Cinta Segitiga di Sekolah: Cerita Romantis dan Persahabatan yang Rumit

Posted on

Pernah nggak sih, ngerasain jatuh cinta sama orang yang seharusnya nggak kamu sukai, tapi malah bikin semuanya jadi rumit? Nah, ini dia cerita tentang cinta segitiga yang penuh drama di sekolah. Ada Kiran, Damar, dan Aysha—tiga orang yang terjebak dalam situasi yang nggak gampang. Penasaran kan gimana akhir ceritanya? Yuk, baca sampai habis!

 

Cinta Segitiga di Sekolah

Kiran dan Kacamata Tebalnya

Hari itu, seperti biasa, Kiran duduk di pojok belakang kelas, tempat favoritnya yang sunyi. Dengan rambut acak-acakan dan kacamata tebal yang sudah agak miring, dia terbenam dalam buku matematika yang sudah sepertinya tak pernah selesai. Kiran bukan tipe orang yang suka keramaian. Baginya, dunia bisa terasa lebih tenang jika dia bisa menyelipkan diri di antara halaman-halaman buku.

Di kelas 7C, selalu ada yang berbeda setiap hari. Kadang, ada siswa yang sibuk berbicara tentang film terbaru atau tugas yang menumpuk. Tapi ada satu hal yang selalu bisa menarik perhatian Kiran, meski dia berusaha untuk tidak terlalu peduli. Itu adalah Aysha. Gadis ceria dengan senyum yang tidak pernah berhenti menghiasi wajahnya, yang juga kebetulan duduk tepat di depan Kiran.

Aysha, sahabatnya yang selalu menjadi pusat perhatian, berbalik menghadap Kiran. “Kiran, kamu kenapa sih diam terus?” tanyanya, sambil mencubit pipi Kiran yang sedikit memerah.

Kiran menatap Aysha dengan tatapan bingung, mencoba menutupi perasaan aneh yang mulai tumbuh di dadanya. “Nggak, kok. Cuma lagi sibuk ngerjain soal ini aja,” jawabnya sambil menunduk. Tapi hatinya nggak bisa bohong, Aysha selalu punya cara untuk membuatnya merasa lebih hidup.

“Ah, nggak perlu bohong. Kamu pasti mikirin Damar lagi, kan?” Aysha tersenyum lebar, menggoda.

Nama itu langsung membuat wajah Kiran merona. Damar. Si tampan yang nggak pernah tahu kalau Kiran sebenarnya suka padanya, meskipun dia berusaha menyembunyikan perasaan itu dengan sangat baik. Kiran, yang selalu memilih untuk diam dan menyembunyikan apa yang ada di hatinya, merasa malu jika harus mengakui itu.

“Enggak, nggak ada kok,” jawab Kiran cepat, mencoba membuang perasaan yang mulai muncul itu.

Aysha tertawa. “Hah, kamu bisa aja, Kiran. Sering banget aku lihat kamu diem-diem ngeliatin Damar,” ujarnya sambil melirik ke arah Damar yang duduk di sisi lain kelas, sedang berbicara dengan teman-temannya.

Kiran mencoba mengalihkan perhatian dengan menyembunyikan wajah di balik buku. “Udahlah, Aysha. Jangan mulai lagi.” Tapi hatinya nggak bisa bohong. Aysha benar, Damar memang selalu membuatnya merasa canggung setiap kali mereka berpapasan. Seperti ada sesuatu yang menghangatkan dada Kiran setiap kali Damar melintas, meskipun hanya sesaat.

Aysha mendekat dan menepuk pelan bahu Kiran. “Kamu nggak usah takut kok, Kiran. Damar itu baik banget, dia nggak akan bikin kamu merasa aneh kalau kamu nggak mau. Tapi kalau kamu mau coba deketin dia, kenapa nggak?”

Kiran menatap Aysha, sedikit bingung dengan kata-katanya. “Aku nggak tahu, Aysha. Aku cuma nggak mau bikin suasana jadi aneh. Lagian, dia kan teman kita juga, aku nggak mau jadi canggung.” Kiran berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Aysha hanya tertawa kecil. “Terserah deh, Kiran. Kalau kamu berubah pikiran, kasih tahu aku ya!” Katanya, kembali menghadap meja dengan senyum nakal yang seakan tak pernah lepas.

Hari-hari berikutnya terasa semakin berat bagi Kiran. Ketika Damar lewat, dia merasa seolah waktu berhenti sesaat. Damar selalu terlihat begitu santai, begitu percaya diri, dengan gaya bicara yang tidak pernah membuat Kiran merasa nyaman. Semua orang di sekitarnya seolah hanya menunggu saat Damar membuka mulut dan memberikan perhatian mereka padanya.

Namun, Kiran merasa ada sesuatu yang berbeda, meskipun Damar tidak pernah benar-benar memperhatikannya seperti yang dia inginkan. Dia tetap saja merasa nyaman berada di dekat Damar, meski dia tidak pernah berani mengucapkan sepatah kata pun.

Suatu siang, saat bel istirahat berbunyi, kelas 7C berhamburan keluar, mencari tempat untuk makan siang. Kiran memilih duduk di sudut taman sekolah, tempat favoritnya yang agak jauh dari keramaian. Di sana, di bawah pohon besar yang selalu membuatnya merasa tenang, dia memakan bekalnya dalam kesunyian.

Tiba-tiba, Kiran merasakan ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Dia menoleh dan terkejut melihat Damar sedang membuka kotak makan siangnya.

“Kamu makan di sini juga?” tanya Damar dengan senyum santainya.

Kiran, yang hampir tersedak mendengar pertanyaan itu, hanya bisa mengangguk. “Iya… aku lebih suka yang tenang.”

Damar tersenyum lagi. “Aku juga. Tempat ini sepi, enak buat mikir.”

Ada keheningan sejenak sebelum Kiran berani membuka mulut. “Mikir tentang apa?” tanyanya, sedikit gugup.

Damar menatap langit, menghirup udara segar. “Tentang banyak hal. Kadang aku bingung, kenapa hidup bisa sesibuk ini. Kayak semua orang punya masalah masing-masing.”

Kiran tersenyum tipis, merasa sedikit lega karena Damar tidak menatapnya langsung. “Iya, kadang aku juga merasa gitu. Tapi kadang lebih enak kalau punya waktu sendiri buat… mikirin semuanya.”

“Benar,” jawab Damar sambil mengangguk. “Kadang kita cuma butuh tempat sepi buat merasa nyaman. Dan, ya, kita nggak perlu selalu pusing mikirin apa yang orang lain pikirkan tentang kita.”

Kiran terdiam. Ada rasa hangat yang mengalir dalam hatinya, meskipun dia tidak tahu apakah Damar benar-benar mengerti perasaannya atau tidak. Tapi entah kenapa, saat ini, dia merasa lebih dekat dengan Damar. Bahkan hanya dengan berbicara tentang hal-hal biasa, perasaan yang tadinya tersembunyi itu seolah mulai muncul ke permukaan.

“Terima kasih, Damar,” ucap Kiran pelan.

Damar menoleh ke arahnya dan tersenyum. “Sama-sama, Kiran. Kalau kamu butuh teman buat ngobrol, aku ada kok.”

Dan dengan senyuman itu, Kiran merasa ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang mungkin tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Damar memang tidak tahu bahwa perasaannya sudah mulai terbangun, tapi untuk pertama kalinya, Kiran merasa bahwa dia tidak perlu lagi menyembunyikan perasaan itu sendirian.

Hari itu, Kiran tahu bahwa cerita mereka baru saja dimulai.

 

Aysha dan Tawa Tanpa Beban

Sejak pertemuan singkat di taman itu, Kiran merasa seperti ada yang berubah dalam dirinya. Setiap kali Damar lewat di dekatnya, Kiran merasa lebih canggung dari biasanya, tapi entah kenapa, rasa canggung itu malah terasa lebih manis. Kiran tak pernah tahu apakah perasaan itu benar-benar ada, atau hanya sekadar imajinasi yang berlarian dalam kepalanya. Tapi yang pasti, setiap kali Damar tersenyum padanya, hatinya selalu berdebar kencang.

Namun, yang lebih membuatnya bingung adalah Aysha. Sahabatnya yang ceria itu tampaknya semakin banyak membicarakan Damar, dan Kiran merasa semakin terpojok dengan pertanyaan-pertanyaan nakalnya.

Hari itu, setelah pelajaran matematika, Aysha langsung mendekat ke Kiran yang sedang merapikan bukunya. “Ayo, kita makan siang!” ajaknya dengan semangat.

Kiran yang sedang sibuk menata buku tidak langsung mengangkat wajahnya. “Aku mau makan di kelas aja, Aysha. Ada tugas yang harus diselesaiin.”

Aysha tidak peduli. “Aduh, Kiran! Jangan bohong, deh. Pasti kamu lagi mikirin Damar kan? Nggak usah malu-malu, aku tahu kok!”

Kiran mengerutkan dahi. “Aku nggak mikirin dia, Aysha.”

Aysha tersenyum nakal, duduk di kursi sebelah Kiran dan menatapnya intens. “Kamu bisa aja, ya. Tapi aku yakin, kamu juga nggak bisa bohong sama diri sendiri.”

Kiran menarik napas panjang, merasa sedikit bingung. Aysha selalu bisa membuatnya merasa seperti ini, terperangkap dalam sebuah tanya jawab yang tak pernah selesai. “Aku… nggak tahu, Aysha. Aku cuma merasa… canggung aja kalau sama dia,” jawab Kiran, pelan.

Aysha hanya tertawa kecil. “Canggung? Kenapa canggung? Damar itu baik kok. Dia nggak akan bikin kamu merasa nggak nyaman.”

Kiran menatap Aysha, mencoba mencerna kata-katanya. “Aku nggak tahu, Aysha. Aku nggak mau jadi aneh di depan dia.”

Aysha menepuk bahu Kiran dengan penuh semangat. “Ya udah, kalau gitu, ayo kita ke kantin. Lupakan Damar dulu. Kamu harus lebih sering keluar dari zona nyamanmu, Kiran. Hidup itu bukan cuma soal diam di sudut kelas sambil mikirin orang yang nggak tahu apa-apa!”

Kiran tertawa pelan mendengar kata-kata Aysha. “Kamu ini… gimana sih?”

“Tunggu, nanti kamu juga bakal paham kok,” jawab Aysha, sambil menarik tangan Kiran dan mengajaknya keluar kelas.

Kiran hanya bisa menurut. Aysha selalu tahu bagaimana caranya mengubah suasana hati Kiran. Kadang, dia merasa Aysha lebih tahu tentang dirinya daripada dirinya sendiri. Aysha yang ceria dan penuh energi, sering kali bisa membuat Kiran melupakan rasa gugup dan canggung yang selama ini mengendap di dalam dada.

Sesampainya di kantin, Aysha langsung menarik Kiran ke meja yang sudah penuh dengan teman-teman lainnya. Tak ada yang terlalu istimewa di kantin, hanya deretan meja panjang dan keramaian suara teman-teman yang sedang makan siang. Namun, bagi Kiran, tempat ini terasa sangat berbeda dari tempat sepi di taman yang biasa ia pilih. Di sini, dia harus terjebak dalam kebisingan dan percakapan yang kadang tidak bisa ia tangkap.

Namun, ketika Aysha dan Kiran duduk, Kiran langsung melihat sosok Damar yang sedang duduk bersama teman-temannya di meja seberang. Seperti biasa, Damar tampak santai dengan tawanya yang membuat semua orang di sekitar ikut tersenyum.

Aysha, yang menangkap arah pandang Kiran, menatap Kiran dengan senyuman licik. “Kamu lihat Damar, kan?”

Kiran langsung menunduk, berusaha agar wajahnya tidak kelihatan merah. “Jangan ngomongin dia, Aysha. Aku cuma lagi lihat… makanan.”

Aysha tertawa. “Iya, kamu lihat makanan, tapi matamu lebih sering mengarah ke Damar. Kamu suka sama dia, kan?”

“Enggak!” jawab Kiran cepat, meski hatinya berdebar. “Cuma… dia itu asyik diajak ngobrol. Enak aja rasanya kalau dia bisa diajak ngobrol. Tapi, ya, cuma itu aja.”

Aysha tertawa lebih keras. “Terserah deh, Kiran. Aku tahu kok. Tapi serius deh, kamu harus mulai berani. Kalau nggak, kamu bakal ngelewatin kesempatan buat kenal dia lebih dekat. Nggak mau, kan?”

Kiran menatap Aysha, perasaan dalam dirinya bertabrakan. Di satu sisi, dia ingin sekali mendekatkan diri dengan Damar. Tapi di sisi lain, dia takut perasaan itu tidak akan diterima. Dia takut kalau dia sampai mengungkapkan apa yang ada di hatinya, semuanya akan jadi lebih rumit. Lagi pula, bagaimana bisa seseorang seperti Damar tahu perasaan seseorang sependiam Kiran?

Aysha seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan Kiran. “Dengar, Kiran. Kalau kamu terus-terusan begini, kamu nggak akan tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaanmu sendiri. Kamu cuma bakal terus berpikir tentang Damar tanpa pernah tahu dia sebenarnya merasa apa. Jadi, kenapa nggak coba ngobrol sama dia, sekadar nanya tugas atau apapun, ya?”

Kiran diam, menatap Aysha. “Tapi… aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku kan nggak punya alasan buat ngobrol sama dia.”

Aysha menatap Kiran dengan serius, lalu tersenyum nakal. “Yaudah deh, kalau kamu nggak mau mulai, aku aja yang bakal jadi perantara. Kita lihat nanti, Damar bakal gimana kalau aku mulai bertindak.”

Kiran terkejut. “Aysha, jangan…”

Tapi Aysha sudah berdiri dan melambaikan tangan ke arah Damar, membuat Kiran terkejut. Dengan langkah percaya diri, Aysha melangkah menuju meja Damar, sementara Kiran hanya bisa terdiam dan berharap dia tidak melakukan hal yang terlalu berani.

Damar, yang sedang asyik berbicara, menoleh ketika Aysha datang. Mereka berbicara beberapa saat, dan Kiran bisa melihat Damar tersenyum sambil mendengarkan Aysha. Di sinilah Kiran merasa dua dunia yang berbeda mulai bertabrakan. Keinginan untuk berbicara dengan Damar, namun ketakutan untuk membuat semuanya jadi canggung.

Tiba-tiba, Aysha melambaikan tangan pada Kiran. “Kiran, ayo sini! Damar ngajak ngobrol!”

Kiran merasa hatinya terhenti sejenak. Dan saat itu, dia tahu. Sebuah kesempatan baru mulai terbuka, meskipun ia masih ragu untuk melangkah lebih jauh.

 

Tersesat dalam Kata-kata

Kiran melangkah pelan menuju meja Damar, perasaannya campur aduk. Jantungnya berdegup kencang, dan kakinya terasa lebih berat dari biasanya. Aysha yang melihatnya berjalan ke arah meja Damar, hanya tersenyum lebar dan kembali ke tempat duduknya, seolah tahu persis bahwa Kiran tidak akan bisa menolak ajakan Damar.

Begitu sampai di meja Damar, Kiran langsung merasa sedikit canggung. Damar masih duduk di sana, tersenyum lebar seperti biasa, namun kali ini matanya sepertinya mengamati Kiran dengan cara yang berbeda. “Kiran, kan? Lagi ngapain di sini?”

Kiran menelan ludah, berusaha menenangkan diri. “Eh, iya… Aku cuma… Aysha bilang kamu ngajak ngobrol, jadi… ya, aku kesini.”

Damar terkekeh. “Aysha emang suka nyuruh-nyuruh orang ya? Tapi nggak apa-apa kok, santai aja. Kita ngobrol aja.”

Kiran mengangguk, berusaha untuk terlihat tenang, meski hatinya rasanya berdebar lebih kencang. Damar memanggil pelayan untuk memesan minuman, sementara Kiran hanya duduk diam, sesekali mencuri pandang ke arah Damar yang sibuk memilih menu. Kiran merasa seperti seorang yang tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi dia tetap berusaha menjaga sikap santai.

“Aku penasaran,” kata Damar setelah beberapa saat, menatap Kiran. “Kenapa sih kamu selalu kelihatan lebih suka diem, nggak banyak ngobrol sama orang?”

Kiran terkejut dengan pertanyaan itu. Rasanya seperti ada yang membongkar pertahanannya yang selama ini dibangun rapat-rapat. “Aku… nggak tahu. Mungkin karena aku suka sendiri aja,” jawabnya pelan. “Gak bisa terlalu banyak ngomong.”

Damar tersenyum, seolah mengerti. “Bukan masalah ngomong atau nggak sih. Aku cuma mikir, kadang-kadang, orang kayak kamu lebih sulit dibaca. Gak banyak yang tahu apa yang kamu pikirin, bahkan Aysha aja jarang tahu kamu mau apa.”

Kiran sedikit tersentak. “Aku bukan orang yang susah dipahami kok. Cuma… ya, aku emang nggak bisa sering-sering ngobrol. Itu aja.”

“Beneran? Aku rasa kamu bisa kok ngobrol lebih banyak kalau ada yang nyemangatin.” Damar tersenyum lagi, kali ini senyum yang lebih hangat, seolah dia mencoba mengurai kegugupan yang ada di udara antara mereka.

Kiran hanya menatapnya, canggung. “Ya… mungkin,” jawabnya singkat.

Beberapa detik kemudian, suasana menjadi hening. Kiran merasa kata-kata di antara mereka seperti sebuah benang yang tak tersambung, apalagi dengan Damar yang sering kali memberikan tatapan penuh arti, yang membuat Kiran bingung. Haruskah dia terus berbicara atau membiarkan semuanya mengalir dengan sendirinya?

Lalu, Damar yang memecah keheningan. “Kiran, kamu tahu nggak sih? Aku sering banget ngerasa kalau kamu tuh orang yang misterius. Tapi misterius yang asyik, bukan yang aneh-aneh.”

Kiran terdiam, meresapi kata-kata itu. “Misterius yang asyik?” ulang Kiran, berusaha mengingat apa yang sebenarnya dimaksud oleh Damar. “Kenapa kamu bisa bilang begitu?”

Damar menatapnya serius, tapi ada kilatan tawa di matanya. “Karena, menurutku, kamu punya cara sendiri buat menghadapi dunia ini. Gak peduli apa yang orang lain bilang, kamu tetap jadi diri sendiri. Itu yang aku suka.”

Kiran merasa wajahnya memerah. Ia tidak pernah mendengar pujian seperti itu sebelumnya, apalagi dari Damar, yang selama ini tampak begitu dingin dan cuek.

“Gak ada yang istimewa kok,” jawab Kiran dengan canggung, berusaha merendah.

Tapi Damar justru tersenyum lebih lebar. “Mungkin memang nggak ada yang istimewa, tapi ada hal-hal yang kamu punya, Kiran, yang nggak dimiliki orang lain.”

Kiran ingin mengatakan sesuatu, tapi mulutnya terasa terkunci. Kata-kata yang muncul di benaknya terlalu banyak, sementara tubuhnya terasa terjebak dalam kebingungannya sendiri.

“Eh, Damar…” suara Kiran akhirnya pecah, mencoba mencari arah pembicaraan yang lebih aman. “Apa yang bikin kamu tertarik sama Aysha?”

Pertanyaan itu keluar tanpa disangka. Kiran bahkan tidak tahu mengapa ia tiba-tiba menanyakan hal itu, tapi begitu kata-kata itu keluar, dia langsung menyesal.

Damar terkejut, namun ia tersenyum tenang. “Aysha? Kenapa kamu nanya gitu?”

Kiran menatap Damar dengan rasa ingin tahu yang tiba-tiba muncul. “Ya… Aysha itu teman dekatku, dan aku penasaran aja.”

Damar mengangguk pelan, seolah mengerti arah pertanyaan Kiran. “Aysha itu cewek yang menarik. Dia penuh energi, selalu bikin orang di sekitarnya merasa hidup. Aku suka dia karena dia punya semangat yang nggak gampang padam, dan dia tahu caranya buat bikin orang lain nyaman.”

Kiran mengangguk, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai mengaduk-aduk dalam dirinya. “Aku ngerti, Aysha memang gitu. Selalu bikin orang seneng kalau ada dia.”

Damar tersenyum, namun kali ini, senyum itu seperti menyimpan sesuatu yang Kiran tidak bisa tangkap. “Kiran, kamu juga nggak kalah menarik kok. Mungkin kamu lebih diam, tapi kamu punya cara buat bikin orang ngerasa nyaman, tanpa harus ngomong banyak. Itu hal yang jarang.”

Kiran merasa hatinya seperti berhenti sejenak. Kata-kata Damar seperti sebuah dorongan yang tak terduga, sebuah pengakuan yang membuatnya bingung antara terharu dan cemas.

“Damar, kamu…” Kiran mencoba mencari kata-kata, namun terdiam sejenak.

Damar menatapnya dengan tatapan yang lembut. “Kiran, kalau ada sesuatu yang kamu ingin bilang, bilang aja. Nggak usah nahan-nahan. Gak ada yang salah kok.”

Kiran terdiam sejenak, matanya bertemu dengan mata Damar. Entah kenapa, untuk pertama kalinya, Kiran merasa seperti dunia di sekelilingnya menghilang, dan hanya ada mereka berdua. Tapi, meski hatinya ingin berkata sesuatu, mulutnya terasa terkunci rapat. Semua yang ingin ia katakan seolah tertahan, tertimbun dalam keraguan yang tidak bisa ia lepaskan.

Dan saat itu, Kiran tahu bahwa perasaan ini—apa pun itu—belum selesai. Ini baru permulaan, dan segalanya masih terlalu rumit untuk diungkapkan begitu saja.

Namun satu hal yang pasti, Kiran merasa, entah bagaimana, ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar dari sekadar sebuah percakapan biasa.

 

Titik Temu

Kiran duduk sendiri di taman sekolah, memandang langit yang perlahan berubah oranye. Sisa waktu sekolah hampir habis, tapi pikirannya masih terjebak di dalam percakapan dengan Damar beberapa saat lalu. Sebuah perasaan yang sulit diungkapkan, sebuah kebingungan yang semakin menumpuk, seakan menyelimuti setiap sisi hatinya.

Apa yang sebenarnya ia rasakan? Bagaimana ia bisa tahu apakah perasaan itu lebih dari sekadar teman biasa? Dan kenapa semua yang berputar di dalam dirinya terasa lebih rumit dari yang seharusnya?

Kiran menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiran yang terus berputar. Sesekali, ia mengingat kata-kata Damar tadi. “Kamu punya cara buat bikin orang ngerasa nyaman tanpa harus ngomong banyak.” Kata-kata itu berulang dalam benaknya, menancap kuat, mengingatkan dia bahwa Damar sepertinya benar-benar melihat sesuatu dalam dirinya yang tidak ia sadari sebelumnya.

Namun, ada juga Aysha yang selalu ada di sekitar Damar, membuat semuanya semakin rumit. Kiran merasa tak bisa menghindari kenyataan itu. Aysha selalu menjadi bagian dari dunia Damar, dan meskipun mereka berdua memiliki ikatan persahabatan, tak ada yang bisa mengabaikan kenyataan bahwa Aysha lebih dari sekadar teman. Kiran merasa seperti berada di antara dua dunia yang tidak bisa disatukan.

Seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya, menarik Kiran keluar dari lamunannya. Kiran menoleh dan melihat Aysha duduk santai dengan senyum lebar.

“Lagi mikirin apa?” tanya Aysha, suaranya santai namun ada kerutan kecil di dahi yang menunjukkan ia tahu ada sesuatu yang mengganggu.

Kiran menggelengkan kepala, mencoba mengalihkan perhatian. “Nggak ada apa-apa. Cuma… mikir aja.”

Aysha tersenyum, seolah tahu lebih dari yang dikatakan Kiran. “Kamu nggak perlu mikirin apapun tentang Damar, Kiran,” katanya dengan nada yang tidak biasa. Ada sesuatu dalam suara Aysha yang membuat Kiran terkejut. “Aku tahu kamu suka dia.”

Kiran menatap Aysha dengan mata terbelalak. “Apa?” gumamnya.

Aysha tertawa kecil, namun tawa itu tidak terdengar ringan. “Kamu pikir aku nggak tahu? Damar itu bukan orang yang sulit ditebak, dan aku tahu kalau ada sesuatu di antara kalian. Tapi kamu tahu kan, kalau… aku juga nggak mau kehilangan dia.”

Kiran merasa hatinya tiba-tiba serasa terhimpit. Sebelumnya, dia merasa yakin bahwa Aysha dan Damar hanya teman, hanya sekedar persahabatan yang biasa. Tapi sekarang, semua terasa berbeda.

“Aysha…” Kiran membuka mulut, namun kata-katanya terhenti. Ia tak tahu harus mulai dari mana. “Aku… aku nggak tahu kalau kamu… maksudnya, aku nggak pernah berpikir kamu punya perasaan sama Damar.”

Aysha menatap Kiran dengan senyum yang lebih lembut. “Kadang, kita nggak sadar bahwa kita juga berjuang untuk seseorang yang kita anggap dekat, tapi tanpa kita tahu, mereka sudah lebih dekat dengan orang lain. Itu yang aku rasain sekarang.”

Kiran terdiam, mendengar kalimat itu, terasa seperti ada kenyataan pahit yang tak bisa dihindari. Ia menyadari betapa rumitnya perasaan mereka berdua, dan betapa dalam Aysha menyimpan rasa yang selama ini tidak diungkapkan. Tapi di sisi lain, Kiran juga merasa tidak bisa mundur begitu saja.

“Aku nggak mau bikin situasi makin rumit, Kiran,” lanjut Aysha, suara sedikit lebih serius. “Kalau Damar memang memilih kamu, aku akan mundur. Tapi kalau aku yang lebih banyak punya tempat di hatinya, aku juga nggak akan bilang apa-apa. Aku cuma… ingin dia bahagia, dan kalau itu berarti aku harus pergi, aku akan melakukannya.”

Kiran merasakan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, ia merasa terharu dengan pengertian Aysha, tapi di sisi lain, ia tak bisa menahan perasaan kebingungannya yang semakin dalam. Apakah dia harus memilih? Apakah mungkin ada cara untuk menghindari memilih antara sahabat dan orang yang dia sukai?

Mereka duduk diam sejenak, saling diam, namun kenyataan sudah tergambar jelas di depan mereka. Kiran tahu, bahwa ia harus memutuskan sesuatu yang lebih besar daripada sekedar perasaan sesaat.

Lama-kelamaan, Damar datang, melangkah ke arah mereka dengan senyum khasnya yang selalu membuat hati Kiran berdegup. Tapi kali ini, ada perasaan yang berbeda di dalam dada Kiran. Ia tak tahu apakah Damar juga merasakan hal yang sama, atau apakah Aysha sudah lebih dulu berada di hatinya.

Damar berdiri di depan mereka, lalu menatap Kiran dan Aysha bergantian, ada kecanggungan yang tak bisa disembunyikan di antara mereka. “Eh, ada apa nih? Kok sepi banget?” tanyanya sambil mengedipkan mata.

Aysha tersenyum lebar, dan Kiran bisa melihat sedikit kecemasan di mata Aysha. “Nggak ada apa-apa,” kata Aysha, menatap Damar dengan tatapan yang sedikit berbeda dari biasanya. “Cuma ngobrol aja.”

Damar mengangguk, lalu duduk di samping Aysha, memberikan senyuman pada Kiran. “Kamu baik-baik aja, Kiran?”

Kiran menatap Damar, dan untuk pertama kalinya, dia merasa seperti ada sesuatu yang perlu dia ungkapkan, sesuatu yang lebih dari sekedar perasaan biasa. Tapi untuk saat ini, ia tahu bahwa belum waktunya untuk memutuskan.

“Aku baik-baik aja, Damar,” jawab Kiran, suaranya terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan. “Aku cuma butuh waktu.”

Mata Damar menatapnya dalam-dalam, seolah mengerti apa yang ia rasakan, namun tidak berkata apapun. Sementara Aysha menunduk, mencoba menyembunyikan senyum yang tak bisa disembunyikan. Dalam diam, ketiganya merasakan adanya kedekatan yang berbeda, sebuah perasaan yang belum selesai, tapi tak bisa dihindari.

Ini bukan akhir dari cerita mereka. Ini adalah sebuah awal dari pilihan yang harus mereka hadapi—dan di tengah semua itu, Kiran tahu bahwa apapun yang terjadi, hidup tidak akan pernah sesederhana yang ia pikirkan sebelumnya.

Damar, Aysha, dan Kiran—semuanya berada dalam kisah yang belum selesai, dan entah bagaimana, perjalanan ini akan membawa mereka pada titik temu yang akan mengubah semuanya.

 

Jadi, gimana menurut kamu? Kadang, cinta itu emang nggak mudah dan penuh drama, tapi siapa tahu di balik semua kekacauan itu, ada akhir yang manis, kan? Mungkin Kiran, Damar, dan Aysha punya cerita yang belum selesai, tapi siapa bilang hidup nggak selalu bisa diprediksi?

Siapa tahu, di antara kalian juga ada yang lagi terjebak di kisah cinta segitiga yang seru kayak gini. Jangan lupa, hidup itu kadang perlu dijalani dengan sedikit keberanian dan banyak tawa!

Leave a Reply