatku merasa ada yang berbeda. Tidak seperti yang lain. Tapi aku sadar, ini bukan sekadar tentang kemenangan atau daya tarik luar. Ini tentang menemukan sesuatu yang lebih berarti.

Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar mengubah pandanganku—tanpa aku sadari, dan tanpa perlu menggoda untuk mendapatkannya.

 

Memahami Cinta dengan Cara yang Berbeda

Hari-hari terus berlalu. Aku yang dulu merasa nyaman dengan kehidupanku yang penuh dengan perhatian dari para cewek, mulai merasakan perbedaan. Semakin aku mendekati Nadya, semakin banyak hal baru yang kutemui tentang diriku sendiri—hal-hal yang selama ini mungkin tak pernah kusinggung.

Aku kembali ke rutinitasku di perpustakaan, namun kali ini, aku merasa lebih fokus. Bukan hanya sekadar membaca buku sejarah, tetapi ada dorongan lebih dalam diriku untuk menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar informasi atau pengetahuan. Sesuatu yang lebih mendalam. Sesuatu yang bisa mengubah cara pandangku tentang banyak hal, terutama tentang cinta.

Nadya tetap jadi pusat perhatianku. Setiap kali aku melihatnya tenggelam dalam buku, dengan cara yang sangat serius dan penuh pemikiran, aku merasa seperti aku sedang mencoba mengejar sesuatu yang tak bisa kucapai hanya dengan kelakar atau senyum. Dia tidak bisa didekati dengan cara yang biasa. Aku harus melakukan lebih dari itu.

Suatu sore yang cerah, kami kembali bertemu di perpustakaan. Nadya duduk di tempat yang biasa, memegang sebuah buku yang aku yakini sudah dia baca berkali-kali. Aku duduk di meja dekatnya, mencoba fokus pada bukuku, tapi pikiranku selalu berkelana ke arah dia. Aku ingin mengajaknya berbicara, namun kali ini aku ingin percakapan kami berbeda. Aku ingin berbicara lebih dalam, lebih serius, dan bukan sekadar candaan.

“Apa yang bikin kamu tertarik banget sama buku sejarah?” tanyaku akhirnya, membuka percakapan.

Nadya mengangkat wajahnya, menyentuh ujung buku yang sedang dia baca, dan meletakkannya di meja. Dia memandangku sejenak, seolah-olah sedang menilai apakah aku benar-benar siap untuk mendengar jawabannya.

“Aku nggak hanya tertarik sama cerita di dalam buku,” jawabnya pelan. “Tapi lebih ke filosofi yang ada di baliknya. Bagaimana orang-orang di masa lalu bisa membuat keputusan besar yang mengubah dunia. Aku suka mikirin keputusan-keputusan itu, dan bagaimana mereka mempengaruhi kehidupan kita sampai sekarang.”

Aku mengangguk. Ternyata, dia punya cara pandang yang lebih dalam tentang sejarah. Ini bukan sekadar fakta-fakta kering, tetapi filosofi hidup yang bisa dipelajari. Aku merasa seperti seorang murid yang baru pertama kali belajar dengan cara yang berbeda—dan aku mulai merasa tertarik, lebih dari sekadar penasaran.

“Lalu, menurut kamu, apa keputusan terbesar yang harus aku buat?” tanyaku sambil meliriknya dengan senyum setengah bercanda.

Nadya tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dari senyumnya. “Keputusan terbesar? Mungkin… mulai berpikir lebih jauh tentang apa yang benar-benar kamu inginkan. Bukan cuma dari apa yang orang lain pikirkan atau dari apa yang bisa bikin kamu populer.”

Aku terdiam mendengarnya. Dia benar. Selama ini, aku terlalu sibuk mengejar pengakuan, menjadi yang terbaik di antara yang lain. Tapi aku nggak pernah benar-benar memikirkan apa yang benar-benar aku inginkan. Apa yang aku inginkan di dalam hati? Mungkin selama ini, aku hanya mengikuti arus kehidupan, tanpa benar-benar tahu arah yang ingin kutuju.

“Apa kamu benar-benar nggak tertarik sama aku?” Aku bertanya, mencoba untuk membuat percakapan lebih ringan setelah sejenak terlarut dalam pemikiran.

Nadya menatapku dengan tatapan serius, lalu menggelengkan kepala. “Bukan itu. Aku cuma nggak mau kamu merasa bahwa aku tertarik sama kamu karena hal-hal yang superficial. Aku nggak mau jadi bagian dari permainan kamu, Arsen.”

Permainan. Itu kata yang tepat. Selama ini, aku memang hanya bermain—bermain dengan perasaan orang lain, bermain dengan perasaan mereka yang terlalu mudah jatuh cinta. Tapi Nadya? Dia tidak terjebak dalam permainan itu. Dia bukan tipe yang bisa dikendalikan dengan kata-kata manis atau sikap manja. Dia ingin sesuatu yang lebih.

“Nadya, aku… aku nggak main-main kok,” jawabku, kali ini dengan nada yang lebih serius. “Aku bukan playboy yang kamu kira.”

Nadya menatapku, tidak langsung memberikan tanggapan. Tapi aku bisa melihat dari sorot matanya bahwa dia sedang memproses kata-kataku. Rasanya, setiap kata yang kuucapkan, meskipun sederhana, seakan-akan membuat dia semakin berhati-hati. Aku ingin dia tahu, bahwa aku tidak datang hanya untuk bermain-main. Aku ingin lebih dari itu.

“Aku tahu kamu punya banyak cara untuk membuat orang kagum, Arsen,” katanya akhirnya, dengan senyum tipis. “Tapi aku nggak butuh kata-kata manis. Aku cuma butuh kamu untuk menjadi diri kamu yang sebenarnya.”

Aku tersentak. Ada perasaan aneh yang muncul, seperti tertampar oleh kata-katanya. Sebelumnya, aku selalu merasa bahwa aku bisa mengendalikan segalanya, termasuk perasaan orang lain. Tapi Nadya… dia bukan orang yang bisa dikendalikan begitu saja.

Kami duduk diam selama beberapa detik, dan aku merasa ada keheningan yang cukup berat antara kami. Namun, entah kenapa, itu bukan keheningan yang membuatku canggung. Aku merasa lebih terbuka, lebih nyaman. Seolah ada hal-hal yang belum aku temui tentang diriku sendiri—dan mungkin, hal itu hanya bisa kutemukan melalui Nadya.

Dia menatapku lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus. “Mungkin kamu butuh lebih dari sekadar cerita sejarah. Mungkin kamu butuh untuk menemukan jalanmu yang sebenarnya.”

Aku mengangguk pelan. Tidak tahu kenapa, aku merasa ada sesuatu yang dalam antara kami. Sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan biasa. Mungkin, ini adalah awal dari perjalanan yang tidak hanya melibatkan buku-buku sejarah, tetapi juga tentang kita berdua, dan bagaimana kita saling mengerti.

Aku menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Mungkin kamu benar, Nadya. Aku ingin mulai tahu apa yang sebenarnya aku cari.”

Dia tersenyum, dan kali ini, senyumnya seperti memberi sinyal bahwa dia juga mulai percaya pada perubahan yang ada dalam diriku. Kami berdua, dalam diam, seolah telah memulai perjalanan baru—sebuah perjalanan yang lebih dalam, lebih berarti, dan tentunya, jauh lebih menarik dari sekadar permainan.

 

Mengerti Cinta Sejati

Hari-hari terus bergulir, dan aku merasa semakin dekat dengan Nadya. Ada banyak hal yang berubah dalam diriku—yang awalnya hanya mencari kesenangan sesaat, kini mulai memikirkan sesuatu yang lebih panjang. Lebih mendalam. Aku merasa seperti menemukan bagian dari diriku yang selama ini hilang. Semua berawal dari percakapan-percakapan kecil kami, dari keheningan yang tidak lagi terasa canggung, dan tentu saja, dari Nadya yang selalu berhasil membuatku melihat dunia dengan cara yang berbeda.

Hari ini, kami kembali bertemu di perpustakaan, tempat yang kini rasanya lebih nyaman dari sebelumnya. Aku duduk di kursi yang sudah mulai menjadi tempat favorit kami berdua. Nadya duduk di hadapanku, memegang buku yang sama, seolah-olah tidak ada yang berubah. Tapi aku tahu, banyak hal yang telah berubah, terutama dalam diriku.

“Nadya,” aku memulai percakapan dengan suara yang lebih serius dari biasanya. “Aku sudah mulai mengerti maksudmu tentang cinta yang sejati.”

Dia menatapku, dengan ekspresi yang sulit kutafsirkan. Namun, aku tahu dia tidak sedang menghakimi, hanya menunggu apa yang akan kukatakan selanjutnya.

“Aku pernah berpikir bahwa cinta itu cuma tentang perhatian, tentang bagaimana seseorang membuatmu merasa istimewa. Tapi, aku salah,” lanjutku, menggulung lengan bajuku seperti sedang menyiapkan sesuatu yang penting untuk diungkapkan. “Aku mulai sadar, cinta sejati itu bukan tentang yang tampak di luar. Cinta itu tentang bagaimana kita memahami satu sama lain, meski tidak ada kata-kata. Tentang kesediaan untuk berada di sisi seseorang tanpa pamrih. Tanpa mencari keuntungan.”

Nadya tidak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum tipis, dan aku tahu itu bukan senyum yang biasa dia tunjukkan. Itu senyum yang penuh arti—seperti dia akhirnya melihat perubahan dalam diriku.

“Aku nggak bisa langsung berubah jadi orang yang sempurna,” lanjutku, sedikit ragu. “Tapi aku janji, aku akan berusaha jadi orang yang lebih baik. Bukan untuk impress kamu, tapi untuk diriku sendiri.”

Dia mengangguk pelan, kemudian meletakkan buku yang sedang dipegangnya. “Aku nggak minta kamu jadi orang yang sempurna, Arsen,” katanya dengan suara lembut, namun tegas. “Aku cuma ingin kamu jadi orang yang sadar akan apa yang kamu pilih. Apa yang benar-benar kamu inginkan. Cinta itu nggak bisa dipaksakan, dan nggak ada yang instan. Kamu butuh waktu untuk tumbuh.”

Aku tersenyum lebar, merasa seolah-olah ada beban besar yang terangkat dari pundakku. Nadya, dengan segala ketegasan dan kebijaksanaannya, telah membuka mataku. Cinta bukanlah sesuatu yang harus dikejar-kejar dengan cara yang salah, dan aku akhirnya tahu bahwa aku tak bisa terus hidup dalam dunia yang penuh dengan permainan. Aku harus berhenti berpura-pura menjadi seseorang yang bukan diriku, dan mulai menjadi diriku yang sejati—terlepas dari bagaimana orang lain memandangku.

“Aku nggak tahu apakah kita bisa langsung jadi pasangan, Nadya,” kataku sambil menatap matanya. “Tapi aku ingin lebih dekat denganmu. Aku ingin belajar memahami cinta dengan cara yang benar.”

Nadya tersenyum lagi, kali ini lebih tulus. “Kita lihat saja ke depannya, Arsen. Yang penting, kamu sudah mulai menuju ke arah yang benar.”

Aku merasa lega. Seperti ada cahaya yang menerangi jalan yang selama ini gelap. Aku tahu, ini bukan akhir dari segalanya. Ini baru permulaan. Sebuah perjalanan yang panjang dan penuh tantangan. Tapi dengan Nadya di sampingku, aku merasa lebih yakin untuk melangkah ke depan.

Dan meskipun aku masih seorang pria dengan banyak kesalahan di masa lalu, aku yakin—aku sudah berada di jalur yang tepat untuk memahami cinta sejati. Bukan sebagai seorang playboy, tapi sebagai seseorang yang siap memberi, memahami, dan merasakan dengan hati yang lebih terbuka.

Perlahan, aku meraih buku yang tergeletak di meja, dan membuka halaman-halaman yang pernah aku anggap membosankan. Aku tahu, aku tidak akan pernah membaca buku yang sama dengan cara yang sama lagi. Sekarang, aku memahaminya dengan cara yang berbeda—dengan hati yang lebih terbuka dan siap untuk mencintai tanpa syarat.

Dan mungkin, cinta sejati bukan tentang menemukan seseorang yang sempurna. Tetapi, tentang menemukan seseorang yang membuatmu ingin menjadi lebih baik.

 

Jadi, intinya cinta sejati itu nggak datang dengan mudah, tapi kalau kamu udah nemuin orang yang bikin kamu pengen jadi lebih baik, itu udah jadi langkah pertama. Arsen mungkin masih jauh dari sempurna, tapi dia udah ngerti kalau cinta itu bukan soal main-main. Dan siapa tahu, mungkin cinta sejati buat dia emang cuma butuh satu orang yang sabar ngeliat dia tumbuh. Ya kan?

Leave a Reply