Cerpen Cinta Segitiga di Sekolah: Kisah Rumit Antara Persahabatan dan Perasaan Terpendam

Posted on

Siap-siap deh, kali ini ceritanya tentang cinta segitiga yang bikin baper abis! Bayangin aja, satu kelas, tiga hati, dan perasaan yang serba rumit kayak benang kusut. Di satu sisi ada persahabatan, tapi di sisi lain ada cinta yang nggak bisa terus disembunyiin.

Jadi, gimana jadinya kalau akhirnya perasaan itu mulai terungkap satu per satu? Ini kisah tentang siapa yang bakal milih siapa, siapa yang harus mengalah, dan… siapa yang bakal sakit hati. Udah siap buat ikutan pusing bareng mereka?

 

Cerpen Cinta Segitiga di Sekolah

Tersesat di Antara Dua Pilihan

Siang itu, kelas 2-B terasa lebih hening dari biasanya. Meskipun ramai dengan percakapan teman-teman yang mulai bosan menunggu jam pelajaran berakhir, ada satu sudut yang tetap sunyi. Alvaro duduk di bangkunya, memandangi buku catatan di depannya tanpa benar-benar membaca. Pikirannya melayang-layang, terpecah antara dua nama yang terus mengusik hatinya: Finley dan Arianna.

Di dekatnya, Finley, gadis dengan senyum tipis dan mata tenang, sedang sibuk mencoret-coret buku sketsa yang dibawanya ke mana-mana. Rambut panjangnya yang tergerai sesekali jatuh menutupi wajahnya, tetapi dia terus asyik dengan dunianya sendiri. Alvaro memperhatikannya dari jauh, sesekali menatap sosok Finley dengan ragu. Gadis itu memiliki cara bicara yang tidak banyak kata, tapi selalu bisa membuatnya berpikir.

Namun di sisi lain, Arianna tampak berbeda—cerah, terbuka, dan selalu penuh tawa. Saat ini dia sedang bercanda dengan teman-teman sekelasnya, suaranya terdengar renyah, membuat semua orang ikut tertawa. Aura Arianna selalu terasa seperti sinar matahari yang menembus kabut pagi; sulit diabaikan, sulit juga untuk tidak merasa tertarik padanya. Setiap kali Alvaro melihat Arianna, ada rasa nyaman yang muncul, seperti disambut hangat ke dalam dunia yang penuh warna.

Jam pelajaran hampir selesai saat Arianna tiba-tiba mendekati Alvaro, duduk di bangku di depannya dan menyapanya dengan senyum cerah. “Hei, kamu kenapa sih hari ini? Murung aja.”

Alvaro terkekeh, meski sedikit canggung. “Nggak kok, aku cuma mikir aja.”

Arianna menatapnya penuh perhatian, seolah dia ingin membaca pikiran Alvaro. “Jangan terlalu mikir berat-berat. Bentar lagi weekend, kan? Kamu nggak ada rencana buat refreshing, gitu?”

Sebelum Alvaro sempat menjawab, Finley tiba-tiba berdiri dari bangkunya, berjalan mendekati mereka dengan langkah pelan. “Al, aku mau ngajak kamu nonton festival musik minggu ini,” ucapnya pelan, tapi ada nada harap dalam suaranya.

Arianna terdiam sejenak, namun segera memasang senyum seolah tidak terganggu. “Oh, festival musik ya? Seru juga tuh, aku dengar bakal ada banyak penampilan bagus di sana.”

Finley melirik Arianna sekilas, lalu kembali menatap Alvaro. “Ya, aku pikir kamu suka musik, jadi…” suaranya mulai melemah, seolah ragu melanjutkan kalimatnya.

Alvaro mengangguk pelan, merasa dadanya semakin sesak. Kedua gadis ini sekarang menatapnya, masing-masing dengan harapan yang berbeda, tapi keduanya membuatnya sulit berpaling. “Iya, sounds good. Aku suka kok… musik.”

Finley tersenyum tipis, tetapi tak lama dia segera berpaling, kembali ke bangkunya tanpa banyak bicara lagi. Melihat Finley berjalan pergi, Arianna mendekatkan diri ke Alvaro dengan sedikit bisikan, “Jadi kamu pergi sama dia?”

Alvaro menghela napas panjang, bingung harus menjawab apa. “Mungkin… aku nggak tahu, Ari. Finley kan juga teman kita.”

Arianna menatapnya dengan sorot mata yang lebih dalam dari biasanya. “Iya, teman… cuma teman, kan?” ada nada tak terduga dalam suaranya, seolah dia menyimpan harapan lebih dari sekadar hubungan pertemanan.

Mendengar kalimat itu, Alvaro merasa dadanya semakin berat. Dia tahu betul perasaan Arianna dan Finley tidak hanya sebatas teman. Dia juga merasakan hal yang sama, tapi dengan cara yang berbeda pada keduanya. Finley memberinya rasa tenang yang sulit ditemukan di orang lain, sedangkan Arianna selalu mampu membuatnya tertawa, memberi kehidupan yang penuh warna.

Hari itu berakhir tanpa banyak percakapan lagi di antara mereka, tapi di hati Alvaro, kedua nama itu terus berputar—Finley dan Arianna. Setelah bel pulang berbunyi, Arianna mengajaknya mampir ke kedai kopi dekat sekolah. Tanpa pikir panjang, Alvaro mengangguk, menerima ajakan itu meski kepalanya masih penuh kebingungan.

Di kedai, mereka memilih tempat duduk di pojok ruangan yang sepi. Udara dingin dari pendingin ruangan terasa menyegarkan, sedikit mengusir rasa gerah di kepala Alvaro. Sambil menyesap kopi yang hangat, Arianna tiba-tiba membuka percakapan yang membuat suasana berubah.

“Al, aku mau nanya sesuatu…” Arianna memulai, suaranya pelan, tapi terdengar mantap.

Alvaro menatapnya, sedikit terkejut. “Nanya apa?”

Arianna tersenyum kecil, namun matanya menatap dalam ke arah Alvaro. “Menurut kamu, kita ini sebenarnya apa, ya?”

Pertanyaan itu seolah menghentikan waktu. Alvaro terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia menyesap kopinya perlahan, berusaha mengulur waktu untuk memikirkan jawaban yang tepat. “Maksud kamu… kita ini apa?”

Arianna tersenyum tipis, seolah sedikit kecewa dengan jawaban Alvaro yang menghindar. “Ya, aku cuma mau tahu, kamu pernah mikirin nggak, tentang aku? Maksudnya… lebih dari teman.”

Kata-kata itu akhirnya terucap. Alvaro merasa dadanya sesak mendengar langsung apa yang selama ini hanya tersirat. Dia tahu bahwa Arianna memiliki perasaan lebih kepadanya, tapi mendengar itu secara langsung membuatnya merasa lebih bingung. Ada perasaan senang, tapi juga perasaan bersalah.

“Jujur, Ari… aku bingung,” jawabnya jujur, menatap kopi di cangkirnya tanpa berani menatap Arianna.

Arianna menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. “Kamu bingung sama Finley, kan?”

Alvaro tidak menjawab, tapi diamnya sudah cukup sebagai jawaban. Arianna tersenyum pahit, lalu menyandarkan punggungnya di kursi. “Aku bisa lihat kok, kalau kamu juga punya perasaan buat dia. Tapi aku berharap… kamu juga ada sedikit perasaan buat aku.”

Alvaro merasa sulit bernapas. Ada rasa bersalah yang merayap di hatinya. Dia tidak ingin menyakiti perasaan Arianna, tapi dia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya yang mulai tumbuh untuk Finley. Terjebak di antara dua hati yang sama-sama berharga, Alvaro hanya bisa menunduk, merasa tak berdaya.

Arianna menatapnya sekali lagi, kali ini dengan senyum yang lebih lembut. “Aku nggak maksa, kok, Al. Aku cuma pengen jujur. Aku… ya, aku suka kamu, Alvaro.”

Alvaro terdiam lama, membiarkan perasaan itu mengisi ruang antara mereka. Sementara Arianna berusaha mengukir senyumnya, dalam hati Alvaro tahu bahwa situasi ini akan semakin rumit. Perasaan Arianna yang sudah terbuka, perasaannya sendiri yang bercabang, dan ketidaktahuan bagaimana menyampaikan semua itu kepada Finley. Dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, hari-hari berikutnya di kelas 2-B tidak akan pernah sama lagi.

 

Cinta di Tengah Kelas yang Sunyi

Pagi itu, suasana kelas terasa berbeda. Finley duduk sendirian di bangkunya, menatap ke luar jendela sambil menggambar sketsa-sketsa tanpa tujuan yang jelas di buku catatannya. Biasanya, dia akan segera menyapa Alvaro ketika masuk kelas, mengobrol soal hal-hal kecil yang mereka sukai bersama. Namun, kali ini Finley hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam cara Alvaro menatapnya kemarin, seperti ada jarak yang mulai terbentuk di antara mereka.

Alvaro masuk ke kelas dengan kepala tertunduk, terlihat lebih lesu dari biasanya. Begitu melihat Finley, dia langsung merasa bersalah, seolah-olah perasaan yang dia sembunyikan di dalam hatinya mulai menjeratnya dari berbagai sisi. Baru saja dia akan mendekati Finley untuk menyapanya, Arianna tiba-tiba datang dan duduk di samping Finley dengan senyum lebar.

“Hai, Finley!” Arianna menyapa dengan ceria, sedikit mengagetkan Finley dari lamunannya.

Finley tersenyum kecil, tetapi tidak sepenuhnya mengangkat wajahnya. “Hai, Ari.”

Alvaro berhenti di tempatnya, mengurungkan niat untuk mendekati mereka. Ia merasa canggung, seolah menjadi orang asing di antara mereka berdua. Melihat Arianna dan Finley berbicara, ada rasa bersalah yang semakin menghimpit. Dia tahu Arianna telah menyatakan perasaannya, namun dia juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa hatinya berdebar setiap kali melihat Finley.

Tanpa disadari, Alvaro duduk di bangkunya dengan mata tetap tertuju pada mereka berdua. Percakapan antara Arianna dan Finley begitu akrab, seperti tidak ada yang salah di antara mereka. Alvaro menghela napas dalam-dalam. Bagaimana pun, mereka adalah sahabatnya, dan ia tidak ingin membuat semuanya berantakan hanya karena perasaannya yang kacau.

Saat jam istirahat tiba, Alvaro merasa berusaha untuk mengendalikan diri, mencoba untuk tidak menunjukkan kebingungan yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia ingin mengajak Finley bicara, tetapi sepertinya ada sesuatu yang menghalangi langkahnya. Di tengah kebimbangannya, tiba-tiba Finley menghampirinya.

“Alvaro, kamu punya waktu sebentar?” Finley bertanya, suaranya terdengar pelan namun tegas.

Alvaro menelan ludah. “Tentu, ada apa?”

Mereka berdua menuju ke taman belakang sekolah, tempat yang biasanya mereka datangi untuk menghindari keramaian. Sepanjang perjalanan, Alvaro merasakan ada yang berbeda dalam sikap Finley. Gadis itu tampak lebih serius dari biasanya, seolah-olah sedang menyimpan sesuatu yang penting.

Sesampainya di taman, Finley mengambil napas panjang, kemudian menatap Alvaro dengan sorot mata yang sulit dibaca. “Aku… aku ingin jujur sama kamu, Al.”

Jantung Alvaro berdegup kencang, khawatir akan apa yang akan diungkapkan Finley. “Kamu… kamu kenapa, Fin?”

Finley menghela napas lagi, lalu mulai berbicara dengan nada yang penuh ketulusan. “Al, aku nggak tahu gimana harus bilang ini, tapi… belakangan ini aku merasa, kita jadi agak… jauh, ya?”

Alvaro terdiam, bingung bagaimana harus menjawabnya. Dia tidak ingin menyakiti perasaan Finley, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan kebenaran dari kata-kata Finley. Memang ada jarak di antara mereka, dan itu semua dimulai sejak ia mulai menyadari perasaan Arianna.

Finley menunduk, menatap tanah di bawahnya. “Aku tahu, mungkin ini cuma perasaan aku aja. Tapi, aku nggak bisa bohong, Al… aku merasa ada sesuatu yang beda. Kamu bisa jujur kok sama aku.”

Alvaro merasakan tenggorokannya kering. Ini adalah momen di mana dia seharusnya berkata jujur, mengungkapkan semua perasaannya yang terpendam. Tapi setiap kali ia mencoba membuka mulut, kata-kata seakan tersangkut di tenggorokannya.

“Aku… aku bingung, Fin. Jujur, aku juga ngerasain hal yang sama,” jawab Alvaro akhirnya, suaranya terdengar pelan.

Finley mengangguk pelan, seolah sudah menduga jawabannya. “Aku mengerti, Al. Tapi aku harap, apapun yang kamu rasakan… kita masih bisa berteman. Aku… aku nggak mau kehilangan kamu,” ucapnya lirih, nyaris berbisik.

Alvaro menatapnya dengan perasaan bersalah yang semakin mendalam. Kata-kata Finley membuat hatinya semakin berat, dan dia merasa semakin sulit untuk menyembunyikan perasaannya yang terpendam. Tapi dia hanya bisa mengangguk, mencoba memberikan senyuman yang menenangkan.

“Aku juga, Fin. Aku nggak mau kita jadi jauh.”

Finley tersenyum kecil, tapi ada kesedihan yang terpancar dari matanya. “Terima kasih, Al.”

Mereka berdua terdiam untuk beberapa saat, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka. Alvaro ingin mengatakan lebih banyak, ingin menjelaskan segala sesuatu yang ada di dalam hatinya, tapi dia merasa takut—takut kalau semua itu akan membuat keadaan semakin rumit.

Keesokan harinya, situasi di kelas tetap terasa canggung. Alvaro merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang tipis, mencoba menyeimbangkan perasaannya tanpa menyakiti siapa pun. Di satu sisi, ada Arianna yang telah berterus terang tentang perasaannya, sementara di sisi lain ada Finley yang terus memandangnya dengan tatapan yang penuh pertanyaan.

Arianna datang menghampirinya ketika istirahat, wajahnya cerah seperti biasanya. “Hei, Al. Besok malam ada acara di kafe dekat sekolah. Kamu mau ikut, nggak?”

Alvaro terdiam, memikirkan apakah ia harus menerima ajakan itu atau tidak. Jika ia pergi bersama Arianna, dia khawatir akan membuat Finley semakin merasa jauh. Tapi, di sisi lain, ia tidak ingin mengecewakan Arianna yang sudah jujur dengan perasaannya.

“Aku… aku nggak tahu, Ari. Mungkin…” Alvaro berusaha mencari kata-kata yang tepat, tetapi di dalam hatinya dia tahu bahwa jawaban apa pun yang ia berikan akan tetap menyulitkan.

Namun sebelum dia bisa menjawab, Arianna menggenggam tangannya, membuat Alvaro terkejut. “Al, aku harap kamu tahu kalau aku tulus sama kamu. Aku suka kamu, dan aku pengen kamu juga merasa nyaman sama aku.”

Alvaro merasakan jantungnya berdebar kencang. Perasaan Arianna begitu tulus, dan dia merasa semakin terjebak dalam perasaan yang bercabang ini. Tapi dia hanya bisa menunduk, tidak berani menatap mata Arianna. “Ari… aku nggak tahu harus bilang apa.”

Arianna tersenyum kecil, seolah memahami kebingungan Alvaro. “Nggak apa-apa, Al. Aku cuma pengen kamu tahu kalau aku di sini. Kapanpun kamu butuh teman, aku ada.”

Tanpa sengaja, Finley yang baru saja masuk ke kelas melihat mereka dari jauh. Mata Finley menatap tangan Arianna yang menggenggam tangan Alvaro, dan tanpa sepatah kata, ia segera berbalik, meninggalkan kelas dengan wajah yang terlihat semakin muram.

Alvaro melihat ke arah pintu kelas yang kosong, menyadari apa yang telah terjadi. Dia tahu bahwa perasaan Finley pasti terluka, dan dia merasa semakin bingung tentang apa yang harus ia lakukan. Di tengah keheningan itu, Alvaro menyadari satu hal: cinta memang tidak pernah mudah. Dan di kelas yang sunyi ini, perasaan yang tak terungkap mulai berputar dan mempermainkan hati mereka bertiga.

 

Jejak Langkah yang Tak Terlihat

Hari demi hari berlalu dengan semakin banyak pertanyaan yang tak terjawab. Finley berusaha menjaga jarak dari Alvaro, sementara Arianna tampak semakin berani menunjukkan perasaannya. Alvaro pun merasa seperti berjalan di atas bara, setiap langkah yang ia ambil terasa salah dan menyakitkan bagi dirinya sendiri. Setiap tatapan Finley yang penuh rahasia dan setiap senyum Arianna yang tulus membuat hatinya terpecah.

Pada suatu sore yang hangat, Alvaro dan Arianna berjalan bersama di koridor sekolah yang mulai sepi. Tiba-tiba Arianna menghentikan langkahnya, menatap Alvaro dengan senyum yang lembut.

“Aku senang kita bisa sering ngobrol kayak gini, Al,” ujar Arianna. “Sejak aku mulai jujur sama kamu, rasanya jadi lebih tenang.”

Alvaro tersenyum kecil, meskipun ada perasaan bersalah yang menyelinap dalam hatinya. Ia tahu Arianna berharap lebih dari sekadar pertemanan, tetapi setiap kali ia mencoba melangkah maju, bayangan Finley selalu muncul dan membuatnya ragu.

“Aku juga senang, Ari. Kamu teman yang baik,” jawab Alvaro pelan.

Wajah Arianna berubah sedikit kecewa, namun ia berusaha menyembunyikannya. Ia tahu bahwa Alvaro memiliki hati yang lembut, tetapi ada sesuatu yang menghalangi pemuda itu untuk benar-benar menerimanya. Ia pun tidak bisa memungkiri, setiap kali ia bersama Alvaro, ia selalu merasa ada sesuatu yang tertahan di balik senyum pemuda itu.

“Al, kalau aku boleh jujur…” Arianna mulai bicara lagi, suaranya terdengar agak gemetar. “Aku tahu mungkin aku terlalu cepat mengungkapkan perasaanku. Tapi aku cuma ingin kamu tahu, aku akan tetap di sini, menunggu kamu, seandainya kamu membutuhkan waktu.”

Alvaro menatap Arianna, dan kali ini dia bisa melihat ketulusan yang terpancar dari mata gadis itu. “Makasih, Ari. Aku… aku bener-bener menghargai itu,” katanya dengan suara pelan.

Namun, di balik senyuman lembut Alvaro, Arianna bisa merasakan ada sesuatu yang tak terucap, sesuatu yang membuat hatinya semakin bertanya-tanya. Setiap kali dia mencoba mendekat, Alvaro selalu tampak ragu, seolah ada sesuatu yang menariknya kembali ke tempat lain—atau kepada seseorang yang lain.

Malamnya, Finley berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit kamarnya dengan hati yang tak menentu. Pikiran tentang Alvaro dan Arianna berputar-putar dalam benaknya, membuatnya sulit untuk tidur. Meski ia berusaha mengabaikan perasaannya, tapi setiap kali ia mengingat Alvaro dan Arianna bersama, ada rasa sakit yang begitu dalam di hatinya.

Tanpa sadar, Finley mengambil ponselnya dan membuka galeri foto. Di sana ada banyak foto kenangan mereka bertiga, foto-foto yang diambil dalam momen kebersamaan tanpa beban. Foto-foto itu memperlihatkan senyum lebar Alvaro, tawa ceria Arianna, dan dirinya yang begitu bahagia. Namun sekarang, semua itu terasa jauh, seperti bayangan yang semakin kabur.

Ia menghela napas panjang, lalu mengetik pesan singkat kepada Alvaro. Setelah mengetik kalimat panjang, ia menghapusnya lagi, lalu mencoba menulis lagi. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ia hanya menuliskan satu kalimat sederhana: “Apa kamu masih anggap aku sahabatmu, Al?”

Ia menatap layar ponselnya, menunggu tanda pesan terkirim, tetapi akhirnya ia mengurungkan niatnya dan menutup layar. Sejujurnya, ia tidak tahu lagi apakah perasaannya terhadap Alvaro masih sebatas persahabatan. Mungkin, sejak awal memang ada perasaan lebih dari itu yang ia coba abaikan.

Keesokan harinya, saat jam istirahat, Alvaro dan Finley secara kebetulan bertemu di perpustakaan. Biasanya, mereka akan langsung berbicara dengan akrab, namun kali ini ada keheningan yang menggantung di antara mereka. Alvaro merasa gugup, tetapi ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk bicara.

“Fin, boleh kita ngobrol sebentar?” tanya Alvaro dengan nada yang sedikit ragu.

Finley menatapnya, lalu mengangguk pelan. Mereka duduk di bangku panjang di ujung perpustakaan, tempat yang cukup jauh dari keramaian. Untuk beberapa saat, tidak ada yang bicara, hanya keheningan yang terasa semakin berat.

“Aku… aku merasa ada yang berbeda di antara kita belakangan ini,” kata Alvaro, memulai pembicaraan. “Aku nggak pengen ada jarak di antara kita, Fin.”

Finley menatap Alvaro dengan tatapan penuh tanya. “Aku juga nggak pengen ada jarak, Al. Tapi… aku merasa kamu sendiri yang mulai berubah.”

Alvaro terdiam, bingung harus menjawab apa. “Maaf, Fin. Aku cuma… aku cuma nggak mau nyakitin kamu atau Arianna. Aku bener-bener nggak tahu harus gimana.”

Finley menunduk, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang mulai menggenang di matanya. “Aku ngerti, Al. Tapi aku cuma berharap, kita bisa tetap jadi teman seperti dulu. Aku nggak mau kehilangan kamu.”

Alvaro tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak sepenuhnya sampai ke matanya. “Kamu nggak akan kehilangan aku, Fin. Aku akan selalu ada di sini buat kamu.”

Meskipun Finley mencoba meyakinkan dirinya bahwa kata-kata Alvaro tulus, ia tidak bisa menepis perasaan hampa yang muncul di hatinya. Ia merasa, entah bagaimana, ia telah kehilangan sesuatu yang penting dalam persahabatan mereka. Ia tidak ingin mengakuinya, tetapi mungkin rasa itu adalah harapan yang selama ini ia pendam—harapan bahwa suatu hari Alvaro akan menyadari perasaannya.

Namun, perasaan itu semakin menyiksanya setiap kali ia melihat Alvaro dan Arianna bersama. Perasaan cemburu itu begitu kuat, seperti duri yang menyusup di hatinya, membuat setiap senyum yang ia tunjukkan terasa begitu sulit.

Malam itu, Alvaro merenung sendirian di kamarnya, mencoba mencari jawaban dari perasaan yang semakin rumit. Ia tahu, jika ia terus mempertahankan keadaan seperti ini, ia hanya akan menyakiti hati Finley dan Arianna. Namun, ia tidak ingin membuat pilihan yang salah. Di satu sisi, ada Arianna yang tulus mencintainya, dan di sisi lain, ada Finley yang selalu menjadi tempat ia berlabuh.

Alvaro merasa, mungkin sudah saatnya ia berbicara dengan Arianna, untuk memberikan kejelasan tentang perasaannya. Namun, setiap kali ia membayangkan menyakiti perasaan Arianna, hatinya terasa semakin berat.

Dalam diam, Alvaro merasakan betapa rumitnya perasaan cinta dan persahabatan ini. Di tengah kebimbangannya, ia hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti ia akan menemukan jalan keluar tanpa harus melukai siapa pun. Baginya, Finley dan Arianna adalah dua orang terpenting dalam hidupnya, dan kehilangan salah satu dari mereka adalah sesuatu yang tidak bisa ia bayangkan.

Namun, di balik semua kebingungan ini, ada satu hal yang mulai ia sadari: perasaan yang ia rasakan untuk Finley bukan lagi sekadar persahabatan.

 

Pilihan yang Tak Terelakkan

Pagi itu, Alvaro berjalan menyusuri koridor sekolah dengan langkah yang ragu. Setelah malam yang panjang dan tak kunjung tidur, akhirnya ia merasa harus menghadapi apa yang selama ini ia hindari. Rasa cinta dan persahabatan itu begitu rumit hingga tak ada jalan mudah untuk keluar dari pusaran ini tanpa membuat satu hati terluka.

Ia menemui Arianna di taman sekolah, tempat favorit mereka untuk mengobrol. Saat Arianna melihatnya mendekat, ia tersenyum hangat, tetapi di balik senyum itu, Alvaro bisa melihat bahwa ada keraguan yang tersimpan di matanya. Mungkin Arianna sudah menyadari perubahan sikapnya selama ini, namun memilih untuk berpura-pura tak tahu.

“Ada yang mau kamu omongin, Al?” tanya Arianna pelan, mencoba membaca ekspresi wajahnya.

Alvaro mengangguk, lalu menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. “Iya, Ari… Aku rasa ini sesuatu yang penting.”

Arianna menatapnya dengan harapan di matanya, tetapi Alvaro merasa seolah beban itu semakin berat ketika ia melihat tatapan itu.

“Ari,” katanya, suaranya bergetar. “Kamu adalah orang yang luar biasa buat aku. Aku benar-benar menghargai setiap momen yang kita habiskan bersama. Tapi… aku nggak bisa terus begini.”

Arianna menahan napas, menunggu kata-kata berikutnya.

“Aku nggak ingin terus berharap kalau aku bisa mencintaimu dengan cara yang kamu harapkan. Aku terlalu lama menahan perasaan yang sesungguhnya, dan aku rasa itu nggak adil buat kamu.”

Rasa sakit tampak jelas di wajah Arianna, namun ia mencoba menahan air matanya. “Kamu mencintai Finley, kan?”

Alvaro mengangguk, dan meskipun ia merasa bersalah, ada perasaan lega yang muncul dalam hatinya setelah mengakuinya. “Aku sendiri baru menyadarinya, Ari. Aku pikir, dengan mencoba membuka hatiku buat kamu, aku bisa mengalihkan perasaan itu. Tapi ternyata aku salah. Aku cuma nggak mau melukai kamu lebih jauh lagi.”

Arianna terdiam, mencoba menguatkan dirinya. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan. “Kalau itu yang terbaik buat kamu, aku akan berusaha menerima, Al. Aku cuma… Aku cuma berharap kamu tahu bahwa aku benar-benar tulus mencintaimu.”

Alvaro meraih tangannya, memberikan sentuhan terakhir sebagai sahabat. “Makasih, Ari. Kamu layak mendapatkan seseorang yang bisa mencintaimu sepenuh hati. Maaf kalau aku nggak bisa jadi orang itu.”

Arianna mengangguk sekali lagi, lalu melepaskan tangannya dengan perlahan. Ia berbalik, berjalan menjauh dari Alvaro tanpa menoleh lagi. Saat Alvaro melihat kepergiannya, ia tahu bahwa ia mungkin sudah kehilangan seorang teman berharga, tetapi ia juga tahu bahwa itu adalah satu-satunya cara agar tidak menyakitinya lebih dalam.

Siang itu, Alvaro berusaha menemui Finley. Ia tahu, setelah semua kebingungan ini, ia harus jujur kepada Finley tentang perasaannya. Namun, ketika ia sampai di kelas, ia melihat Finley sedang mengemasi barang-barangnya dengan raut wajah yang muram. Hatinya berdebar tak menentu, merasakan firasat buruk.

“Fin, kamu mau ke mana?” tanyanya, mendekati Finley yang tampak kaget melihatnya.

“Aku…” Finley berhenti sejenak, lalu mencoba mengalihkan pandangannya. “Aku mau pindah sekolah, Al.”

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar Alvaro. “Apa? Kenapa kamu nggak bilang sebelumnya?”

Finley hanya tersenyum lemah, tampak berusaha menyembunyikan rasa sakit yang sebenarnya. “Aku cuma butuh waktu untuk menyendiri, Al. Mungkin ini akan lebih baik untuk kita semua.”

Alvaro tak bisa mempercayai kata-kata Finley. Setelah semua yang telah ia putuskan, ia tak ingin kehilangan Finley begitu saja. “Jangan pergi, Fin. Aku—aku sayang sama kamu.”

Finley menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Sayang sebagai sahabat atau…?”

Alvaro menggeleng pelan. “Bukan cuma sahabat, Fin. Aku bener-bener sayang sama kamu, lebih dari itu.”

Air mata akhirnya jatuh di pipi Finley, dan ia pun tak bisa menahan diri lagi. “Kenapa kamu baru bilang sekarang, Al? Setelah aku berusaha begitu keras untuk melupakan perasaanku?”

“Aku terlalu takut untuk menyakiti orang lain,” jawab Alvaro, dengan suara penuh penyesalan. “Tapi aku sadar, kalau perasaan ini terus aku pendam, aku hanya akan menyakiti kamu dan juga diriku sendiri.”

Finley menghela napas panjang, tampak bimbang. “Aku nggak tahu, Al. Aku nggak tahu apakah aku bisa terus bertahan setelah semua ini.”

“Kasih aku kesempatan, Fin,” pinta Alvaro dengan suara yang tulus. “Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku akan berusaha membuktikan perasaanku, kalau kamu masih bersedia mencoba.”

Finley terdiam, menatap Alvaro dengan tatapan yang dipenuhi kebimbangan. Namun, di balik tatapan itu, ada secercah harapan yang kembali muncul, secercah perasaan yang tak pernah benar-benar hilang.

Setelah beberapa saat, Finley akhirnya mengangguk pelan. “Aku nggak tahu apa aku bisa langsung percaya, tapi… aku mau mencoba.”

Mendengar itu, senyum penuh kelegaan menghiasi wajah Alvaro. Ia meraih tangan Finley, mengenggamnya erat, seolah takut kehilangan lagi. Akhirnya, setelah sekian lama, ia merasa telah menemukan jawabannya, jawaban yang selama ini hanya bisa ia rasakan di dalam hatinya.

Hari itu, di bawah langit yang cerah, Alvaro dan Finley berjalan beriringan keluar dari sekolah. Meskipun masih banyak yang belum terselesaikan, mereka tahu bahwa langkah pertama sudah diambil, dan untuk pertama kalinya, mereka merasa tak lagi terjebak dalam kebingungan. Mereka menyadari bahwa cinta, meskipun rumit dan penuh lika-liku, akan selalu menemukan jalannya, asalkan ada keberanian untuk mengakui perasaan yang sesungguhnya.

Sementara itu, di kejauhan, Arianna melihat keduanya berjalan bersama, dengan senyum penuh harapan di wajahnya. Meskipun hatinya terasa sakit, ia sadar bahwa cinta bukan tentang memiliki, melainkan tentang merelakan orang yang dicintai untuk menemukan kebahagiaannya sendiri.

Dan begitulah, dengan hati yang perlahan pulih, mereka semua melangkah menuju babak baru dalam hidup masing-masing, membawa serta kenangan yang akan selalu menjadi bagian dari perjalanan mereka.

 

Dan begitulah akhirnya, cinta segitiga di kelas yang penuh drama ini harus mencapai titik akhirnya. Meski jalan mereka berliku dan penuh keputusan yang bikin galau, masing-masing hati akhirnya menemukan tempatnya.

Kadang cinta nggak harus dimiliki, cukup dilepas dengan ikhlas biar semua bisa jalan ke depan dengan hati yang lebih lega. Jadi, setelah semua ini, siapa bilang cinta di sekolah itu cuma sekadar cerita remaja? Terkadang, dari sanalah kita belajar yang paling rumit—tentang rasa, pilihan, dan akhirnya… melepaskan.

Leave a Reply