Cinta Segitiga di Sekolah: Cerita Romantis dan Lucu Tentang Persahabatan dan Cinta

Posted on

Gila, siapa sangka, di sekolah yang biasa aja ini, ada drama cinta segitiga yang bikin pusing kepala. Namanya Aksara, Bejana, dan Embun, tiga sahabat yang udah kayak saudara.

Tapi, masalahnya, ternyata ada perasaan yang tumbuh tanpa mereka sadari, dan tiba-tiba semuanya jadi rumit banget. Cinta, persahabatan, dan segitiga aneh yang nggak bisa dihindarin. Penasaran? Langsung aja baca deh ceritanya!

 

Cinta Segitiga di Sekolah

Rasa yang Tumbuh Diam-diam

Siang itu, aku dan Bejana duduk di kantin, seperti biasa, menunggu Embun yang selalu datang lebih lambat. Bejana sibuk dengan smartphone-nya, memeriksa update dari teman-temannya di grup kelas, sementara aku lebih memilih menatap ke luar jendela, menyaksikan kehidupan di luar yang lebih menarik daripada tugas-tugas yang menumpuk.

Sekolah kami terletak di pinggir kota, dan meskipun kadang terasa sepi, aku suka melihat orang-orang yang berlalu-lalang. Di sini, semuanya seperti punya cerita sendiri, bahkan siang yang biasa seperti ini bisa menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar kebosanan. Apalagi ketika Bejana mulai membuka mulutnya.

“Gila, ya, Aksara… Kamu tuh kayaknya udah jadi juara kelas, juara lomba, juara apapun deh. Cuma kekurangannya satu,” Bejana bilang dengan nada sarkastik, wajahnya menampilkan ekspresi serius yang terasa lucu.

Aku mengangkat alis, tidak terlalu tertarik. “Apa lagi?”

Bejana meletakkan ponselnya dan menatapku, serius. “Kamu tuh nggak sadar sama Embun.”

Aku menoleh, masih tidak mengerti maksudnya. “Hah? Maksudnya?”

“Tahu dong? Embun, yang selama ini selalu temenin kamu di sekolah. Temen deket banget. Yang pinter banget itu. Gila deh, cewek itu selalu ngikutin kamu kayak bayangan.” Bejana menyeringai, tapi aku bisa melihat ada sesuatu di balik senyuman itu. Sesuatu yang… beda.

Aku melongo. “Em… maksud kamu apa?”

Bejana mendengus, pura-pura kesal. “Ya, Aksara, kadang tuh kamu… ya gitu deh, nggak pernah ngerti kalau seseorang itu jatuh cinta sama kamu. Jangan-jangan kamu juga nggak sadar kalau Embun suka sama kamu, kan?”

Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat, dan aku mulai merasa sedikit canggung. Aku kenal Embun cukup lama, dia sahabatku, dan aku selalu menganggapnya seperti adik sendiri. Tapi apa yang Bejana katakan… itu baru pertama kali kupikirkan. Apa benar? Apa mungkin Embun punya perasaan lebih dari sekadar teman?

Aku mencoba menghilangkan pikiran itu, tapi entah kenapa, benak ini tidak bisa berhenti bertanya-tanya. Bejana bukan tipe orang yang bercanda soal hal kayak gitu. Kalau dia ngomong sesuatu, itu pasti ada alasan.

“Bun! Udah lama?” Bejana berteriak begitu Embun muncul, membawa nampan makanan dan minuman. Rambutnya yang panjang tergerai rapi, dan senyumnya—senyum yang selalu membuat hari-hari jadi terasa lebih cerah—kembali menghiasi wajahnya.

Embun hanya mengangkat bahu, sepertinya tidak terganggu dengan segala kekacauan yang kami buat. “Baru datang, nggak kok. Kebetulan aku berhenti dulu buat beli teh anget.”

Aku tersenyum padanya, lalu tanpa sadar menoleh ke Bejana yang sudah menyunggingkan senyum jahil. Bejana tahu betul kalau Embun itu memang tipe cewek yang penuh perhatian, cerdas, dan… selalu ada di sampingku, entah dalam kondisi apapun. Kami bertiga hampir selalu bersama, dan aku mulai merasakan keanehan dalam kebiasaan itu.

“Jadi, gimana ujian matematika kemarin? Sulit?” tanya Embun saat duduk di sebelahku, menggeser kursi hingga agak dekat. Wajahnya cerah, seperti biasa. Aku hampir melupakan percakapan tadi.

“Tebak aja,” jawabku, sedikit bercanda, namun ada sesuatu yang mengganjal. Aku merasakan pandangannya lebih intens dari biasanya. Entah kenapa, aku merasa sedikit… canggung.

“Ah, pasti gampang buat kamu,” Embun menjawab ringan, meskipun sepertinya ada sedikit kekhawatiran di matanya. “Kamu kan selalu ngerti semua soal.”

Aku mengangkat bahu. “Kadang, ya. Cuma kalau soal yang terlalu rumit, ya… masih ada waktu buat belajar lagi.”

Bejana melirik kami, senyumannya semakin lebar. “Aksara tuh emang jenius, Bun. Tapi nggak masalah, kamu juga pintar. Kalian berdua cocok banget, deh. Kayak dua orang yang saling melengkapi.”

Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa bisa ditahan. Satu kalimat, yang langsung membuat suasana menjadi lebih panas dari biasanya. Aku menoleh ke Bejana, merasa sedikit bingung. Dia ngomong apa? Mencocokkan kami? Sejak kapan Bejana mulai bercanda soal hal semacam ini? Aku sempat melirik Embun, dan ekspresinya… kosong. Sepertinya dia sama sekali tidak siap dengan percakapan ini. Matanya… berusaha menahan sesuatu.

Aku merasa seperti ada beban di udara. Bejana sepertinya tidak peduli sama sekali, malah terus bercanda seperti biasanya. “Eh, kalian kalau udah jadian, jangan lupa traktir aku makan, ya,” katanya, tersenyum lebar. Embun hanya tersenyum tipis, lalu menggigit bibir bawahnya, seolah menyembunyikan perasaan.

Tapi aku, entah kenapa, merasa ada sesuatu yang tidak beres di dalam diriku. Sesuatu yang tidak bisa kutangguhkan lebih lama. Dan saat Bejana melanjutkan candaannya, aku menatap Embun dengan tatapan yang tak bisa kuhindari. Itu adalah tatapan penuh pertanyaan—apakah ini benar?

 

Pengakuan yang Mengguncang

Keesokan harinya, aku duduk sendiri di bangku belakang kelas. Bejana duduk dengan teman-temannya, seperti biasa, sementara Embun memilih untuk duduk di dekat jendela, melihat ke luar dengan ekspresi yang tampak jauh. Aku merasa ada jarak yang tak bisa dijelaskan antara kami. Bahkan ketika Embun sering melirik ke arahku, aku merasa seperti ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang tak terucapkan. Dan itu mulai mengganggu pikiranku.

Bel tanda pelajaran berbunyi, dan aku melangkah menuju lorong sekolah untuk menuju ke kantin. Bejana menyusul, matanya sedikit berbinar. “Jadi, gimana? Sudah siap dengan ujian sejarah nanti?” tanyanya, tetapi aku bisa merasakan ketegangan di bawah pertanyaannya. Sepertinya Bejana tahu bahwa ada yang tidak beres, dan dia ingin memecahkannya.

Aku hanya mengangguk sambil terus berjalan, mencoba menghindari pandangan Bejana yang terus menyorotiku. Tapi Bejana selalu pintar membaca suasana. “Kamu tahu, kan… aku nggak bodoh, Aksara,” katanya sambil berjalan di sampingku. “Aku tahu apa yang terjadi antara kamu dan Embun.”

Aku menghentikan langkah sejenak. “Apa maksudmu?”

Bejana berhenti juga, memiringkan kepalanya, matanya penuh arti. “Kamu tahu, kan, kalau dia punya perasaan lebih ke kamu?” Bejana tak memberi kesempatan untukku menjawab. “Aku tahu itu karena aku kenal kalian berdua. Sudah lama banget, Aksara. Dan kalau kamu nggak lihat itu sekarang, ya… kamu buta.”

Aku hanya diam. Bingung, cemas, dan sedikit takut. Embun? Dia memang sahabatku, dia selalu ada untukku, tapi apakah dia benar-benar…? Aku nggak tahu harus bagaimana. Sejujurnya, aku lebih nyaman dengan persahabatan yang ada, tidak ingin merusaknya dengan perasaan yang tak jelas. Namun, jika ini benar, apa yang harus aku lakukan?

Kami sampai di kantin, dan aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. “Udah deh, Bejana. Nggak usah terlalu dipikirin.” Aku mengangkat tangan, memberi isyarat agar Bejana berhenti bertanya.

Namun, Bejana justru tersenyum lebar. “Emangnya kamu nggak sadar, Aksara? Dia suka banget sama kamu. Coba aja perhatiin dia lebih dekat.” Bejana mendekatkan wajahnya padaku, berbisik pelan. “Tapi jangan harap aku bakal bisa jadi penengah di antara kalian, ya.”

Aku hanya menggelengkan kepala, seolah ingin melupakan semua kata-kata Bejana. Tentu saja aku tak bisa melupakan begitu saja, karena dalam beberapa hari terakhir, aku merasa ada yang aneh. Embun semakin sering terlihat cemas dan menghindari kontak mata. Rasanya, aku bukan hanya teman biasa buat dia lagi, tapi lebih dari itu—lebih dari sekadar sahabat. Aku bahkan merasa sedikit bersalah karena tak pernah menyadari hal itu sebelumnya.

Ketika aku dan Bejana duduk, Embun datang dan duduk di antara kami. Tiba-tiba suasana menjadi canggung. Embun tidak terlalu banyak bicara, hanya tersenyum tipis dan mengaduk-aduk makanannya, seolah menunggu sesuatu. Bejana memulai pembicaraan dengan nada yang terlalu ceria, ingin mengusir suasana yang aneh di meja kami. “Jadi, gimana, Embun? Ada rencana apa setelah ujian nanti?”

Embun tersenyum, tapi aku bisa merasakan ada kesedihan di balik senyumnya. “Nggak tahu deh, kayaknya bakal cuma tidur aja,” jawabnya ringan. Tapi dari mata Embun, aku bisa melihat kalau itu bukan jawabannya yang sebenarnya.

Bejana tidak bisa diam begitu saja, dia menatap Embun dengan penuh perhatian. “Embun, kamu oke-oke aja?” tanya Bejana, sepertinya dia sudah mulai merasa ada yang tak beres.

Aku ikut menatap Embun, dan dia akhirnya menatapku. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Perasaan canggung itu semakin terasa. Embun menghela napas panjang sebelum akhirnya mengucapkan sesuatu yang begitu sederhana, namun membuat hatiku terhenti sejenak.

“Aksara… ada sesuatu yang ingin aku bilang,” katanya pelan, suaranya hampir tidak terdengar di tengah keramaian kantin.

Aku terdiam, merasa semuanya semakin berat. Bejana pun merasakan keheningan itu, dan dia berusaha memberikan ruang dengan mengalihkan pandangan ke tempat lain. Semua yang ada di sekitarku seolah berhenti bergerak, hanya ada Embun dan aku. Perasaan aneh itu semakin menguat.

“Apa itu, Embun?” tanyaku, berusaha untuk tidak terlihat gugup, meskipun nyatanya hatiku berdebar.

Embun menunduk, kemudian mengangkat wajahnya dan menatapku dengan penuh keyakinan. “Aku… aku suka sama kamu, Aksara.” Kata-katanya sederhana, namun menggetarkan. “Aku sudah lama ngerasain ini, tapi aku nggak tahu harus gimana. Aku takut ini bakal merusak semuanya.”

Keheningan menghampiri kami. Jujur, aku nggak tahu harus merespons bagaimana. Semua yang aku pikirkan tadi, semuanya terasa seperti ledakan yang datang begitu saja. Aku selalu menganggap Embun sebagai sahabat, dan kini dia mengungkapkan perasaannya—sebuah pengakuan yang begitu besar dan jujur.

Bejana yang duduk di sebelah kami hanya diam, menunggu jawaban, atau mungkin mencoba mencari tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Aku terdiam. Keinginan untuk menjawab sesuatu yang melegakan atau setidaknya memberi kejelasan terasa sangat sulit. Sebuah pengakuan yang datang begitu tiba-tiba, dan aku masih terjebak antara perasaan yang tidak pernah aku pertanyakan sebelumnya. Tapi dalam satu hal aku yakin—persahabatan kami yang begitu lama pasti akan teruji oleh perasaan ini.

“Em… Embun,” aku mulai berbicara, tapi kata-kata itu seakan tersangkut di tenggorokan. Aku menghela napas, berusaha untuk tidak terlihat terlalu canggung. “Aku nggak tahu harus bilang apa… Tapi aku nggak ingin ini merusak kita, kita udah temenan terlalu lama.”

Embun hanya mengangguk pelan, seolah tahu apa yang akan aku katakan selanjutnya. Dia menarik napas dalam-dalam, dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia hanya menunduk. Sepertinya dia sudah tahu, jawaban yang tidak bisa aku berikan saat itu.

Dan aku tahu, kami bertiga—aku, Bejana, dan Embun—akan menghadapi banyak hal setelah ini. Sesuatu yang pasti mengubah arah perjalanan persahabatan kami. Namun, apakah aku siap untuk itu?

 

Ketegangan yang Terlalu Dalam

Hari-hari setelah pengakuan Embun terasa seperti melewati badai tanpa bisa melihat ke depan. Semuanya terasa kabur, penuh kebingungannya sendiri. Aku bahkan mulai merasakan perbedaan dalam setiap langkahku, seolah setiap keputusan yang aku buat bisa mengubah semuanya. Apalagi dengan Bejana yang terus mengamatiku, hampir selalu menunggu reaksi apa pun dari aku setelah kejadian kemarin. Sementara itu, Embun—dengan caranya yang lebih diam dan menyendiri—justru semakin sulit untuk dihadapi.

Aku berada di kantin bersama Bejana, tetapi pikiran aku melayang jauh. Bejana menyadari perubahan sikapku, dia selalu tahu kapan aku sedang tidak fokus. “Aksara, kenapa kamu nggak bilang ke Embun kalau kamu nggak ngerasa hal yang sama?” Bejana bertanya dengan nada yang lebih hati-hati, seolah dia takut jika kata-katanya malah memperburuk keadaan.

Aku menggaruk tengkuk, bingung bagaimana menjelaskan perasaan yang seolah sudah menumpuk sejak lama. “Aku nggak tahu, Bejana. Aku nggak mau bikin dia merasa lebih buruk, apalagi setelah dia ngomong kayak gitu kemarin.”

Bejana hanya menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi. “Jadi kamu pilih diam aja? Gitu?”

Aku menatap Bejana, merasa seperti ada banyak hal yang belum aku jawab dengan benar. “Mungkin aku cuma butuh waktu, Bejana. Itu… itu nggak gampang buat aku.”

Bejana melipat tangan di depan dada, tatapannya serius. “Aku ngerti kok, Aksara. Tapi kamu nggak bisa sembunyi dari perasaan kamu. Soal Embun, soal kamu. Kalau kamu nggak bilang sesuatu, dia bakal terus berharap, dan kamu bakal terus merasa canggung. Itu cuma bikin semuanya makin rumit.”

Aku terdiam sejenak. Kata-kata Bejana masuk ke dalam benakku. Apa yang harus aku lakukan? Aku tahu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan dengan Embun. Tapi, aku juga nggak bisa mengabaikan apa yang sudah kami bangun selama ini. Aku nggak bisa merusak semuanya begitu saja hanya karena perasaan yang muncul secara tiba-tiba.

Setelah istirahat selesai, aku kembali ke kelas, melangkah dengan langkah yang lebih berat daripada biasanya. Namun, saat aku membuka pintu, aku melihat Embun sudah duduk di kursi sebelah mejaku. Hanya ada kami berdua yang tersisa di kelas saat itu. Semua orang sudah keluar, menikmati waktu istirahat mereka.

“Aksara…” Suara Embun terdengar pelan, penuh harapan dan kebingungannya sendiri. “Aku ingin ngomong sesuatu.”

Aku merasa dadaku terasa sesak, seolah sesuatu yang besar akan terjadi. Embun menatapku dengan tatapan yang sangat intens, seolah ingin membaca pikiranku. “Aku tahu kalau aku udah bikin kamu canggung, dan aku nggak mau itu terjadi. Tapi aku nggak bisa nyembunyiin perasaan ini, Aksara. Aku suka sama kamu. Aku cuma… aku cuma pengen kamu tahu itu.”

Aku menghela napas panjang. Rasanya perasaan yang sejak semalam tertahan akhirnya keluar juga, menyesakkan dada. Tapi aku nggak bisa menjawab dengan kata-kata yang mudah. Sebuah pengakuan begitu besar tak bisa dijawab dengan mudah, apalagi dari seorang sahabat yang telah lama ada dalam hidupku. “Embun, aku nggak bisa ngomong apa-apa sekarang,” jawabku dengan suara pelan. “Aku butuh waktu buat mikir, buat ngerti apa yang sebenarnya aku rasain juga.”

Embun mengangguk, wajahnya agak sedih. Tapi aku bisa melihat dia berusaha untuk tetap kuat, seolah tidak ingin membebani aku lebih jauh. “Aku ngerti. Aku cuma nggak mau kamu bingung terus,” katanya, matanya mulai berkaca-kaca, namun dia menahan diri. “Aku akan tunggu sampai kamu siap. Kalau nggak ada apa-apa, ya udah. Tapi kalau kamu merasa hal yang sama, aku akan senang banget.”

Aku merasa seperti ada beban yang begitu berat menempel di pundakku. Aku ingin mengatakan sesuatu yang lebih, tapi kata-kata itu nggak datang. Semua perasaan yang berputar dalam pikiranku hanya bisa membungkamku. Dan Embun? Dia sudah melakukan segalanya dengan hati-hati, dengan rasa percaya diri yang membuatku merasa lebih cemas.

Sebelum aku bisa mengatakan apa pun lagi, Embun berdiri dan berjalan ke pintu. “Aku… aku pergi dulu, ya. Semoga kamu bisa nemuin jawabanmu.” Dia tersenyum sedikit, meskipun ada keraguan yang jelas terpancar di wajahnya. “Take care, Aksara.”

Aku hanya bisa menatap Embun pergi, dengan segala perasaan yang entah kenapa mulai semakin rumit. Aku nggak pernah mengira bahwa sesuatu yang semula sederhana—hanya persahabatan—bisa berkembang jadi sebuah perasaan yang lebih kompleks dan membingungkan seperti ini.

Setelah Embun keluar, aku duduk di kursi, merenung. Suasana kelas yang sepi semakin menambah kesunyian dalam diriku. Begitu banyak hal yang belum aku pahami tentang perasaan ini, tentang Embun, tentang apa yang sebenarnya aku rasakan. Dan di satu sisi, aku juga takut. Takut kehilangan apa yang sudah aku miliki. Takut kehilangan sahabat yang sudah lama aku kenal, yang sudah membuat hidupku berwarna.

Tapi, ada satu hal yang aku yakin: aku harus segera membuat keputusan. Karena semakin lama aku menunda, semakin berat rasanya. Tapi, apa keputusan itu? Apakah aku siap untuk merubah segalanya, untuk mengubah persahabatan ini menjadi sesuatu yang lebih? Atau, apakah aku cukup berani untuk menghentikan semuanya agar tak ada yang terluka?

Dan dalam ketidakpastian ini, satu hal yang jelas: aku nggak bisa terus menghindar.

 

Keputusan yang Mengubah Semuanya

Hari itu terasa berbeda. Seperti ada semacam energi yang mengalir di udara, membuat setiap langkahku terasa lebih berat. Aku bisa merasakan tatapan teman-teman di sekitarku, bahkan suara-suara bisik yang terdengar di sela-sela obrolan mereka. Tapi, aku memilih untuk tetap diam. Semua terasa semakin membingungkan, seperti berlari tanpa tahu arah tujuan. Tapi kini, aku tahu satu hal pasti: aku nggak bisa lari dari kenyataan lagi.

Bejana sudah tahu sejak tadi pagi kalau aku masih belum mengambil keputusan apapun, dan dia cuma bisa ngelihatku dengan tatapan penuh kesabaran. Kami sedang duduk di taman sekolah, di bawah pohon yang selalu jadi tempat kami ngobrol sejak dulu. Bejana tahu betul kalau aku butuh waktu, dan dia nggak pernah terburu-buru dalam hal ini. Tapi aku bisa melihat dia cemas, ada kekhawatiran di matanya yang sulit disembunyikan.

“Udah siap, Aksara?” Bejana bertanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam angin sore yang sejuk. Dia menatapku, menunggu jawaban yang seharusnya sudah aku temukan sejak lama.

Aku menghela napas panjang, menatap ke arah langit yang mulai meredup. “Aku nggak yakin siap, Bejana. Tapi… aku nggak bisa terus berlarut-larut. Aku harus bicara sama Embun.”

Bejana hanya mengangguk, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan cara yang sangat santai, meskipun aku tahu dia sangat memperhatikanku. “Kalau kamu udah siap, nggak ada yang bisa nahan keputusan kamu, Aksara. Semua bisa berubah kalau kamu bilang apa yang kamu rasain, cuma… jangan ragu.”

Aku terdiam. Ragu memang sudah menjadi bagian dari diriku yang paling menonjol. Aku takut. Takut kalau aku salah membuat keputusan. Takut kalau semuanya akan hancur begitu saja. Tapi, kalau aku terus menunda, bukankah itu sama dengan menyia-nyiakan kesempatan yang ada?

Setelah beberapa saat, aku akhirnya berdiri. “Aku harus pergi ke ruang kelas. Aku harus ngomong sama Embun. Semua harus selesai hari ini.”

Bejana tersenyum sedikit, mengangguk. “Aku tahu kamu bisa, Aksara. Lakukan apa yang kamu rasa benar.”

Aku berjalan ke kelas dengan langkah yang tak sekuat biasanya. Tangan terasa dingin, tapi aku mencoba untuk tetap tenang. Setiap langkah terasa seperti ada beban berat di pundakku, dan jantungku berdetak lebih kencang. Ketika aku sampai di depan kelas, aku melihat Embun sedang duduk di tempat biasa, sendirian. Dia menatap ke luar jendela, dan seolah tidak ada yang mengganggu dia.

Aku ragu sejenak, memikirkan apa yang akan aku katakan. Tapi saat mataku bertemu dengan matanya, aku tahu ini adalah momen yang harus aku hadapi. Aku berjalan mendekat, dan Embun menoleh dengan senyum tipis di wajahnya. Seperti biasa, dia terlihat tenang. Tapi aku tahu, jauh di dalam hatinya, ada harapan yang tersimpan.

“Aksara…” kata Embun pelan, seolah sudah menunggu. “Kamu datang untuk ngomong sesuatu, kan?”

Aku menarik napas dalam-dalam, dan duduk di kursi di sampingnya. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi rasanya ini adalah momen yang tidak bisa ditunda lagi. “Embun…” suaraku sedikit serak. “Aku nggak pernah nyangka kita akan ada di titik ini, di titik yang harus memilih. Kita udah berteman lama banget, dan aku nggak mau merusak itu. Tapi, aku juga nggak bisa menutup mata dari apa yang aku rasain sekarang. Aku… aku suka sama kamu.”

Embun terdiam sejenak, dan aku bisa melihat kilatan kejutan di matanya. “Kamu… suka sama aku?” Dia mengulangi kata-kataku dengan suara bergetar.

Aku mengangguk, sedikit canggung. “Iya, tapi… aku juga nggak mau bikin semuanya jadi lebih rumit. Aku nggak mau kita jadi saling merasa canggung atau malah merusak hubungan kita yang udah lama ini. Aku… aku nggak tahu, Embun. Ini baru pertama kali aku ngerasa kayak gini sama kamu.”

Embun menatapku lama, seolah mencerna kata-kataku. Beberapa detik berlalu, dan akhirnya, dia tersenyum. Senyuman yang berbeda. Senyuman yang penuh pengertian dan kebahagiaan yang jelas. “Aku udah nungguin ini, Aksara. Aku juga ngerasa hal yang sama.”

Aku merasa ada beban yang menghilang begitu saja dari pundakku. Semuanya terasa lebih ringan, lebih jelas. Kami saling memandang, dan seolah dunia di sekitar kami berhenti berputar sejenak. Tak ada kata-kata yang lebih bisa mewakili perasaan kami selain senyuman itu. Tak ada kebingungan lagi, tak ada keraguan yang menghalangi.

Kami berdua tertawa kecil, menatap satu sama lain dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Bejana yang tiba-tiba muncul di belakangku hanya mengangguk sambil tersenyum. “Akhirnya, kalian berdua ngomong juga. Aku udah nungguin ini, loh.”

Aku menoleh dan tertawa. “Iya, Bejana. Terima kasih udah jadi sahabat yang selalu ada.”

Embun menyenderkan kepalanya di bahuku, dan aku merasa seperti segala ketegangan yang ada dalam diri kami telah larut dalam kebersamaan yang sederhana ini. Kami berdua tahu, ini bukan akhir dari segalanya. Tapi ini adalah awal dari sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih indah dan penuh harapan.

“Selamat ya, Aksara,” Bejana berteriak dari belakang, membuat kami berdua tersenyum lebih lebar lagi. “Kalian layak bahagia.”

Aku menatap Embun yang kini ada di sampingku, dan tanpa kata-kata lagi, aku tahu satu hal: segala kebingunganku hari itu telah berubah menjadi sesuatu yang lebih indah. Mungkin perasaan yang dulu terasa asing kini akhirnya menemukan tempatnya.

Dan dengan itu, bab ini berakhir. Sebuah kisah persahabatan yang akhirnya berubah menjadi cinta. Sebuah perjalanan yang penuh dengan ketegangan, kebingungannya, dan akhirnya—harapan yang baru.

 

Jadi, gimana menurut kamu? Kadang, hidup emang penuh kejutan, kan? Cinta dan persahabatan bisa saling bertabrakan, tapi yang penting tetap jujur sama perasaan. Semoga ceritanya bisa bikin kamu senyum-senyum sendiri, dan siapa tahu, ada yang bisa dipelajari dari kisah Aksara, Bejana, dan Embun. Sampai ketemu di cerita berikutnya, ya!

Leave a Reply